Anda di halaman 1dari 18

DELIRIUM PADA PASIEN GERIATRI YANG DIRAWAT

( Delirium in the Hospitalised Elderly )


The Australian Journal of Hospital Pharmacy Volume 31, No. 1, 2001
Oleh: Juli A Moran, Michael I Dorevitch

Diterjemahkan oleh : IKA SYAMSUL HUDA MZ, MD. dkk.


Topik lain: Klik di sini. Medical Record Software 1.02: DOWNLOAD

Abstrak

Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan


dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Ini biasa dan menjadi problem
serius di RS dan sering tak diketahui pada pasien usila. Delirium biasanya
disebabkan banyak faktor; banyak yang dapat dicegah. Ada hubungan terbalik
antara daya tahan penderita dan beratnya serangan yang dibutuhkan untuk
menginduksi/mendapatkan delirium. Meskipun sebelumnya delirium dipercaya
sebagai kondisi "self limiting" (sembuh sendiri) daya pulih sempurna adalah
perkecualian. Prognosis-nya buruk. Dengan kematian yang bermakna
meningkatkan biaya perawatan dan kebutuhan untuk perawatan rumah tambahan,
rehabilitasi, dan perawatan rumah jangka panjang.

Pengantar

Delirium (diketahui juga sebagai sindroma otak akut) adalah sebuah diagnosis
klinis gangguan otak difus yang dikarakteristikkan sebagai variasi kognitif dan
gangguan tingkah laku (Tabel 1). Ini biasanyan merupakan sebagian problem
umum di antara pasien rawat RS dan insidensinya meningkat dengan umur.
Delirium sebelumnya dipercaya sebagai kondisi yang sembuh sendiri (self
limiting), sekarang nyata bahwa delirium mempunyai prognosis buruk,
meningkatkan biaya rawat, peningkatan kebutuhan institusional, rehabilitasi dan
perawatan rumah. Meskipun kurang serius delirium menyebabkan Delirium secara
sering tidak dikenali diantara pasien lansia yang dirawat..

Epidemiologi

Delirium terdapat 14-56% pasien rawat dengan 30% darinya mengalami 'sindroma
parsial' (memenuhi gambaran delirium tanpa memenuhi kriteria diagnosis DSM-
IV). Rata-rata pasien mengalami delirium pada umur 75 tahun, dengan sebagian
sedang memerlukan perawatan rumah sakit dan timbul banyak tanda(sign) lagi
setelah tiga hari atau lebih perawatan atau pembedahan. Levkoff dkk. pada studi
325 usila di RS melaporkan hanya 10 % delirium dengan 31%nya timbul selama
perawatan. Juga pada studi 225 pasien rawat di unit geriatri akut dilaporkan oleh
O'Keeffe dan Lavan 18% delirium selama perawatan dengan 29% terjadi
kemudian. Lama rata-rata gejala , yang memenuhi kriteria DSM-III adalah 7 hari,
meskipun 5% menetap lebih dari 4 minggu setelah didiagnosis. 38% nya dengan
perburukan yang baru dari orientasi dan daya ingat yang masih tetap buruk selama
sebulan, pada saat 32% mengalami perbaikan gejala.

Patofisiologi

Gambaran klinis delirium bervariasi karena keterlibatan yang luas kortikal dan
subkortikal. Patofisiologinya tidak diketahui, tetapi dapat karena penurunan
metabolisme oksidatif otak menyebabkan perubahan neurotransmiter di daerah
prefrontal dan subkortikal. Ada kejadian penurunan kolinergik dan peningkatan
aktifitas dopaminergik, pada saat kadar serotonin dan kadar GABA yang bermakna
tetap tidak jelas.Hal lain delirium dapat efek dari kortisol plasma yang meningkat
pada otak akibat diinduksi stress.

