MAKALAH
MAKALAH
PENDAHULUAN
1
Penderita alopesia androgenik sering mengalami psikologis seperti frustasi dan
kehilangan rasa percaya diri terutama pada perempuan. Tidak ada terapi yang efektif
untuk menghambat progesivitas dari alopesia andogenik, meskipun pengobatan tetap bisa
dilakukan, batang rambut tidak dapat tumbuh selebat dan setebal dulu.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Rambut Terminal
2. Rambut Velus
Rambut halus yang sedikit mengandung pigmen, terdapat hampir di
seluruh tubuh. Mulai dari sebelah luar, penampang rambut dapat dibagi atas:
c. Medula, terdiri atas 3-4 lapis sel kubus yang berisi keratohialin, badan lemak,
Sejak pertama kali terbentuk folikel rambut mengalami siklus pertumbuhan yang
berulang. Folikel rambut tersebut tidak aktif secara terus-menerus tetapi bergantian
mengalami masa istirahat. Fase pertumbuhan dan fase istirahat bergantian berdasarkan
umur dan regio tempat rambut tersebut tumbuh dan juga dipengaruhi faktor fisiologis
maupun patologis.
3
1. Masa Anagen
Sel-sel matriks melalui mitosis membentuk sel-sel baru mendorong sel-sel yang lebih
tua ke atas. Aktivitas ini lamanya antara 2-6 tahun.
2. Masa Katagen
Masa peralihan yang didahului oleh penebalan jaringan ikat di sekitar folikel rambut.
Bagian tengah akar rambut menyempit dan di bagian bawahnya melebar dan
mengalami pertandukan sehingga terbentuk gada (club). Masa peralihan ini
berlangsung 2-3 minggu.
3. Masa Telogen
Merupakan masa istirahat yang dimulai dengan memendekna sel epitel dan berbentuk
tunas kecil yang membuat rambut baru sehingga rambut gada akan terdorong keluar.
1. Hormon
Hormon yang berperan adalah androgen, estrogen, tiroksin, dan kortikosteroid. Masa
pertumbuhan rambut 35mm/hari, lebih cepat pada wanita. Hormon androgen dapat
4
mempercepat pertumbuhan dan menebalkan rambut di daerah janggut. Pada wanita
aktivitas hormon androgen akan menyebabkan hirsutisme, sebaliknya hormon estrogen
dapat memperlambat pertumbuhan
2. Metabolisme
3. Nutrisi
Malnutrisi berpengarh pada pertumbuhan rambut terutama malnutrisi protein dan kalori.
Pada keadaan ini rambut menjadi kering dan suram. Adanya kehilangan pigmen setempat
sehingga rambut tampak berbaai warna. Kekurangan itamin B12, asam folat, dan zat besi
juga dapat menyebabkan kerontokan rambut.
4. Vaskularisasi
Kelainan yang ditandai dengan bercak/daerah pada kulit, tempat rambut menghilang
secara komplit dan cepat.
Tipe-tipe Alopesia :
a. Alopesia Universalis : kebotakan yang mengenai seluruh rambut yang ada pada
tubuh.
b. Alopesia Totalis : kebotakan yang mengenai seluruh rambut kepala.
c. Alopesia Areata : kebotakan yang terjadi setempat-setempat dan berbatas tegas,
umumnya terdapat pada kulit kepala, tetapi dapat juga mengenai daerah
berambut lainnya.
5
2.5 Alopesia Areata
2.5.1 Definisi
Alopesia areata merupakan kebotakan setempat dengan bentuk bulat atau oval
tanpa tanda inflamasi yang jelas. Paling sering terjadi di kulit kepala.
2.5.2 Gejala Klinis
6
· Ophiasis: kebotakan berbentuk seperti pita pada perifer kulit
kepala.
Lekukan pada bagian distal kuku (hammered brass) dapat terlhat pada pasien
dengan alopesia areata. Remisi spontan dapat terjadi pada AA, namun jarang
terjadi pada AAT atau AAU.
7
Setelah memasuki fase telogen, sel-sel pada dermal papilla dan
keratinocytes stem cells akan kembali teraktivasi dan terbentuk folikel
rambut baru dimulai dari bagian bawah pada dermal papilla tempat
tumbuhnya folikel rambut yang lama. Semua fase ini terjadi berulang dan
diatur oleh interaksi antara epitel folikuler dan dermal papilla yang ada di
dekatnya melalui keseimbangan antara proliferasi, diferensiasi, dan
apoptosis.
