0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
9 tayangan6 halaman
Gangguan cara berbahasa dinamakan afasia. Lebih tepat untuk menggunakan istilah disfasia, karena semua kemampuan untuk berbahasa tidak hilang secara mutlak.
Gangguan cara berbahasa dinamakan afasia. Lebih tepat untuk menggunakan istilah disfasia, karena semua kemampuan untuk berbahasa tidak hilang secara mutlak.
Gangguan cara berbahasa dinamakan afasia. Lebih tepat untuk menggunakan istilah disfasia, karena semua kemampuan untuk berbahasa tidak hilang secara mutlak.
Gangguan cara berbahasa dinamakan afasia. Lebih tepat untuk
menggunakan istilah disfasia, karena umua kemampuan untuk berbahasa tidak hilang secara mutlak. Tetapi afasia sudah umum digunakan baik untuk afasia ringan maupun afasia berat.
Bagan konsep mekanisme berbahasa yang disederhanakan
Semua impuls auditorik disampaikan kepada korteks auditorik primer kedua sisi. Pada heminferium yang dominan, data auditorik itu dikirim (A) ke pusat Wernicke. Pengiriman data dari hemisferium yangtak dominan ke pusat Wernicke dilaksanakan melalui serabut korpus kalosum. Di pusat Wernicke suara dikenal sebagai simbol bahasa. Kemudian data itu dikirim (E) ke pusat pengertian bahasa. Di situ simbol bahasa lisan (auditorik) diintegrasikan dengan simbol bahasa visual dan sifat-sifat lain dari bahasa. Bahasa lisan dihasilkan oleh kegiatan di pusat pengertian bahasa yang menggalakkan (F) pusat pengenalan kata (Wernicke), yang pada gilirannya mengirimkan (B) pesan kepada pusat Broca (yang menyelenggarakan produksi kata-kata) melalaui (C) daerah motorik primer dan melalui lobus frontalis (area motorik suplementer), yang ikut mengatur produksi aktivitas motorik yang tangkas dalam bentuk kata-kata yang jelas. Bahasa visual dikembangkan melalui persepsi visual bilateral. Dari korteks visual primer kedua sisi data visual disampakan (H) kepada korteks visual sekunder di hemisferium yang dominan. Data tersebut dikirim (D) ke pusat Wernicke dan ke (G) pusat pengintegrasian pengertian bahasa. Manifestasi dari lesi di berbagai lokasi pada hemisferium yang dominan adalah sebagai berikut : Lesi A – ‘word deafness’, lesi di pusat Wernicke – afasi asensorik Lesi B – afasia konduktif (=berbahasa verbal terganggu, tapi masih mengerti lengkap bahasa verbal, lesi di pusat Broca – afasia motorik Lesi C – afernia (=afasia motorik dengan utuhnya kemampuan untuk mengerti bahasa lisan dan tertulis dan mampu berkespresi dengan tulisan). Lesi di daerah motorik suplementer irama dan lafal bahasa kacau. Lesi D – aleksia tapi tidak agrafia Lesi E – afasia trankortial, lesi di pusat pengertian bahasa – afasia sensorik transkortikal Lesi F – afasia nominatif Lesi G – agnosia asosiatif tanpa aleksia Lesi H agnosia visual (= tidak dapat menyebut nama segala sesuatu yang dilihat) Sindrom afasia dapat dibagi dalam afasia motorik dan sensorik atau afasia ekspresif dan reseptif. Lesi yang menimbulkan afasia motorik terletak di sekitar daerah Broca. Afasia motorik terberat ialah jika penderita sama sekali tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Adakalanya hanya dapat mengucapkan “ya” atau “he-ng” saja, sambil menganggukkan kepalanya. Namun demikian ia masih mengerti bahasa verbal dan visual. Juga perintah-perintah untuk melakukan sesuatu (praksis) bisa dilaksanakan sesuai dengan makna perintah. Ketidakmampuan untuk menyatakan fikirannya dengan kata-kata menjengekelkan penderita. Dan yang lebih-lebih menekan jiwanya ialah bahwa ia sadar akan apa yang hendak diucapkan, tetapi ia tidak mampu mengucapkan kata-kata yang terkandung dalam fikirannya. Jadi bahasa internalnya masih utuh. Pada afasia motrik, umumnya kemampuan untuk menulis kata-kata masih tidak terganggu, tetapi bisa juga terjadi adanya agrafia (hilangnya kemampuan untuk ekspresi dengan tulisan). Afasia motorik yang ringan ialah afasia nominatif atau afasia amnestik. Penderitanya tidak bisa menemukan simbolik verbal dari benda yang diperlihatkan kepadanya. Ia tahu abstraksi dari benda tersebut dalam fikiran, tetapi lafal dari abstraksi itu tidak bisa dinyatakan. Misalnya, penderita diminta untuk menyebut nama benda yang