Etiologi

Delirium disebabkan kompleks yang saling mempengaruhi diantara faktor


predisposisi (Tabel 2) dan pencetus (Tabel 3). Pasien dengan beberapa faktor
predisposisi mungkin menjadi delirium dibanding pasien tanpa faktor tersebut. Ada
hubungan terbalik antara predisposisi host dan beratnya pencetus dengan
banyaknya pasien mengalami sebagai akibat hal sepele (ringan). Pasien tanpa
faktor resiko biasanya membutuhkan penyebab agak berat (seperti kecelakaan otak
bermakna) untuk menginduksi delirium, meskipun penting untuk diingat pasien
yang mempunyai delirium sebagai akibat penyebab minor, yang mungkin tak
dikenali, yang mendasari demensia.

Tabel 2. Faktor predisposisi.

 Demensia
 Obat-obatan multipel
 Umur lanjut
 Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit Parkinson
 Gangguan penglihatan dan pendengaran
 Ketidakmampuan fungsional
 Hidup dalam institusi
 Ketergantungan alkohol
 Isolasi sosial
 Kondisi ko-morbid multipel
 Depresi
 Riwayat delirium post-operative sebelumnya

Tabel 3. Faktor pencetus (presipitasi).

 Penyakit akut berat (termasuk, tetapi tak terbatas kondisi di bawah ini)
o Infeksi dada, urin, dll 10-35%
o Intoksikasi obat/racun 22-39%
o Withdrawal benzodiazepin
o Withdrawal alkohol ± defisiensi thiamin
o Ensefalopati metabolik (25%)
o Asam basa dan gangguan elektrolit
o Hipoglikemia
o Hipoksia atau hiperkapnia
o Gagal hepar/ginjal
 Polifarmasi
 Bedah dan anestesi
 Nyeri post op yang tak dikontrol baik
 Neurologis 8% (anoksia, stroke, epilepsi, dll)
 Perubahan dari lingkungan keluarga
 'sleep deprivation'
 Albumin serum rendah
 Demam/hipothermia
 Hipotensi perioperati
 Pengekangan fisik
 Pemekaian kateter terus menerus
 Kardiovaskular 3%
 Tak ditemukan penyebab 10%
Obat dan Delirium

Preparat farmasi, bebas atau degan resep dapat menyebabkan delirium pada lansia
dan menyebabkan 11-30 % perawatan RS. Studi terhadap 432 pasien umur > 65
tahun di sebuah RS Universitas, Rudberg dkk menunjukkan bahwa 43 % kasus
delirium berhubungan dengan obat. Lindley dkk menunjukkan bahwa 26 % dari
416 ( 6,3%) perawatan pasien usila di RS Pendidikan sebagai akibat reaksi obat tak
dapat diinginkan, 50% karena obat-obatan yang tak cocok.

Lansia lebih sensitif terhadap efek obat atau dosis rendah dan secara khusus
beresiko delirium pada saat lebih besardari obat yang digunakan.Obat-obatan yang
melewati sawar darah otak menyebabkan delirium. Delirium karena toksisitas obat
juga disebabkan oleh obat-obatan dengan 'indeks terapi sempit', meskipun
beberapa obat seperti digoxin dilaporkan menyebabkan delirium pada keadaan
normal. Pasien dengan intoksikasi alkohol dapat menyebabkan delirium selama
perawatan meskipun withdrawal alkohol dapat menyebabkan delirium 1-3 hari
setelah dirawat, seperti withdrawal hipnotik dan sedatif.

Obat-obatan secara umum dapat menyebabkan delirium seperti pada tabel 4. Obat
paling sering menyebabkan delirium adalah sedatif dan hipnotik, antikolinergik
dan narkotik. Penggunaan preparat ini sebaiknya berhati-hati pada lansia,
khususnya pada gangguan kognitif sebelumnya. Jika obat ini harus dipakai
sebaiknya dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan. Obat hipoglikemi,
khususnya kerja sedang dapat menyebabkan hipoglikemi yang juga bermanifestasi
konfusio.

Tabel 4. Obat-obat yang menyebabkan delirium.

