ANALISIS DATANYA
Tatang M. Amirin, 31 Oktober 2010; 4 Januari 2011
Banyak orang yang bingung jika menggunakan Skala Likert [baca biasa likert, walau ada
yang baca laikert–kata Wikipedia], dan bahkan salah larap. Skala Likert digunakan untuk
membuat angket, tapi kadang-kadang salah isi yang disasar untuk dihimpun dengan Skala
Likert tersebut. Likert itu nama orang, lengkapnya Rensis Likert, pendidik dan ahli psikologi
Amerika Serikat. Jadi, skala ini digagas oleh Rensis Likert, sehingga disebut Skala Likert.
Kalau begitu mari kita mulai dengan memperjelas apa dan untuk apa Skala Likert itu.
Skala itu sendiri salah satu artinya, sekedar memudahkan, adalah ukuran-ukuran berjenjang.
Skala penilaian, misalnya, merupakan skala untuk menilai sesuatu yang pilihannya
berjenjang, misalnya 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10. Skala Likert juga merupakan alat untuk
mengukur (mengumpulkan data dengan cara “mengukur-menimbang”) yang “itemnya”
(butir-butir pertanyaannya) berisikan (memuat) pilihan yang berjenjang.
Untuk apa sebenarnya Skala Likert itu? Skala Likert itu “aslinya” untuk mengukur
kesetujuan dan ketidaksetujuan seseorang terhadap sesuatu objek, yang jenjangnya bisa
tersusun atas:
sangat setuju
setuju
kurang setuju
Pernyataan yang diajukan mengenai objek penskalaan harus mengandung isi yang akan
“dinilai” responden, apakah setuju atau tidak setuju. Contoh di bawah ini pernyataannya
berbunyi “Doktrin Bush merupakan kebijakan luar negeri yang efektif.” Objek khasnya
adalah efektivitas (kefektivan) kebijakan. Responden diminta memilih satu dari lima pilihan
jawaban yang dituliskan dalam angka 1-5, masing-masing menunjukkan sangat tidak setuju
(1), tidak setuju (2), netral atau tidak berpendapat (3), setuju (4), sangat setuju (5).
The Bush Doctrine is an effective foreign policy [Doktrin Bush merupakan kebijakan luar
negeri yang efektif].
Apa artinya? Artinya setujukah responden bahwa kebijakan luar negeri Bush itu sebagai
kebijakan yang efektif (memecahkan masalah luar negeri AS)? Jadi, responden tinggal milih:
setuju atau tidak setuju, atau tak memilih keduanya (netral saja, tidak berpendapat).
Tidak sedikit mahasiswa dan peneliti lain yang hanya melihat Skala Likert itu sebagai angket
pilihan setuju–tidak setuju. Jadi, jika pilihan jawabannya setuju-tidak setuju, maka itu
namanya Skala Likert. Lalu, segala macam pernyataan dimintakan kepada responden untuk
memilih menjawab setuju atau tidak setuju. Ini contohnya:
2. Setuju (S)
Kedua, itu tidak bisa dijenjangkan kesetujuan-ketidaksetujuannya, karena tidak logis. Kalau
misalnya “setuju” salat itu penting, apa bedanya dengan “sangat setuju.” Jika jawabannya
diubah jadi “setuju–agak setuju,” makna dari agak setuju itu apa, tak jelas. Tentu tidak bisa
ditafsirkan bahwa jika agak setuju berarti menunjukkan menurut responden salat itu agak
penting, dan jika setuju sekali berarti salat itu sangat amat penting, dan sebaliknya.
Ketiga, ada dua isi yang harus disetujui atau tidak disetujui di dalam satu pernyataan itu,
yaitu: (1) salat itu penting, dan (2) salat itu tiang agama. Ini tidak boleh terjadi dalam
penyusunan angket, sebab akan membingungkan. Salat mungkin bisa dianggap penting
(setuju bahwa penting), tapi alasannya sebagai tiang agama tidak setuju, setujunya karena ia
rukun Islam kedua. Jadi, jawabannya apa? Setuju, atau tidak setuju, atau netral saja?
Sebentar, biar jelas. Responden setuju bahwa solat itu penting, tapi tidak setuju kalau
sebabnya karena ia tiang agama. Lantas yang harus dipilih setuju atau tidak setuju (karena ia
punya dua pilihan: setuju penting, tapi tidak setuju sebagai tiang agama).
Lain halnya dengan masalah “hukum potong tangan bagi pencuri,” misalnya (sekedar misal,
lho), kan ada orang setuju, ada yang tidak setuju. Jadi, pernyataannya bisa dirumuskan,
misalnya, “Orang yang mencuri harus dihukum potong tangan.” Jawabannya (SS – S – N –
TS -STS). Pernyataan “pencuri harus dipotong tangan” itu isinya hanya satu, tidak dua: (1)
pencuri dan (2) potong tangan. Beda kan dengan contoh di atas (1) solat itu penting, dan (2)
solat itu tiang agama–digabung menjadi: Solat itu penting karena solat itu tiang agama.
Nah, karena berkaitan dengan setuju (S) dan tidak setuju (TS), maka bisa jadi ada orang yang
netral (N) atau tidak berpendapat. Netral artinya setuju ya tidak, tidak setuju pun tidak juga.
Tidak memihak pada kesetujuan ataupun ketidaksetujuan. Ekstrimnya, tidak berpendapat.
Jadi, bisa ada yang agak setuju, tapi tidak setuju banget, ada juga yang agak setuju, tapi tidak
setuju banget. Ya cuma seperti itu gambarannya.
Contoh: Anggota DPR disuruh memilih apakah setuju Gubernur DIY itu dipilih. Pilihan
jawabannya ekstrim: setuju atau tidak setuju. Jadi, hanya ada tiga pilihan: S – N – TS. Jika S
berarti setuju Gubernur DIY dipilih. Jika TS artinya tidak setuju melalui pemilihan. Yang
tidak “berani” menyatakan setuju atau tidak setuju, ya pilih N (netral). Jika ada 30% yang
menyatakan S, 60% menyatakan TS, dan 10% N, maka hasilnya berupa pernyataan bahwa
sebagian besar anggota DPR tidak setuju Gubernur DIY dipilih. Hanya seperti itu. Jangan
dicari reratanya, lucu!
Semua orang Indonesia “terlibat” dalam pemerintahan SBY, terkena pemerintahan SBY, dan
tahu (merasakan) seperti apa berada di bawah pemerintahan SBY. Jadi, pasti bisa menjawab.
Pernyataan ” SBY patut mendapatkan Hadiah Nobel” pun bisa untuk dimintakan persetujuan
dan “pertidaksetujuan” responden, tetapi respondennya tertentu, yang paham seluk beluk
pemberian hadiah Nobel. Mbah Marijan (alm) dan embah-embah lain setara Mbah Marijan
mungkin tak tahu.