PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki ada perempuan salah satu ciri makhluk
hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh Allah manusia diberikan
karunia berupa pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan melestarikan
generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar-benar
manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan yang sesuai dengan syariat-Nya. Islam
menjadikan lembaga pernikahan itu pulan akan lahir keturunan secara terhormat, maka adalah satu hal yang wajar jika
pernikahan dikatakan wajar pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa dan sangat diharapkan oleh mereka yang ingin
menjaga kesucian fitrah.
B. Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi nikah
2. Untuk mengetahui hukum-hukum nikah
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat nikah
4. Untuk mengetahui hikmah dan tujuan pernikahan
5.Talak,macam-macam talak dan iddah
6.Hal-hal yang terlarang sehubungan dengan pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Arti Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia,
kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian
untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang
sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya.
Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan
dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup
berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah
saw. bersabda:
Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku
shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari
golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)
2. Hukum Pernikahan
a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan
tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan
melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan
harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada
mereka dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), MahaMengetahui. (QS.An-Nur/24:32)
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian1036 diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-
hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Q.S An-Nur/24:32)
Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa dapat dijelaskan bahwa hukum menikah itu
akan berubah sesuai dengan faktor dan sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk
mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau sakit gila, maka dalam situasi dan
kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan
menimbulkan mudharat yang lebih besar pada orang lain.
3. Rukun Nikah
Rukun nikah adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu pernikahan. Rukun nikah terdiri atas:
b.
c. Sigat akad, yang terdiri atas ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy wali mempelai perempuan dan mempelai
laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai perempuan dan kabul diucapkan wali mempelai laki-laki.
C. RUKUN DAN SYARATNYA PERNIKAHAN
Rukun pernikahan ada lima:
1. Mempelai laki-laki syaratnya: bukan dari mahram dari calon istri, idak terpaksa, atas kemauan sendiri, orangnya tertentu,
jelas orangny,calon suami, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena terpaksa, bukan mahram
(perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
2. Mempelai perempuan syaratnya-syaratnya: tidak ada halangan syar’I yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang
dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri, jelas orangnya. Calon istri, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-
benar perempuan, tidak karena terpaksa, halal bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan
usia sekurang-kurangnya 16 tahun.
3. Wali (wali si perempuan) keterangannya adalah sabda Nabi Saw:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
“Barangsiapa diantara perempuan yang menikah dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal” (Riwayat Empat
Ahli Hadis kecuali Nasa’I)
Dan syarat-syaratnya: laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil.
d. Wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang
ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau
mengizinkan pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahan itu
batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i)
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara laklaki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7) Paman (saudara laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki paman.
9) Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang berhalangan, atau
menyerahkan kewaliannya kepada hakim. .
e. Dua orang saksi, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan),
adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.
b. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan tujuan agar seorang laki-laki lain
menikahkan anak perempuannya kepada laki-laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini
dilarang dengan sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR. Muslim)
c. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang tidak ditalak ba’in,
dengan bermaksud pernikahan tersebut membuka jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas
istrinya tersebut setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak ba’in untuk mengawini bekas istrinya.
Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah saw. dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang mengawini setelah ba’in) dan muhallil lalu (bekas suami
pertama yang akan mengawini kembali). (HR. Al-Kamsah kecuali Nasai)
Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan Pezina
perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu
diharamkan bagi orang mukmin. (QS. An-Nur/24:3)
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas oran-orang yang mu'min” (Q.S An-Nur/24:3)
Akan tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan yang dilakukannya. Sesuai dengan
sabda Rasulullah saw.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah saw.: Orang yang bertobat dari dosa tidak ada
lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka dapat kawin dengan laki-laki yang
bukan pezina (baiuk-baik)
B. HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan
berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik
menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang
memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina
ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain.
Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia meniptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar
kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum/30:21)
Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. (QS. An-Nisa/4:19)
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah
perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai
piarannya. (QS. An-Nisa/4:25)
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
(QS. Al-Isra/17:32)
Pengertian Nikah
secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad.
secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
Hukum Nikah
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
Ø Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
Ø Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
Ø Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
Ø Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
Ø Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan
pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus
dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan.
Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad
nikah.
Al-hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau
seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan
untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun
dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada beliau dan
bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau
lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada
wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i).
Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak
ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk
mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu,
dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah
wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini
merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.
Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling
mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan
sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian
diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta
sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat
saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya
karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.
Macam-Macam Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan
itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
2. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Dengan
pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan
langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih
punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya
dengan menggunakan bahasa terus terang tadi.
* Perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu secara jelas (Sharahah) atau
memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
* Pinangan kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.
* Peminang pertama belum membatalkan pinangan.
Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi,” Janganlah kalian membeli sesuatu pembelian saudara kalian, dan
janganlah kalian meminang pinangan saudara kalian, kecuali dengan izinnya.”
Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak
ada yang merasa sakit hati satu sama lain.
Adapun mengenai pinangan yang belum sempurna, dengan pengertian masih menunggu jawaban, beberapa ulama
berbeda pendapat. Hanafiah mengatakan, pinangan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam menentukan
keputusan adalah makruh. Hal ini bertentangan dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya
perbuatan itu tidak haram. Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang dilamar oleh tiga orang sekaligus,
yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah bin Zaid. Hal itu terjadi setelah selesainya masa iddah Fatimah yang
telah ditalak oleh Abu Umar bin Hafsin.
Walaupun demikian, pendapat Hanafi lebih kuat landasannya karena sesuai dengan tata perilaku islam yang mengajarkan
solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan
lebih berdampak pada pemutusan silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang
dipinang.
Imam Maliki dan Imam Hambali mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat kebutuhan mendesak. Itu disebabkan
agar tidak menimbulkan fitnah dan menimbulkan syahwat.
Wahbah Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan tidak dengan syahwat.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik
sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat
istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang
mahar yang mudah dan pernah pula
E.TALAK
Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata َ“ اطللططللقاithlaq”, yang berarti melepas atau
meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.
Dalil Dibolehkannya Talak
Allah Ta’ala berfirman,
ف ٌألطو ٌلتطسلريِحح ٌلبإلطحلساَنن ال ر
طللرْقاَ ٌلمررلتاَلن ٌلفإلطملساَ ح
ك ٌلبلمطعرْرو ن
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
ليِاَ ٌألييِلهاَ ٌالرنلبيي ٌإللذا ٌلطلرطقرْترْم ٌاللنلساَلء ٌلفلطللرْقورْهرن ٌلللعردلتلهرن
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan
haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan
masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
ا ٌألطن
ْ ٌلفلتطللك ٌاطللعردرْة ٌالرلتىِ ٌأللملر ٌ ر ر،ٌ س
ٌرْثرم ٌإلطن ٌلشاَلء ٌألطملسلك ٌلبطعرْد ٌلوإلطن ٌلشاَلء ٌلطلرلقاَ ٌلقطبلل ٌألطن ٌليِلم ر،ٌ ٌرْثرم ٌلتططرْهلر،ٌ ض
ٌرْثرم ٌللرْيِطملسطكلهاَ ٌلحرتىِ ٌلتططرْهلر ٌرْثرم ٌلتلحيِ ل،ٌ َرْمطررْه ٌلفطلرْيِلرالجطعلها
رْتلطلرلقاَ ٌلللهاَ ٌاللنلساَرْء
“Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia
(Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al
'iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla .”
Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘ Ibroh juga
menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya
membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena
masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.
Kritik Hadits
Adapun hadits yang berbunyi,
ال لتلعاَللىِ ال ر
َطللرْقا ْألطبلغ ر
ض اطللحلللل إلللىِ ر
“Perkara yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak. ”Dalam sanad hadits ini ada dua ‘ illah (cacat): (1) dho’ifnya
Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin
Yunus … Abu Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits dari Al Hakim
dinilaidho’if. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dho’if . Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi,
Syaikh Al Albani, dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi.
Hukum Talak
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah
dan ada yang boleh.”
Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan.
Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin lagi untuk
bersatu atau meneruskan pernikahan).
Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘ afifah (menjaga kehormatan diri)
dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima
waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan.
Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan mendapat
efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah.
Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung
dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan
perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya,
atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
Macam-Macam Masa Iddah
Barangsiapa yang ditinggal mati suaminya, maka, iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri
ataupun belum. Hal ini mengacu pada firman Allah SWT, ”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-
Baqarah :234).
Terkecuali isteri yang sudah dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan, ”Dan wanita-wanita
yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq : 4).
Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa, Subai’ah al-Aslamiyah r.a. pernah melahirkan dan bernifas setelah beberapa malam
kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi saw lantar meminta idzin kepada Beliau untuk kawin (lagi). Kemudian Beliau
mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:470 no:5320 dan Muslim II:1122 no:1485).
Wanita yang ditalak sebelum sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah baginya, berdasarkan pada firmannya Allah
SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, ’apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu
minta, menyempurnakannya.” (Al-Ahzaab:49).
Sedang wanita yang ditalak yang sebelumnya sempat dikumpuli dan dalam keadaan hamil maka, masa iddahnya ialah ia
melahirkan anak yang diakndungnya. Allah SWT berfirman, ”Dan wanita-wanita hamil, waktu iddah mereka itu adalah
sampai mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq:4).
Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu Kultsum bin ’Uqbah radhiyallahu ’anha.
Kemudian Ummu Kultsum yang sedang hamil berkata kepadanya, ”Tenanglah jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-
Zubir pun menjatuhkan padanya talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat, sekembalinya (dari shalat) ternyata
isterinya sudah melahirkan. Kemudian az-Zubir berkata: ”Gerangan apakah yang menyebabkan ia menipuku, semoga Allah
menipunya (juga).” Kemudian dia datang kepada Nabi saw lalu beliau bersabda kepadanya, ”Kitabullah sudah menetapkan
waktunya; lamarlah (lagi) di kepada dirinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026).
Jika wanita yang dijatuhi talak termasuk perempuan yang masih berhaidh secara normal, maka masa iddahnya tiga kali
haidh berdasarkan Firman Allah SWT, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali
quru’).”. (Al-Baqarah :228).
Kata quru’ berarti haidh. Hal ini mengacu pada hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu Habibah r.a. sering mengeluarkan darah
istihadhah(darah yang keluar dari wanita karena sakit atau lainnya), lalu dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal
tersebut). Maka Beliau menyuruh meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya. (Shahih Lighairih: Shahih Abu Daud no:252
dan ’Aunul Ma’bud I:463 no:278).
Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih atau sudah lanjut usia yang sudah
manopause (berhenti masa haidh), maka iddahnya adalah tiga bulan lamanya. Allah swt berfirman, ”Dan perempuan-
perempuan yang tidak haidh lagi (manopause) diantara isteri-isteri kaian jika ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haidh.” (At-Thalaq:4)
1. PENGERTIAN ZINA
Dalam al-Mu’jamul Wasith hal 403 disebutkan, “Zina ialah seseorang bercampur dengan seorang wanita tanpa melalui akad
yang sesuai dengan syar’i.”
2. HUKUM ZINA
Zina adalah haram hukumnya, dan ia termasuk dosa besar yang paling besar.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
(QS al-Israa’: 32)
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata: Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “(Ya Rasulullah), dosa apa yang
paling besar?” Jawab Beliau, “Yaitu engkau mengangkat tuhan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang telah
menciptakanmu.” Lalu saya bertanya (lagi), “Kemudian apa lagi?” Jawab Beliau, “Engkau membunuh anakmu karena
khawatir ia makan denganmu.” Kemudian saya bertanya (lagi). “Lalu apa lagi?” Jawab Beliau, “Engkau berzina dengan
isteri tetanggamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 114 No. 6811, Muslim I: 90 No. 86, ‘Aunul Ma’bud VI: 422 No. 2293
No. Tirmidzi V: 17 No. 3232).
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan
kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh;
Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS
Al-Furqaan: 68-70).