 Sedatif hipnotik
o Benzodiazepin
o Kloralhidrat, barbiturat
o Anti kolinergik
o benztropin, oksibutirin
 Antihistamin mis difenhidramin
 Antispasmodik misal : belladona, propanthelin
 Fenothiazin misal: thioridazin
 Antidepresan trisklik
 Antiparkinson misal levodopa, amantadin, pergolid, bromokriptin
 Analgetik misal opiat (khususnya pethidin), jarang : NSAID,aspirin
 Obat anestesi
 Antipsikotik, khususnya beefek antikolinergik, misal klozapin
 Steroid : dapat tergantung dosis
 Antagonis histamin- 2, khususnya simetidin, tetapi juga golongan ranitidin.
 Antibiotik:aminoglikosid, penicillin, sefalosporin, sulfonamid dan beberapa
flurokuinolon seperti siprofloksasin.
 Obat kardiovaskuler dan antihipertensi, kinin,digoxin (padakadar
normal),amiodaron, propanolol, methiodopa
 Antikonvulsan : fenitoin, karbamazepin, valproat, pirimidin,
klonazzepam,klobazam.
 Lain-lain : lithium, flunoksilin, metoclopramid,imunosupresan.

KLINIS

Diagnosis delirium dibuat klinis. Gambaran khasnya adalah fluktuasi kognisi,


biasanya memburuk pada malam hari dan membaik dengan relatif. Biasanya
terdapat efek kognitif multipel termasuk kurangnya perhatian, daya ingat dan
fungsi lebih tinggi yang terjadi akut beberapa jam sampai dengan hari. Gangguan
persepsi termasuk halusinasi (khususnya visual) dan delusi (biasanya
penganiayaan) dan kejadian dari proses pikiran yang abnormal adalah umum
terjadi..

Jarang terjadi gangguan dari siklus tidur-bangun dengan gambaran awal insomnia
dan mimpi buruk. Gambar klasik delirium termasuk kurang istirahat, rasa gembira,
pembicaraan yang tertekan, tertawa, berteriak dan hiperaktifitas otonom (seperti
diaforesis, takikardi dan cemas). Perilaku ini dapat mengganggu RS atau rumah
perawatan dan suatu saat sulit diatasi.

Meskipun delirium adalah problem kognitif pasien, itu dapat menyebabkan


keluhan somatik termasuk 'gait' dan gangguan keseimbangan dengan peningkatan
jatuh, depresi, gangguan menelan (meningkatkan resiko aspirasi) dan inkotinensia
urin serta alvi.

Sampai 2/3 pasien delirium tetap tak terdiagnosa oleh dokter. Dalam studi
prospektif 229 lansia yang dirawat di RS tersier Francis dkk menemukan dokter
mendiagnosa hanya 8 dari 50 (16%) pasien yang memenuhi kriteria DSM III dari
delirium. Beberapa studi lain memperkirakan 32-67% pasien delirium tetap tak
terdiagnosa. Sebab kunci tak terdiagnosanya delirium adalah banyak pasien tidak
memperlihatkan tingkah laku psikomotor hiperalert yang dapat dikenali seperti di
atas. Sebagian besar pasien delirium ternyata hipoalert, diam dan kurang gerak,
sering terjadi penyimpangan tidur ( mengigau) dengan percakapan pelan dan
inkoheren. Pada lingkungan RS yang sibuk mereka dianggap sebagai pasien model
dari diagnosa delirium diabaikan. Francis dkk memperlihatkan kurang dari ½ dari
22% dengan delirium mempunyai tingkah laku mengacau meski > 50% menjadi
inkotinensia urin.
Fluktuasi delirium juga mengacaukan diagnosa seperti pasien dengan mengacau
malam hari mungkin tampak normal pada saat kunjungan bangsal Dr di pagi hari.
Ini digabung dengan fakta bahwa test kognitif jarang dikerjakan di RS. Pada studi
100 pasien dengan bedah elektif dan emergency di sebuah RS Universitas Ni
Chonchubhair dkk menunjukkan 10 point Abbreviated Mental Test Score (AMTS)
secara rutin pada saat masuk dan 3 hari kemudian. Mereka mendapatkan
penurunan > 2 angka post operatif mempunyai sensitifitas 93 % dan spesifisitas
84% untuk mendeteksi delirium seperti DSM III. Juga riwayat yang baik dari
fungsi kognitif jarang diambil oleh staf RS, yang akan melengkapi riwayat lengkap
untuk membedakan delirium dan demensia. Ada kuosioner; misalnya Informant
Questionnaire on Cognitive Decline in Elderly (IQCOPE) yang akan menolong
diagnosa demensia pada pasien lansia.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan delirium di rumah sakit meliputi pencegahan, diagnosis awal,


pencarian dengan seksama dan tatalaksana faktor-faktor pencetus, tindakan
suportif dan, bila perlu, pengobatan.

