Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.4. Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Aquired Immuno Deficiency

Syndrom (AIDS) adalah penyakit menular seksual menurut United Nations

Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) dan World Health Organization (WHO).

Diperkirakan HIV telah menginfeksi 25 juta orang sejak ditemukan pada tanggal 5

Juni 1981, sehingga dalam kurun waktu yang singkat telah menjadi pandemi di

seluruh negara. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) didefinisikan sebagai seseorang

yang telah terinfeksi oleh virus HIV atau yang telah mulai menampakkan satu atau

lebih gejala AIDS (United Nation Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), 2006).

Waktu munculnya gejala bisa saja terjadi lebih cepat (kurang dari 2 tahun) atau

lebih lama (lebih dari 10 tahun). Kowalak (2011) mengatakan bahwa sekitar 10%

orang yang terinfeksi virus HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam waktu 2

sampai 3 tahun, dan sekitar 10% pengidap HIV tidak akan berkembang menjadi

AIDS bahkan setelah 10 tahun. Rentang waktu dari seseorang terinfeksi sampai

muncul gejala klinis bisa sangat bervariasi antara 8 sampai 10 tahun, yang bisa

disebut sebagai masa inkubasi, atau dalam terminologi penyakit HIV/AIDS biasa

disebut juga sebagai windows period. Pembuktikan seseorang telah terinfeksi HIV,

harus melewati pemeriksaan atau tes HIV yang biasa dilakukan menggunakan

metode pengujian Western Blot dalam mendeteksi antibody HIV pada serum,

plasma,cairan tubuh, cairan mulut, darah kering, maupun urine pasien. Seseorang harus

mendapatkan penyuluhan (konseling) sebelum dan setelah melakukan tes HIV. Tes

HIV tidak boleh dilakukan tanpa adanya persetujuan dan berdasarkan informasi

lengkap (informed consent) dari yang bersangkutan (Kowalak, 2011).


Stigma buruk terhadap ODHA dan diskriminasi tidak saja dilakukan oleh

masyarakat awam yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang penyakit

HIV/AIDS, tetapi dapat juga dilakukan oleh petugas kesehatan. Saat ini tercatat,

sekitar 34 juta orang di dunia mengidap Virus HIV penyebab AIDS dan kebanyakan

dari mereka hidup dalam kemiskinan dan di negara berkembang. Data WHO terbaru

juga menunjukkan peningkatan jumlah pengidap HIV yang mendapatkan

pengobatan. Tahun 2012 tercatat 9,7 juta orang dan angka ini meningkat 300.000

orang lebih banyak dibandingkan satu dekade sebelumnya (WHO, 2012). Data

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa sejak pertama kali

kasus HIV/AIDS ditemukan pada tahun 1987 sampai dengan 30 Juni 2012, telah

tercatat 32.103 kasus AIDS dan 86.762 kasus terinfeksi HIV serta 8.235 kasus

kematian akibat HIV/AIDS di 33 Provinsi di Indonesia (Kemenkes RI, 2012).

Data dari profil Puskesmas Tumpang mencatat pada tahun 2017, terdapat 10

penderita HIV/AIDS. Tercatat dari 10 terdapat 5 penderita yang telah meninggal dan

5 lainnya tengah mejalani terapi ARV. Dan khususnya salah satu desa yang terdapat

penderita HIV/AIDS yakni desa Benjor.

Salah satu kendala dalam pengendalian penyakit HIV/AIDS adalah stigma

dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes, 2012). Stigma

yang berkembang mengenai HIV/AIDS di desa benjor mayoritas stigma yang buruk

yang berakibat dikucilkannya penderita dan keluarga penderita HIV/AIDS. Herek &

Capitiano (1999) mengatakan bahwa timbulnya stigma dan diskriminasi terhadap

ODHA disebabkan oleh faktor risiko penyakit ini yang terkait dengan perilaku seksual

yang menyimpang dan penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya atau

narkoba. Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya stigma pada ODHA di

masyarakat. Pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan


mengenai HIV/AIDS dalam banyak penelitian dibuktikan sebagai salah satu faktor

yang paling memengaruhi terjadinya pengurangan stigma. Orang yang memiliki

pengetahuan cukup tentang faktor risiko, transmisi, pencegahan, dan pengobatan

HIV/AIDS cenderung tidak takut dan tidak memberikan stigma terhadap ODHA.

