Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

Non Hemoragic Stroke

Disusun oleh:

 Putri Permatasari C111 13 028

 Maghfira Ramadhani Palusery C111 13 030

 Nurindayanti C111 13 031

Supervisor

dr. Husnul Mubarak Sp. KFR

DEPARTEMEN KEDOKTERAN FISIK & REHABILITASI


MEDIK
KEPANITERAAN KLINIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama/NIM :

1. Putri Permatasari C111 13 028


2. Maghfira R. Palusery C111 13 030
3. Nurindayanti C111 13 031
Judul Laporan Kasus :Non Hemoragic Stroke

Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
Makassar.

Makassar, 4 Januari 2017

Supervisor,

dr. Husnul Mubarak, Sp. KFR


DAFTAR ISI

Halaman Sampul ................................................................................................ i

Halaman Pengesahan ......................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................................. iii

Ringkasan Kasus ............................................................................................... 1

Data pasien .................................................................................................... 1

Keluhan utama ............................................................................................... 1

Anamnesis terpimpin ..................................................................................... 1

Riwayat penyakit terdahulu ........................................................................... 1

Pemeriksaan fisik .......................................................................................... 1

Pemeriksaan musculoskeletal ........................................................................ 2

Pemeriksaan neurologis ................................................................................. 3

Pemeriksaan radiologi ................................................................................... 4

Diagnosis ....................................................................................................... 5

Diagnosis fungsional ..................................................................................... 5

Perencanaan ................................................................................................... 5

Tinjauan Pustaka................................................................................................ 6

Definisi .......................................................................................................... 6

Klasifikasi ...................................................................................................... 6

Etiologi .......................................................................................................... 6

Patofisiologi................................................................................................... 7

Manifestasi Klinis.......................................................................................... 9

Pemeriksaan ................................................................................................... 10

Diagnosis Banding ........................................................................................ 12

Penatalaksanaan ............................................................................................. 14

Daftar Pustaka .................................................................................................... 24


Non hemorrhagic Stroke

Data Pasien

Nama : Tn. I
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tanggal lahir : 25-09-1971 (46 tahun)
Alamat : Pinrang
Pekerjaan : PNS
Ruangan : Lontara 3 Bawah Belakang
No Rekam Medik : 828457
Tanggal Periksa : 3 Januari 2018

Keluhan utama : Kelemahan anggota gerak sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang : Keluhan ini dialami sejak 3 hari yang lalu. Dialami
secara tiba-tiba saat pasien bangun tidur. Sehari sebelum keluhan muncul pasien sering
mengeluh pusing. Saat kejadian pasien sadar, tidak ada mual dan muntah. 12 jam
sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengalami kesulitan dalam berbicara (bicara
pelo).
Pasien merupakan pasien rujukan dari RSUD Lasinrang Pinrang. Tekanan darah pada
saat di rumah sakit 150/100 mmHg. Pasien dirawat di RSUD Lasinrang Pinrang selama
1 hari.
Riwayat Penyakit Dahulu :
o Riwayat Stroke sebelumnya tidak ada
o Riwayat Hipertensi ada sejak 1 tahun yang lalu, berobat teratur
o Riwayat Diabetes Melitus tidak ada
o Riwayat Hiperkolesterolemi ada sejak 1 tahun yang lalu, berobat teratur
o Riwayat penyakit jantung tidak ada
Riwayat Pengobatan :
Mengonsumi obat Hipertensi dan Kolesterol secara teratur
Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal
PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

 Compos mentis, Independent transfer, Gait : sulit dinilai, Postur : sulit dinilai

 BP : 150/90 mmHg, HR :80 x/mnt, T : 37,0 oC, RR : 20 x/mnt


 Antropometri :
TB/PB :167 cm
LILA : 30,5 cm
% LILA : 94,7%
 Head & Neck : Konjungtiva anemis tidak ada
 Thorax : Cor : Bunyi jantung I/II
Pulmo : ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
 Abdomen : Liver/Spleen tidak teraba, nyeri tekan tidak ada
 Ekstremitas :
Ekstremitas Atas :Inspeksi : tidak atrofi
Palpasi : tidak ada stiffness
Extremitas Bawah : Inspeksi : tidak atrofi
Palpasi : tidak ada stiffness

