Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rambut merupakan salah satu adneksa kulit yang terdapat pada seluruh tubuh
kecuali telapak tangan, telapak kaki, kuku, dan bibir. Kerontokan rambut adalah hal yang
pernah dialami hampir semua orang, tetapi bila kerontokan rambut tersebut berlangsung
lama dan menyebabkan alopesia atau kebotakan. Banyak hal yang dapat menyebabkan
kerontokan rambut, pada umumnya rambut rontok berhubungan dengan penyakit
sistemik atau internal, diet yang buruk, penyakit tiroid, atau konsumsi obat-obatan
tertentu.
Menurut mekanisme terjadinya, alopesia dapat terjadi dengan atau tanpa disertai
pembentukan parut (sikatrikal dan non sikatrikal). Kelompok alopesia non sikatrikal
antara lain meluputi alopesia androgenik, alopesia areata, alopesia yang berhubungan
dengan proses sistemik, serta alopesia traumatik. Diantara alopesia-alopesia tersebut,
alopesia areata dan alopesia androgenic merupakan jenis yang sering dijumpai.
Alopesia areata adalah peradangan yang kronis, berulang dari rambut terminal,
yang ditandai oleh timbulnya satu atau lebih bercak kerontokan rambut pada scalp dan
atau kulit yang berambut terminal lainnya. Lesi pada umumnya berbentuk bulat atau
lonjong dengan batas tegas, permukaan licin tanpa adanya tanda-tanda atropi, skuamasi
maupun sikatriks.
Alopesia androgenik (male pattern alopecia) adalah kebotakan progresif umum
yang terjadi akibat pengaruh faktor predisposisi genetik dan androgen terhadap folikel
rambut. Meskipun pola kebotakan pada perempuan berbeda dengan laki-laki,
namun female pattern alopecia juga sering disebut alopesia androgenik karena
karakteristik kebotakan yang sama pada kedua kelompok gender yaitu ditandai dengan
pemendekan fase anagen, pemanjangan fase telogen, dan pengecilan folikel rambut yang
mengakibatkan batang rambut tumbuh semakin menipis pada setiap siklus. Kebotakan
biasa dimulai pada usia 20-an atau awal usia 30-an dengan pola yang khas yaitu dimulai
dari rambut bagian frontal dan vertex sehingga garis rambut tampak mundur, menyisakan
rambut di bagian parietal saja. Sedangkan pada perempuan, pola kebotakan lebih diffuse
dan dimulai dari puncak kepala.

1
Penderita alopesia androgenik sering mengalami psikologis seperti frustasi dan
kehilangan rasa percaya diri terutama pada perempuan. Tidak ada terapi yang efektif
untuk menghambat progesivitas dari alopesia andogenik, meskipun pengobatan tetap bisa
dilakukan, batang rambut tidak dapat tumbuh selebat dan setebal dulu.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Rambut


Rambut merupakan salah satu adneksa kulit yang terdapat pada seluruh tubuh
kecuali telapak tangan, telapak kaki, kuku, dan bibir. Jenis rambut pada manusia pada
garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Rambut Terminal

Rambut kasar yang mengandung banyak pigmen. Terdapat di kepala, alis,


bulu mata, ketiak, dan genitalia eksterna.

2. Rambut Velus

Rambut halus yang sedikit mengandung pigmen, terdapat hampir di


seluruh tubuh. Mulai dari sebelah luar, penampang rambut dapat dibagi atas:

a. Kutikula, terdiri atas lapisan keratin yang berguna untuk perlindungan


terhadap kekeringan dan pengaruh lain dari luar.
b. Korteks, terdiri atas serabut polipeptida yang memanjang dan saling

berdekatan. Lapisan ini yang mengandung pigmen.


c. Medula, terdiri atas 3-4 lapis sel kubus yang berisi keratohialin, badan lemak,
dan rongga udara. Rambut velus tidak mempunyai medula.

2.2 Siklus Aktivitas Folikel Rambut

Sejak pertama kali terbentuk folikel rambut mengalami siklus pertumbuhan yang
berulang. Folikel rambut tersebut tidak aktif secara terus-menerus tetapi bergantian
mengalami masa istirahat. Fase pertumbuhan dan fase istirahat bergantian berdasarkan
umur dan regio tempat rambut tersebut tumbuh dan juga dipengaruhi faktor fisiologis
maupun patologis.

