Anda di halaman 1dari 38

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Manajemen Konstruksi


Menurut Nugroho (2001), proyek adalah sekumpulan kegiatan yang saling
berhubungan antara satu dengan lainnya, dengan menggunakan sumber daya dari
saat awal kegiatan dimulai sampai dengan pada saat akhir kegiatan untuk
memperoleh suatu manfaat tertentu, dimana penggunaan sumber daya dan
manfaatnya dapat diukur. Sedangkan, menurut BPS (1994), proyek konstruksi adalah
suatu kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatukan
dengan lahan tempat kedudukannya, baik digunakan sebagai tempat tinggal atau
sarana kegiatan lainnya. Kegiatan konstruksi meliputi perencanaan, persiapan,
pembongkaran, dan perbaikan/perombakan bangunan.
Pengertian manajemen konstruksi (construction management) yaitu
bagaimana cara agar sumber daya yang terlibat dalam proyek konstruksi dapat
diaplikasikan oleh manajer proyek secara tepat. Proyek konstruksi merupakan
rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka
waktu pendek. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, terdapat suatu proses yang
mengolah sumber daya proyek yang menjadi suatu hasil kegiatan yang berupa
bangunan. Karakteristik proyek konstruksi dapat dipandang dalam tiga dimensi yaitu
unik, melibatkan sejumlah sumber daya, dan membutuhkan organisasi (Ervianto,
2005).
Manajemen Proyek Konstruksi adalah merencanakan, mengorganisir,
memimpin, dan mengendalikan sumberdaya untuk mencapai sasaran jangka pendek
yang telah ditentukan (Soeharto, 1999). Menurut Soeharto (1999), tujuan dari proses
manajemen proyek adalah sebagai berikut :
1. Agar semua rangkaian kegiatan tersebut tepat waktu, dalam hal ini tidak
terjadi keterlambatan penyelesaian suatu proyek.
2. Biaya yang sesuai, maksudnya agar tidak ada biaya tambahan lagi di luar dari
perencanaan biaya yang telah direncanakan.
3. Kualitas sesuai dengan persyaratan.
4. Proses kegiatan sesuai persyaratan.

5
6

2.2 Metode Pelaksanaan Konstruksi


Metode pelaksanaan konstruksi beton dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Sistem Beton Konvensional
Menurut Novdin (2012), pengertian sistem beton konvensional adalah
metode pelaksanaan struktur yang dalam pelaksanaannya menggunakan bahan
tradisional kayu dan triplek sebagai formwork dimana pengecoran beton dilakukan di
tempat. Sistem beton konvensional ini sudah mulai ditinggalkan karena waktu
pelaksanaannya yang lama, kurang bersih, dan memerlukan tenaga kerja yang lebih
banyak.
2. Sistem Beton Pracetak
Menurut Dwi Dinariana (2013), pengertian konstruksi beton pracetak atau
precast adalah suatu konstruksi bangunan yang komponen bangunannya
dipabrikasi/dicetak terlebih dahulu di pabrik atau di lapangan, lalu disusun di
lapangan untuk membentuk satu kesatuan bangunan gedung. Produksi pracetak bisa
dilakukan di pabrik atau di site/lapangan, dimana jika dilakukan di lapangan
diperlukan lahan produksi/pabrikasi (Casting Area) yaitu suatu lahan degan luasan
tertentu yang dipersiapkan untuk tempat produksi komponen pracetak, yang dapat
dibuat di lokasi atau di tempat pabrikasi kuhsus di luar lokasi bangunan. Untuk
produksi pracetak diperlukan juga lahan penumpukan (Stocking Area) yaitu suatu
lahan dengan luasan tertentu yang dipersiapkan untuk tempat penumpukan
komponen pracetak sementara, sebelum disusun di lapangan untuk membentuk satu
kesatuan bangunan gedung.
Pemindahan komponen pracetak menuju lokasi lain/lokasi penumpukan
disebut sebagai kegiatan langsir dimana pekerjaan langsir ini biasa dilakukan dengan
bantuan alat berat crane seperti mobile crane atau tower crane. Dalam sistem beton
pracetak, komponen beton pracetak yang akan dipasang ini merupakan komponen
yang siap pakai sehingga tinggal disambung pada bagian struktur lain dan menjadi
sebuah struktur yang utuh. Biasanya proses pengecoran dan curing juga dilakukan di
pabrik. Dikarenakan proses pengecorannya dilakukan di pabrik/tempat khusus maka
mutu yang dihasilkan untuk setiap komponen dapat terkontrol/terjaga dengan baik.
Beton pracetak ini juga lebih efektif dan menguntungkan bila komponen diproduksi
secara massal (dalam jumlah yang banyak) sehingga akan lebih murah karena
dilakukan secara berulang dalam bentuk dan ukuran sesuai dengan yang diinginkan
serta dalam jumlah besar.
7

Sebenarnya beton pracetak tidak berbeda dengan beton biasa, hanya metode
pabrikasinya yang menjadikan beton pracetak ini berbeda. Alasan penggunaan beton
pracetak ini dianggap lebih ekonomis antara lain : mengurangi biaya pemakaian
bekisting, mereduksi biaya upah pekerja karena jumlah pekerja relatif lebih sedikit,
mereduksi durasi pelaksanaan proyek sehingga overhead yang dikeluarkan menjadi
lebih kecil (Ervianto, 2006:7). Selain itu, menurut Ervianto, bekerja di permukaan
tanah jauh lebih mudah dan lebih aman untuk dilakukan, seperti persiapan cetakan,
pengecoran, perapian permukaan, perawatan dan penggunaan bekisting yang dapat
berulang kali.
Sistem beton pracetak sendiri berdasarkan proses pelaksanaan di lapangan
dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu beton pracetak “partial precast” dan beton
pracetak “full precast”. Proses pembuatan/produksi komponen beton pracetak untuk
kedua sistem tersebut dapat dilakukan di pabrik/plant atau di lapangan/cast in place.

Gambar 2.1 Bagan Pekerjaan Beton Pracetak


(Sumber : Analisa Harga Satuan Pekerjaan Struktur Beton Pracetak
(2013:6))

Beton pracetak “partial precast” atau beton pracetak sebagian dalam


pelaksanaannya di lapangan diperlukan beberapa proses yaitu :
1. Proses pembuatan/produksi komponen beton pracetak.
2. Proses instalasi/perakitan/erection.
3. Proses sambungan/joint.
8

4. Proses topping (pengecoran sisa beton di permukaan komponen pracetak


setelah instalasi).
Sedangkan, beton pracetak “full precast” atau beton pracetak penuh dalam
pelaksanaannya di lapangan diperlukan beberapa proses yaitu :
1. Proses pembuatan/produksi komponen beton pracetak.
2. Proses instalasi/perakitan/erection.
3. Proses sambungan/joint.

