Abstrak
Pengantar
Delirium (diketahui juga sebagai sindroma otak akut) adalah sebuah diagnosis
klinis gangguan otak difus yang dikarakteristikkan sebagai variasi kognitif dan
gangguan tingkah laku (Tabel 1). Ini biasanyan merupakan sebagian problem
umum di antara pasien rawat RS dan insidensinya meningkat dengan umur.
Delirium sebelumnya dipercaya sebagai kondisi yang sembuh sendiri (self
limiting), sekarang nyata bahwa delirium mempunyai prognosis buruk,
meningkatkan biaya rawat, peningkatan kebutuhan institusional, rehabilitasi dan
perawatan rumah. Meskipun kurang serius delirium menyebabkan Delirium secara
sering tidak dikenali diantara pasien lansia yang dirawat..
Epidemiologi
Delirium terdapat 14-56% pasien rawat dengan 30% darinya mengalami 'sindroma
parsial' (memenuhi gambaran delirium tanpa memenuhi kriteria diagnosis DSM-
IV). Rata-rata pasien mengalami delirium pada umur 75 tahun, dengan sebagian
sedang memerlukan perawatan rumah sakit dan timbul banyak tanda(sign) lagi
setelah tiga hari atau lebih perawatan atau pembedahan. Levkoff dkk. pada studi
325 usila di RS melaporkan hanya 10 % delirium dengan 31%nya timbul selama
perawatan. Juga pada studi 225 pasien rawat di unit geriatri akut dilaporkan oleh
O'Keeffe dan Lavan 18% delirium selama perawatan dengan 29% terjadi
kemudian. Lama rata-rata gejala , yang memenuhi kriteria DSM-III adalah 7 hari,
meskipun 5% menetap lebih dari 4 minggu setelah didiagnosis. 38% nya dengan
perburukan yang baru dari orientasi dan daya ingat yang masih tetap buruk selama
sebulan, pada saat 32% mengalami perbaikan gejala.
Patofisiologi
Gambaran klinis delirium bervariasi karena keterlibatan yang luas kortikal dan
subkortikal. Patofisiologinya tidak diketahui, tetapi dapat karena penurunan
metabolisme oksidatif otak menyebabkan perubahan neurotransmiter di daerah
prefrontal dan subkortikal. Ada kejadian penurunan kolinergik dan peningkatan
aktifitas dopaminergik, pada saat kadar serotonin dan kadar GABA yang bermakna
tetap tidak jelas.Hal lain delirium dapat efek dari kortisol plasma yang meningkat
pada otak akibat diinduksi stress.
Etiologi
Demensia
Obat-obatan multipel
Umur lanjut
Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit Parkinson
Gangguan penglihatan dan pendengaran
Ketidakmampuan fungsional
Hidup dalam institusi
Ketergantungan alkohol
Isolasi sosial
Kondisi ko-morbid multipel
Depresi
Riwayat delirium post-operative sebelumnya
Penyakit akut berat (termasuk, tetapi tak terbatas kondisi di bawah ini)
o Infeksi dada, urin, dll 10-35%
o Intoksikasi obat/racun 22-39%
o Withdrawal benzodiazepin
o Withdrawal alkohol ± defisiensi thiamin
o Ensefalopati metabolik (25%)
o Asam basa dan gangguan elektrolit
o Hipoglikemia
o Hipoksia atau hiperkapnia
o Gagal hepar/ginjal
Polifarmasi
Bedah dan anestesi
Nyeri post op yang tak dikontrol baik
Neurologis 8% (anoksia, stroke, epilepsi, dll)
Perubahan dari lingkungan keluarga
'sleep deprivation'
Albumin serum rendah
Demam/hipothermia
Hipotensi perioperati
Pengekangan fisik
Pemekaian kateter terus menerus
Kardiovaskular 3%
Tak ditemukan penyebab 10%
Obat dan Delirium
Preparat farmasi, bebas atau degan resep dapat menyebabkan delirium pada lansia
dan menyebabkan 11-30 % perawatan RS. Studi terhadap 432 pasien umur > 65
tahun di sebuah RS Universitas, Rudberg dkk menunjukkan bahwa 43 % kasus
delirium berhubungan dengan obat. Lindley dkk menunjukkan bahwa 26 % dari
416 ( 6,3%) perawatan pasien usila di RS Pendidikan sebagai akibat reaksi obat tak
dapat diinginkan, 50% karena obat-obatan yang tak cocok.