Siklus pertumbuhan rambut normal adalah sebagai berikut :

1. Masa Anagen
Sel-sel matriks melalui mitosis membentuk sel-sel baru mendorong sel-sel yang lebih
tua ke atas. Aktivitas ini lamanya antara 2-6 tahun.
3
2. Masa Katagen
Masa peralihan yang didahului oleh penebalan jaringan ikat di sekitar folikel rambut.
Bagian tengah akar rambut menyempit dan di bagian bawahnya melebar dan
mengalami pertandukan sehingga terbentuk gada (club). Masa peralihan ini
berlangsung 2-3 minggu.

3. Masa Telogen
Merupakan masa istirahat yang dimulai dengan memendekna sel epitel dan berbentuk
tunas kecil yang membuat rambut baru sehingga rambut gada akan terdorong keluar.

Gambar : Siklus pertumbuhan rambut

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rambut:

1. Hormon

Hormon yang berperan adalah androgen, estrogen, tiroksin, dan kortikosteroid. Masa
pertumbuhan rambut 35mm/hari, lebih cepat pada wanita. Hormon androgen dapat
mempercepat pertumbuhan dan menebalkan rambut di daerah janggut. Pada wanita
aktivitas hormon androgen akan menyebabkan hirsutisme, sebaliknya hormon estrogen
dapat memperlambat pertumbuhan

2. Metabolisme

4
3. Nutrisi

Malnutrisi berpengarh pada pertumbuhan rambut terutama malnutrisi protein dan kalori.
Pada keadaan ini rambut menjadi kering dan suram. Adanya kehilangan pigmen setempat
sehingga rambut tampak berbaai warna. Kekurangan itamin B12, asam folat, dan zat besi
juga dapat menyebabkan kerontokan rambut.

4. Vaskularisasi

2.3 Definisi Alopesia

Kelainan yang ditandai dengan bercak/daerah pada kulit, tempat rambut menghilang
secara komplit dan cepat.
Tipe-tipe Alopesia :

a. Alopesia Universalis : kebotakan yang mengenai seluruh rambut yang ada pada
tubuh.
b. Alopesia Totalis : kebotakan yang mengenai seluruh rambut kepala.
c. Alopesia Areata : kebotakan yang terjadi setempat-setempat dan berbatas tegas,
umumnya terdapat pada kulit kepala, tetapi dapat juga mengenai daerah
berambut lainnya.

2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasinya berupa pendataran dari folikel rambut dengan distribusi
fokal ataupun merata, biasanya di kulit kepala atau di daerah janggut. Hasil
akhirnya adalah penggantian orifisium dari folikel rambut dengan jaringan
fibrosa. Bekas luka (scar) bersifat irreversible, dan terapi tidaklah efektif.
2.5 Alopesia Areata
2.5.1 Definisi
Alopesia areata merupakan kebotakan setempat dengan bentuk bulat atau oval
tanpa tanda inflamasi yang jelas. Paling sering terjadi di kulit kepala.
2.5.2 Gejala Klinis

Durasi dari kebotakan dapat berkisar antara minggu sampai bulan.


Bercak alopesia areata dapat stabil dan sering menunjukkan pertumbuhan
kembali secara spontan dalam periode beberapa bulan; bercak alopesia areata

5
baru dapat timbul di saat bercak yang lain mulai hilang. Bercak alopesia
areata ini dapat soliter maupun multiple.
Kulit kepala biasanya normal, mungkin juga dapat ditemukan sedikit
eritema pada daerah kebotakan. Pada rambut ditemukan bercak kebotakan
berbentuk bulat, dapat soliter dapat juga multipel. Bercak-bercak yang
multipel dapat saling tumpang tindih. Pada kulit kepala masih tampak
orifisium dari folikel rambut. Tampak rambut berbentuk tanda seru
(exclamation mark hair) yaitu rambut dengan bagian distal lebih lebar
dibandingkan dengan rambut bagian proksimal, terlihat pada batas bercak
kebotakan. Alopesia areata yang difus dapat sulit dibedakan dengan kebotakan
berpola, effluvium telogen, dan kebotakan yang dikarenakan penyakit tiroid.
Rambut yang tumbuh kembali biasanya tipis, dan sering berwarna putih atau
abu-abu.
Tempat yang paling sering terkena adalah kulit kepala, tetapi AA dapat
muncul pada semua tempat yang berambut (janggut, alis, bulu mata, maupun
pubis). AA dibagi menjadi.
· Alopecia Areata (AA): area kebotakan soliter maupun multipel
· AA totalis (AAT): kebotakan total dari rambut terminal di kepala
· AA universalis (AAU): kebotakan total dari semua rambut terminal
di tubuh dan kepala.
· Ophiasis: kebotakan berbentuk seperti pita pada perifer kulit
kepala.