Sementara itu, alopesia areata merupakan penyakit yang terjadi akibat terganggunya siklus
pertumbuhan rambut di atas. Pada kelainan ini fase catagen dan telogen terjadi lebih awal dan
lebih singkat dari normalnya dan digantikan oleh pertumbuhan anagen yang distrofik. Meski
demikian, banyak penelitian memperlihatkan bahwa gangguan pada alopesia areata lebih banyak
terjadi pada fase anagen III/IV.
8
Pada dasarnya terjadinya alopesia areata melibatkan 3 komponen fisiologis, yaitu timus, perifer
(pembuluh darah, skin-draining lymph nodes, limpa, dan kulit), serta folikel rambut atau jaringan
target. Mekanisme ini dimulai dari timus. Progenitor sel T yang berasal dari sumsum tulang pada
mulanya mengalami seleksi positif dan negatif di dalam timus untuk memilih sel T berdasarkan
afinitasnya terhadap self peptide-MHC complex. Molekul Human Leukocyte Antigen (HLA) juga
penting dalam seleksi ini. Individu yang memiliki HLA halotypes yang spesifik (faktor genetik)
cenderung membuat sel T ini menjadi autoreaktif. Selanjutnya timus akan memperlihatkan
berbagai antigen dari seluruh tubuh untuk proses pematangan sel T, kecuali antigen folikel
rambut. Pada akhirnya akan terbentuk sel T CD8+ dan CD4+ yang kemudian harus melewati
toleransi di timus.
Sel T yang autoreaktif umumnya akan masuk ke perifer akibat toleransi pada timus yang buruk.
Di dalam perifer sel T juga akan mengalami aktivasi antigen spesifik. Bila diaktifkan oleh self-
peptide, sel T akan mengalami ekspansi klonal yang diikuti dengan delesi atau anergi (inaktivasi
secara fungsional). Bila delesi dan anergi ini gagal maka sel T autoreaktif akan menumpuk
sehingga menimbulkan proses autoimun. Menurunnya jumlah CD4+CD25+ regulatory T cells
yang diyakini mampu menekan proses autoimun ini juga akan mengakibatkan sel T autoreaktif
semakin bertambah banyak. Berbagai antigen diri yang berasal dari rambut, seperti keratin 16,
trichohyalin, atau antigen lain di sekitarnya seperti keratinocytes, dermal papilla, dermal sheath
cells, dan melanocytes, atau antigen asing dapat memicu aktivasi sel T autoreaktif, proses ini
dinamakan molecular mimicry (Gambar 2).
Setelah melewati seleksi negatif di dalam timus, aktivasi terhadap antigen diri dan antigen asing
di dalam skin-draining lymph nodes, dan melewati toleransi di perifer, sel T autoreaktif akan
menginduksi terjadinya mekanisme autoimun. Ada beberapa komponen yang dianggap terlibat
dalam mekanisme tersebut, seperti CD8+ yang bersifat sitotoksik, sel NK, aktivitas sel NK-T,
antibody dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC), apoptosis folikel rambut melalui
interaksi Fas-Fas ligand, atau inhibisi siklus pertumbuhan rambut yang diinduksi oleh sitokin.
Selain itu, perlu diketahui bahwa pada folikel rambut yang normal hanya sedikit ditemukan
adanya MHC class I sedangkan sitokin imunosupresif, seperti TGF-β, IGF-1, α-MSH, dan sel
NK sering dijumpai dan berfungsi sebagai pertahanan melawan antigen. Sebaliknya pada
9
kondisi-kondisi tertentu, seperti infeksi, mikrotrauma folikuler, atau antigen mikroba dapat
merangsang pelepasan sitokin proinflamasi seperti IFN-γ yang mampu menginduksi ekspresi
molekul MHC class I dan II secara tidak wajar ke dalam follicular bulb cells sedangkan jumlah
sitokin imunosupresif menurun atau fungsinya terganggu.