Pencegahan

Delirium merupakan suatu masalah yang umum dan serius yang paling baik
dicegah, meskipun identifikasi awal delirium yang nyata dapat membantu
mengurangi lamanya gejala. Pasien resiko tinggi hendaklah diidentifikasi sesegera
mungkin melewati penyaringan pada saat atau sebelum masuk rumah sakit (Tabel
2). Hal ini khususnya penting untuk persiapan bedah dan hendaklah rutin pada saat
klinik preoperatif. Pada suatu penelitian 100 pasien tua delirius O'Keeffe dan
Lavan menunjukkan bahwa ko-eksis dari pre-eksis gangguan kognitif, sakit berat
dan peningkatan urea serum memperkirakan awitan delirium pada 100% pasien.
Serupa, Francis dkk. pada suatu penelitian pasien lansia menunjukkan bahwa
mereka dengan tiga atau lebih faktor resiko spesifik (sodium abnormal, sakit parah,
demensia, atau hipotermia, pemakaian obat psiko-aktif dan uremia) mempunyai
60% insiden delirium. Demikian jelas bahwa sarana pengkajian diperlukan untuk
mendiagnosis dan pemantauan delirium dan untuk mengkajian keampuhan
pengobatan.

Metode Pengkajian Konfusio (Tabel 5) telah dikembangkan oleh Inouye dkk.


untuk dipakai oleh klinisi non-psikiatrik. Ia didasarkan pada kriteria DSM-IIIR dan
dibenarkan penilaiannya oleh psikiatris.

Tabel 5. Metode Pengkajian Konfusio

1. Awitan akut dan fluktuasi arah DAN


2. Tanpa perhatian (seperti mudah kebingungan) DAN
3. Pikiran tak teratur ATAU
4. Perubahan tingkat kesadaran (termasuk lengar atau sangat waspada).

Penelitian intervensi untuk mengurangi insiden delirium didasarkan pada


pendekatan medik geriatrik umum, perawatan, intervensi keluarga dan perubahan
praktek anestesi, termasuk pengendalian tekanan darah perioperatif. Sementara
kebanyakan tipe intervensi menunjukkan keuntungan, sedikit yang bermakna
secara statistik. Tetapi, beberapa penelitian ini mempunyai keterbatasan (untuk
contoh, sejumlah kecil ), dan kebanyakan terfokus pada penatalaksanaan lebih dari
pada pencegahan. Gustafson dkk. mengembangkan suatu program intervensi untuk
111 pasien lansia dengan patah tulang leher femur, termasuk pengkajian dokter
pre- dan pasca operasi, bedah awal, penatalaksanaan agresif hipoksia perioperatif
dan hipotensi dan penatalaksanaan komplikasi perioperatif. Mereka menemukan
bahwa insiden, keparahan dan lama delirium dikurangi, dengan hubungan
pengurangan pada komplikasi pasca operasi dan lama tinggal. Serupa, pada suatu
penelitian 852 pasien rawat inap medik umum usia di atas 70 tahun, Inouye dkk.
menunjukkan pahwa pedoman untuk tatalaksana enam faktor resiko delirium (
gangguan kognitif, kesulitan tidur, imobilitas, gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran dan dehidrasi ) secara bermakna menurunkan resiko terjadinya
delirium ( odds ratio 0,06 ). Mereka juga menunjukkan bahwa sekali delirium
terjadi, intervensi tidak merubah keparahan dan lama, menduga bahwa pencegahan
primer delirium adalah pendekatan terbaik.