Lekukan pada bagian distal kuku (hammered brass) dapat terlhat pada pasien
dengan alopesia areata. Remisi spontan dapat terjadi pada AA, namun jarang
terjadi pada AAT atau AAU.
2.5.3 Patofisiologi Alopesia Areata

Pada dasarnya rambut mengalami pertumbuhan normal melalui mekanisme


yang terdiri dari 3 fase, yaitu (Gambar 1)

1. Anagen (Fase Pertumbuhan)


Sel-sel matriks mengalami mitosis membentuk sel-sel baru, mendorong
sel-sel yang lebih tua ke atas serta berdiferensiasi membentuk lapisan-

6
lapisan folikel rambut. Kemudian folikel rambut yang terbentuk akan
mengalami keratinisasi untuk memperkuat struktur rambut. Lamanya
pertumbuhan bervariasi tergantung pada lokasi tumbuhnya rambut sekitar
1-6 tahun dengan rata-rata 3 tahun.

2. Catagen (Fase Degenerasi/Involusi)


Saat jumlah sel matriks berkurang dan panjang rambut dianggap
mencukupi, sel matriks akan mulai mengalami apoptosis, kemudian
proliferasi dan diferensiasi juga akan melambat. Proses selanjutnya adalah
penebalan jaringan ikat di sekitar folikel rambut kemudian bagian tengah
akar rambut akan menyempit dan bagian bawahnya membulat membentuk
gada (club). Sedangkan batang rambut akan terdorong ke permukaan kulit
dan meninggalkan dermal papilla. Masa peralihan ini berlangsung 2-3
minggu.

3. Telogen (Fase Istirahat)


Proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis sel matriks menjadi terhenti.
Kemudian folikel rambut ini akan mengalami pelepasan (fase eksogen).

Setelah memasuki fase telogen, sel-sel pada dermal papilla dan


keratinocytes stem cells akan kembali teraktivasi dan terbentuk folikel
rambut baru dimulai dari bagian bawah pada dermal papilla tempat
tumbuhnya folikel rambut yang lama. Semua fase ini terjadi berulang dan
diatur oleh interaksi antara epitel folikuler dan dermal papilla yang ada di
dekatnya melalui keseimbangan antara proliferasi, diferensiasi, dan
apoptosis.

7
Gambar 1. Siklus Pertumbuhan Rambut Normal. A. Anagen (Fase Pertumbuhan); B. Catagen
(Fase Degeneratif/Involusi); C. Telogen (Fase Istirahat).

Sementara itu, alopesia areata merupakan penyakit yang terjadi akibat terganggunya siklus
pertumbuhan rambut di atas. Pada kelainan ini fase catagen dan telogen terjadi lebih awal dan
lebih singkat dari normalnya dan digantikan oleh pertumbuhan anagen yang distrofik. Meski
demikian, banyak penelitian memperlihatkan bahwa gangguan pada alopesia areata lebih banyak
terjadi pada fase anagen III/IV.

Pada dasarnya terjadinya alopesia areata melibatkan 3 komponen fisiologis, yaitu timus, perifer
(pembuluh darah, skin-draining lymph nodes, limpa, dan kulit), serta folikel rambut atau jaringan
target. Mekanisme ini dimulai dari timus. Progenitor sel T yang berasal dari sumsum tulang pada
mulanya mengalami seleksi positif dan negatif di dalam timus untuk memilih sel T berdasarkan
afinitasnya terhadap self peptide-MHC complex. Molekul Human Leukocyte Antigen (HLA) juga
penting dalam seleksi ini. Individu yang memiliki HLA halotypes yang spesifik (faktor genetik)
cenderung membuat sel T ini menjadi autoreaktif. Selanjutnya timus akan memperlihatkan
berbagai antigen dari seluruh tubuh untuk proses pematangan sel T, kecuali antigen folikel

8
rambut. Pada akhirnya akan terbentuk sel T CD8+ dan CD4+ yang kemudian harus melewati
toleransi di timus.