Dalam hadist Sumarah bin Jundab yang panjang tentang mimpi Nabi saw, Beliau saw bersabda:
“Kemudian kami berjalan dan sampai kepada suatu bangunan serupa tungku api dan di situ kedengaran suara hiruk-pikuk.
Lalu kami tengok ke dalam, ternyata di situ ada beberapa laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat. Dari bawah mereka
datang kobaran api dan apabila kena nyala api itu, mereka memekik. Aku bertanya, “Siapakah orang itu” Jawabnya,
“Adapun sejumlah laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat yang berada di dalam bangunan serupa tungku api itu
adalah para pezina laki-laki dan perempuan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3462 dan Fathul Bari XII: 438 no:
7047).
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba berzina tatkala ia sebagai seorang mu’min;
dan tidaklah ia mencuri, manakala tatkala ia mencuri sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia meneguk arak ketikaia
meneguknya sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia membunuh (orang tak berdosa), manakala ia membunuh sebagai
seorang beriman.”
Dalam lanjutan riwayat di atas disebutkan:
Ikrimah berkata, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Bagaimana cara tercabutnya iman darinya?’ Jawab Ibnu Abbas:
‘Begini –ia mencengkeram tangan kanan pada tangan kirinya dan sebaliknya, kemudian ia melepas lagi–, lalu manakala dia
bertaubat, maka iman kembali (lagi) kepadanya begini –ia mencengkeramkan tangan kanan pada tangan kirinya (lagi) dan
sebaliknya-.’” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7708, Fathul Bari XII: 114 no: 6809 dan Nasa’i VIII: 63).
Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis
kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada "pola berkelanjutan atau
disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis" terutama atau secara eksklusif pada orang
dari jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial
berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas lain yang berbagi itu." Lesbian adalah
istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan
yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. [1] Istilah ini dapat digunakan sebagai
kata benda jika merujuk pada perempuan yang menyukai sesama jenis, atau sebagai kata sifat apabila bermakna ciri objek
atau aktivitas yang terkait dengan hubungan sesama jenis antar perempuan
(homo seksual) adalah hubungan antara sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki), sedangkan hubungan antara wanita
dengan wanita disebut lesbian.
Homo seksual adalah salah satu penyelewengan seksual, karena menyalahi sunnah Allah, dan menyalahi fitrah makhluk
ciptaanNya.
Lebih kurang empat belas abad yang lalu, Al Qur’an telah memperingatkan umat manusia ini, supaya tidak mengulangi
peristiwa kaum Nabi Luth. Allah berfirman:
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lut itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani
mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu
tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (Hud: 82-83)
Pada ayat lain Allah berfirman:
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu
untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”. (Asy Syu’ara: 165-166)
Selanjutnya pada ayat lain Allah berfirman:
“Dan telah kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji.
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik.” (Al Anbiya: 74)
Setelah Rasulullah menerima wahyu tentang berita kaum Luth yang mendapat kutukan dari Allah dan merasakan azab yang
diturunkanNya, maka beliau merasa khawatir sekiranya peristiwa itu terulang kembali kepada ummat di masa beliau dan
sesudahnya.
Rasulullah bersabda:
“Sesuatu yang paling saya takuti terjadi atas kamu adalah perbuatan kaum Luth dan dilaknat orang yang memperbuat
seperti perbuatan mereka itu, Nabi mengulangnya sampai tiga kali: “Allah melaknat orang yang berbuat seperti perbuatan
kaum Luth; Allah melaknat orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth; Allah melaknat orang yang berbuat seperti
perbuatan kaum Luth,” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Al Hakim)
Pemerkosaanٌ
Pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika seorang manusia (atau lebih) memaksa
manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis, anggota tubuh
lainnya seperti tangan, atau dengan benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai "penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis,
anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda -- bahkan jika dangkal -- dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-fisik."
Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda tahun 1998 merumuskan pemerkosaan sebagai "invasi fisik berwatak
seksual yang dilakukan kepada seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan yang koersif"
Istilah pemerkosaan dapat pula digunakan dalam arti kiasan, misalnya untuk mengacu kepada tindakan-tindakan kriminal
umum seperti pembantaian, perampokan, penghancuran, dan penangkapan tidak sah yang dilakukan kepada suatu
masyarakat ketika sebuah kota atau negara dilanda perang
Kumpul kebo
Kumpul kebo dalam arti hidup bersama dan melakukan hubungan seksual tanpa menikah, merupakan fenomena yang
sangat biasa dan dimaklumi secara kultural di negara-negara barat. Contoh paling gamblang adalah kisah banyak pemain
sepakbola di liga-liga utama di Eropa yang hampir selalu hidup serumah dengan pacar-pacarnya kendatipun mereka belum
menikah. Tidak jarang mereka baru menikah setelah memiliki satu atau dua orang anak.
Pacaran
“Janganlah kamu sekalian mendekati perzinahan, karena zina itu adalah perbuatan yang keji… ” (QS. Al-Isra : 32).
Istilah pacaran yang dilakukan oleh anak-anak muda sekarang ini tidak ada dalam Islam. Yang ada dalam Islam ada yang
disebut “Khitbah” atau masa tunangan. Masa tunangan ini adalah masa perkenalan, sehingga kalau misalnya setelah
khitbah putus, tidak akan mempunyai dampak seperti kalau putus setelah nikah. Dalam masa pertunangan keduanya boleh
bertemu dan berbincang-bincang di tempat yang aman, maksudnya ada orang ketiga meskipun tidak terlalu dekat duduknya
dengan mereka.
Kalau dilihat dari hukum Islam, pacaran yang dilakukan oleh anak-anak sekarang adalah haram. Mengapa haram?
Karena pacaran itu akan membawa kepada perzinahan dimana zina adalah termasuk dosa besar, dan perbuatan yang
sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu ayatnya berbunyi sebagaimana yang dikutip di awal tulisan ini. Ayat tersebut tidak
mengatakan jangan berzina, tetapi jangan mendekati zina, mengapa demikian ? Karena biasanya orang yang berzina itu
tidak langsung, tetapi melalui tahapan-tahapan seperti : saling memandang, berkenalan, bercumbu kemudian baru berbuat
zina yang terkutuk itu
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/kenikmatan) dengan cara yang
tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali
pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
Yang artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]
Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka tergolong bentuk kezaliman yang
haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan
keliaran dan pengaruh negative syahwat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya : “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah
mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng
baginya”. [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan) syahwat dan menjauhkan diri dari
bahayanya dengan dua cara : berpuasa untuk yang tidak mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk
beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk
menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan
dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.
Wajib bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu.
Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan
bahwa anda menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda
menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan
syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Seorang muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan.
Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah
yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang
membakar syahwat. Jadi anda wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepada anda.
Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi anda. Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak
membatalkan witir yang telah anda kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian
setelah itu anda melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan –anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan
ibadah yang anda kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang
sesuai syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-.
Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan, namun pelakunya tetap
berdosa.[Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]
ZINAH MATA
Mata yang merupakan anugerah Allah Azza Wa Jalla, bisa mendatangkan kemuliaan, tetapi juga bisa mendatangkan laknat
yang membinasakan. Mata yang selalu melihat fenomena kehidupan alam dan seisinya, dan kemudian menimbulkan rasa
syukur kepada sang Pencipta, selanjutnya akan mendatangkan kemuliaan dan kebahagiaan di sisi-Nya. Sebaliknya, mata
yang merupakan anugerah yang paling berharga itu, bisa mendatangkan laknat yang membinasakan bagi manusia, bila ia
menggunakan matanya untuk berbuat khianat terhadap Rabbnya.
Di dalam Islam ada jenis maksiat yang disebut dengan ‘zina mata’ (lahadhat). Lahadhat itu, pandangan kepada hal-hal,
yang menuju kemaksiatan. Lahadhat bukan hanya sekadar memandang, tetapi diikuti dengan pandangan selanjutnya.