2.3 Sejarah Pracetak


Penggunaan beton pracetak di Indonesia mulai populer saat diselesaikaannya
proyek Jembatan Semanggi di Jakarta oleh Ir.Sutami dan Ir.Rooseno pada tahun
1964. Menurut IAPPI (2008) dalam Focus Group Discussion , untuk penggunaan
pracetak rumah susun di Indonesia pertama kali di Rusun Sarijadi Bandung (1979)
dengan Sistem Brecast dari Inggris. Perkembangan sistem pracetak di era 1980
sampai dengan pertengahan 1990 masih didominasi oleh sistem pracetak dari luar
negeri seperti Sistem Cortina dari Meksiko yang diterapkan di Rumah Susun Klender
dan beberapa daerah lainnya seperti di Tanah Abang (Jakarta), Palembang, dan
Medan. Dari tahun 1979 hingga 1990 ini disebut sebagai generasi pertama sistem
pracetak Indonesia.
Tahun 1995, Perum Perumnas mulai melakukan pengembangan terhadap
pengadaan rumah susun sehingga kesempatan ini banyak digunakan oleh para pelaku
konstruksi Indonesia untuk mengembangkan sendiri sistem pracetak buatan dalam
negeri. Kemudian, dari tahun 1995 hingga 2002 disebut sebagai generasi kedua
sistem pracetak Indonesia. Sebagai contoh didirikannya Perumnas Cengkareng,
Otorita Batam, dan PT. Pelindo II.
Pada tahun 1996-2008 sistem pracetak pun terus dikembangkan dan
disesuaikan dengan kondisi Indonesia dalam hal ini seperti permasalahan alat berat
maupun transportasi dan juga mulai adanya keterlibatan pakar dalam negeri. Pada
tahun 2003, sebagai bagian dari Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah
(GN-PSR) maka adapun program rumah susun tersebut ditangani secara langsung
oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah melalui Ditjen Perkim dengan
Proyek Uji Coba Rusunawa Nasional. Seiring dengan adanya program percepatan
pembangunan rusuna pada tahun 2006, maka pihak-pihak yang terikat bersama
dengan industri pracetak mengembangkan dan melakukan pengujian terhadap sistem
9

pracetak tahan gempa untuk rumah susun sederhana bertingkat tinggi sehingga dapat
turut mendukung program yang sedang berlangsung saat itu. Secara teknis, pada
tahun yang sama sistem pracetak juga dikembangkan agar mampu diterapkan pada
bangunan tinggi dan dapat pula diterapkan tidak hanya pada struktur bangunan saja,
namun ke arah arsitektur bangunan.
Penerapan sistem pracetak ini pun terbukti handal diterapkan di lapangan
dalam mendukung pembangunan rumah susun dan rumah sederhana yang dapat
mengatasi berbagai permasalahan teknis di lapangan dan telah menghasilkan puluhan
sistem pracetak yang telah dipatenkan dan diterapkan secara aktif sampai ke daerah
terpencil. Sampai saat ini telah muncul lebih dari 30 sistem pracetak di Indonesia
yang dapat diterapkan baik untuk bangunan bertingkat sedang sampai tinggi.
Adapun penerapan sistem pracetak di Indonesia dari tahun 1979-2006 antara
lain : Rusunawa Cengkareng, Rusunawa Tanjung Piayu Batam, Rusunawa Otorita
Batam di Muka Kuning, Rusunawa Pemda DKI di Marunda, Rusunawa Medan,
Rusunawa Tanjung Balai, Rusunawa Mukakuning Batam, Rusunawa Cingised
Bandung, Rusunawa Nunukan Kal-Tim, Rusunawa Undip Semarang. Sejak tahun
1979-2008 telah dibangun rusunawa yang menggunakan sistem pracetak sebanyak
240 blok atau 24.244 unit. Dengan kata lain, sekitar 75% dari seluruh rusuna yang
dibangun di Indonesia 99% dari jumlah rusuna yang dibangun di Indonesia selama 4
tahun terakhir telah memanfaatkan teknologi pracetak.

Gambar 2.2 Penyebaran Penerapan Sistem Pracetak untuk Bangunan Gedung


(Sumber : IAPPI, 2008. Sistem Pracetak Dalam Menunjang Program
Pembangunan Rumah Susun Sederhana dan Rumah Sederhana Sehat)
10

Gambar di atas menunjukkan penyebaran penerapan sistem pracetak di


Indonesia (dari Banda Aceh sampai Jayapura) untuk bangunan gedung. Dari
keseluruhan lokasi pembangunan, berdasarkan evaluasi dan penelitian yang telah
dilakukan terbukti bahwa dari segi biaya sistem pracetak tidak ada yang melampaui
biaya dari sistem konvensional. Sehingga dapat dikatakan sistem pracetak terbukti
ekonomis karena biayanya lebih murah dibanding sistem konvensional.

2.4 Klasifikasi Sistem Pracetak


Sistem pracetak dibagi menjadi 2 kategori yaitu :
1. Sebagai komponen struktur
Penggunaan beton pracetak ini tidak hanya digunakan pada bangunan gedung
namun dapat digunakan pula pada struktur bangunan lain yaitu :
a. Tiang pancang.
b. Sheet pile dan dinding diaphragma.
c. Girder jembatan dan jalan layang.
d. Turap.
e. Pelat lantai pracetak.
Bentuk yang umum digunakan adalah pelat prategang berongga (hollow
core slab).
f. Balok beton pracetak dan balok beton pratekan pracetak.
g. Panel-panel dinding.
h. Komponen pracetak lainnya : tangga, panel-panel pentup, dan unit-unit
beton pracetak lainnya sesuai dengan desain dari arsitek.
2. Sebagai sistem struktur
Sistem pracetak semakin berkembang setelah munculnya berbagi inovasi
sebagai sistem struktur yang dapat dikategorikan menjadi 36 sistem
berdasarkan data dari IAPPI tahun 2011:

Tabel 2.1 Daftar Sistem Pracetak di Indonesia


No Nama Sistem Produsen Tahun
1 MPS SYSTEM PT.MEITAMA ABADI 2011
2 CIRCON SYSTEM PT. ANUGERAH PUTRA NOBAS 2011
3 CLIPCON SYSTEM PT. SINERGY PRACON 2011
NUSANTARA
11