Selanjutnya kondisi di atas akan mengakibatkan infiltrasi sel T CD8+ dan CD4+ ke dalam folikel
rambut yang terjadi selama fase akut (Gambar 3 dan 4). Infiltrasi ini disebabkan oleh adanya
peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi seperti intercellular adhesion molecules 2 (ICAM-
2) dan ELAM-1 di area perivaskuler dan peribulbar pada kulit. Molekul-molekul adhesi ini
kemudian berikatan dengan sel T kemudian membawanya menuju ke sel endotel pembuluh darah
dan akhirnya ke dermis. Sel T CD8+ menginfiltrasi area dermis pada folikel rambut
(intrafolikuler) dan sel T CD4+ pada area sekitar folikel rambut (perifolikuler) pada fase anagen.
Dengan bantuan sel T CD4+ molekul-molekul MHC ini kemudian dikenali sebagai antigen oleh
sel T CD8+ yang autoreaktif.
Pada akhirnya folikel rambut akan mengalami miniaturisasi kemudian diikuti dengan terhentinya
siklus pertumbuhan rambut secara prematur pada fase anagen awal. Folikel rambut dalam
kondisi ini disebut folikel rambut nanogen. Proses keratinisasi juga menjadi tidak lengkap,
sehingga pertumbuhan rambut digantikan menjadi anagen distrofik yang berarti bahwa meskipun
fase anagen tetap ada, kemampuan folikel rambut untuk memproduksi rambut dengan ukuran
dan integritas yang sesuai mengalami gangguan. Pada fase kronis, telogen akan berlangsung
lebih lama dan tidak terjadi tanda-tanda akan memasuki fase anagen.
Selain mekanisme di atas stres juga dianggap dapat mengakibatkan alopesia areata dengan
melibatkan nerve growth factor (NGF), substance P, dan mast cell. Saat stres NGF akan
menstimulasi sintesis substansi P di dalam dorsal root ganglia dan menginduksi fase catagen
lebih awal. Selanjutnya neuropeptida ini akan ditranspor melalui serabut saraf sensorik
peptidergik menuju ke kulit yang kemudian mengakibatkan timbulnya peradangan neurogenik
perifolikuler yang dapat mengganggu pertumbuhan rambut.
10
Gambar 2. Imunopatogenesis Alopesia Areata.
11
Gambar 3. Folikel Rambut pada Fase Anagen Normal dan pada Alopesia Areata.
Gambar 4. Mekanisme Presentasi Antigen dalam Folikel Rambut pada Penderita Alopesia
Areata.
12
2.5.4 Pemeriksaan Penunjang
2.5.5 Penatalaksanaan
13
2.5.4.1 Penatalaksanaan Umum
Tidak ada terapi kuratif yang tersedia untuk alopesia areata.
Penatalaksanaan untuk aleposia areata ini masih kurang memuaskan.
Dalam kebanyakan kasus, yang paling penting adalah penanganan
pasien secara psikologis baik berupa dukungan dari dokter, keluarga,
maupun kelompok lain. Pasien dengan area alopesia yang luas dapat
disarankan untuk memakai wig. Alis mata juga dapat digambar dengan
menggunakan make-up ataupun ditato untuk memperbaiki kosmetik
1. Glukokortikoid
a. Topikal.
Kelompok yang superpoten biasanya memberikan
hasil yang efektif.
b. Injeksi Intralesi
Lesi alopesia yang kecil dapat diobati dengan
menyuntikan triamnicolone acetonide 3-7 mg/mL intralesi,
yang terbukti sangat efektif untuk sementara.
c. Glukokortikoid Sistemik.
Dapat merangsang pertumbuhan tapi kondisi alopesia
akan muncul kembali apabila obat dhentikan, sehingga
penderita harus mengkonsumsi obat tersebut dalam jangka
panjang.
2. Siklosporin sistemik
Dapat merangsang pertumbuhan tetapi alopesia areata akan
muncul kembali apabila obat dihentikan.
