Manajemen Konflik
Manajemen Konflik
E13115010
Book Reviewing of Chapter I – in book of “The Israeli-Palestinian Conflict – Edited by
Yaacov Bar-Siman-Tov”
Sebelum masuk membahas substansi yang terdapat pada bagian I: Dialektika antara
manajemen konflik dan resolusi konflik (terkait konflik Israel-Palestina), penulis (yang menulis
review ini) menegaskan bahwa pada bagian sebelumnya (bagian introduksi), penulis (yang
menulis/mencipta buku tsb) telah menyajikan terlebih dahulu suatu refleksi panjang atas kronik
konflik Israel- Palestina yang terbilang relative lama dan mengesani. Oleh karena itu, dalam
konteks ‘Bagian I’ ini, penulis hanya langsung merujuk pada pembahasan-pembahasan
sebagaimana substansi yang memang terdapat dalam judul bagian I, yakni terkait “Dialektika
antara Manajemen Konflik, dan Resolusi Konflik” (yang mana substansi dari judul ini yakni
manajemen konflik dan resolusi konflik itu sendiri yang berdasar pada konflik yang terjadi
antara Israel dan Palestina dalam skala waktu yang relative panjang/lama), bukan mengenai
proses atau situasi konflik Israel-Palestina itu sendiri.
Pada bagian I ini, penulis memberikan suatu Statement bahwa apabila ‘proses politik’
dalam hal ini dijadikan sebagai resolusi konflik, maka hal tersebut justru akan membuat konflik
kembali pada asal atau akar permasalahannya sendiri/ kondisi awal dimana konflik berlangsung
berkepanjangan; tidak dapat dipecahkan; dan merupakan masalah yang sangat keras.
Kegagalan pada proses politik, mengindikasikan bahwa keadaan pada saat itu masih
belum layak untuk disebut resolusi konflik. Oleh karena itu, dengan adanya konsep kekerasan,
setidak-tidaknya telah mencapai satu sisi kesimpulan bahwa proses politik tidak dapat digunakan
untuk mencapai tujuan sampai kepada ranah negosiasi. Mereka yang mengambil model
perspektif seperti ini lebih mengutamakan pencapaian tujuan dengan jalan kekerasan. Mereka
berasumsi bahwa kekerasan jauh lebih efektif dibanding proses politik untuk merealisasikan
tujuan-tujuan nasional. Persepsi ini juga sekaligus menegasikan konsep yang mengatakan bahwa
konflik harus diselesaikan dengan cara damai.
Manajemen konflik tidak seperti pada fenomena-fenomena pada umumnya yang terdapat
pada perjanjian umum dalam pustaka penelitian – dalam hal ini, resolusi. Namun, manajemen
konflik lebih merujuk pada pengelakan pada sebuah resolusi untuk satu alasan tertentu atau
lainnya. Sehingga pada makna yang sebenarnya, manajemen konflik sebenarnya merupakan
sebuah pilihan mendasar. Pada saat yang sama juga, biasanya konflik juga selalu
dipertimbangkan langkah awal untuk sebuah resolusi. Sebagian dari cara-cara tertentu dari suatu
manajemen konflik dapat bertransisi menjadi resolusi konflik. Melihat hal tersebut, seperti
terdapat kecenderungan bertransisi dari manajemen kemudian beralih ke resolusi konflik. Oleh
karena itu, dialektika antara manajemen konflik dan resolusi konflik menjadi sangat prima untuk
memahami transisi dari satu fase ke fase selanjutnya. Dalam hal ini, berarti dari fase manajemen
konflik, menjadi fase resolusi konflik.
Adapun tujuan dari bagian I ini yakni untuk menguji 3 hal, yaitu (a) fenomena
manajemen konflik yang menjadi opsi dasar pada saat resolusi gagal dalam mencapai ‘tujuan’,
(b) berbagai strategi manajemen konflik, yang focus pada kasus konflik yang melibatkan actor
negara, dan actor non-negara, dalam hal ini konflik Israel-Palestina, (c) Prospek pada transisi
baru dari manajemen konflik ke moderasi konflik dan perbaruan terhadap proses politik.
Perbedaan yang lebih jauh dapat ditemukan di antara tiga jenis pengendalian/manajemen:
(a)unilateral, (b) joint, dan (c) manajemen/pengendalian eksternal. Pengendalian unilateral
merujuk pada totalitas upaya yang diperoleh dari kedua belah pihak secara terpisah untuk
mencegah yang lain terhadap upaya-upaya kekerasan atau yang melebihinya. Joint management
merujuk pada totalitas usaha resmi ataupun tidak resmi yang disepakati dari kedua belah pihak
untuk mencegah kekerasan atau mengendalikan kekerasan tersebut dengan menjalin suatu
koordinasi atau kerjasama tertentu antar keduanya. Kemudian External Management merujuk
pada totalitas usaha yang dihasilkan melalui partai ketiga (actor regional atau organisasi
internasional) untuk mengintervensi konflik dengan tujuan untuk mencegah kekerasan atau untuk
dapat mengendalikannya.
Sampai pada sebuah kesimpulan pada bagian I ini, bahwa pada konflik yang mengalami
proses-proses resolusi yang gagal dan jatuh/kembali pada manajemen konflik, dialektika dari
kedua proses tersebut – manajemen dan resolusi – malah menjadi rumit. Meskipun tidak jarang
konflik terselesaikan untuk menumpas kekerasan, seperti pembangunan yang sangat problematic
karena krisis kepercayaan dan kognitif serta radikalisasi mental yang dibangun antar kedua belah
pihak – Israel – Palestina. Namun khususnya pada situasi yang sangat genting antar actor negara
dan actor non-negara, dalam hal ini Israel-Palestina – selalu saja memiliki tendensi untuk saling
memberlakukan konsep ‘zero-sum conflict’ (suatu kondisi yang menjelaskan bahwa kemenangan
di satu pihak menyebabkan korban/kehilangan di pihak lainnya).
Sampai pada kesimpulan yang paling akhir, dimana paragraph ini menjadi
penyederhanaan konklusi, bahwasanya apa yang paling dibutuhkan kedua negara untuk dapat
mengakhiri konfrontasi kekerasan tersebut adalah mediasi atau pihak ketiga, dalam hal ini
organisasi internasional, dan actor-aktor regional setara lainnya yang dinilai memiliki kapasitas
penuh ; actor superpower untuk mengatasi konflik konfrontasi kekerasan tersebut, antara Israel
dan Palestina.