Sel T yang autoreaktif umumnya akan masuk ke perifer akibat toleransi pada timus yang buruk.
Di dalam perifer sel T juga akan mengalami aktivasi antigen spesifik. Bila diaktifkan oleh self-
peptide, sel T akan mengalami ekspansi klonal yang diikuti dengan delesi atau anergi (inaktivasi
secara fungsional). Bila delesi dan anergi ini gagal maka sel T autoreaktif akan menumpuk
sehingga menimbulkan proses autoimun. Menurunnya jumlah CD4+CD25+ regulatory T cells yang
diyakini mampu menekan proses autoimun ini juga akan mengakibatkan sel T autoreaktif
semakin bertambah banyak. Berbagai antigen diri yang berasal dari rambut, seperti keratin 16,
trichohyalin, atau antigen lain di sekitarnya seperti keratinocytes, dermal papilla, dermal sheath
cells, dan melanocytes, atau antigen asing dapat memicu aktivasi sel T autoreaktif, proses ini
dinamakan molecular mimicry (Gambar 2).

Setelah melewati seleksi negatif di dalam timus, aktivasi terhadap antigen diri dan antigen asing
di dalam skin-draining lymph nodes, dan melewati toleransi di perifer, sel T autoreaktif akan
menginduksi terjadinya mekanisme autoimun. Ada beberapa komponen yang dianggap terlibat
dalam mekanisme tersebut, seperti CD8+ yang bersifat sitotoksik, sel NK, aktivitas sel NK-T,
antibody dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC), apoptosis folikel rambut melalui
interaksi Fas-Fas ligand, atau inhibisi siklus pertumbuhan rambut yang diinduksi oleh sitokin.

Selain itu, perlu diketahui bahwa pada folikel rambut yang normal hanya sedikit ditemukan
adanya MHC class I sedangkan sitokin imunosupresif, seperti TGF-β, IGF-1, α-MSH, dan sel
NK sering dijumpai dan berfungsi sebagai pertahanan melawan antigen. Sebaliknya pada
kondisi-kondisi tertentu, seperti infeksi, mikrotrauma folikuler, atau antigen mikroba dapat
merangsang pelepasan sitokin proinflamasi seperti IFN-γ yang mampu menginduksi ekspresi
molekul MHC class I dan II secara tidak wajar ke dalam follicular bulb cells sedangkan jumlah
sitokin imunosupresif menurun atau fungsinya terganggu.

Selanjutnya kondisi di atas akan mengakibatkan infiltrasi sel T CD8+ dan CD4+ ke dalam folikel
rambut yang terjadi selama fase akut (Gambar 3 dan 4). Infiltrasi ini disebabkan oleh adanya
peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi seperti intercellular adhesion molecules 2 (ICAM-

9
2) dan ELAM-1 di area perivaskuler dan peribulbar pada kulit. Molekul-molekul adhesi ini
kemudian berikatan dengan sel T kemudian membawanya menuju ke sel endotel pembuluh darah
dan akhirnya ke dermis. Sel T CD8+ menginfiltrasi area dermis pada folikel rambut
(intrafolikuler) dan sel T CD4+ pada area sekitar folikel rambut (perifolikuler) pada fase anagen.
Dengan bantuan sel T CD4+ molekul-molekul MHC ini kemudian dikenali sebagai antigen oleh
sel T CD8+ yang autoreaktif.

Pada akhirnya folikel rambut akan mengalami miniaturisasi kemudian diikuti dengan terhentinya
siklus pertumbuhan rambut secara prematur pada fase anagen awal. Folikel rambut dalam
kondisi ini disebut folikel rambut nanogen. Proses keratinisasi juga menjadi tidak lengkap,
sehingga pertumbuhan rambut digantikan menjadi anagen distrofik yang berarti bahwa meskipun
fase anagen tetap ada, kemampuan folikel rambut untuk memproduksi rambut dengan ukuran
dan integritas yang sesuai mengalami gangguan. Pada fase kronis, telogen akan berlangsung
lebih lama dan tidak terjadi tanda-tanda akan memasuki fase anagen.