1.2 Rumusan Masalah

Banyaknya stigma dan diskriminasi yang berkembang dikalangan masyarakat

desa Benjor, Tumpang. Hingga menimbulkan deteksi dini penyakit HIV/AIDS tidak

berjalan baik sebagai upaya pencegahan penyakit tersebut. Dan diskriminasi

mengakibatkan penderita menunda pengobatannya yang menyebabkan penurunan

kualitas hidup penderita hingga berujung kematian.

1.3 Tujuan

1.4.1. Tujuan Umum

 Pencegahan dan pengendalian penyakit HIV/AIDS di desa benjor khususnya,

di kecamatan Tumpang pada umumnya.

1.4.2. Tujuan Khusus

 Menciptakan lingkungan yang nyaman kembali bagi keluarga penderita

HIV/AIDS dengan mengubah stigma buruk yang ada di masyarakat.

 Masyarakat dapat menyikapi HIV/AIDS dengan benar dan baik.

 Memberikan pengetahuan yang benar mengenai HIV/AIDS pada warga desa

Benjor, Kec. Tumpang sehingga stigma dan diskriminasi yang berkembang

dapat hilang dari tengah Masyarakat


1.4. Manfaat

1.4.1. Bagi Puskesmas

 Mengetahui tingkat pengetahun masyarakat mengenai pencegahan dan

penularan HIV/AIDS sehingga upaya-upaya kesehatan yang dilakukan dapat

singkron sesuai kebutuhan masyarakat.

1.4.2. Bagi Penulis

 Menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama masa pendidikan

kepada masyarakat

 Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman.

 Pelaksanaan tugas minipro sebagai salah satu tugas yang harus dilakukan

dokter instership di PKM.

1.4.3. Bagi Masyarakat

 Mendapatkan informasi yang benar mengenai cara penularan dan

pencegahan HIV/AIDS, sehingga stigma dan diskriminasi yang tidak sesuai

teori ilmia dapat hilang dari tengah masyarakat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFENISI

Acquired Imunodefeciency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit

yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human

Imunodefeciency Virus (HIV) yang termasuk familie retroviridae. AIDS merupakan tahap

akhir dari infeksi HIV.

2.2 ETIOLOGI

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang

termasuk retrovirus dan famili Lentivirus (gambar 1). Strukturnya tersusun atas

beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang

melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap

molekul CD4 pada permukaan T-Helper lympohsit dan monosit atau makrofag. Lapisan

kedua bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Didalam

inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transciptase

enzyme).

Gambar 1: struktur virus HIV-1


2.3 PATOMEKANISME

HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata, sekresi

vagina atau serviks, urine, ASI, dan air liur. Penularan terjadi paling efesien melalui

darah dan semen. HIV juga dapat ditualrkan melalui air susu dan sekresi vagina atau

serviks. Tiga cara utama penularan adalah kontak dengan darah dan kontak seksual

dan kontak ibu bayi. Setelah virus ditularkan akan terjadi serangkaian proses yang

kemudian menyebabkan infeksi.

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena

virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+

berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila

terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang

progresif. Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara

in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik,

folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia,

astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.

Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV

dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui

kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal

sebagai dendritic-cell spesific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin

(DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor

kemokin terdapat integrin 4 7 sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen

gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-

reseptor kemokin CXCR4 dan CXCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus,

akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Didalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka

dan RNA yang akan muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim
transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA

penjamu dengan bantuan enzim polimerase sel host menjadi mRNA untuk

selanjutnya mengadakan partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian

luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan

dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV

terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.

2.4 PERJALANAN INFEKSI HIV


1. Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut)

Keadaan ini disebut juga infeksi primer HIV. Sindroma akut yang terkait dengan

infeksi primer HIV ini ditandai oleh proses replikasi yang menghasilkan virus-virus

baru (virion) dalam jumlah yang besar. Virus yang dihasilkan dapat terdeteksi dalam

darah dalam waktu sekitar 3 minggu setelah terjadinya infeksi. Pada periode ini

protein virus dan virus yang infeksius dapat dideteksi dalam plasma dan juga cairan

serebrospinal, jumlah virion didalam plasma dapat mencapai 106 hingga 107 per

mililiter plasma. Viremia oleh karena replikasi virus dalam jumlah yang besar akan

memicu timbulnya sindroma infeksi akut dengan gejala yang mirip infeksi

mononukleosis akut yakni antara lain: demam, limfadenopati, bercak pada kulit,

faringitis, malaise, dan mual muntah, yang timbul sekitar 3-6 minggu setelah6 infeksi.