Pemeriksaan Muskuloskeletal
ROM MMT
Cervical
Flexion Full (0-450) 5
Extension Full (0-450) 5
Lateral Flexion Full/Full (0-450) 5/5
Rotation Full/Full (0-600) 5/5
Trunk
Flexion Full (0-800) 5
Extension Full (0-300) 5
Lateral Flexion Full/Full (0-350) 5/5
Rotation Full/Full (0-450) 5/5
Shoulder
Flexion 0/Full (0-1800) 1/5
Extension 0/Full (0-600) 1/5
Abduction 0/Full (0-1800) 1/5
Adduction 0/Full (0-450) 1/5
Ext. Rotation 0/Full (0-700) 1/5
Int. Rotation 0/Full (0-900) 1/5
Elbow
Flexion 0/Full (0-1350) 1/5
Extention 0/Full (135-00) 1/5
Forearm Supination 0/Full (0-900) 1/5
Forearm Pronation 0/Full (0-900) 1/5
Wrist
Flexion 0/Full (0-800) 1/5
Extension 0/Full (0-700) 1/5
Radial Deviation 0/Full (0-200) 1/5
Ulnar Deviation 0/Full (0-350) 1/5
Fingers
Flexion
MCP 0/Full (0-900) 1/5
PIP 0/Full (0-1000) 1/5
DIP 0/Full (0-900) 1/5
Extension 0/Full (0-300) 1/5
Abduction 0/Full (0-200) 1/5
Adduction 0/Full (200-00) 1/5
Thumbs
Flexion
MCP 0/Full (0-900) 1/5
IP 0/Full (0-800) 1/5
Extension 0/Full (0-300) 1/5
Abduction 0/Full (0-700) 1/5
Adduction 0/Full (50-00) 1/5
Opposition 1/5
Hip
Flexion 0/Full (0-1200) 2/5
Extension 0/Full (0-300) 2/5
Abduction 0/Full (0-450) 2/5
Adduction 0/Full (0-200) 2/5
Ext. Rotation 0/Full (0-450) 2/5
Int. Rotation 0/Full (0-450) 2/5
Knee
Flexion 0/Full (0-1350) 2/5
Extension 0/Full (135-00) 2/5
Ankle
Plantar Flexion 0Full (0-200) 2/5
Dorsi Flexion 0/Full (0-500) 2/5
Inversion 0/Full (0-1500) 2/5
Eversion 0/Full (0-350) 2/5
Toes
Flexion
MTP 0/Full (0-300) 2/5
IP 0/Full (0-500) 2/5
Extension 0/Full (0-800) 2/5
Big Toe
Flexion
MTP 0/Full (0-250) 2/5
IP 0/Full (0-250) 2/5
Extension 0/Full (0-800) 2/5

Pemeriksaan Neurologis

 Nervus cranialis : parese N VII dan N XII dextra, tipe sentral

disartria

 Extremitas Atas : Kanan Kiri


Pergerakan Menurun Normal
Kekuatan 1 5
Tonus Normal Normal
Extremitas Bawah :

Pergerakan Menurun Normal


Kekuatan 2 5
Tonus Normal Normal

 Refleks fisiologis : BPR N/N KPR N/N

TPR N /N APR N/N


 Refleks Patologis : Hoffman-Tromner : (-)/(-)
Babinski : (+)/(-)

 Defisit sensoris : hemihipestesia dextra setinggi Th-2


3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
(i) CT-Scan (31/12/2017)

Hasil pemeriksaan CT-Scan Kepala irisan axial tanpa kontras:


- Tampak lesi hipodens pada lobus temporal kiri, nucleus lentiformis kiri
dan regio temporalis dextra
- Sulci dan gyri dalam batas normal
- Tidak tampak midline shift
- Sistem ventrikel dan ruang subarachnoid yang terscan dalam batas
normal
- CPA, pons dan cerebellum yang terscan dalam batas normal
- Sinus paranasalis dan air cell mastoid yang terscan dalam batas normal
- Bulbus oculi dan struktur retrobulbar yang terscan dalam batas normal
- Tulang-tulang intak
Kesan:
 Infark cerebri bilateral

Diagnosis

- Hemiparese dextra + disartria e.c NHS

Diagnosis Fungsional

Impairment : - Kelemahan AGA/AGB dextra

- Disartria e causa parese N.XII dextra

- Defisit sensorik dextra e causa NHS

Disability : - Gangguan transfer

- Gangguan ADL

- Gangguan bicara

Handicap: Pasien tidak dapat melakukan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil

Perencanaan

FT (setiap hari)
1. Electrical Stimulation AGA/AGB (Dextra)
2. Reedukasi motorik
3. ROM pasif
4. Latihan transfer pasif
5. IRR
OT :
1. Latihan ADL Dasar
2. Resensitasi sensorik
3. ROM pasif digiti/carpal
ST :
1. Stimulasi oralmotor
2. Latihan disartria
3. Latihan ROM lidah
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh adanya gangguan peredaran darah otak
(GPDO) yang menimbulkan gangguan fungsional otak berupa defisit neurologik atau kel
umpuhan saraf pusat baik fokal (maupun global) yang berkembang cepat ( dalam detik at
au menit) dan bukan merupakan akibat dari tumor, trauma, maupun infeksi. Gejala- gejal
a tersebut berlangsung lebih dari 24 jam dan dapat menyebabkan kematian.1,2

Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu di dunia dan penyebab kematian
nomor tiga di dunia. Dari seluruh kejadian stroke, dua pertiganya adalah iskemik dan se
pertiganya adalah hemoragik. Insiden stroke meningkat seiring pertambahan usia.2

2. Klasifikasi

Berdasarkan mekanisme vaskular yang menyebabkannya, stroke dapat dibagi menj


adi :

2.1. Stroke iskemik

Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan waktu terjadinya terdiri atas :

a. Transcient ischaemic attack (TIA)

Defisit neurologis membaik dalam waktu kurang dari 30 menit


b. Reversible ischaemic neurological Deficit (RIND)
Defisit neurologis membaik dalam waktu kurang dari 1 minggu.
2.2 Stroke hemoragik

a. Perdarahan intra serebral (PIS) : perdarahan primer yang berasala dari


pembuluh darah prmer dalam parenkim otak

b. Perdarahan subarachnoid (PSA) : keadaan terdapatnya atau masuknya


darah ke dalam ruangan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma, AVM,
atau sekunder dari PIS.
3. Etiologi

Stroke atau yang dikenal dengan istilah Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO),
merupakan suatu sindrom yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah pada sal
ah satu bagian otak yang menimbulkan gangguan fungsional otak.