Selain mekanisme di atas stres juga dianggap dapat mengakibatkan alopesia areata dengan
melibatkan nerve growth factor (NGF), substance P, dan mast cell. Saat stres NGF akan
menstimulasi sintesis substansi P di dalam dorsal root ganglia dan menginduksi fase catagen
lebih awal. Selanjutnya neuropeptida ini akan ditranspor melalui serabut saraf sensorik
peptidergik menuju ke kulit yang kemudian mengakibatkan timbulnya peradangan neurogenik
perifolikuler yang dapat mengganggu pertumbuhan rambut.

10
Gambar 2. Imunopatogenesis Alopesia Areata.

11
Gambar 3. Folikel Rambut pada Fase Anagen Normal dan pada Alopesia Areata.

Gambar 4. Mekanisme Presentasi Antigen dalam Folikel Rambut pada Penderita Alopesia
Areata.

12
2.5.4 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis alopesia areata berdasarkan gambaran inspeksi klinis atas


pola mosaik alopesia atau alopesia yang secara klinis berkembang progresif
dan di dukung adanya trikodistrofi, anagen effluvium, atau telogen yang luas,
dan perubahan pada gambaran histopatologi. Pada stadium akut ditemukan
distrofi rambut anagen yang disertai rambut tanda seru (exclamation-mark
hairs) pada bagian proksimal, sedangkan pada stadium kronik akan didapatkan
peningkatan jumlah rambut telogen. Perubahan lain meliputi berkurangnya
diameter serabut rambut, miniaturisasi, pigmentasi yang tidak teratur. Tes
menarik rambut pada bagian tepi lesi yang positif menunjukkan keaktifan
penyakit.

Biopsi pada tempat yang terserang menunjukkan peradangan


limfositik peribulbar pada sekitar folikel anagen atau katagen disertai
meningkatnya eosinofil atau sel mast. Pada pemeriksaan histopatologi
diperoleh gambaran spesifik pada alopesia areata berupa miniaturisasi struktur
rambut, baik pada fase awal rambut anagen maupun pada rambut telogen yang
distrofik. Struktur fase awal rambut anagen biasanya dominan pada lesi baru,
sedangkan struktur rambut telogen yang distrofik di jumpai pada stadium
lanjut. Struktur fase awal rambut anagen tampak mengecil, bulbusnya terletak
hanya sekitar 2 mm di bawah permukaan kulit. Proses keratiniasi rambut
tersebut di dalam folikel berlangsung tidak sempurna. Sarung akar dalam
rambut biasanya tetap ada. Struktur rambut telogen distropik tidak
mengandung batang rambut atau hanya berupa rambut distropik yang kecil.
Folikel rambut akan berpindah ke dermis bagian atas. Kelenjar sebasea dapat
tetap normal atau mengalami atrofi. Terjadi infiltrasi limfosit pada dermis di
sekeliling struktur rambut miniature.Pada kasus kronik jumlah infiltrat
peradagan berkurang, dapat terjadi invasi sel radang ke matriks bulbus dan
sarung akar luar fase awal rambut anagen. Infiltrat peradangan tampak
tersusun longgar menyerupai gambaran sarang lebah
2.5.5 Penatalaksanaan
2.5.4.1 Penatalaksanaan Umum

13
Tidak ada terapi kuratif yang tersedia untuk alopesia areata.
Penatalaksanaan untuk aleposia areata ini masih kurang memuaskan.
Dalam kebanyakan kasus, yang paling penting adalah penanganan
pasien secara psikologis baik berupa dukungan dari dokter, keluarga,
maupun kelompok lain. Pasien dengan area alopesia yang luas dapat
disarankan untuk memakai wig. Alis mata juga dapat digambar dengan
menggunakan make-up ataupun ditato untuk memperbaiki kosmetik

2.5.4.2 Penatalaksanaan Khusus

1. Glukokortikoid
a. Topikal.

Kelompok yang superpoten biasanya memberikan


hasil yang efektif.
b. Injeksi Intralesi
Lesi alopesia yang kecil dapat diobati dengan
menyuntikan triamnicolone acetonide 3-7 mg/mL intralesi,
yang terbukti sangat efektif untuk sementara.
c. Glukokortikoid Sistemik.

Dapat merangsang pertumbuhan tapi kondisi alopesia


akan muncul kembali apabila obat dhentikan, sehingga
penderita harus mengkonsumsi obat tersebut dalam jangka
panjang.
2. Siklosporin sistemik
Dapat merangsang pertumbuhan tetapi alopesia areata akan
muncul kembali apabila obat dihentikan.