Lanjutan Tabel 2.1


No Nama Sistem Produsen Tahun
4 JOINT APBN SYSTEM Pusat Penelitian dan Pengembangan 2010
Permukiman, Balitbang, Kementrian
Pekerjaan Umum
5 Kencana System PT. Kencana Precast 2010
6 TRINITY SYSTEM PT. PRIMA USAHA TRINITY 2010
7 RB-CON SYSTEM PT. PRIMA JAYA PERSADA 2010
8 BKP SYSTEM PT. BANGUN KHARISMA PRIMA 2010
9 W-PLUS SYSTEM PT. CIPTA JAYA FADHILAH 2010
10 MANARA SYSTEM PT. MANARA INDAH 2010
11 SAKORI SYSTEM Saudara Dedi P. Putra 2008
12 Highrise Building System P.T. Dantosan Precon Perkasa 2008
13 SISTEM PRECAST “Rigid P.T. Hiper Concrete Precast Structure 2010
Joint Precast (RJP)” Industry
14 ERDEA SYSTEM P.T. ERDEA 2009
15 DDC (DOUBLE DOWEL PT.HARIS JAYA UTAMA 2009
CONNECTION) SYSTEM
16 JHS SYSTEM COLUMN P.T. JHS PRECAST CONCRETE 2009
BEAM SLAB G3 INDONESIA
17 ORICON (OVAL RING PT. VALTEK KARSATAMA 2009
CONNECTION) SYSTEM
18 TRICON 3 – JUPITER P.T. TRIBINA PRIMA LESTARI 2009
SYSTEM
19 VIRTU SYSTEM PT. TOTAL BOANERGES 2009
INDONESIA
20 BI-PLATE SYSTEM PT. WIDYA SATRIA 2009
21 KOTAPARI SYSTEM PT. BUANA CONSTRUCTION 2008
22 JHS SYSTEM COLUMN P.T. JHS Precast Concrete Indonesia 2008
BEAM SLAB G3
SYSTEM
23 Interior Less Moment P.T. RIYAH PERMATA ANUGRAH 2008
Connection – High Rise DAN P.T. BINANUSA PRACETAK
System (LMC-HRS) DAN REKAYASA
24 TRICON L 10 SYSTEM P.T. TRIBINA PRIMA LESTARI 2007
25 WASKITA PRECAST 07 P.T. Waskita Karya dan Ir. 2007
SYSTEM Prijasambada, MM.
26 JAVA PERKASA P.T. Java Perkasa dan Ir. Prijasambada, 2007
PRECAST 07 SYSTEM MM.
27 SYSTEM Sambungan P.T. Hutama Karya 2007
Balok & Kolom HK
PRECAST
28 PLATCON PRECAST 07 P.T. Rang Pratama dan Ir. Sutadji 2007
SYSTEM Yuwasdiki, Dipl. E. Eng.
29 TBR-J SYSTEM P.T. Tata Bumi Raya dan Ir. Junaedi 2008
ME
30 DPI SYSTEM P.T. DANIA PRATAMA 2009
INTERNASIONAL
12

Lanjutan Tabel 2.1


No Nama Sistem Produsen Tahun
31 CCP (COUPLE COMB P.T. Victory Sena Utama 2008
PLATE) SYSTEM
32 KW SYSTEM P.T. KUMALA WANDIRA 2008
33 Well Conn System P.T. BORNEO SAKTI 2008
34 PPI SYSTEM P.T. Pacific Prestress Indonesia 2007
35 Sistem Struktur Beton P.T. Wijaya Karya Beton 2007
Pracetak WITON-SC
36 C-PLUS SYSTEM Pusat Penelitian dan Pengembangan 2006
dan Permukiman, Balitbang,
Kementrian Pekerjaan Umum

Sistem pracetak yang digunakan pada penelitian ini adalah Sistem DPI. Setiap
komponen pracetak untuk bangunan bertingkat yang terdiri dari komponen kolom,
balok, dan pelat ini dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan
sebuah sistem sambungan tertentu. Untuk setiap sistem pracetak memiliki beberapa
perbedaan pada bagian sambungannya atau cara rangkai di sambungan/joint yang
berbeda. Model sambungan yang ada antara lain dengan menggunakan baut,
pengelasan, angkur besi, angkur strand, mechanical joint, dll. Penggunaan/pemilihan
sambungan ini tentunya dipilih berdasarkan kriteria kekuatan dan kemudahan dalam
pelaksanaan. Namun, keseluruhan dari sistem pracetak ini memiliki mutu/kekuatan
yang tidak jauh berbeda.

2.4.1 Sistem Pracetak DPI


Sistem DPI ini merupakan suatu sistem struktur rangka terbuka (open frame)
yang mampu mengikuti desain arsitektural dan mempunyai keunikan pada lokasi
penyambungan komponen balok dan kolom pada titik kumpul di atas kolom. Sistem
ini dapat diterapkan baik pada bangunan tingkat rendah maupun bangunan tingkat
tinggi hingga 10 lantai.

2.4.1.1 Komponen Pracetak Sistem DPI


Menurut Laporan ‘Metode Pelakasanaan Precast Sistem DPI’ yang
dikeluarkan oleh PT. DANIA PRATAMA Int., ada 3 komponen yang terdapat pada
Sistem DPI ini antara lain :
13

1. Komponen kolom (Column Component)


Pada bagian bawah komponen kolom dibuat lubang yang berfungsi sebagai
tempat stek dari poer pile cap dan kolom bawah. Lubang tersebut dibelokkan
ke sisi kolom tempat menyalurkan bahan grouting. Pada bagian atas
komponen kolom terdapat stek kolom untuk menyambung kolom, titik
kumpul, dan kolom bawah ke bagian kolom atas.

Gambar 2.3 Komponen Kolom


(Sumber : PT.Dania Pratama Int.)

2. Komponen balok (Beam Component)


Komponen balok merupakan balok satu bentang (dari satu kolom ke kolom
yang lain) yang selanjutnya disambung pada ujung komponen titik kumpul.
Pada komponen balok, terdapat lubang coakan yang berbentuk huruf W
hingga seperempat bentang dari panjang total balok dinamakan balok W-
shell. Pada penginstalan komponen balok harus presisi sehingga tidak
terjadinya pergeseran letak balok dan harus menumpu pada komponen kolom
bawah. Dengan demikian, tinggi komponen balok (ketika dicetak) harus
berkurang setebal rencana pelat lantai (mis: 12 cm).
14

Gambar 2.4 Komponen Balok


(Sumber : PT.Dania Pratama Int.)

3. Komponen pelat (Slab Component)


Ketiga komponen ini dapat diproduksi baik di pabrik maupun di lapangan.
Selain itu, dapat pula diproduksi secara massal (mass product) dengan cepat dan
kualitas permukaan beton yang dihasilkan rapi.