disodorkan kepadanya. Ia bisa menjawab sebagai berikut : “itu, ‘tu...itu, ‘tu, tulis – tulis”. Tetapi ia tidak bisa temukan atau ucapkan kata “pensil”. Baru setelah dibantu dengan mengucapkan suku pertama kata “pensil”, penderita dapat meneruskannya “pen...sil”. dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penyimpanan kata pensil utuh, juga persandian abstraksi masih utuh. Tetapi “decoding’ dari abstraksi terganggu. Lesi yang dapat afasia nominatif itu terletak di luar daerah Broca, tetapi juga di luar daerah Wernicke. Memang lesi tersebut diketemukan di daerah Broca dan Wernicke. Pada afasia motorik yang terberat, adakalanya kata-kata yang bersifat ledakan-ledakan emosional masih bisa diucapkan secara spontan mislnya “da- ilah”, “asu”, G..verdom” dan sebaginya. Afasia motorik yang mencerminkan kerusakan terhadap seluruh korteks daerah Broca ialah afasia pada mana penderita tidak bisa melakukan ekspresi dengan cara apapun, baik dengan cara verbal maupun dengan cara visual (afasia motorik kortikal). Afasia motorik pada mana penderita tidak bisa mengucapkan satu kata apapun, namun masih bisa mengutarakan pikirannya dengan jalan tulis- menulis, bisa timbul akibat lesi di masa putih daerah Broca. Oleh karena itu, afasia motorik termaksud dinamakan juga afasia motorik subkortikal. Untuk jenis afasia ini digunakan juga istilah awam “pure word-dumbness” atau “bisu kata-kata yang tulen”. Jika seorang penderita afasia motorik masih bisa membeo, namun tidak mampu lagi untuk mengeluarkan kata-kata sebagai cara ekspresi aktifnya, maka afasia motorik semacam itu disebabkan oleh suatu lesi kortikal yang agak besar di daerah antara daerah Broca dan Wernicke. Afasia motorik berat dengan masih adanya kemampuan untuk membeo ini dinamakan afasia motorik transkortikal. Tergolong dalam afasia motorik adalah juga akalkulia ekspresif dan agrafia ekspresif, yang berati hilangnya kemampuan untuk ekspresi dengan menggunakan simbolik matematika dan huruf. Pada akalkulia ekspresif dan agrafia ekspresif, ekspresi dengan cara berbahasa masih bisa, tetapi apabila ekspresi itu diwujudkan dalam bentuk tulisan, penderita sendiri sadar akan ketidakmampuannya. Lesi yang berkorelasi dengan gangguan terletak di lobus frontalis yang berdampingan dengan korteks motorik. Afasia sensorik atau afasia perseptif dikenal juga sebagai afasia Wernicke, kemampuan utnuk mengerti bahasa verbal dan visual terganggau atau hilang sama sekali. Tetapi kemampuan untuk secar aktif mengucapkan kata-kata dan menulis kata-kata masih ada, kendatipun apa yang diucapkan dan ditulis tidak mempunyai arti sama sekali. Penderita dengan afasia perseptif tidak mengerti lagi bahasa yang didenagrnya walaupun ia tidak tuli. Iapun tidak mengerti lagi isi surat yang dibacanya, wa;aupun ia tidak bta huruf. Penyimpanan (storage) berikut proses “coding” dari apa yang didengar dan ditulis terjadi di daerah antara bagian belakang lobus temporalis, lobus oksipitalis dan lobus parietalis. Jika daerah tersebut rusak, proses “decoding” pun tidak akan mengahsilkan apa-apa. Ibaratnya gudang yang bisa dibuka dengan kunci yang masih kita miliki tetapi isi gudangnya atau gudangnya sendiri sudah terbakar habis. Daerah tersebut dikenal sebagai daerah Wernicke. Dan daeah itu dapat diumpamakan dengan gudang pengertian. Hancurnya gudang pengertian berarti hilangnya daya untuk mengerti apa yang dibicarkan dan ditulis. Hilangnya pengertian berarti juga hilangnya gnosis dan kognosio. Oleh karena kata dan tulisan yang masih dapat diucapkan dan ditulis oleh seseorang penderita tidak lagi dikenal dan diketahui, maka ia akan berbicara dan menulis suatu bahasa yang tidak dimengerti oleh dirinya ataupun orang lain. Adakalanya “bahasa baru” (neologisme) mengandung kata-kata yang emneyerupai kata-kata yang wajar, tetepi kebanyakan merupakan ocehan yang tidak mempounyai arti. Ocehan itu dinamakan juga “jargon aphasia”. Semacam afasia sensorik yang ringan, yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai “tuli kata-kata” (word-deafness), bisa dijumpai. Dalam hal tersebut, penderita sama sekali tidak mengerti bahasa verbal yang didengarnya, tetapi ia