Pemeriksaan

Sekali pasien telah terdiagnosis dengan delirium adalah sangat penting untuk
menegakkan penyebabnya. Pada lansia, delirium mungkin hanya sebagai fakta atas
masalah medis yang mendasari. Riwayat dan pemeriksaan yang rinci hendaklah
dibentuk, maupun meninjau kembali pengobatan, khususnya psikoaktif dan jumlah
obat terdahulu. Pada kenyataan, beberapa penatalaksanaan baru dimulai di rumah
sakit, khususnya perioperatif, hendaklah ditinjau kembali dan seluruh pengobatan
yang tidak perlu hendaklah dihentikan. Halusinasi visual, apabila ada, menduga
suatu masalah yang dikenali sebagai obat bius atau demenia. Pemeriksaan darah
rutin hendaklah diminta (tabel 6), maupun pencarian yang menyeluruh untuk
infeksi, terutama dada dan saluran kencing, yang mungkin sebaliknya tanpa gejala.
Sasaran lain pemeriksaan hendaklah dikerjakan seperlunya, termasuk uji fungsi
tiroid, elektrokardiograf, gas darah arteri, vitamin B12 dan folat. Penggunaan rutin
elektroensefalogram (EEG), komputer tomografi otak dan punksi lumbar adalah
kontroversial, oleh karena spesifisitasnya yang rendah. Meskipun beberapa klinisi
meminta pemeriksaan komputer tomografi otak pada pemeriksaan awal delirium,
hasilnya rendah jika tidak karena delirium sebab intrakranial yang diduga,
didasarkan pada neurologi fokal, tanda peningkatan tekanan interakranial,
antikoagulan atau perkembangan konfusio setelah jatuh atau cidera otak.
Spesifisitas EEG jatuh dengan peningkatan usia dan demensia dan ia pada
umumnya tidak di-indikasikan. Punksi lumbar mempunyai peranan yang terbatas
oleh karena hasilnya sangat rendah, kecuali kalau terdapat kenampakan spesifik
yang mencurigai meningitis.

Tabel 6. Pemeriksaan rutin untuk delirium


Urea dan elektrolit
Glukosa
Darah Lengkap
Kalsium
Fosfat
Tes fungsi hati
Tindakan Pendukung

Tindakan pendukung termasuk membuang faktor-faktor yang memicu konfusio,


keakraban dan rangsangan lingkungan optimal. Sangat penting memaksimalkan
persepsi sensorik dengan meyakinkan pasien menggunakan kacamata atau alat
bantu pendengaran dan penerangan malam digunakan untuk menghindarkan
kesalahanpersepsi sensorik. Pasien hendaklah seringkali dinilai dan diamankan
oleh staf, selama jaga dan perubahan staf hendaklah diminimalkan. Staf hendaklah
menggunakan perintah sederhana dan hendaklah lemah lembut. Idealnya, pasien
semestinya ditempatkan di ruangan pribadi dan penahanan fisik dan gangguan
tidur hendaklah dihindari. Orientasi semestinya dimaksimalkan dengan
penggunaan jam atau penanggalan, dan peletakan objek yang diakrabi di samping
tempat tidur. Kehadiran yang sering oleh anggota keluarga hendaklah digiatkan
dan penting untuk mendidik dan mengamankan mereka dari dasar sementara
delirium pada umumnya.

Penting untuk mencegah secara agresif dan mengobati komplikasi yang berkaitan
dengan delirium. Apabila diperlukan, analgesik hendaklah diberikan pada jadwal
yang ketat. Cairan dan asupan makanan mestnya dipantau ketat, dengan
pertimbangan dini nutrisi tambahan atau konsul ahli gizi. Pasien mungkin
memerlukan bantuan dengan makanan atau cairan subkutan atau intravena.
Pengurangan dosis diuretik dan obat-obat terkeluarkan lewat ginjal mungkin
diperlukan. Konstipasi mestinya dicegah dengan menggunakan pencahar.
Pemakaian kateter hendaklah dicegah oleh karena resiko trauma dan infeksi;
inkontinensia sendiri bukanlah indikasi untuk pemasangan kateter. Pasien
hendaklah segera dimobilisasi untuk menghindari resiko signifikan terjadinya
atelektasis, penekanan area, kontraktur dan perburukan keadaan umum, yang mana
seluruhnya mungkin menyumbang peningkatan morbiditas dan lama rawat. Pada
kasus diijinkan diperlukan, pengayoman mungkin diperlukan.