2.4.1.2 Keuntungan Sistem Pracetak DPI


Menurut Laporan ‘Metode Pelakasanaan Precast Sistem DPI’ yang
dikeluarkan oleh PT. DANIA PRATAMA Int., keuntungan pada Sistem DPI ini
antara lain :
1. Mudah dan cepat dalam pemasangan serta rapi.
2. Kekuatan struktur sambungan pada titik kumpul terjamin karena sambungan
tersebut diikat dengan tulangan mutu fy = 390 MPa.
3. Sistem struktur menjadi lebih fleksibel mengikuti desain arsitekturnya, karena
balok dipasang penuh pada satu bentang sehingga penempatan kolom praktis
dapat didesain lebih mudah dan rapi.
4. Sambungan balok pada daerah titik kumpul didesain lebih praktis sehingga
tidak dijumpai lagi penumpukan tulangan pada titik kumpul.
5. Penggunaan material besi yang tidak terlalu beragam mengakibatkan biaya
struktur relatif murah dibanding dengan sistem konvensional ataupun sistem
precast lainnya.
15

Berdasarkan Analisa Perhitungan Struktur Pracetak Sistem DPI, pembebanan


struktur yang diperhitungkan pada sistem ini yaitu :
1. Beban pasangan dinding bata ringan : 2 kN/m2
2. Beban hidup : 2 kN/m2
3. Beban watertank : 12 m3
4. Beban super dead load : 1,2 kN/m2
- Adukan semen : 0,42 kN/m2
- MEP : 0,3 kN/m2
- Penutup lantai : 0,24 kN/m2
- Penutup langit-langit : 0,04 kN/m2
- Lain-lain : 0,2 kN/m2
Acuan normatif yang digunakan dalam sistem ini adalah :
1. PUBI-1982, Peraturan Umum Bahan Bangunan di Indonesia.
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.60/PRT/1992, Persyaratan Teknis
Pembangunan Rumah Susun.
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2007, Pedoman Teknis
Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi.
4. SNI 03-1727-1987, Tata cara Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan
Gedung atau Penggantinya.
5. SNI 03-1726-2012, Tata cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur
Bangunan Gedung dan Non Gedung.
6. SNI 03-1726-2002, Tata cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Bangunan Gedung.
7. SNI 7832:2012, Tata cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Beton
Pracetak untuk Konstruksi Bangunan Gedung.
8. SNI 7833:2012, Tata cara Perancangan Beton Pracetak dan Beton Prategang
Untuk Bangunan Gedung.
9. SNI 7834:2012, Metode Uji dan Kriteria Penerimaan Sistem Struktur dengan
Rangka Pemikul Momen Beton Bertulang Pracetak Untuk Bangunan Gedung.

2.5 Tahapan Konstruksi Beton Pracetak


Pelaksanaan konstruksi beton pracetak pada umumnya mengikut tahapan-
tahapan sebagai berikut :
1. Tahap Desain
16

Tahap ini merupakan proses perencanaan beton pracetak dengan mendesain


sesuai dimensi, kuat tekan, dan jumlah yang diinginkan. Persyaratan yang
harus dipenuhi dalam tahap ini yaitu syarat kekuatan, kekakuan, dan
kestabilan pada masa layan. Menurut Ervianto, tahap perencanaan dalam
penerapan teknologi pracetak merupakan kegiatan kritis. Hal ini karena pada
tahap ini harus mempertimbangkan, memperkirakan, dan mengendalikan
berbagai proses kegiatan. Perencanaan ini diawali dengan tahap konseptual
sampai dengan selesainya pelaksanaan pekerjaa dan dikatakan kritis karena
teknologi pracetak ini tidak mudah disesuaikan dengan perubahan yang
terjadi sewaktu-waktu. Berdasarkan penelitian (Ervianto, 1997)
keterlambatan proyek sering terjadi karena adanya perubahan desain. Oleh
karena itu, desain dari komponen modular harus disetujui lebih dahulu untuk
menghindari perubahan yang mungkin dapat menyebabkan meningkatnya
biaya proyek dan keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.
2. Tahap Produksi
Tahapan ini dimulai dengan menyiapkan landasan cetakan. Kemudian,
menyiapkan dan membuat cetakan untuk masing-masing komponen. Setelah
cetakan telah tersedia, dapat dilanjutkan dengan kegiatan pembesian
(pembuatan dan pemasangan bekisting/tulangan). Proses pengecoran beton
pada komponen kolom, balok, dan pelat pun dapat dilaksanakan setelah
langkah-langkah di atas terpenuhi. Dalam tahap ini harus diperhatikan pula
kekuatan mutu beton yang ingin dicapai. Kemudian, dilakukan proses
pembongkaran cetakan komponen (de-moulding) setelah kekuatan mutu
beton yang diinginkan tercapai. Hal ini bertujuan agar kualitas komponen
struktur beton yang didapat memiliki kualitas yang baik dan sesuai sehingga
kekuatan struktur bangunan yang didapatkan juga optimal (Buletin Cipta
Karya, 2012). Tahapan terakhir yaitu curing (perawatan) beton. Produksi
pracetak ini dapat dilakukan baik di site maupun di luar site.
17

Gambar 2.5 Alur Produksi Beton Pracetak


(Sumber : www.ilmutekniksipil.com)

Gambar 2.6 Menyiapkan Tulangan


18

Gambar 2.7 Merakit Tulangan

Gambar 2.8 Cetakan untuk Komponen Pracetak

Menurut Ervianto, adapun beberapa persyaratan yang harus diperhatikan


sebagai suatu cetakan beton pracetak antara lain :
- Mempunyai volume yang stabil, sehingga dapat dihasilkan dimensi
beton pracetak yang akurat.
- Dapat digunakan berulang kali tanpa mengeluarkan biaya perawatan
yang berarti.
- Mudah dipindahkan dan rapat air sehingga tidak memungkinkan air dan
agregat keluar dari cetakan.
- Mempunyai daya lekat yang rendah dengan beton dan mudah
membersihkannya.
- Dapat digunakan untuk memproduksi berbagai bentuk komponen beton
pracetak (fleksibel).
19

Gambar 2.9 Menyiapkan dan Memasang Tulangan dalam Cetakan Komponen


Pracetak

Gambar 2.10 Pemasangan tulangan dan beton decking


20

Gambar 2.11 Pengecoran Komponen Pracetak

Gambar 2.12 Slump Test

Gambar 2.13 Membuat Benda Uji (Sampling)


21

Gambar 2.14 Pembongkaran Beton Pracetak

Menurut Ervianto, hal-hal yang perlu diperhatikan pada tahap produksi yaitu
penentuan prioritas, komponen yang akan lebih dahulu dipabrikasi tentu
harus disesuaikan dengan rencana kerja dan metode kerja yang direncanakan.
Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi antara pabrikator dan instalator untuk
mencapai kesesuaian pemilihan komponen yang harus diproduksi terlebih
dahulu. Selain itu, area produksi juga harus tertata dengan baik dan perlu
diperhatikan pula proses pengecoran, perawatan beton, dan penyimpanan
komponen beton pracetak.
3. Tahap Pascaproduksi
Tahap ini terdiri dari :
a. Tahap penanganan (Handling)
Handling adalah pemindahan komponen precast dari moulding
(bekisting) sampai pada tahap pemasangan. Selama proses handling
perlu diperhitungkan kekuatan elemen pracetak dari berbagai macam
cara handling yang ada dan alat bantu handling yang digunakan
sehingga komponen pracetak aman dan tidak rusak.
22

Gambar 2.15 Pemindahan Komponen Pelat Pracetak dari Cetakan

Gambar 2.16 Pemindahan Komponen Balok Pracetak dari Cetakan

Gambar 2.17 Komponen Pracetak di Lahan Penumpukan


23

Gambar 2.18 Proses Pemindahan Komponen Pracetak ke Lahan Penumpukan

b. Tahap penyimpanan (Storage)


Penyimpanan sebaiknya dilakukan di dua tumpuan saja/dekat lokasi
titik angkut. Jika direncanakan ditaruh lebih dari dua tumpuan, harus
dijamin seluruhnya kontak dengan elemen.