Pada fase ini selanjutnya akan terjadi penurunan sel limfosit T-CD4 yang signifikan

sekitar 2-8 minggu pertama infeksi primer HIV, dan kemudian terjadi kenaikan

limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih

diatas 500 sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah enam minggu

terinfeksi HIV.
2. Fase Infeksi Laten

Setelah terjadi infeksi primer HIV akan timbul respon imun spesifik tubuh

terhadap virus HIV. Sel sitotoksik B dan limfosit T memberikan perlawanan yang

kuat terhadap virus sehingga sebagian besar virus hilang dari sirkulasi sistemik.

Sesudah terjadi peningkatan respon imun seluler, akan terjadi peningkatan antibodi

sebagai respon imun humoral. Pembentukan respon imun spesifik terhadap HIV

menyebabkan virus dapat dikendalikan, jumlah virus dalam darah menurun dan

perjalanan infeksi mulai memasuki fase laten. Namun demikian, sebagian virus

masih menetap di dalam tubuh, meskipun jarang ditemukan di dalam plasma, virus

terutama terakumulais di dalam kelenjar limfe, terperangkap di dalam sel dendritik

folikuler, dan masih terus mengadakan replikasi. Sehingga penurunan limfosit T-CD4

terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sediki. Pada fase ini jumlah limfosit

T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm

Jumlah virus, setelah mencapai jumlah tertinggi pada awal fase infeksi primer,

akan mencapai jumlah pada titik tertentu atau mencapai suatu “set point” selama

fase laten. Set point ini dapat memprediksi onset waktu terjadinya penyakit AIDS.

Dengan jumlah virus kurang dari 1000 kopi/ml darah, penyakit AIDS kemungkinan

akan terjadi dengan periode laten lebih dari 10 tahun. Sednagkan jika jumlah virus

kurang dari 200 kopi/ml, infeksi HIV tidak mengarah menjadi penyakit AIDS.

Sebagian besar pasien dengan jumlah virus lebih dari 100.000 kopi/ml, mengalami

penurunan jumlah limfosit T-CD4 yang lebih cepat dan mengalami perkembangan

menjadi penyakit AIDS dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Sejumlah pasien

yang belum mendapatkan terapi memiliki jumlah virus antara 10.000 hingga 100.000

kopi/ml pada infeksi laten. Pada fase ini pasien umumnya belum menunjukkan gejala

klinis atau aimptomatis. Fase laten berlangsung sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13)

setelah terinfeksi HIV.


3. Fase Infeksi Kronis

Selama berlangsungnya fase ini, didalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi

virus yang diikuti dengan kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler serta sel

limfosit T-CD4 yang menjadi target utama dari virus HIV oleh karena banyaknya

jumlah virus. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan

didalam sirkulasi sistemik. Respon imun tidak mampu mengatasi jumlah virion

yang sangat besar. Jumlah sel limfosit T-CD4 menurun hingga dibawah 200

sel/mm, jumla virus meningkat dengan cepat sedangkan respons imun semakin

tertekan sehingga pasien semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi

sekunder yang dapat disebabkan oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri.

Perjalanan infeksi semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Setelah

terjadi AIDS pasien jarang bertahan hidup lebih dari dua tahun tanpa intervensi

terapi. Infeksi sekunder yang sering menyertai antara lain: pneumonia,

tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis,

infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis esofagus, kandidiasis

trakea, kandidiasis bronkhus atau paru serta infeksi jamur jenis lain misalnya

histoplasmosis dan koksidiodomikosis. Kadang-kadang juga ditemukan

beberapa jenis kanker yaitu kanker kelenjar getah bening dan kanker sarkoma

kaposi.

2.5 GEJALA KLINIS

Gejala penderita AIDS dapat ringan sampai berat. Di AS ditemukan ratusan ribu

orang yang dalam darahnya mengandung virus AIDS tanpa gejala klinis (carier).

Pembagian tingkat klinis penyakit infeksi HIV, dibagi sebagai berikut:

I. Tingkat klinis 1 (asimptomatik/limfadenopati generalisata persisten(LGP)

1. Tanpa gejala sama sekali


2. LGP

Pada tingkat ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan

aktivitas normal.

II. Tingkat klinis 2 (dini)

1. Penurunan berat badan kurang dari 10%

2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroik, prurigo,

onikomikosis, ulkus pada mulut yang berulang dan keilitis angularis.

3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir

4. Infeksi saluran nafas bagian atass berulang misalnya sinusitiss

Pada tingkat ini penderita sudah menunjukkan gejala, tetapi aktivitas tetap

normal.

III. Tingkat klinis III (Menengah)

1. Penurunan berat badan lebih dari10%

2. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari 1

bulan, hilang timbul maupun terus menerus.