Tatalaksana Farmakologi

Walaupun tindakan suportif, penatalaksanaan farmakologik delirium untuk


mengurangi kecemasan dan agitasi meungkin diperlukan untuk meyakinkan
keamanan pasien dan pegawai. Pasien dengan delirium hipoaktif biasanya tidak
membutuhkan sedasi, meskipun dosis rendah antipsikotik mungkin diperlukan
apabila ada bukti distres halusinasi. Pasien agitasi dan disruptif seringkali terlihat
tumpang tindih dengan bangsal rutin, khusunya pada malam hari, dan mendesak
untuk dibuat sedasi.
Sayangnya, baru sedikit penelitian yang dirancang baik mengenai pemberian obat
pada delirium. Kebanyakan penulis menyarakan antipsikotik, khususnya
haloperidol, sebagai pengobatan lini pertama untuk delirium. Therapeutic
Guideline: Psychotropic Australia merekomendasikan lini pertma benzidiazepin
apabila khayalan atau halusinasi tidak terjadi. Breitbart dkk. melakukan suatu
percobaan acak pada 30 pasien AIDS yang memenuhi kriteria DSM untuk
delirium. Haloperidol dan klorpromazine menunjukkan persamaan keampuhan,
sedangkan terapi lorazepam terbatas oleh efek samping.

Meskipun terdapat ada banyak pengobatan yang tersedia untuk pengobatan


delirium, terdapat beberapa kaidah yang hendaklah diterapkan untuk semua obat.
Obat-obat hendaklah diharapkan diberikan per oral pada dosis rendah, dengan
pemberian dosis lebih besar bila diperlukan. Pasien yang membutuhkan dosis
multipel hendaklah diawasi ketat. Sangat mendasar bahwa pemesanan teratur
untuk pengobatan seringkali perlu meninjau kembali respon pasien, efek samping,
dan kelanjutan kebutuhan pengobatan. Haloperidol populer karena awitan kerjanya
cepat, keampuhan dan rendah efek samping, meskipun ia mungkin tidak cocok
untuk pasien dengan kecenderungan gangguan gaya berjalan atau keseimbangan
ekstrapiramidal. Ia mempunyai sedikit toksisitas kardiovaskular tetapi dapat
menyebabkan efek samping ekstrapiramidal (ESEP), akatisia (yang mungkin
meningkatkan agitasi), diskinesia tardif dan sindrom neuroleptik maligna. Efek-
efek ini lebih nyata dengan peningkatan umur, dosis dan lama pengobatan. Puncak
awitan kerja adalah 20 sampai 40 menit setelah suntikan intramuskular dan
beberapa menit setelah dosis oral. Ia mempunyai paruh waktu 10-19 jam dan tidak
ada metabolit aktif, meskipun ESEP dapat secara potensial lebih lama daripada
paruh waktu obat. Acuan praktis yang diterbitkan American Journal of Psychiatry
dan Therapeutic Guideline: Psychotropic menyarakan penggunaan dosis kecil
haloperidol oral, seperti 0.25-1.5 mg setiap empat jam, meskipun yang lebih muda
atau pasien lebih agitasi mungkin membutuhkan dosis lebih tinggi pada interval
yang lebih sering. Oleh karena peningkatan potensinya, intramuskular haloperidol
digunakan pada dosis lebih kecil, misalnya 0.125-0.25 mg. Sudah jelas bahwa
dosis 5 mg intramuskular yang seringkali digunakan untuk pasien lanjut usia pada
perawatan di rumah sakit adalah tidak tepat. Pengawasan kardiak adalah sangat
esensial pada kasus yang jarang apabila infus berlanjutan dubutuhkan.

Droperidol merupakan pilihan cadangan untuk pemakaian parenteral. Ia bekerja


lebih cepat, lebih sedatif, mempunyai waktu paruh lebih pendek, dan kemungkinan
lebih ampuh daripada haloperidol dengan lebih sedikit ESEP. Biasanya dosis mulai
pada lansia adalah 2 mg. Tetapi, sedasi mungkin menjadi suatu masalah pada
pasien lebih tua, dan terdapat resiko lebih tinggi hipotensi, khususnya apabila
diberikan secara intravena.