Gambar 2.19 Penyimpanan Komponen Pelat Pracetak

c. Tahap penumpukan (Stocking)


Yang perlu diperhatikan dalam tahap penumpukan ini antara lain :
- Ketersediaan lahan untuk menumpuk komponen precast.
- Merencanakan dan mengontrol jumlah tumpukan.
24

Gambar 2.20 Gambar Penumpukan Komponen Precast

d. Tahap pengiriman (Transport)


Tahap ini merupakan tahap pengangkatan komponen elemen pracetak
dari pabrik ke lokasi pemasangan dan harus dilakukan dengan hati-hati.
Tahap/sistem transportasi ini akan berpengaruh terhadap waktu,
efisiensi konstruksi, dan biaya transport.
Yang perlu diperhatikan pada tahap transportasi ke lapangan antara lain
spesifikasi alat transport (lebar, tinggi, beban maksimum, dimensi
elemen, dan kapasitas alat pengangkut), route transport (jarak, lebar
jalan, kepadatan lalu lintas, ruang bebas bawah jembatan), dan perijinan
dari instansi yang berwenang. Pemilihan jenis, ukuran, dan kapasitas
alat angkut dan angkat seperti tower crane akan mempengaruhi
ukuran/dimensi dan berat dari komponen pracetak itu sendiri.

Gambar 2.21 Contoh Gambar Pengiriman Komponen Precast


25

e. Tahap pemasangan (Site Erection)


Setelah komponen pracetak telah tersedia, maka komponen pracetak
tersebut dapat segera dipasang sesuai dengan sistem/metode pracetak
yang digunakan dimana masing-masing komponen dirangkai dengan
sambungan (joint) tertentu. Proses ini disebut dengan erection, yaitu
kegiatan/proses yang dilaksanakan untuk menyatukan komponen-
komponen bangunan beton pracetak yang telah dicetak dengan standar
kualitas yang terjaga menjadi bagian dari bangunan (Try Puji, 2011).
Selama proses pemasangan (erection) berlangsung, hal-hal yang perlu
diperhatikan antara lain kelurusan, elevasi, posisi, dan kerataan sesuai
dengan toleransi yang diijinkan. Pada tahapan pemasangan dapat
digunakan alat angkut/angkat berupa mobile crane/tower crane. Selain
itu, digunakan pula alat bantu sebagai penopang sementara untuk beton
pracetak yaitu scaffolding.
Jumlah sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk satu team erection
rata-rata adalah lima orang : dua orang berada di permukaan tanah, dua
orang berada di lokasi komponen pracetak akan ditempatkan untuk
melakukuan penyetelan atas unit pracetak/precast, dan satu orang
sebagai pengendali crane. Jumlah tersebut akan bertambah jika
dibutuhkan pekerja las dan grouting (Ervianto, 2006).

Gambar 2.22 Alat Bantu Scaffolding Sebagai Alat Bantu Sementara


26

Gambar 2.23 Contoh Pekerjaan Pemasangan (Erection) Komponen Precast

2.6 Metode Pemasangan


Proses penyatuan elemen pracetak pada bangunan yang berupa beton pracetak
yang telah diproduksi dan layak (cukup umur) untuk disatukan menjadi bagian dari
bangunan disebut erection (Wulfram, 2006).
Ada 2 metode pemasangan (erection) beton precast menurut Ervianto yaitu :
1. Metode Vertikal
Yaitu kegiatan penyatuan komponen beton pracetak yang dilaksanakan pada
arah vertikal struktur bangunan yang mempunyai kolom menerus dari lantai
dasar hingga lantai paling atas, dengan cara demikian maka sambungan-
sambungan pada lantai di atasnya harus dapat segera bekerja secara efisien.
Selama proses erection, untuk bangunan yang mempunyai ketinggian tertentu
harus ditopang oleh struktur sementara (bracing) yang berfungsi untuk
menahan gaya-gaya yang timbul selama erection. Pada umumnya,
pemasangan bracing ini tidak mengalami kesulitan, namun membutuhkan
waktu untuk pelaksanaannya sehingga menambah durasi/waktu erection.
2. Metode Horisontal
Yaitu kegiatan penyatuan komponen beton pracetak yang pelaksanaannya
dilakukan tiap satu lantai (arah horizontal bangunan). Metode ini digunakan
untuk struktur bangunan yang terdiri dari komponen komponen kolom
precast dengan sambungan pada tempat-tempat tertentu. Sambungan pada
metode ini tidak harus segera dapat berfungsi sehingga tersedia waktu yang
27

cukup untuk pengerasan beton. Sambungan yang cocok untuk metode ini
adalah in-situ concrete joint.

2.7 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pracetak


Menurut Permen Penerapan Sistem Pracetak, kelebihan atau keunggulan dari
metode/teknologi beton pracetak ini antara lain :
1. Sistem ini memiliki quality control/pengendalian mutu yang baik :
a. Komponen diproduksi di tempat khusus di pabrik sehingga proses
produksi menjadi mudah dan hasil produksi dapat terkontrol dengan
baik. Hal ini berpengaruh pada kualitas konstruksi dan kehandalan
struktur yang lebih terjamin.
b. Pemasangan komponen yang presisi (ketelitian cukup tinggi) sehingga
akan menjamin kualitas struktur yang dihasilkan sehingga memudahkan
proses pemasangan/install komponen di lapangan.
2. Waktu pelaksanaan yang cepat/lebih singkat :
a. Adanya kegiatan yang dapat dilakukan secara paralel dimana
pelaksanaan pekerjaan struktur bawah (pondasi) dapat dilakukan
bersamaan dengan kegiatan produksi komponen beton pracetak.
b. Pekerjaan struktur atas dapat dilakukan bersamaan dengan pekerjaan
finishing arsitektur.
3. Lebih ramah lingkungan :
a. Lebih bersih karena limbah material hampir tidak ada.
b. Proses produksi dilakukan di pabrik sehingga mengurangi kebisingan di
lapangan (meminimalkan gangguan polusi suara dan udara).
4. Lebih ekonomis terhadap biaya :
a. Mengurangi biaya pembangunan karena adanya pengurangan
penggunaan cetakan dan alat perancah seperti scaffolding.
b. Angka keamanan yang digunakan lebih efisien dalam perencanaan
karena kontrol kualitas yang lebih baik dan terjamin.
c. Produktivitas tenaga kerja di lapangan lebih tinggi .
d. Penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit.
e. Waktu konstruksi total menjadi lebih singkat.
5. Penggunaan material optimum
28