Terapi yang paling umum termasuk suntikan kortikosteroid, krim


kortikosteroid, minoxidil, Anthralin, imunoterapi topikal, dan fototerapi.
Pilihan satu agen di atas yang lain tergantung pada usia pasien (anak-anak
tidak selalu mentolerir efek samping), tingkat kondisi (lokal atau luas), dan
preferensi pribadi pasien. Untuk pasien yang lebih muda dari 10 tahun, obat
yang di pilih termasuk krim kortikosteroid, minoxidil, dan Anthralin. Untuk

14
orang dewasa dengan keterlibatan kulit kepala kurang dari 50%, Pilihan
pertama biasanya adalah kortikosteroid intralesi, diikuti dengan krim
kortikosteroid, minoxidil, dan Anthralin. Untuk orang dewasa dengan
keterlibatan kulit kepala lebih dari 50%, imunoterapi topikal dan fototerapi
merupakan pilihan tambahan

2.5.6 Prognosis
Pertumbuhan kembali rambut secara spontan terjadi dalam 6 bulan pada
33% kasus alopesia areata, dan dalam 1 tahun pada 50% kasus. Pada awalnya
rambut yang tumbuh kembali akan berupa rambut velus yang halus, kamudian
akan digantikan dengan rambut yang kuat dan berpigman. Namun, pada 33 %
kasus akan mengalami episode alopesia seumur hidupnya. Prognosis buruk
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia awal terkena alopesia yang <
10 tahun, luasnya alopesia, cepat atau lambatnya pengobatan serta adanya
kelainan organ tubuh lain misalnya distrofi kuku.
2.6 Alopesia Androgenik
2.6.1 Definisi
Alopesia androgenik yang disebut juga androgenic alopecia, kebotakan
yang turun-menurun atau yang lebih dikenal dengan nama male pattern baldness
(kebotakan berpola pada laki-laki) adalah kebotakan yang paling umum terjadi
khususnya pada laki-laki. Androgenetic alopecia pada laki-laki dicirikan dengan
kebotakan atau penipisan rambut berpola yang biasanya terjadi setelah pubertas.
2.6.2 Tipe-tipe Alopesia Androgenik

Hamilton-Norwood membagi tingkat kebotakan pada laki-laki beberapa tingkatan


sebagai berikut:
- Tipe I : rambut masih penuh
- Tipe II : tampak pengurangan rambut pada kedua bagian temporal; pada tipe I
dan II belum terlihat alopesia
- Tipe III : border line
- Tipe IV : pengurangan rambut daerah frontotemporal, disertai pengurangan
rambut bagian midfrontal.
- Tipe V : tipe IV yang menjadi lebih berat.
- Tipe VI : seluruh kelainan menjadi satu.
- Tipe VII : alopesia luas dibatasi pita rambut jarang.

15
- Tipe VIII : alopesia frontotemporal menjadi satu dengan bagian vertex.

Gambar : Klasifikasi Hamilton-Norwood

Tingkat kebotakan pada perempuan juga dibagi dalam beberapa tingkatan


menurut Ludwig sebagai berikut:

16
Gambar : Klasifikasi female pattern alopecia menurut Ludwig
Kebotakan pada perempuan lebih diffuse dibandingkan pada laki-laki. Biasanya terjadi
kebotakan pada puncak kepala tanpa melibatkan kerontokan pada garis rambut bagian frontal.
Kebotakan pada bagian parietal juga dapat terjadi pada female pattern alopecia..