Stroke disebabkan oleh keadaan ischemic atau proses hemorrhagic yang seringkali
diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh darah arteri. Dari seluruh kejadi
an Stroke, 2/3 adalah ischemic dan 1/3 adalah hemorrhagic. Disebut Strokeischemic kar
ena adanya sumbatan pembuluh darah oleh thromboembolic yang mengakibatkan daera
h dibawah sumbatan tersebut mengalami ischemi. Hal ini sangat berbeda dengan stroke
Hemorrhagic yang terjadi akibat adanya mycroaneurisme yang pecah.

4. Patofisiologi

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-arteri
yang membentuk Sirkulus Willisi (Gambar 1). Secara umum, apabila aliran darah ke ja
ringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaring
an. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah
otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sir
kulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut.

Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terj
adi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa (1) ke
adaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis, ro
beknya dinding pembuluh, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan s
tatus aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah a
kibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakraniu
m; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid.7

Suatu stroke mungkin didahului oleh Transient Ischemic Attack (TIA) yang serupa
dengan angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-serangan defisit neurologik
yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung membaik dengan
kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya dalam 24 jam.

Secara patologi stroke dibedakan menjadi sebagai berikut:

4.1 Stroke Iskemik


Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis (terbentu
knya ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-
macam manifestasi klinik dengan cara:

a. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran


darah

b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus atau perdarahan


aterom
c. Merupakan terbentuknya thrombus yang kemudian terlepas sebagai emboli

d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang


kemudian dapat robek.

Embolus akan menyumbat aliran darah dan terjadilah anoksia jaringan otak di ba
gian distal sumbatan. Di samping itu, embolus juga bertindak sebagai iritan yang me
nyebabkan terjadinya vasospasme lokal di segmen di mana embolus berada. Gejala
kliniknya bergantung pada pembuluh darah yang tersumbat. Ketika arteri tersumbat
secara akut oleh trombus atau embolus, maka area sistem saraf pusat (SSP) yang dip
erdarahi akan mengalami infark jika tidak ada perdarahan kolateral yang adekuat. Di
sekitar zona nekrotik sentral, terdapat ‘penumbra iskemik’ yang tetap viabel untuk s
uatu waktu, artinya fungsinya dapat pulih jika aliran darah baik kembali. Iskemia SS
P dapat disertai oleh pembengkakan karena dua alasan: Edema sitotoksik yaitu aku
mulasi air pada sel-sel glia dan neuron yang rusak; Edema vasogenik yaitu akumulas
i cairan ektraselular akibat perombakan sawar darah-otak. Edema otak dapat menye
babkan perburukan klinis yang berat beberapa hari setelah stroke mayor, akibat peni
ngkatan tekanan intrakranial dan kompresi struktur-struktur di sekitarnya8

4.2 Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke,
dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Seb
agian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA) a
dalah aneurisma sakular dan malformasi arteriovena (MAV). Mekanisme lain pada
stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau amfetamin, karena zat-zat ini dapat
menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum atau subarakhnoid. Pe
rdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling sering terjadi akib
at cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arte
ri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Biasanya perdarahan di bagia
n dalam jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan membu
ruk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis
di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan merupakan tanda khas pertama pada k
eterlibatan kapsula interna.

Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan dinding ane


urisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan tekanan di dalam dan di luar
aneurisma. Setelah pecah, darah merembes ke ruang subarakhnoid dan menyebar ke
seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan serebrospinalis. Darah ini selain d
apat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga dapat melukai jaringan ot
ak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi saat pertama kali pecah, serta m
engiritasi selaput otak7.

5. Manifestasi Klinis

5.1. Stroke Iskemik

Gejala klinis bergantung pada neuroanatomi dan vaskularisasinya. Gejala klinis


dan defisit neurologis yang ditemukan berguna untuk menilai lokasi iskemik.

a. Gangguan peredaran darah arteri serebri anterior : hemiparesis dan


hemihipestesis kontralateral yang terutama melibatkan tungkai.

b. Gangguan peredaran darah arteri serebri media: hemiparesis dan


hemihipestesis kontralateral yang terutama mengenai lengan disertai gangguan
fungsi luhur berupa afasia (bila mengenai area otak dominan) hemispacial
neglect ( bila mengenai area otak nondominan)
c. Gangguan peredaran darah arteri serebri posterior : hemianopsi homonim atau
kuadrantanopsi kontralateral tanpa disertai gangguan motorik maupun sensorik
Infark pada lobus temporalis media : gangguan daya ingat;
Infark pada korteks visual dominan dan spleinum korpus kalosum: aleksia tanp
a agrafia;
Infark pada korteks temporooksipital inferior : agnosia dan prosopagnosia (keti
dak mampuan mengenali wajah).

d. Gangguan peredaran darah batang otak: gangguan saraf kranial seperti disarti,
diplopia, dan vertigo ; gangguan serebral seperti ataksia atau kehilangan
keseimbangan ; atau penurunan kesadaran
e. Infark lakunar atau infark kecil : gangguan murni motorik atau sensorik tanpa
gangguan fungsi luhur.2

5.2 Stroke hemoragik


Untuk membedakan jenis perdarahan pada stroke hemoragik, terdapat beberapa
evaluasi mengenai gejala klinis yang dibutuhkan.2