Penggunaan cetakan beton dapat digunakan secara berulang-ulang sehingga


dapat dikatakan ekonomis dan optimum dalam penggunaan materialnya.
Menurut Orry Giovanni (2008), kekurangan atau kerugian dari
metode/teknologi beton pracetak ini antara lain :
1. Produksi tipe elemen dalam jumlah sedikit menjadi tidak ekonomis.
2. Diperlukan kemahiran dan tingkat ketelitian yang tinggi (presisi) agar
memudahkan proses pemasangan (erection) komponen di lapangan.
3. Diperlukan lahan yang cukup untuk pembuatan (pabrikasi) dan penumpukan
(stocking yard).
4. Hanya dapat dilakukan di daerah yang sudah tersedia peralatan untuk
handling dan erection.
Sedangkan, kekurangan metode/teknologi beton pracetak menurut Ervianto
antara lain :
1. Transportasi
Setelah proses produksi beton pracetak yang dilaksanakan di pabrik selesai
maka akan dilanjutkan dengan proses pemindahan hasil produksi ke lokasi
pekerjaan. Proses pemindahan elemen beton pracetak dari lokasi pabrik
menuju lokasi proyek membutuhkan biaya tambahan untuk pengadaan alat
bantu yang digunakan untuk mengangkat elemen tersebut ke dan dari mode
transportasi yang dipakai sebagai alat angkut. Proses ini harus direncanakan
di awal proses perencanaan bentuk dan desain beton pracetak agar komponen
tersebut dapat dipindahkan ke lokasi pekerjaan. Faktor penting yang
dipertimbangkan adalah dimensi dan berat setiap komponen yang harus
sesuai dengan ketersediaan alat angkat dan alat angkut. Data mengenai
ketersediaan alat angkat dan angkut ini akan sangat membantu perencana
komponen untuk menghasilkan desain yang layak angkat dan angkut. Mode
transportasi yang digunakan pada umumnya adalah truk bak terbuka. Dimensi
dan berat dari elemen beton pracetak sangat dipengaruhi oleh kemampuan
alat angkut serta kemudahan transportasinya.
2. Erection
Penggunaan teknologi beton pracetak selalu melewati proses yang disebut
erection, yaitu tahap penyatuan elemen beton pracetak menjadi satu-kesatuan
yang utuh sehingga membentuk suatu bangunan. Pada proses ini pihak
pelaksana proyek dituntut untuk menyediakan alat bantu instalasi, misalnya
29

sebuah crane yang mampu mengangkat dan memindahkan elemen beton


pracetak sehingga terpasang pada posisi yang seharusnya. Penyediaan alat
bantu ini membutuhkan biaya yang relatif besar sehingga jika teknologi ini
akan diterapkan pada sebuah bangunan maka harus dikaji efisiensi biayanya,
antara penyediaan alat bantu dengan nilai proyek itu sendiri. Kajian yang
detail tentang volume pekerjaan beton pracetak dengan biaya pengadaan alat
bantu instalasi dapat digunakan sebagai bahan untuk memutuskan metode
yang akan digunakan. Apabila volume pekerjaan kurang memadai maka akan
mengakibatkan biaya konstruksi menjadi mahal.
3. Connection
Dalam usaha menyatukan elemen-elemen beton pracetak dibutuhkan suatu
konstruksi tambahan yang mampu meneruskan semua gaya-gaya yang
bekerja dalam setiap elemen. Yang dimaksudkan penyatuan di sini adalah
penyatuan material beton dan material baja yang menjadi bagian utama dari
struktur beton bertulang. Kendala yang timbul adalah bagaimana menentukan
jenis sambungan yang mampu mengantisipasi semua gaya yang terjadi
sehingga perilaku struktur dapat menyerupai struktur beton bertulang dengan
proses konstruksi tradisional. Untuk mengaplikasikan alat sambung yang
betul-betul sempurna dibutuhkan biaya yang relatif mahal.

2.8 Jenis Sambungan Komponen Beton Pracetak (Sistem Joint)


Hal utama dan terpenting yang harus diperhatikan pada sistem pracetak
adalah sambungan/joint antara komponen pracetak karena konstruksi beton pracetak
cukup berbahaya terutama pada daerah sambungannya khususnya untuk daerah yang
sering terjadi gempa. Sambungan antara komponen beton pracetak yang biasa
digunakan dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Sambungan Kering (Dry Joint/Connection)
Sambungan ini dikenal pula dengan sebutan sambungan keras. Pada
sambungan ini, komponen beton pracetak akan disambung/dihubungkan
dengan suatu pelat penahan yang terbuat dari baja dimana dilakukan dengan
menggunakan sambungan las/baut.
Menurut Reza Prastowo (2012), jenis sambungan kering ini dibedakan
menjadi dua jenis :
30

- Sambungan las, yaitu menggunakan pelat baja yang nantinya


ditanamkan pada komponen beton pracetak yang akan disambung.
Kemudian kedua pelat akan disambung dengan las. Setelah pekerjaan
pengelasan selesai dilakukan, pelat sambung tersebut dapat ditutup
dengan adukan beton untuk melindungi pelat dari korosi.
- Sambungan baut, dimana penyambungannya juga memerlukan pelat
baja di kedua elemen yang akan disambung dan pelat tersebut nantinya
juga akan dicor dengan adukan beton.
Sambungan kering ini menjadikan komponen beton pracetak berperilaku
tidak monolit (Orry Giovanni, 2008)
2. Sambungan Basah (Wet Joint/Connection)
Pada sistem ini, bagian sambungan dilakukan pengecoran beton di tempat (in
situ concrete joint). Elemen pracetak yang sudah berada di tempatnya akan
dicor di bagian ujungnya untuk menyatukan elemen satu dengan yang lain
agar menjadi satu kesatuan yang monolit. (Ervianto, 2006). Sambungan basah
ini dianjurkan untuk digunakan pada bangunan yang berada di daerah rawan
gempa karena dapat menjadikan masing-masing komponen beton pracetak
berperilaku monolit. (Orry Giovanni, 2008).

2.8.1 Pertemuan Kolom dan Balok


Pertemuan antara kolom pracetak dan balok pracetak harus dilakukan
grouting. Grouting ini dapat dilakukan setelah komponen kolom dan balok pracetak
berada pada posisi yang benar.