14
preferensi pribadi pasien. Untuk pasien yang lebih muda dari 10 tahun, obat
yang di pilih termasuk krim kortikosteroid, minoxidil, dan Anthralin. Untuk
orang dewasa dengan keterlibatan kulit kepala kurang dari 50%, Pilihan
pertama biasanya adalah kortikosteroid intralesi, diikuti dengan krim
kortikosteroid, minoxidil, dan Anthralin. Untuk orang dewasa dengan
keterlibatan kulit kepala lebih dari 50%, imunoterapi topikal dan fototerapi
merupakan pilihan tambahan
2.5.6 Prognosis
Pertumbuhan kembali rambut secara spontan terjadi dalam 6 bulan pada
33% kasus alopesia areata, dan dalam 1 tahun pada 50% kasus. Pada awalnya
rambut yang tumbuh kembali akan berupa rambut velus yang halus, kamudian
akan digantikan dengan rambut yang kuat dan berpigman. Namun, pada 33 %
kasus akan mengalami episode alopesia seumur hidupnya. Prognosis buruk
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia awal terkena alopesia yang <
10 tahun, luasnya alopesia, cepat atau lambatnya pengobatan serta adanya
kelainan organ tubuh lain misalnya distrofi kuku.
15
- Tipe II : tampak pengurangan rambut pada kedua bagian temporal; pada tipe I
dan II belum terlihat alopesia
- Tipe III : border line
- Tipe IV : pengurangan rambut daerah frontotemporal, disertai pengurangan
rambut bagian midfrontal.
- Tipe V : tipe IV yang menjadi lebih berat.
- Tipe VI : seluruh kelainan menjadi satu.
- Tipe VII : alopesia luas dibatasi pita rambut jarang.
- Tipe VIII : alopesia frontotemporal menjadi satu dengan bagian vertex.
16
Gambar : Klasifikasi Hamilton-Norwood
Kebotakan pada perempuan lebih diffuse dibandingkan pada laki-laki. Biasanya terjadi
kebotakan pada puncak kepala tanpa melibatkan kerontokan pada garis rambut bagian frontal.
Kebotakan pada bagian parietal juga dapat terjadi pada female pattern alopecia..
2.6.3 Patofisiologi
Reseptor androgen pada folikel rambut hanya terdapat pada dermal papila.
Saat androgen memasuki sel dermal papila, gen SRD5A1 dan SRD5A2 akan
memproduksi enzim 5α-reduktase yang mengubah androgen menjadi DHT. Pada
penderita alopesia androgenika, gen SRD5A1 dan SRD5A2 memproduksi lebih
banyak enzim 5α-reduktase sehingga lebih banya DHT yang terbentuk. DHT
kemudian berikatan dengan reseptor androgen dan masuk ke dalam nukleus dari
sel dermal papila dan terjadi proses transkripsi. Peningkatan jumlah DHT
menyebabkan durasi proses mitosis dari sel sepitel dermal papila menjadi lebih
singkat, sehingga waktu bagi sel dermal papila untuk berdiferensiasi menjadi
lebih sedikit. Proses mitosis yang terganggu ini menyebabkan dermal papila
semakin mengecil pada tiap siklus pertumbuhan rambut. Dermal papila
17
mengontrol ukuran dan tebal dari batang rambut yang tumbuh, karena itu pada
penderita alopesia androgenika yang dermal papilanya mengecil, rambut yang
tumbuhpun semakin memendek dan menipis..
Pemendekan durasi miitosis dermal papila juga berarti pemendekan fase
anagen, karena fase anagen sendiri terdiri dari fase mitosis sel dermal papila yang
berdiferensiasi menjadi akar rambut dan batang rambut. Pemendekan fase anagen
mengakibatkan berkurangnya waktu pertumbuhan batang rambut.
18
rambut dan menghitung perbandingan jumlah rambut anagen dan telogen. Pada
orang normal, akan didapatkan 80-90% rambut anagen (terdapat selubung putih
yang panjang dibagian akar rambut); sedangkan pada seseorang dengan alopesia
androgenika, jumlah rambut telogen (selubung putih didak nampak, dan bagian
akar rambut lebih besar dan lebar) lebih banyak dibandingkan rambut anagen.
Pemeriksaan dermatopatologis dapat dilakukan dengan hasil yang
ditemukan adalah pengecilan ukuran folikel rambut dan terkadang hampir atrofi.
Pemeriksaan hormon yaitu total testosteron, testosteron bebas, sulfat
dehidroepiandrosteron (DHEAS), dan prolaktin dapat dilakukan pada penderita
alopesia androgenika perempuan.
2.6.6 Penatalaksanaan
19
adalah 200mg/hari. Terapi kombinasi dari obat topikal dan sistemik baik pada
laki-laki maupun perempuan dilakukan selama 6 bulan dan kemudian dilakukan
pemantauan kembali.