NO Gejala Klinis Perdarahan Int Perdarahan Subarach


ra serebral (PI noid (PSA)
S)
1 Gejala defisit fokal berat Ringan
2 onset Menit/jam 1-2 menit
3 Nyeri kepala hebat Sangat hebat
4 Muntah pada awalnya sering Sering
5 hipertensi Hamper selalu Biasanya tidak
6 Kaku kuduk jarang Biasanya ada
7 Kesadaran Biasa hilang Bisa hilang sebentar
8 Hemiparesis Sering sejak aw Awal tidak ada
al
9 Deviasi mata Bisa ada Jarang
10 likuor Sering berdarah Berdarah

6. Pemeriksaan
6.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu :
1) Pemeriksaan tanda vital: pernapasan, nadi, suhu, tekanan darah harus diukur
kanan dan kiri
2) Pemeriksaaan jantung paru
3) Pemeriksaan bruit karotis dan subklavia
4) Pemeriksaan abdomen
5) Pemeriksaan ekstremitas
6) Pemeriksaan neurologis
a. Kesadaran: tingkat kesadaran diukur dengan menggunakan Glassgow
Coma Scale (GCS)
b. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Laseque, Kernig, dan
Brudzinski
c. Saraf kranialis: terutama Nn. VII, XII, IX/X, dan saraf kranialis lainnya
d. Motorik: kekuatan, tonus, refleks fisiologis, refleks patologis
e. Sensorik
f. Tanda serebelar: dismetria, disdiadokokinesia, ataksi, nistagmus
g. Pemeriksaan fungsi luhur, terutama fungsi kognitif (bahasa, memori dll)
h. Pada pasien dengan kesadaran menurun, perlu dilakukan pemeriksaan
refleks batang otak:
 Pola pernafasan: Cheyne-Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral,
apneustik, ataksik
 Refleks cahaya (pupil)
 Refleks kornea
 Refleks muntah
 Refleks okulo-sefalik (doll’s eyes phenomenon)4

6.2 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk mencari penyebab stroke dan mencegah
rekurensi dan pada pasien yang berat, mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
menyebabkan perburukan fungsi sistem saraf pusat.1 Pemeriksaan pendukung ya
ng diperlukan dalam penatalaksanaan stroke akut di fasilitas pelayanan kesehata
n tingkat lanjut:
1. Pemeriksaan standar:
a. CT scan kepala (atau MRI)
b. EKG (elektrokardiografi)
c. Kadar gula darah
d. Elektrolit serum
e. Tes faal ginjal
f. Darah lengkap
g. Faal hemostasis
2. Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):
a. Foto toraks
b. Tes faal hati
c. Saturasi oksigen, analisis gas darah
d. Toksikologi
e. Kadar alkohol dalam darah
f. Pungsi lumbal (pada perdarahan subaraknoid)
g. TCD (transcranial Doppler)
h. EEG (elektro-ensefalografi)4

3.3.Pemeriksaan Radiologi
a. CT Scan

CT Scan otak yang dilakukan beberapa jam pertama setelah infark umumnya
tidak menunjukkan kelainan, dan infark mungkin tidak dapat dilihat dalam 2
4-48 jam. CT scandengan kontras meningkatkan spesifisitas dengan menunju
kkan peningkatan densitas zat kontras pada infark subakut dan dapat menvis
ualisasikan struktur pembuluh darah. Modalitas ini disebut CT Angiografi. P
enyakit carotid dan oklusi vaskular intrakranial mudah dikenali dengan meto
de ini. Pencitraan CT juga sensitif untuk mendeteksi perdarahan subarachnoi
d dan CTAngiografi dapat dengan mudah mengidentifikasi aneurisma intrakr
anial. Karena kecepatan dan ketersediaannya yang luas, CT scan kepala nonk
ontras adalah modalitas pencitraan pilihan pada pasien dengan stroke akut.3
b. MRI

MRI dapat memperlihatkan luas dan lokasi infark di semua area otak, termas
uk fossa posterior dan daerah korteks. MRI juga dapat mengidentifikasi pend
arahan intrakranial dan kelainan lainnya namun kurang sensitif dibandingkan
CT untuk mendeteksi perdarahan akut. MR angiografi sangat sensitif terhad
ap stenosis arteri karotis interna ekstra kranial dan pembuluh darah intrakrani
al yang besar. MRI kurang sensitif terhadap perdarahan akut daripada CT, le
bih mahal, memakan waktu dan kurang tersedia. Namun, MRI lebih jelas me
nentukan tingkat cedera jaringan serta membedakan daerah infark baru dan d
aerah infark lama.3
c. Cerebral Angiography
Cerebral Angiography dengan x-ray konvensional adalah gold standard untu
k mengidentifikasi dan menghitung stenosis aterosklerotik arteri serebral sert
a untuk mengidentifikasi dan melihat karakterisasi patologi lain, termasuk an
eurisma, vasospasme, trombi intraluminal, displasia fibromuskular, fistula ar
teriovenosa, vaskulitis, dan saluran kolateral aliran darah.3

d. Ultrasound technique

Stenosis pada arteri karotid interna dapat diidentifikasi dan diukur secara den
gan ultrasonografi yang menggabungkan gambar B-modeUSG dengan penila
ian ultrasonografi Doppler terhadap kecepatan aliran ("duplex” unltrasound)
. Penilaian transkranial Doppler (TCD) terhadap aliran artei cerebri media, ar
tei cerebri anterior, dan artei cerebri posteriorserta aliran vertebrobasilar juga
berguna. Modalitas ini dapat mendeteksi lesi stenotik di arteri intrakranial b
esar karena lesi semacam itu dapat meningkatkan kecepatan aliran sistolik. S
elanjutnya, TCD dapat membantu trombolisis dan memperbaiki rekanalisasi
arteri besar setelah pemberian rtPA.3
e. Perfusion technique