Gambar 2.24 Menyiapkan Bekisting untuk Grouting Pertemuan Kolom dan Balok
31

Gambar 2.25 Grouting Untuk Pertemuan Kolom dan Balok

Gambar 2.26 Sambungan Kolom dan Balok Sebelum Dicor/Grouting

Gambar 2.27 Sambungan Kolom dan Balok Setelah Dicor/Grouting


32

2.8.2 Pertemuan Balok dan Pelat


Pertemuan antara balok pracetak dan pelat pracetak harus dilakukan grouting.
Grouting ini dapat dilakukan setelah komponen kolom dan balok pracetak berada
pada posisi yang benar.

Gambar 2.28 Pertemuan Balok dan Pelat Sebelum Dicor/Grouting

Gambar 2.29 Pertemuan Balok dan Pelat Setelah Dicor/Grouting


33

2.8.3 Pertemuan Kolom dan Kolom


Pertemuan antara kolom pracetak dan kolom pracetak harus dilakukan
grouting. Grouting ini dapat dilakukan setelah komponen kolom dan kolom pracetak
berada pada posisi yang benar. Bahan grouting ini dimasukkan melalui pipa grouting
yang terdapat pada komponen kolom.

Gambar 2.30 Grouting pada Bagian Bawah Kolom

Gambar 2.31 Bahan Grouting dimasukkan Melalui Pipa Grouting


2.9 Proses Pekerjaan Installment
Menurut David (2007), proses pekerjaan install komponen pracetak dibagi
menjadi beberapa tahapan :
34

1. Pekerjaan Persiapan
Pekerjaan pada saat kabel crane mulai dipegang/diambil oleh pekerja untuk
dikaitkan pada beton pracetak sampai pekerja memberi tanda kepada operator
crane untuk mulai memindahkan. Tahap ini dikenal dengan proses pengaitan.

Gambar 2.32 Kabel Crane Dikaitkan pada Komponen Pelat Pracetak

2. Perpindahan
Pekerjaan pada saat crane mulai mengangkat lalu memindahkan beton sampai
dengan beton pracetak ditangkap/dipegang dengan posisi yang baik oleh para
pekerja/tukang yang telah bersiap di atas untuk melakukan proses install.
Tahap ini dikenal dengan proses distribusi (pemindahan komponen) dimana
proses ini terjadi pemindahan komponen dari stocking area ke lokasi
pemasangan.
35

Gambar 2.33 Proses Pemindahan Komponen Beton Pracetak

3. Install/Erection
Pekerjaan pemasangan beton pracetak dimulai dari posisi yang telah benar
sampai dengan beton terpasang termasuk juga pemasangan tiang-tiang
support sampai kabel crane dilepas. Tahap ini dikenal pula dengan proses
passing.

Gambar 2.34 Proses Install/Erection Beton Pracetak


36

4. Waktu Kembali
Proses perpindahan pada saat kabel crane dilepas sampai dengan posisi siap
untuk digunakan kembali pada pekerjaan persiapan/kembali ke stocking area.

2.10 Metode Statistika


Statistika adalah ilmu yang berhubungan dengan pengumpulan data
(collecting), analisis data (analyze) dan penafsiran data (interpreting). Definisi
statistika tersebut memberikan gambaran bahwa statistika merupakan ilmu yang
sangat erat berhubungannya dengan data. Sebelum melakukan proses, obyek
penelitian harus ditentukan terlebih dahulu karena kesalahan dalam menentukan
obyek penelitian akan menghasilkan kesalahan dalam menyelesaikan persoalan
statistik. Setelah itu, dilanjutkan dengan melakukan proses statistik dengan langkah-
langkah sebagai berikut :
• Pengumpulan data (collecting)
Cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, misalnya melalui
angket/kuisioner, wawancara, informasi dari sumber, dan lain-lain.
• Analisis data (analyze)
Langkah ini diperlukan untuk memperoleh gambaran mengenai sebagian data
(sampel). Adapun konsep statistika yang dapat digunakan untuk proses
analisis ini, misalnya probabilitas, estimasi statistik, uji hipotesis dan
sebagainya.
• Penafsiran data (interpreting)
Hasil analisis dapat digunakan untuk membuat taksiran terhadap karakteristik
obyek yang diteliti. Penafsiran ini dapat berupa kesimpulan atau keputusan
statistik mengenai obyek yang diteliti tersebut.

2.10.1 Elemen Statistik


Adapun masalah dari persoalan statistik adalah menentukan populasi atau
sample suatu data. Definisi dari populasi adalah sekumpulan data yang
mengidentifikasi suatu fenomena atau suatu keseluruhan pengamatan atau obyek
yang menjadi perhatian kita. Sedangkan, sampel adalah sekumpulan data yang
diambil atau dipilih dari suatu populasi. Pada umumnya dalam sebuah penelitian
memakai sampel dan sangat jarang memakai populasi, alasannya ialah :
37

• Waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan data lebih singkat.


• Data yang diperlukan lebih sedikit.
• Data yang diperoleh lebih akurat.
• Dengan statistik inferensi dapat dilakukan generalisasi. Dalam hal hasil
perhitungan yang diperoleh dari sampel akan dipakai untuk mengumpulkan
karakteristik dari populasinya.
Statistik inferesnsi adalah suatu keputusan, perkiraan atau generalisasi tentang
suatu populasi berdasarkan pada informasi yang terkandung dalam suatu sampel. Jadi
apa yang disimpulkan dari analisis terhadap sampel, itu pula yang digeneralisasikan
(kesimpulan umum pada populasi). Dapat disimpulkan bahwa tujuan dari statistik
adalah melakukan deskripsi (penggambaran) terhadap data sampel, kemudian
melakukan inferensi terhadap populasi data berdasarkan pada informasi (hasil
statistik deskriptif) yang terkandung dalam sampel. Namun, karena sampel yang
diambil hanyalah sebagian dari populasi, maka bisa terjadi bias dalam kesimpulan
yang didapat. Maka, perlu diukur reabilitas (penyimpangan) dari setiap inferensi
yang telah dibuat seperti pelaporan adanya prediksi kesalahan terhadap suatu
keputusan.

2.10.2 Tipe Data Statistik


Berdasarkan pada tingkat pengukurannya (Level of Measurement), ada dua
jenis data, yaitu :
1. Data Kualitatif (Qualitative Data)
Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam ukuran kategori atau biasa
disebut dengan data yang bukan berupa angka.
2. Data Kuantitatif (Quantitative Data)
Data kuantitatif adalah nilai data yang dinyatakan dalam skala numeric atau
biasa juga disebut dengan data berupa angka dalam arti sebenarnya.