Fenotiazin lain, misalnya tioridazin dan klorpromazin, pada dosis awal 12,5-25
mg, juga telah digunakan karena keampuhan mereka dan khasiat sedatif-nya,
meskipun ketenaran mereka mundur oleh karena kardiotoksis. Efek samping lain
adalah antikolinergik, terlalu sedasi dan hipotensi postural. Klormetiazol, suatu
sedatif kerja-pendek, mungkin berguna untuk sindrom tarikan, meskipun terapi
jangka lama membawa resikonya ketergantungan, dan tidak dipakai secara rutin.

Sekarang telah terdapat penelitian multipel dan laporan kasus yang menunjukkan
keampuhan obat-obat atipik seperti risperidon, olanzapin, klozapin, quetiapin
untuk pengobatan agitasi atau psikosis yang berhubungan dengan penyakit
Alzheimer atau terapi dopaminergik untuk penyakit Parkinson. Obat ini pada
umumnya telah ditoleransi dengan insidensi lebih rendah terjadinya ESEP daripada
antipsikotik tradisional. Tetapi, hanya terdapat sedikit laporan kasus dan tidak ada
uji yang berkaitan dengan pemakaian mereka untuk delirium. Dengan bukti yang
lebih jauh ini mungkin berguna sebagai cadangan antipsikotik yang lebih
tradisional.

Peranan benzodiazepin untuk pengobatan delirium adalah kontroversial, mungkin


oleh karena kekurangan data yang tersedia pada terapi tunggal. Acuan Terapetik:
Psikotropik menganjurkan 5-10 mg diazepam (2 mg pada sangat tua atau getis) per
oral sebagai terapi lini pertama untuk pengendalian anxietas dan agitasi. Tetapi,
kebanyakan pengarang merasakan bezodiazepin kurang penting daripada
antipsikotik, dan beberapa kejadian menduga bahwa benzodiazepin
dikontraindikasikan oleh karena efek samping mereka dan durasi singkat dari
puncak efek.

Kebanyakan pengarang setuju bahwa benzodiazepin terpilih hendaklah kerja


pendek dengan tidak ada metabolit aktif seperti lorazepam (paruh-waktu 10-15
jam), dan dapat diberikan secara parenteral. Terdapat sedikit penelitian yang
berkaitan dengan dosis optimal. Oxazepam, obat kerja pendek lain, juga sering
dipakai pada dosis oral 15-30 mg, khususnya jika terdapat insufisiensi hepatik.

Apabila benzodiazepin intramuskular diperlukan untuk agitasi akut, Acuan


Terapetik: Psikotropik menganjurkan midazolam intramuskular, pada dosis 1,25
mg pada yang sangat tua atau getis. Midazolam lebih umum dipakai untuk
perawatan paliatif dan psikiatri akut dan penggunaannya dengan pengawasan ketat.
Penyerapan intramuskular dapat tidak dapat diprediksi, keterbatasan pemakaiannya
pada usia lanjut.

Meskipun peranan binzodiazepin sebagai pengobatan lini pertama untuk semua


kasus delirium tidak jelas, tidak ada pertanyaan bahwa mereka obat lini pertama
paling utama untuk narkotika dan tarikan alkohol di mana dosis lebih tinggi obat
kerja lama adalah lebih utama. Jika terdapat riwayat pemakaian alkohol
sebelumnya, diazepam 5-10 mg regular per oral hendaklah diberikan, dengan
tiamin 100 mg per hari. Benzodiazepin mungkin juga mempunyai peranan pada
pasien dengan epilepsi yang diketahui (sebagai obat antipsikotik paling utama yang
diketahui terhadap ambang kejang lebih rendah), atau jika pasien parkinsionisme.

Efek samping benzodiazepin meliputi sedasi, penghambatan tingkah laku,


penekanan pernapasan, ataksia, jatuh, amnesia, depresi, ketergantungan, anjalan
insomnia, tarikan dan delirium. Benzodiazepin dapat tidak umum menyebabkan
respon parodoksikal dimana pasien menjadi lebih agitasi dan konfusi. Mereka
hendaklah dihindarkan pada pasien dengan ensefalopati dan insufisiensi
pernapasan.