Kedua teknik xenon (terutama xenon-CT) dan PET dapat mengukur aliran da
rah serebral. Alat ini umumnya digunakan untuk penelitian namun dapat ber
manfaat untuk menentukan signifikansi stenosis arteri dan perencanaan untu
k operasi revaskularisasi. Single-photon emission computed tomography (SP
ECT) danMR perfusion techniquesmemperlihatkan aliran darah serebral relat
if.3
7. Diagnosis Banding

Membedakan stroke iskemik dan stroke hemoragik sangat penting untukpenatalaks


anaan pasien.3Perbedaan antarastroke iskemik dan stroke hemoragik yaitugejala klinis s
eperti sakit kepala dan muntah saat onset, perkembangan yang cepat hingga koma, dan r
iwayat hipertensi mengarahkan pada adanya pendarahan di otak. Seringkali, perbedaann
ya tidak begitu jelas karena onset tiba-tiba dari gangguan neurologis fokal terjadi pada k
edua proses tersebut.5
Ada beberapa kategori penyakit neurologis yang gangguan klinisnya mirip dengan
gangguan serebrovaskular. Pada migrain misalnya, tetapi hasil anamnesis biasanya suda
h dapat mengarahkan diagnosis. Kejang dapat diikuti oleh defisit fokal berkepanjangan (
Todd paralysis) namun jarang terjadi pada kejadian awal stroke. Tumor, infeksi, inflama
si, degenerasi, dan defisiensi nutrisi tidak mungkin bermanifestasi dengan sendirinya se
cara cepat, walaupun tumor otak primer atau metastasis jarang menghasilkan defisit fok
al dengan onset mendadak. Trauma terjadi tiba-tiba tapi biasanya tidak menimbulkan m
asalah dalam mendiagnosis. Pada multiple sclerosis dan penyakit demyelinatif lainnya,
mungkin ada onset mendadak atau gejala eksaserbasi akut, namun sebagian besar terjadi
pada kelompok usia dan keadaan klinis yang berbeda. Sebaliknya, timbulnya gejala gan
gguan serebral seperti stroke pada orang dewasa muda harus selalu menimbulkan kecuri
gaan terhadap penyakit demyelinatif. Stroke yang berkembang selama beberapa hari bia
sanya berlangsung bertahap, defisit mengalami kenaikan secara tiba-tiba dari waktu ke
waktu. Lambat, bertahap, menurun dalam kurun waktu 2 minggu atau lebih mengindika
sikan bahwa lesi ini mungkin bukan vaskular melainkan neoplastik, demyelinatif, infeks
ius (abses) atau granulomatosa, atau hematoma subdural.5
Beberapa kondisi yang sering dibingungkan dengan penyakit serebrovaskular. Kon
disi Miscellaneous yang kadang-kadang dianggap sebagai stroke adalah migren,Bell’s p
alsy, serangan Stokes-Adams syncope, serangan vertigo labirin yang parah,diabetic opht
halmoplegia,akut ulnar, radial, atau peroneal palsy, emboli ke extremitas, dan arteritis te
mporal yang terkait dengan kebutaan.5
Tumor otak, terutama glioblastoma atau limfoma yang tumbuh cepat, dapat mengha
silkan hemiplegia yang parah dengan cepat. Juga, defisit neurologis yang disebabkan ol
eh kanker metastasis ke cerebrum dapat berkembang dengan cepat, hampir seperti kecep
atan perkembangan gejala pada stroke. Selain itu, dalam kasus tumor otak yang jarang t
erjadi, hemiplegia mungkin didahului oleh episode defisit neurologis sementara, yang ti
dak dapat dibedakan dari TIA. Kehadiran tumor dan pengaruhnya pada cerebrum mung
kin menyulitkan pasien untuk mengartikulasikan riwayat penyakitnya dengan jelas. Kur
angnya informasi terperinci mungkin juga bertanggung jawab atas kesalahan diagnostik,
yaitu salah menilai stroke yang secara perlahan berkembang (biasanya disebabkan oleh
arteri karotis internal atau oklusi basilar) sebagai tumor. Pemeriksaan CT scandan MRI
dapat memastikan diagnosis. Abses otak atau lesi nekrotik inflamasim misalnya herpes
ensefalitis atau toksoplasmosis juga dapat berkembang dengan cepat.5
Sebaliknya, manifestasi stroke tertentu mungkin salah diartikan sebagai bukti adany
a kelainan neurologis lainnya. Sakit kepala, gejala yang parah dapat dirasakan, sering te
rjadi sebagai gejala prodromal dari stroke trombotik atau perdarahan subarachnoid. Pen
gucapan mendesis, vertigo, muntah, atau gangguan keseimbangan yang singkat akibat p
enyakit vaskular di batang otak dapat dianggap berasal dari neuritis vestibular, penyakit
Meniere, Stokes-Adams syncope, atau gastroenteritis. Penjelasan rinci tentang serangan t
ersebut biasanya akan mencegah kesalahan diagnosis ini. Monoplegia fokal mencolok y
ang berasal dari serebral yang menyebabkan hanya kelemahan tangan atau lengan atau d
rop foot, tidak jarang salah didiagnosis sebagai neuropati perifer atau plexopathy.5

8. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama pada pasien stroke akut.
1. Menilai jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi
2. Menjaga jalan nafas agar tetap adekuat
3. Memberikan oksigen bila diperlukan
4. Memposisikan badan dan kepala lebih tinggi (head-and-trunk up) 20-30 derajat
5. Memantau irama jantung
6. Memasang cairan infus salin normal atau ringer laktat (500 ml/12 jam)
7. Mengukur kadar gula darah (finger stick)
8. Memberikan Dekstrose 50% 25 gram intravena (bila hipoglikemia berat)
9. Menilai perkembangan gejala stroke selama perjalanan ke rumah sakit layanan
sekunder
10. Menenangkan penderita4

Rencana Tindak Lanjut


1. Memodifikasi gaya hidup sehat
a. Memberi nasehat untuk tidak merokok atau menghindari lingkungan perokok

b. Menghentikan atau mengurangi konsumsi alkohol

c. Mengurangi berat badan pada penderita stroke yang obes

d. Melakukan aktivitas fisik sedang pada pasien stroke iskemik atau TIA.
Intensitas sedang dapat didefinisikan sebagai aktivitas fisik yang cukup berarti
hingga berkeringat atau meningkatkan denyut jantung 1-3 kali perminggu

2. Mengontrol faktor risiko


a. Tekanan darah
b. Gula darah pada pasien DM

c. Kolesterol

d. Trigliserida

e. Jantung

3. Pada pasien stroke iskemik diberikan obat-obat antiplatelet: asetosal, klopidogrel4

Konseling dan Edukasi


1. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya agar tidak terjadi kekambuhan
atau serangan stroke ulang
2. Jika terjadi serangan stroke ulang, harus segera mendapat pertolongan segera
3. Mengawasi agar pasien teratur minum obat.
4. Membantu pasien menghindari faktor risiko.4

Kriteria Rujukan
Semua pasien stroke setelah ditegakkan diagnosis secara klinis dan diberikan penangana
n awal, segera mungkin harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang m
emiliki dokter spesialis saraf, terkait dengan angka kecacatan dan kematian yang tinggi.
Dalam hal ini, perhatian terhadap therapeutic window untuk penatalaksanaan stroke aku
t sangat diutamakan.4

Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi adalah :
a. Mencegah komplikasi imobilisasi lama seperti kontraktur, ulkus dekubitus,
pneumonia, komplikasi kandung kencing selama fase akut.
b. Mengajari kembali kemampuan melakukan aktifitas hidup sehari-hari seperti
makan, berpakaian, merawat diri, cebok, mandi.
c. Melatih kembali ambulasi atau berjalan
d. Membantu penderita kembali berintegrasi dengan lingkungannya6

Rehabilitasi harus segera dimulai setelah penderita mengalami serangan stroke. Me


nurut „National Stroke Foundation 2005‟ yang dikeluarkan Pemerintah Australia tentan
g “Clinical Guidelines for Stroke Rehabilitation and Recovery’, rehabilitasi adalah proa
ktif dan dimulai pada hari pertama setelah serangan stroke. Rehabilitasi dibagi menjadi
dua fase yaitu fase awal dan fase lanjut6

a. Fase awal
Selama fase awal, mungkin dalam keadaan koma atau “shock‟, pengobatan ditujuka
n untuk mempertahankan kehidupan dan mencegah komplikasi. Harus dipastikan tidak
ada gangguan jalan nafas dan masalah jantung.Penempatan posisi yang benar penting un
tuk mencegah kontraktur dan ulkus dekubitus.6
Penempatan posisi seperti diatas bertujuan menghindari pola spastik pada stroke.Po
la spastik pada stroke adalah khas yaitu sendi bahu depresi dan endorotasi, sendi siku fle
ksi, pergelangan tangan dan tangan fleksi.Sendi paha, lutut dan pergelangan kaki lurus,
kaki dan jari-jari kaki inversi. Penempatan posisi pada penderita stroke mengikuti pola a
nti spastik yaitu bahu diabduksikan dan eksternal rotasi, siku ekstensi, tangan dan jari-ja
ri ekstensi dan ibu jari dioposisikan.Sendi paha, lutut dan pergelangan kaki ditekuk sedi
kit.6
Latihan pasif terhadap sisi yang paralisis dapat dimulai 2-3 hari pasca serangan bila
penyebabnya adalah stroke infark.Bilap penyebabnya stroke perdarahan maka latihan d
imulai setelah 1 minggu.Latihan pasif ini dapat diajarkan ke keluarga atau penderitanya
sendiri bila sudah sadar.Latihan luas gerak sendi dikerjalan pada seluruh sendi anggota
gerak sisi yang sakit dan dikerjakan sehari 3 kali.Latihan untuk mencegah terjadi kontra
ktur dan kekakuan sendi. Pada saat yang sama otot yang normal dapat dilakukan latihan
penguatan.6

b. Fase Lanjut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnyasudah stabil.Ketika membaikn
ya kondisi, penderita diajari turun dari tempat tidur. Mula-mula penderita diajari latihan
duduk, rolling, bridging, transfer atau pindah tempat dari tempat tidur ke kursi dan sebal
iknya, dari kursi ke toilet dan sebaliknya, berjalan, naik turun tangga. 6

Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:


1) Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi yang
terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk
bergerak/beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin
juga mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga seringkali
beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan
sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak kembali. Sebenarnya
sirkuit hanya akan terbentuk bila ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila
ekstremitas yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali, presentasinya di
otak akan mengecil dan terlupakan.

2) Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional


daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan
meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional
mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian–bagian dari otak, baik area lesi
maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang
dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksiekstensi)
siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila akhirnya lengan
tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional,
namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk sirkuit yang baru.

3) Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak


fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal.
Gerak normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang
terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya dimana
pasien masih menggunakan ototnya secara “aktif”. Bantuan yang berlebihan
membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak
pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien mengerahkan
tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan
memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada
dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga” yang diberikan harus
disesuaikan dengan kemajuan pemulihan pasien. 9

4) Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah tercapai,
yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam
stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila
pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa
berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi.
Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat mempertahankan
posisi duduk sementara batang tubuh dorong ke arah depan, belakang, ke sisi
kiri atau kanan dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi
sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas.
Latihan stabilitas batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan
dinamik. Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan
aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional optimal dicapai
apabila pasien juga mampu melakukan aktifitas sambil berjalan. 9

5) Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan.


Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila
pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan
kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian tidak ada yang terbatas,
dan tidak ada nyeri pada pergerakan. Secara mental pasien mempunyai
motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai dengan
terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah satu pertimbangan.
Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu dimonitor.
Lama latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi latihan yang sebaiknya
adalah latihan yang tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama
(umumnya sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan sesering
mungkin. 9

6) Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh
kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang
utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat
dipisahpisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus melalui
kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu proses
belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas
fungsional dengan segala keterbatasan yang ada. 9
a) Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
Tirah baring lama menyebabkan pasien bertambah lemah, lebih cepat lelah karena
stamina makin rendah, gerak semakin bertambah berat karena semua anggota gerak me
njadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi lain. Selain itu pemulihan fungsional me
mpunyai “periode emas” yang terbatas waktunya; stimulasi yang diberikan pada 3 bulan
pertama akan lebih memberikan hasil dibandingkan fase kronis, dan tentu tidak boleh d
isia-siakan. Pasien harus diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas sesua
i dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan diprogramkan dengan durasi dan frekuen
si latihan secara bertahap ditingkatkan.
Berbagai komplikasi akibat tirah baring lama dapat timbul setelah stroke
 Pemendekan otot atau kontraktur sendi. Bila otot diam pada satu posisi
tertentu dalam waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan kaku pada
posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih besar untuk kontraksi
memendek ataupun memanjang Demikian pula berlaku pada sendi, yang akan
menjadi kering dan kaku.

 Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan. Setelah stroke akan
terbentuk spastisitas dan pola gerak khas yaitu pola sinergis fleksor atau
ekstensor

 Mencegah timbulnya nyeri. Lesi yang mengenai area talamus seringkali


menimbulkan nyeri yang disebut sebagai thalamic pain syndrome. 9

b) Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan Aktivitas Sehari-hari


Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari setelah stroke
merupakan fokus utama rehabilitasi stroke fase subakut. Terapi latihan dan remediasi y
ang diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan latihan spesifik menggunakan b
erbagai metode terapi dan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode
pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi yang tepat harus disesuaik
an dengan kondisi medis pasien. Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif apabila
terpenuhi beberapa kondisi yaitu:
 Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau pemendekan otot. Apabila ada,
maka kondisi tersebut perlu diatasi terlebih dahulu.

 Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai melalui latihan yang
diberikan. 9

c) Gangguan komunikasi

1) Afasia
Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk memformulasikan dan menginterpret
asikan simbol bahasa. Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada mekanisme bahasa
di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer dominan.
Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:
 kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara spontan)

 kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman auditori)

 kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan (bahasa simbol)

 kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca (pemahamanan visual)

 menamakan

 meniru

Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting untuk kemandirian akt


ivitas fungsional, artinya semakin berat gangguan afasia sensorik yang diderita, semakin
sulit tercapai kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasaafasia bukan gangguan pen
dengaran, jadi tidak perlu berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan ka
limat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam setiap kalimat. Akan lebih be
rmanfaat apabila stimulasi auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan deng
an stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar). Pasien afasia jangan diajarkan
mengeja huruf, karena akan membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan fungsi hemis
fer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan s
yair lagu yang sudah pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.
2) Disartria
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan bahasa verbal, a
kibat kelemahan, spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ bicara dan artikul
asi.
Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria, antara lain untuk memp
erbaiki kontrol pernapasan, meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara dan ar
tikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot pernapasan. 9