2.10.3 Aplikasi Ilmu Statistik


Aplikasi ilmu statistik dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
38

1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif merupakan ilmu statistika yang mempelajari cara-cara
pengumpulan, penyusunan, dan penyajian data dalam penelitian. Kegiatan
yang termasuk dalam kategori ini antara lain kegiatan pengumpulan data,
pengelompokkan data, penentuan nilai dan fungsi statistik, pembuatan grafik,
diagram, dan gambar. Tujuan utama dari statistik deskriptif adalah
memudahkan orang untuk membaca data dan memahami maksudnya.
2. Statistik Inferensi/Induktif
Statistik inferensi/induktif merupakan ilmu statistika yang mempelajari cara-
cara penarikan suatu kesimpulan dari suatu populasi tertentu berdasarkan
sebagian data (sampel) yang dikumpulkan. Tindakan inferensi tersebut
misalnya melakukan perkiraan, peramalan, pengambilan keputusan, dan
sebagainya.

2.10.4 Pengukuran Data Statistik


Pengukuran data statistik dalam penelitian ini menggunakan metode Z-Score
(Angka Baku). Z-score merupakan perbedaan antara raw score (skor asli) dan rata-
rata dengan menggunakan unit-unit simpangan baku untuk mengukur perbedaan. Z-
score mempunyai dua bagian :
1. Tanda (Bisa positif atau negatif).
2. Nilai Numerik.
Kondisi di atas rata-rata diberi tanda positif dan kondisi di bawah rata-rata
diberi tanda negatif. Nilai numerik Z-score diperoleh dari perbedaan antara nailai asli
dengan rata-ratanya dibagi dengan simpangan baku. Angka baku adalah ukuran
penyimpangan data dari rata-rata populasi. Z dapat bernilai nol (0), positif (+), atau
negatif (-).
• Z nol berarti data bernilai sama dengan rata-rata populasi.
• Z positif berarti data bernilai di atas rata-rata populasi.
• Z negatif bernilai di bawah rata-rata populasi.

Z = Angka Baku µ = Rata-Rata Populasi


X = Nilai Data σ = Simpangan Baku
39

Gambar 2.35 1 Sigma, 2 Sigma, dan 3 Sigma


(Sumber : http://classes.bus.oregonstate.edu/ba302/reitsma/process_variability.html)

Apabila menggunakan nilai 1 sigma, maka taraf eror yang ditoleransi adalah
1 - 68,26 % yaitu 31,74 % ; menggunakan nilai 2 sigma, maka taraf eror yang
ditoleransi adalah 1 - 95,44 % yaitu 4,56 %; dan menggunakan nilai 3 sigma, maka
taraf eror yang ditoleransi adalah 1 – 99,74 % yaitu 0,26 %.

2.10.5 Perhitungan Analisa Statistik Deskriptif


Dalam menganalisis statistik deskriptif dapat dibantu dengan program
Microsoft Excel. Langkah-langkah penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
- Ketik kasus yang akan diselesaikan pada menu Spreadsheet Excel.
- Kemudian pilih menu Tools.
- Kemudian klik Data Analysis.
- Klik statistik deskriptif seperti tampak pada gambar :
40

Gambar 2.36 Kotak Dialog Data Analysis pada Spreadsheet

- Klik OK.
- Tampak gambar sebagai berikut :

Gambar 2.37 Kotak Dialog Descriptive Statistics

- Mengisi menu-menu yang ada pada menu Descriptive Statistics.


- Jika semua sudah terisi, klik OK.
- Tampak Hasil Analisis :
41

Descriptive Output

Mean 25,4567
Standard Error 3,05398
Median 28,3667
Mode #N/A
Standard Deviation 6,82891
Sample Variance 46,634
Kurtosis -3,1663
Skewness -0,4762
Range 13,6
Minimum 17,8167
Maximum 31,4167
Sum 127,283
Count 5
Confidence Level(95,0%) 8,47921
Gambar 2.38 Output Descriptive Statistics

Penjelasan analisis di atas adalah sebagai berikut :


- Mean, artinya nilai rata-rata.
- Standard Error, artinya penyimpangan dari rata-rata sampel pada populasi.
- Median, artinya titik tengah.
- Mode, artinya data yang sering muncul.
- Standard Deviation
- Sample Variance, adalah kuadrat dari standar deviasi.
- Kurtosis, artinya tinggi rendahnya atau runcing datarnya bentuk kurva.
- Skewness (kemencengan)
- Range, artinya nilai maximum dikurangi nilai minimum.
- Minimum, artinya nilai terendah.
- Maximum, artinya nilai tertinggi.

2.11 Indeks
Menurut SNI 7832:2012 (Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan beton
pracetak untuk konstruksi bangunan gedung), arti indeks adalah faktor
pengali/koefisien sebagai dasar perhitungan biaya bahan dan upah kerja. Di dalam
SNI, indeks dibagi menjadi 2 yaitu indeks bahan dan upah kerja. Indeks bahan adalah
indeks kuantum yang menunjukkan kebutuhan bahan bangunan untuk setiap satuan
42

jenis pekerjaan. Sedangkan, indeks tenaga kerja adalah indeks kuantum yang
menunjukkan kebutuhan waktu untuk mengerjakan setiap satuan jenis pekerjaan.
Berdasarkan SNI 7832:2012 (Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan
beton pracetak untuk konstruksi bangunan gedung), terdapat persyaratan dalam
perhitungannya :
1. Persyaratan Umum
Persyaratan umum dalam perhitungan harga satuan :
- Perhitungan harga satuan pekerjaan berlaku untuk seluruh Indonesia,
berdasarkan harga bahan dan upah kerja sesuai dengan kondisi
setempat.
- Spesifikasi dan cara pengerjaan setiap jenis pekerjaan disesuaikan
dengan standar spesifikasi teknis pekerjaan yang telah dibakukan.
2. Persyaratan Teknis
Persyaratan umum dalam perhitungan harga satuan pekerjaan :
- Pelaksanaan perhitungan satuan pekerjaan harus didasarkan kepada
gambar teknis dan rencana kerja dan syarat-syarat (RKS).
- Perhitungan indeks bahan telah ditambahkan toleransi sebesar (5 s.d.
20) %, dimana di dalamnya termasuk angka susut, yang besarnya
tergantung dari jenis bahan dan komposisi adukan.
- Digunakan pada pekerjaan ereksi sampai dengan 5 lantai.
- Bekisting menggunakan kayu dan phenol film.
- Untuk analisa biaya beton yang tercantum di dalam SNI 7394:2008,
analisanya dapat disesuaikan dengan kondisi material setempat.
- Untuk analisa biaya beton yang tidak tercantum di dalam SNI
7394:2008, harus mengacu pada hasil rancangan campuran beton.
- Tenaga kerja harus mempunyai sertifikasi keterampilan di bidang
pracetak.
- Tenaga pelaksana pada Pasal 1 e) (tercantum dalam SNI 7832 : 2012)
yang dimiliki oleh perusahaan pemegang lisensi pracetak.
Jam kerja efektif untuk para pekerja diperhitungkan 5 jam per-hari.

Anda mungkin juga menyukai