PROGNOSIS

Meskipun secara tradisional dianggap sebagi keadaan yang hilang sendiri, ia


sekarang jelas diketahui bahwa terdapat banyak keluaran yang menyimpang yang
berhubungan dengan perkembangan delirium. Selama masuk di rumah sakit ia
menunjukkan bertanggungjawah terhadap penurunan fungsional, peningkatan
resiko komplikasi dapatan rumah sakit seperti jatuh, luka tekanan dan
inkontinensia urinari dan tinggal di rumah sakit yang lama. Pada pemberhentian,
peneltian menunjukkan terdapat peningkatan resiko penurunan fungsional pada
aktifitas hidup sehari-hari, peningkatan pendaftaran masuk fasilitas perawatan
jangka lama, dan peningkatan resiko masuk kembali. Jauh dari hidup singkat yang
tak menyenangkan yang sebelumnya telah dipertimbangkan, banyak penelitian
yang mempertunjukkan delirium menetap pasca pemberhentian. Levkoff dkk.
menunjukkan bahwa dari 125 pasien lansia delirius, hanya 4% yang resolusi
lengkap pada saat pemeberhentian, dan kurang dari 25% resolusi dari seluruh
gejala baru pada 3 dan 6 bulan setelah pemberhentian. Delirium juga mempunyai
hubungan dengan peningkatan mortalitas, meskipun ini tidak jelas apakah ini
karena dasar penyakit medisnya dan ko-morbiditasnya atau karena delirium itu
sendiri. Keseluruhan mortalitas delirium mendekati 30%, dengan mortalitas 12-
bulanan 35-40% dan mortalitas 5-tahunan 50%.

KESIMPULAN

Delirium merupakan masalah umum dan serius yang mempengaruhi bagian yang
bermakna perawatan di rumah sakit penderita lanjut usia. Ini berhubungan dengan
keluaran yang jelek dalam pengertian peningkatan lama perawatan dan biaya
pemeliharaan kesehatan, komplikasi perawatan di rumah sakit, pemberhentian
status fungsional dan tujuan, dan mortalitas. Penyebab delirium biasanya
multifaktorial, dengan banyak faktor pemicu yang potensial dapat dicegah. Ia
memerlukan perhatian bahwa pasien yang lebih rentan hanya membutuhkan sangat
kecil pengaruh untuk menyebabkan delirium. Semestinya terdapat pencarian dan
perbaikan yang agresif terhadap seluruh penyebab potensial, termasuk infeksi dan
abnormalitas metabolik. Pengobatan semestinya ditinjau ulang sepenuhnya dengan
penghentian seluruh obat yang tidak diperlukan. Terdapat keperluan yang lebih
dititikberatkan pada pencegahan dan deteksi awal delirium. Pegawai rumah sakit
hendaklah waspada pada pasien-pasien itu yang barangkali berkembang menjadi
delirium, dan sangat disarankan bahwa seluruh pasien mempunyai suatu
pengkajian kognitif yang menyeluruh pada pendaftaran masuk, ditambah dengan
riwayat sebelum sakit secukupnya, khususnya pada yang akan menjalani operasi.
Presipitan yang diketahui, khususnya faktor iatrogenik dan lingkungan, hendaklah
dihindari, dan pegawai mengawasi pasien secara hati-hati untuk tanda-tanda
delirium, terutama penampakan hipoaktif. Sekali delirium telah ditegakkan, suport
dan tindakan farmakologik yang tepat hendaklah dilaksanakan. Delirium
merupakan kelainan yang potensial yang membinasakan yang barangkali
selanjutnya terjadi peningkatan prevalensi seiring dengan populasi lanjut usia.
Bagaimanapun, dengan perhatian yang baik kepada pasien, faktor kesakitan dan
rumah sakit, ia semestinya dimungkinkan untuk meminimalkan dampak terhadap
lansia yang dirawat.

Anda mungkin juga menyukai