Aku sadar banyak momen penting yang kulewatkan, dan aku tidak
menyesal. Dibenakku akan kulatih anak ku menjadi kuat, di kecewakan banyak
orang tidak menangis, berjuang sendiri tidak bersedih, menentukan pilihan dengan
percaya diri, dan tidak mengistimewakan ulang tahun seperti anak pada umumnya.
Kami berkomunikasi seperlunya, bertukar pikiran sesempatnya, tidak ada cerita
keluh kesah pelajaran di sekolah, tidak ada aduan tentang teman sekolah yang nakal,
kupikir mereka sudah bisa mengatasinya sendiri, dan ya kupikir aku berhasil
mendidik mereka. Seperti ibu yang tidak punya hati bukan?. Lain halnya dengan
suamiku, aku terkadang berkomunikasi dengan suamiku dengan memanfaatkan
kecanggihan handphone masa kini, kami mengirimkan pesan singkat lewat Line.
Sekedar hanya mengingatkan untuk jangan lupa makan dan sholat.
Sampai pada suatu hari, handphoneku berdering kring kring kring. Kulihat
nama jhon disana.
“Hallo Ma, mama sudah mau berangkat kerja? hari Sabtu besok ada acara
wisudaku ma, wali murid di undang semua ke sekolah, surat undangannya
aku taruh di meja biasanya, tapi sepertinya mama belum baca, apa mama
bisa datang?” kata jhon lirih.
“iya dek mama datang kalau gak ada cito ya.” jawabku
Putra pertama ku tiba-tiba menelepon meminta aku datang ke acara wisuda SMA
nya. Aku tidak serius mengatakan iya. Yasudahlah membuat dia sedikit bahagia.
Tapi aku benar mengusahakan untuk datang, namun memang pada akhirnya aku
tidak datang, ayahnya pun tidak.
Mungkin orang lain mengatakan aku jahat atau apalah, tapi apakah lebih
jahat jika aku tidak bekerja dan tidak bisa memenuhi kebutuhan anak-anakku.
Segala pembelaan dipikiranku ku muncul untuk tetap pada pendirian wanita karier
ku dengan karier nomor satu. Sampai kutemukan surat untuk ku dari putraku di
meja biasanya. Ya memang kami sering bertukar surat via meja.
Ma, pa aku mendapatkan nilai UN paling tinggi, dan aku lulusan terbaik,
ini semua hasil belajarku dan ini untuk membuat mama papa bahagia, tapi aku
bingung bagaimana agar mama papa tahu tentang ini padahal kita tidak selalu
bertemu. Terima kasih mama dan papa sudah memberikn aku kesempatan
bersekolah di tempat yang sangat bagus, banyak ilmu yang aku dapat dan sangat
lengkap, namun ada satu yang tidak bisa kupahami, ilmu tentang keluarga sangat
sulit menurutku, mereka bilang keluarga tempat mencurahkan segalanya, mereka
bilang keluarga adalah tempat pembelajaran utama dan pertama, jika memang
seperti itu, aku tidak bisa memahaminya ma, pa.
Dan di akhir surat ini, mama pernah mengatakan agar aku menentukan
pilihan dengan percaya diri dan sendiri, ma aku memilih untuk tidak melanjutkan
kuliah. Aku tidak meminta pendapat mama dan papa, bukankah sikap ini yang
diinginkan mama dan papa? Cukup selalu doakan aku dalam setiap langkahku, dan
terima kasih mama dan papa.
Surat yang lebih panjang dari biasanya. Tidak terlalu membuatku tersentuh.
Yang paling aku soroti adalah ketika dia mengatakan tidak meneruskan ke
perguruan tinggi. Apa kata orang jika tahu putraku tidak kuliah. Mungkin untuk
kali ini aku akan ikut campur, demi menyelamatkan apa kata orang. Kemudian, di
surat balasan mungkin aku akan menulis seperti ini.
Ikuti saja alurnya, tetap lanjutkan kuliah, dan jangan pikirkan apa itu ilmu
keluarga, mama juga tidak tahu. Sekarang pikirkan saja cara untuk masuk
universitas terbaik. Jangan dengarkan omongan orang. Mama dan papa selalu
mendukungmu, nak.
Sejenak aku teringat kepada putri kecilku, Gill yang tadi pagi buta
membangunkanku dari tidur dan menanyakan PR sekolah tentang silsilah keluarga.
Kali ini tidur malamku benar-benar penuh lamunan dan sejenak hening
merenungkan keadaan yang terjadi.
“Ma, bangun”
“Ma, sebelumnya gill minta maaf bangunkan mama sepagi ini. Aku pengen tanya
sesuatu buat tugas sekolahku”
Lalu, aku menjelaskan silsilah keluarga dengan seadanya dan singkat. Tiba-tiba gill
berceletuk
“Bukan ma, Keluarga yang saling melengkapi dan selalu ada satu sama lain. Seperti
kata cerita temanku, mereka selalu menyisihkan waktu untuk keluarga walaupun
sekedar menonton TV bersama, makan bersama dan bercanda bersama. Sehingga
hidup ini terasa sejuk ma seperti pohon cemara yang selalu menyejukkan orang di
sekitarnya.”
Sontak aku hanya memandangi wajah gill dan memeluknya, betapa dingin
badannya dan ku belai rambut keritingnya sembari berkata
“Iya, sekarang kerjakan PR nya yang baik biar jadi keluarga cemara, setelah itu
bergegas mandi, sarapan dan berangkat sekolah ya sayang” bujukku.
Malam semakin larut, namun bayangan-bayangan tentang keluarga masih
semrawut di atas kepalaku seperti kicauan burung yang berputar-putar tanpa arah
semakin membuat berat kepalaku memikirkan ini. Sekarang giliran aku
memandangi suamiku, fadil yang sudah terlelap mendahuluiku. Aku melihat
wajahnya seperti menyiratkan kata
“Tidak ada kata terlambat, kita menciptakan keluarga ini, kita yang membuatnya,
kita yang harus melaluinya, kita pula yang harus bertanggung jawab atas ini semua”