3. Kandidosis mulut

4. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukoplakia)

5. Tuberkolosis paru setahun terakhir

6. Infeksi bakterial berat, misalnya pneumoni


2.6 STIGMA

Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena

pengaruh lingkungannya (KBBI). Menurut Castro dan Farmer (2005) stigma ini dapat

mendorong seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau

tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedian layanan

kesehatan, teman sekerja, para teman dan keluarga. Stigama membuat pembatasan

pada pendidikan, pekerjaan, perumahan dan perawatan kesehatan.

Stigma dapat dialami sebagai rasa malu atau bersalah, atau secara luas dapat

dinyatakan sebagai diskriminasi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan percaya diri,

kehilangan motivasi, penarikan diri dari kehidupan sosial, menghindari pekerjaan,

interaksi dalam kesehatan dan kehilangan perencanaan masa depan. Stigma juga

berarti sebuah fenomena yang terjadi ketika seseorang diberikan labeling, stereotip,

separation, dan mengalami diskriminasi (Link Phelan dalam Scheid & Brown, 2010).
BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

3.1. Data Sekunder

3.1.1. Profil Puskesmas Tumpang

a. Data Umum

Lokasi: Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur

b. Data Wilayah

 Luas Wilayah : 32.178 km

 Wilayah dataran rendah : 9 desa / 60%

1) Desa Tumpang

2) Desa Malangsuko

3) Desa Jeru

4) Desa Wringinsongo

5) Desa Slamet

6) Desa Bokor

7) Desa Pandanajeng

8) Desa Pulungdowo

9) Desa Tulusbesar

 Wilayah dataran tinggi : 6 desa / 40%

1) Desa Kambingan

2) Desa Kidal

3) Desa Ngingit

4) Desa Benjor

5) Desa Duwet

6) Desa Duwet Krajan


 Jumlah desa/kelurahan : 15 desa

- Yang dapat dijangkau kendaraan roda 4 : 15 desa

- Yang dapat dijangkau kendaraan roda 2 : 15 desa

- Yang tidak dapat dijangkau kendaraan roda 4 & 2 : 0 desa

Gambar 3.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Tumpang

c. Data Kependudukan

 Jumlah Penduduk seluruhnya : 76.863 orang

- Laki-laki : 38.810 orang

- Perempuan : 38.053 orang

 Jumlah kepala keluarga : 22.704 KK

 Jumlah KK Miskin : 25.241 Jiwa

 Piramida Penduduk terlampir : 0

 Jumlah bayi kurang 1 tahun : 1.221 bayi

 Jumlah anak balita(1-4) tahun : 5.054 anak

 Jumlah anak prasekolah ( 3-5 tahun ) : 5.054 anak

 Jumlah wanita usia subur : 23.881 orang


 Jumlah pasangan usia subur : 14.176 pasang

 Jumlah ibu hamil : 1.382 orang

 Jumlah ibu nifas : 1.283 orang

 Jumlah ibu meneteki : 2.543 orang

 Jumlah ibu bersalin : 1.277 orang

3.1.2 Profil Desa Benjor

Nama Desa : Desa Benjor

Luas wilayah : 144,92 km2

Jumlah penduduk : 2.214

Jumlah rumah tangga : 654

Tingkat pendudukan tertinggi

 Tidak memiliki ijazah SD : 106

 SD/MI : 1.284

 SMP/MTS : 303

 SMA/MA : 73

 SMK :0

 Diploma/diploma II :0

 Diploma III :3

 Universitas : 15

3.2 Data Primer

Berdasarkan hasil kuesioner yang telah di bagikan kepada beberapa kader

kesehatan dan perangkat desa di desa benjor yang berjumlah 30 orang sampel, maka

diperoleh hasil sebegai berikut.:


Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Kesehatan tentang
Penularan HIV/AIDS
Pengetahuan kesehatan
tentang penularan Frekuensi (f) Persentase (%)
HIV/AIDS

Baik 5 16,66%

Sedang 10 33,33%
Buruk 15 50%
Total 30 100%

Tabel 2. Distribusi Frekuensi simbolis bagi ODHA

Simbolis Bagi ODHA Frekuensi (f) Persentase (%)

Baik 7 23,33%

Sedang 10 33,33%
Buruk 13 43,33%
Total 30 100%

Tabel 3. Distribusi Frekuensi sikap atas keberadaan ODHA

Sikap atas keberadaan Frekuensi (f) Persentase (%)


ODHA

Baik 8 26,66%

Sedang 13 43,33%
Buruk 9 30%
Total 30 100%

Anda mungkin juga menyukai