d) Gangguan fungsi luhur


Fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa, fungsi memori, fungsi
visuospasial, fungsi emosi dan fungsi kognisi. Fungsi kognisi seseorang memerlukan int
aknya fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi kognisi antara lain kemampuan atensi, kon
sentrasi, registrasi, kategorial, kalkulasi, persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan ser
ta pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan baik buruk, bahaya tidak bahaya, pemecah
an masalah dan lain sebagainya.
Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur memerlukan rehabilitasi spesifik. Re
habilitasi untuk mengembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguan fungsi k
ognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu lebih lama.9
e) Gangguan menelan
Gangguan menelan atau yang biasa disebut disfagia merupakan gejala klinis penti
ng karena menempatkan pasien pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain dehidrasi dan
malnutrisi. Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya gangguan menelan. A
pabila pasien dicurigai dengan adanya gannguan menelan maka, aktifias makan dan min
um pasien per oral harus dihentikan. Pemeriksaan lanjutan lainnya untuk pasien dengan
gangguan menelan yakni VFSS (video fluorosgraphic swallowstudy) atau FEES (fibero
ptic endoscopic evaluation of swallowing) 9
f) Gangguan miksi dan defekasi
Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat diatasi dengan manajemen
waktu berkemih. Catat waktu serta jumlah minum dan urine pada voiding diary selama
minimal 3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary tersebut dapat ditentukan kapa
n pasien setiap kali harus berkemih dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila frek
uensi miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik dapat membantu, namun hati-hati
dengan risiko timbulnya retensio urin
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah konstipasi aki
bat immobilisasi. Perlu diingat bahwa diare yang timbul kemudian selain gastroenteritis
juga bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului oleh obstipasi lama se
belumnya.
Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan cukup cairan (sekitar 40 ml/
kg BB ditambah 500 ml air/cairan bila tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan
berserat tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan. 9
g) Gangguan ambulasi
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang memerlukan tidak hanya
kekuatan otot ekstremitas bawah saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi, kesei
mbangan dan koordinasi. 9
Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan bertahap, dimulai dari kema
mpuan mempertahankan posisi duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik d
an dinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu diperhatikan b
ahwa panggul harus pada posisi ekstensi 0˚, lutut mengunci pada posisi ekstensi 0˚ seda
ngkan pergelangan kaki dalam posisi netral 90˚. Pastikan berat badan tertumpu juga pad
a tungkai sisi yang sakit. Paralel bar yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang dipas
ang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan kaca setinggi tubu
h di depan paralel bar agar pasien dapat melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan
melakukan koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam paralel bar,
maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu tongkat yang ujung b
awahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak jarang diperlukan pe
respon splint kaki (dynamic foot orthosis) atau sepatu khusus.9
Biasanya stroke tanpa komplikasi dapat diajari turun dari tempat tidur 24 jam setela
h serangan, sedangkan bila ada komplikasi memerlukan waktu 2 minggu atau lebih. Pos
isi tegak harus segera dilakukan untuk meningkatkan toleransi berdiri dan meningkatkan
masukan sensori proproseptif ke susunan saraf pusat. Pada latihan ambulasi, mula-mula
penderita perlu pertolongan pada sisi yang sakit. Penolong memegangi penderita denga
n tangan yang satu di ketiak sedangkan tangan yang lain di belakang lutut untuk memba
ntu kaki melangkah ke depan, kemudian tangan dipindah ke depan lutut untuk mempert
ahankan lutut lurus saat menerima beban. Urutan gerakan pada waktu berjalan adalah se
bagai berikut: letakkan tongkat ke depan dengan tangan sehat, kemudian angkat kaki ya
ng lemah kedepan dan akhirnya pindah berat badan ke tongkat dan kaki sehat melangka
h kedepan. 6
Bila penderita sudah bisa berjalan, penggunaan brace perlu pertimbangan. Bila pe
nderita belum stabil waktu berjalan oleh karena kelemahan quadriceps perlu dipertimba
ngkan pemberian long leg brace. Long leg brace ini tidak nyaman sehingga penderita ti
dak suka memakainya. Short leg brace perlu dipertimbangkan bila terdapat flail pergela
ngan kaki.6
Latihan untuk anggota gerak atas sebaiknya segera dimulai.Biasanya anggota gera
k atas terkena lebih berat dari pada anggota gerak bawah. Sekitar 90% kasus tangan tida
k kembali normal.Tangan yang sehat diajari melakukan aktifitas hidup sehari-hari sepert
i berpakaian, menyisir rambut, mandi, toilet, mengenakan sepatu, menulis atau bekerja d
i dapur. Latihan penguatan pada otot-otot yang mengalami penyembuhan, dan latihan lu
as gerak sendi dan latihan koordinasi akan meningkatkan fungsi tangan. Untuk meningk
atkan koordinasi dan kekuatan tangan yang sakit dibuat bergerak sirkuler di atas meja d
engan sliding board. Over head pulley juga digunakan untuk meningkatkan reciprocal.
Setelah ada perkembangan penderita diajari mengambil obyek dari tekstur tangan dan b
entuk yang berbeda-beda. Latihan ini untuk meningkatkan fungsi tangan dan meningkat
kan luas gerak sendi bahu melawan gravitasi. Splint tangan dipertimbangkan bila terdap
at spastisitas yang menetap pada fleksor pergelangan tangan dan tangan.Jika anggota ge
rak atas tidak menunjukkan perbaikan kekuatan otot dan tetap flaccid atau spastik dalam
waktu 5-6 bulan, maka prognosis biasanya jelek.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Ginsberg, L. 2007. Lectures Notes: Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta :


Erlangga Medical Series
2. Dewanto George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit
Saraf. Jakarta. EGC
3. Hauser SL (eds). 2013. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine 3rd Edition.
McGraw Hill Education

4. PB IDI. 2014. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Primer Edisi Revisi Tahun 2014.

5. Ropper AH, Samuels MA, dan Klein JP. 2014. Adams and Victor’s Principles of
Neurology Tenth Edition. McGraw Hill Education

6. Laswati H dkk. 2013. Ilmu Kedokteran Fisik dan RehabilitasiEdisi 3. Surabaya:


FK UNAIR
7. Price S, Wilson L. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit
Edisi 6 Vol 2. Jakarta. EGC
8. Fonarow GC et al. 2012. Relationship Of National Institute Of Health Stroke
Scale To 30-Day Mortality Medicare Beneficiaries With Acute Ischemic Stroke.
Journal American Heart Association.
9. Wirawan, P. W., Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer. Maj
Kedokt Indon, Vol. 59, no. 2, hal: 65-70

Anda mungkin juga menyukai