Terapi kosmetik pada pasien alopesia areata biasanya dengan
menggunakan wig atau rambut palsu. Umumnya wig hanya digunakan pada
pasien wanita dan jarang pada pasien laki-laki. Selain itu, berbagai prosedur
operasi dapat dilakukan antara lain hair grafts dan implantasi rambut. Hair grafts
dilakukan untuk menyebar rambut pada bagian perietal dan oksipital merata pada
seluruh kulit kepala. Sedangkan untuk transplantasi rambut masih terus
mengalami perbaikan karena implantasi serat rambut pada kulit kepala dapat
menyebabkan komplikasi berupa infeksi.
Penderita alopesia androgenika sering mengalami psikologis seperti
frustasi dan kehilangan rasa percaya diri terutama pada perempuan, karena itu
dianjurkan untuk memberikan terapi psikologis bagi penderita alopesia.
Tidak ada terapi yang efektif untuk menghambat progesivitas dari alopesia
andogenika, meskipun pengobatan tetap bisa dilakukan, batang rambut tidak
dapat tumbuh selebat dan setebal dulu. Keberhasilan terapi alopesia androgenika
bergantung secara subjektif kepada kepuasan dari penderita terhadap hasil dari
terapi, karena pasien perlu diberikan infromasi mengenai alopesia androgenika itu
sendiri yang merupakan penyakit akibat faktor keturunan dan hormon. Pasien
perlu diberi informasi mengenai cara pengobatan yang lama dan harus teratur
serta efek samping dari pengobatan
2.6.7 Prognosis
Sebanyak 30-60% pasien penderita alopesia androgenika mengalami
perbaikan setelah diberikan terapi topikal dan sistemik, meskipun tidak
sepenuhnya mengembalikan kondisi rambut seperti semula. Selain itu, hair grafts
dapat membantu memperbaiki kebotakan dan menghasilkan garis rambut frontal
yang cukup natural. Keberhasilan dari terapi sendiri bergantung secara subjektif
pada kepuasan penderita dengan hasil yang dicapai.
20
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kata “alopecia” berasal dari Yunani “alopex”, artinya rubah yang menderita
penyakit kulit sehingga kehilangan sebagian bulunya. Alopesia berarti kehilangan rambut
dari tubuh. Banyak faktor yang dipercaya mempengaruhi pertumbuhan rambut dan
kemungkinan dapat mengakibatkan kebotakan atau kerontokan yang berlebihan, baik
yang sifatnya sementara (reversible) atau yang permanen (irreversible). Alopesia areata
dan alopesia androgenik merupakan jenis alopesia yang paling sering terjadi.
Alopesia areata merupakan kebotakan setempat dengan bentuk bulat atau oval
tanpa tanda inflamasi yang jelas. Paling sering terjadi di kulit kepala. Pada alopesia
areata, laporan perbandingan insidens alopesia areata sama banyak antara pria dan
wanita.
Alopesia androgenik yang disebut juga androgenic alopecia, kebotakan yang
turun-menurun atau yang lebih dikenal dengan nama male pattern baldness (kebotakan
berpola pada laki-laki) adalah kebotakan yang paling umum terjadi khususnya pada laki-
laki. Alopesia androgenik pada laki-laki dicirikan dengan kebotakan atau penipisan
rambut berpola yang biasanya terjadi setelah pubertas. Angka kejadian pada perempuan :
laki-laki adalah 1:3.
Penatalaksanaan dari alopesia disesuaikan menurut klasifikasinya, dapat melalui
terapi operatif maupun farmakologis
22
DAFTAR PUSTAKA
Handoko RP. 2005. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kevin J. Mc Elwee & Rolf Haffmann. Resistance to Alopecia Areata in C3H/HeJ Mice Is
Associated with Increased Expression of Regulatory Cytokines and a Failure to Recruit CD4 þ
and CD8 þ Cells. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2017.
Menaldi, Sri Linuwih SW, dkk. 2016. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta : FKUI
Siregar, R.S. 2004. SARIPATI PENYAKIT KULIT. Edisi 2. Jakarta : EGC. hlm 243-244.
Wolff K, Johnson R, Saavedra A. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of Clinical Dermatology.
2013. Edisi ke 7. McGraw-hill Profesional. hlm 767
23