2.6.3 Patofisiologi

Reseptor androgen pada folikel rambut hanya terdapat pada dermal papila.
Saat androgen memasuki sel dermal papila, gen SRD5A1 dan SRD5A2 akan
memproduksi enzim 5α-reduktase yang mengubah androgen menjadi DHT. Pada
penderita alopesia androgenika, gen SRD5A1 dan SRD5A2 memproduksi lebih
banyak enzim 5α-reduktase sehingga lebih banya DHT yang terbentuk. DHT
kemudian berikatan dengan reseptor androgen dan masuk ke dalam nukleus dari
sel dermal papila dan terjadi proses transkripsi. Peningkatan jumlah DHT
menyebabkan durasi proses mitosis dari sel sepitel dermal papila menjadi lebih
singkat, sehingga waktu bagi sel dermal papila untuk berdiferensiasi menjadi
lebih sedikit. Proses mitosis yang terganggu ini menyebabkan dermal papila
semakin mengecil pada tiap siklus pertumbuhan rambut. Dermal papila
mengontrol ukuran dan tebal dari batang rambut yang tumbuh, karena itu pada
penderita alopesia androgenika yang dermal papilanya mengecil, rambut yang
tumbuhpun semakin memendek dan menipis..
Pemendekan durasi miitosis dermal papila juga berarti pemendekan fase
anagen, karena fase anagen sendiri terdiri dari fase mitosis sel dermal papila yang
17
berdiferensiasi menjadi akar rambut dan batang rambut. Pemendekan fase anagen
mengakibatkan berkurangnya waktu pertumbuhan batang rambut.

Gambar : Pengecilan dermal papila pada alopesia androgenika

2.6.4 Gejala Klinis


Tanda klinis yang penting dari alopesia androgenika adalah batang rambut
yang menipis dan memendek sampai akhirnya digantikan rambut vellus. Penderita
juga sering mengalami kerontokan saat keramas dan menyisir rambut akibat
meningkatnya jumlah rambut telogen. Tampak pola kebotakan frontotemporal dan
vertex yang biasa disebut “Professor Angles”, sedangkan pada perempuan tampak
pola yang lebih diffuse dimulai dari puncak kepala. Kulit kepala tampak licin
tanpa rambut dan pori-pori rambut tidak terlihat tanpa menggunakan loop. Pada
kasus yang berat, terkadang ditemukan lesi kulit berupa skuama seboroik.
2.6.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan trikogram dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis


alopesia androgenika. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mencabut 50 batang
rambut dan menghitung perbandingan jumlah rambut anagen dan telogen. Pada
orang normal, akan didapatkan 80-90% rambut anagen (terdapat selubung putih
yang panjang dibagian akar rambut); sedangkan pada seseorang dengan alopesia
androgenika, jumlah rambut telogen (selubung putih didak nampak, dan bagian
akar rambut lebih besar dan lebar) lebih banyak dibandingkan rambut anagen.

18
Pemeriksaan dermatopatologis dapat dilakukan dengan hasil yang
ditemukan adalah pengecilan ukuran folikel rambut dan terkadang hampir atrofi.
Pemeriksaan hormon yaitu total testosteron, testosteron bebas, sulfat
dehidroepiandrosteron (DHEAS), dan prolaktin dapat dilakukan pada penderita
alopesia androgenika perempuan.

2.6.6 Penatalaksanaan

Terapi alopesia androgenika meliputi terapi sistemik, terapi topikal, dan


terapi kosmetik. Terapi utama untuk alopesia androgenika adalah terapi topikal
dengan solusio minoxidil. Penggunaan topikal solusio Minoxidil 5% 2x per hari
pada laki-laki dengan alopesia androgenika membantu menurunkan jumlah
rambut rontok dan juga meningkatkan pertumbuhan rambut kembali. Minoxidil
terbukti dapat mengubah rambut vellus menjadi batang rambut tebal pada 30%
pasien yang diterapi dengan topikal minoxidil, namun pemulihan sepenuhnya dari
kebotakan hanya ditemukan pada 10% pasien. Begitu pula pada pasien
perempuan yang diterapi dengan solusio minoxidil 2% 2x per hari, terjadi
peningkatan pertumbuhan rambut pada kurang lebih 60% penderita female pattern
alopecia.
Obat sistemik dapat juga diberikan bersama dengan obat topikal. Pada
pasien laki-laki yang mengalami kebotakan dapat diberikan Finasterid yang
merupakan antagonis dari enzim 5α-reduktase dengan dosis 1mg per hari.
Pengobatan oral dengan antiandrogen seperti Spironolactone digunakan untuk
perempuan dengan alopesia androgenika karena antiandrogen dapat memblokir
reseptor dari DHT dan menghambat biosintesis dari androgen. Spironolactone
diberikan dengan dosis 100-300mg/hari, namun dosis yang biasa digunakan
adalah 200mg/hari. Terapi kombinasi dari obat topikal dan sistemik baik pada
laki-laki maupun perempuan dilakukan selama 6 bulan dan kemudian dilakukan
pemantauan kembali.
Terapi kosmetik pada pasien alopesia areata biasanya dengan
menggunakan wig atau rambut palsu. Umumnya wig hanya digunakan pada
pasien wanita dan jarang pada pasien laki-laki. Selain itu, berbagai prosedur