masih bisa mengerti bahasa tertulis dengan baik. Juga afasia sensorik yang dinamakan “buta kata-kata” (word blindness) pada mana bahasa verbal masih bisa dimengerti, tetapi bahasa visual tidak mempunyai arti baginya, jarang dijumpai. Tuli kata-kata dan buta kata-kata timbul akibat lesi kecil di sekitar daerah Wernicke yang terletak baik di lobus tepiralis atau parietalis bahkan lobus oksipitalis. Sebagai suatu varian dari buta kata-kata ialah agrafia, akalkulia dan aleksia reseptif. Dalam hal agrafia ekspresif, (akibat lesi di sekitar daerah Broca), ekspresi melalui berbahasa ikut terganggu. Jika kemampuan utnuk mengerti bahasa verbal masih utuh tetapi daya untuk mengerti bahasa tertulis hilang, maka kita namakan gejala tersebut agrafia reseptif. Demikian juga arti istilah akalkulia reseptif, pada mana si penderita masih bisa mengerti bahasa verbal tetapi ia tidak dapa mengerti soal-soal yang menyangkut hitung-berhitung. Pada aleksia resptif hanya kemampuan untuk mengerti apa yang dibaca terganggu, sedangkan ia masih mengerti bahasa verbal, lesi-lesi yang relevan bagi afasia reseptif fraksional itu terbatas pada girus angularis dan supramarginalis. Girus yang tersebut pertam terletak di ujung sulkus temporalis superior dan girus yang tersebut terakhir terletak di ujung sulkus temporalis superior dan girus yang tersebut terakhir terletak di ujung fisura serebri lateralis Sylvii.
Gangguan Artikulasi (Disartria)
Untuk dapat mengucapkan kata-kata sebaik-baiknya, sehingga bahasa yang
didengar dapat ditangkap dengan jelas dan tiap siku kata dapat terdengar secara terinci, maka mulut, lidah, bibir, palatum mole dan pita suara serta otot-otot pernapasan haru smelakukan gerakan tangkas sesempuna-sempurnanya. Bial ada salah satu gerakan tersebut di atas terganggu, timbullah cara berbahasa (verbal) yang kurang jelas. Pada pidato ada kata-kata yang seolah-olah “ditelan’, terutama pada akhir kalimat. Gejala ini biasanya disebabkan olehkarena integrasi gearkan otot-otot pernapasan di dalam mekanisme mengeluirakan kata-kata dalam kalimat sempurna. Adakalanya lidah atau mulut sakit karena adanya stomatitis (sariawan) sehingga lidah dan mulut tidak dapat dibuka dan ditutup sebaik-baiknya. Juga dalam hal ini kata-kata tidak dapat diucapkan sejelas-jelasnya. Soal pengucapan kata-kata secara jelas dan tegas dinamakan artikulasi. Dalam bahasa Inggris, “articulate” digunakan juga sebagai kata sifat, yang mengandung arti bahwa cara menguraikan pendapat dan pikirannya jelas, tegas dan singkat sehingga mudah dimengerti. Gangguan artikulasi dinamakan disartria. Pada disartria hanya cara mengucapkannya saja yang terganggu tetapi tata bahasanya baik. Pada lesi UMN unilateral, sebagai gejala bagian dari hemiparesis, dijummpai disartria yang ringan sekali. Pada disartria serebelar, kerja sama gerak otot lidah, bibir, pita suara dan otot-otot yang membuka dan menutup mulut bersimpang-siur, sehingga kelancaran dan kontinutitas kalimat yang diucapkan sangat terganggu. Cara berbahasa penderita penyakit serebelum disebut eksplosif, karena kata-kata yang dikeluarkan terputus-putus, lagipula sura dan nadanya berdentam. Disartria yang dijumpai pada penderita penyakit Parkinson disebabkan oleh gerak otot yang lamban dan kaku. Sehingga cara berbahasanya lambat, monoton, lemah dan menggetar. Pada disartria LMN akan terdengar berbagai macam disartria tergantung pada kelompok otot yang terganggu. Pada penderita dengan paralisis bulbaris terutama lidah yang lumpuh dan cara berbicara dengan lidah yang lumpuh dikenal sebagai “pelo”. Jika palatum mole lumpuh, disatria yang timbul bersifat sengau. Hal ini sering dijumpai pada miastenia gravis. Penyakit-penyakit yang dapat membangkitkan disartria LMN adalah polincuritis, difteria, siringobulbia, distrofia muskulorum progresiva dan miastenia gravis. Kelainan bawaaan pada prenulum lingua bisa menimbulkan disartria juga. Lafal S, T, L, R dan N dapat diucapkan jika ujung lidah bebas untuk bergerak. Jika frenulum lingua mengikat lidah sampaiujungnya juga, maka disartria timbul. Dengan jalanoperasi, pada mana ujung lidah dibebaskan dari frenulum itu, disartria akan hilang.