Pandangan mata adalah sumber itijah (orientasi) kemuliaan, juga sekaligus duta nafsu syahwat. Seseorang yang menjaga
pandangan berarti ia menjaga kemaluan. Barangsiapa yang mengumbar pandangannya, maka manusia itu akan masuk
kepada hal-hal yang membinasakannya.
“Jangan kamu ikuti pandangan pertamamu dengan pandangan kedua dan selanjutnya. Milik kamu adalah pandangan yang
pertama, tapi yang kedua bukan”.
Dalam musnad Ahmad, disebutkan, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda :
“Pandangan adalah panah beracun dari panah-pandah Iblis. Barangsiapa yang menundukkan pandangannya dari
keelokkan wanita yang cantik karena Allah, maka Allah akan mewariskan dalam hatinya manisnya iman sampai hari
kiamat”.
Sarah hadist itu, tak lain, seperti di jelaskan oleh Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam:
Abu Hurairoh berkata dari Nabi saw,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari
zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah perkataan
dimana diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhori)
Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Zina Anggota Tubuh Selain Kemaluan, artinya bahwa zina tidak hanya
terbatas pada apa yang dilakukan oleh kemaluan seseorang saja. Namun zina bisa dilakukan dengan mata melalui
pandangan dan penglihatannya kepada sesuatu yang tidak dihalalkan, zina bisa dilakukan dengan lisannya dengan
membicarakan hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa dilakukan dengan tangannya berupa menyentuh, memegang
sesuatu yang diharamkan.
Ibnu Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol yaitu,”Pandangan dan pembicaraan dinamakan dengan zina dikarenakan
kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah
“serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (Fathul Bari juz XI hal 28)
Meskipun demikian hukum zina tangan, lisan dan mata tidaklah sama dengan zina sebenarnya yang wajib atasnya hadd. Si
pelakunya hanya dikenakan teguran dan peringatan keras.
DR Wahbah menyebutkan bahwa pelaku onani haruslah diberi teguran keras dan tidak dikenakan atasnya hadd. (al Fiqhul
Islami wa Adillatuhu juz VII hal 5348)
Begitu pula penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan bersandar pada pendapat yang paling benar dari Imam Ahmad
bahwa pelaku onani haruslah diberikan teguran keras. (Majmu’ al Fatawa juz XXIV hal 145)
Ibnul Qoyyim mengatakan,”Adapun teguran adalah pada setiap kemaksiatan yang tidak ada hadd (hukuman) dan juga tidak
ada kafaratnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu mencakup tiga macam :
1. Kemaksiatan yang didalamnya ada hadd dan kafarat.
2. Kemaksiatan yang didalamnya hanya ada kafarat tidak ada hadd.
3. Kemaksiatan yang didalamnya tidak ada hadd dan tidak ada kafarat.
Adapun contoh dari macam yang pertama adalah mencuri, minum khomr, zina dan menuduhorang berzina.
Adapun contoh dari macam kedua adalah berjima’ pada siang hari di bulan Ramadhan,
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pernikahan yaitu ikatan dua orang hamba berbeda jenis dengan suatu ikatan akad
2. Hukum-hukumnya nikah adalah jaiz, sunnat, wajib, makruh, haram.
3. Diantaranya rukun-rukun nikah adalah mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi, sighat.
4. Tujuan adanya pernikahanan ternyata sangat banyak ditinjau dari berbagai sisi
B. Hikmah
1. Pernikahan yang sah menjadikan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim menjadi halal.
2. Pernikahan menjadi sah dengan rukun dan syarat nikah.
C. Saran
Akhirnya, pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu di dalam menyelesaikan
makalah kami ini. Disamping itu, kritik dan saran dari mahasiswa serta dosen pengampu dan para pembaca sangat kami
harapkan, demi kebaikan kita bersama terutama bagi pemakalah.
REFERENSI
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan terjemahnya. Toha Putra
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera
Rasjid, H. Sulaiman. 2008. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Rifa’I, H. Moh. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra
Drs. H. Muh. Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT Karya Toha Putra)
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Departemen Agama Islam)
H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo) 381-383
http://rumahabi.info, http://id.shvoong.com, http://www.eramuslim.com