19
operasi dapat dilakukan antara lain hair grafts dan implantasi rambut. Hair grafts
dilakukan untuk menyebar rambut pada bagian perietal dan oksipital merata pada
seluruh kulit kepala. Sedangkan untuk transplantasi rambut masih terus
mengalami perbaikan karena implantasi serat rambut pada kulit kepala dapat
menyebabkan komplikasi berupa infeksi.
Penderita alopesia androgenika sering mengalami psikologis seperti
frustasi dan kehilangan rasa percaya diri terutama pada perempuan, karena itu
dianjurkan untuk memberikan terapi psikologis bagi penderita alopesia.
Tidak ada terapi yang efektif untuk menghambat progesivitas dari alopesia
andogenika, meskipun pengobatan tetap bisa dilakukan, batang rambut tidak
dapat tumbuh selebat dan setebal dulu. Keberhasilan terapi alopesia androgenika
bergantung secara subjektif kepada kepuasan dari penderita terhadap hasil dari
terapi, karena pasien perlu diberikan infromasi mengenai alopesia androgenika itu
sendiri yang merupakan penyakit akibat faktor keturunan dan hormon. Pasien
perlu diberi informasi mengenai cara pengobatan yang lama dan harus teratur
serta efek samping dari pengobatan

2.6.7 Prognosis
Sebanyak 30-60% pasien penderita alopesia androgenika mengalami
perbaikan setelah diberikan terapi topikal dan sistemik, meskipun tidak
sepenuhnya mengembalikan kondisi rambut seperti semula. Selain itu, hair grafts
dapat membantu memperbaiki kebotakan dan menghasilkan garis rambut frontal
yang cukup natural. Keberhasilan dari terapi sendiri bergantung secara subjektif
pada kepuasan penderita dengan hasil yang dicapai.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kata “alopecia” berasal dari Yunani “alopex”, artinya rubah yang menderita
penyakit kulit sehingga kehilangan sebagian bulunya. Alopesia berarti kehilangan rambut
dari tubuh. Banyak faktor yang dipercaya mempengaruhi pertumbuhan rambut dan
kemungkinan dapat mengakibatkan kebotakan atau kerontokan yang berlebihan, baik
yang sifatnya sementara (reversible) atau yang permanen (irreversible). Alopesia areata
dan alopesia androgenik merupakan jenis alopesia yang paling sering terjadi.
Alopesia areata merupakan kebotakan setempat dengan bentuk bulat atau oval
tanpa tanda inflamasi yang jelas. Paling sering terjadi di kulit kepala. Pada alopesia
areata, laporan perbandingan insidens alopesia areata sama banyak antara pria dan
wanita.
Alopesia androgenik yang disebut juga androgenic alopecia, kebotakan yang
turun-menurun atau yang lebih dikenal dengan nama male pattern baldness (kebotakan
berpola pada laki-laki) adalah kebotakan yang paling umum terjadi khususnya pada laki-

21
laki. Alopesia androgenik pada laki-laki dicirikan dengan kebotakan atau penipisan
rambut berpola yang biasanya terjadi setelah pubertas. Angka kejadian pada perempuan :
laki-laki adalah 1:3.
Penatalaksanaan dari alopesia disesuaikan menurut klasifikasinya, dapat melalui
terapi operatif maupun farmakologis

DAFTAR PUSTAKA

Handoko RP. 2005. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

22
Kevin J. Mc Elwee & Rolf Haffmann. Resistance to Alopecia Areata in C3H/HeJ Mice Is
Associated with Increased Expression of Regulatory Cytokines and a Failure to Recruit CD4 þ
and CD8 þ Cells. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2017.

Menaldi, Sri Linuwih SW, dkk. 2016. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta : FKUI

Siregar, R.S. 2004. SARIPATI PENYAKIT KULIT. Edisi 2. Jakarta : EGC. hlm 243-244.

Wolff K, Johnson R, Saavedra A. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of Clinical Dermatology.
2013. Edisi ke 7. McGraw-hill Profesional. hlm 767

23

Anda mungkin juga menyukai