Lansia lebih sensitif terhadap efek obat atau dosis rendah dan secara khusus
beresiko delirium pada saat lebih besardari obat yang digunakan.Obat-obatan yang
melewati sawar darah otak menyebabkan delirium. Delirium karena toksisitas obat
juga disebabkan oleh obat-obatan dengan 'indeks terapi sempit', meskipun
beberapa obat seperti digoxin dilaporkan menyebabkan delirium pada keadaan
normal. Pasien dengan intoksikasi alkohol dapat menyebabkan delirium selama
perawatan meskipun withdrawal alkohol dapat menyebabkan delirium 1-3 hari
setelah dirawat, seperti withdrawal hipnotik dan sedatif.
Obat-obatan secara umum dapat menyebabkan delirium seperti pada tabel 4. Obat
paling sering menyebabkan delirium adalah sedatif dan hipnotik, antikolinergik
dan narkotik. Penggunaan preparat ini sebaiknya berhati-hati pada lansia,
khususnya pada gangguan kognitif sebelumnya. Jika obat ini harus dipakai
sebaiknya dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan. Obat hipoglikemi,
khususnya kerja sedang dapat menyebabkan hipoglikemi yang juga bermanifestasi
konfusio.
Sedatif hipnotik
o Benzodiazepin
o Kloralhidrat, barbiturat
o Anti kolinergik
o benztropin, oksibutirin
Antihistamin mis difenhidramin
Antispasmodik misal : belladona, propanthelin
Fenothiazin misal: thioridazin
Antidepresan trisklik
Antiparkinson misal levodopa, amantadin, pergolid, bromokriptin
Analgetik misal opiat (khususnya pethidin), jarang : NSAID,aspirin
Obat anestesi
Antipsikotik, khususnya beefek antikolinergik, misal klozapin
Steroid : dapat tergantung dosis
Antagonis histamin- 2, khususnya simetidin, tetapi juga golongan ranitidin.
Antibiotik:aminoglikosid, penicillin, sefalosporin, sulfonamid dan beberapa
flurokuinolon seperti siprofloksasin.
Obat kardiovaskuler dan antihipertensi, kinin,digoxin (padakadar
normal),amiodaron, propanolol, methiodopa
Antikonvulsan : fenitoin, karbamazepin, valproat, pirimidin,
klonazzepam,klobazam.
Lain-lain : lithium, flunoksilin, metoclopramid,imunosupresan.
KLINIS
Jarang terjadi gangguan dari siklus tidur-bangun dengan gambaran awal insomnia
dan mimpi buruk. Gambar klasik delirium termasuk kurang istirahat, rasa gembira,
pembicaraan yang tertekan, tertawa, berteriak dan hiperaktifitas otonom (seperti
diaforesis, takikardi dan cemas). Perilaku ini dapat mengganggu RS atau rumah
perawatan dan suatu saat sulit diatasi.
Sampai 2/3 pasien delirium tetap tak terdiagnosa oleh dokter. Dalam studi
prospektif 229 lansia yang dirawat di RS tersier Francis dkk menemukan dokter
mendiagnosa hanya 8 dari 50 (16%) pasien yang memenuhi kriteria DSM III dari
delirium. Beberapa studi lain memperkirakan 32-67% pasien delirium tetap tak
terdiagnosa. Sebab kunci tak terdiagnosanya delirium adalah banyak pasien tidak
memperlihatkan tingkah laku psikomotor hiperalert yang dapat dikenali seperti di
atas. Sebagian besar pasien delirium ternyata hipoalert, diam dan kurang gerak,
sering terjadi penyimpangan tidur ( mengigau) dengan percakapan pelan dan
inkoheren. Pada lingkungan RS yang sibuk mereka dianggap sebagai pasien model
dari diagnosa delirium diabaikan. Francis dkk memperlihatkan kurang dari ½ dari
22% dengan delirium mempunyai tingkah laku mengacau meski > 50% menjadi
inkotinensia urin.
Fluktuasi delirium juga mengacaukan diagnosa seperti pasien dengan mengacau
malam hari mungkin tampak normal pada saat kunjungan bangsal Dr di pagi hari.
Ini digabung dengan fakta bahwa test kognitif jarang dikerjakan di RS. Pada studi
100 pasien dengan bedah elektif dan emergency di sebuah RS Universitas Ni
Chonchubhair dkk menunjukkan 10 point Abbreviated Mental Test Score (AMTS)
secara rutin pada saat masuk dan 3 hari kemudian. Mereka mendapatkan
penurunan > 2 angka post operatif mempunyai sensitifitas 93 % dan spesifisitas
84% untuk mendeteksi delirium seperti DSM III. Juga riwayat yang baik dari
fungsi kognitif jarang diambil oleh staf RS, yang akan melengkapi riwayat lengkap
untuk membedakan delirium dan demensia. Ada kuosioner; misalnya Informant
Questionnaire on Cognitive Decline in Elderly (IQCOPE) yang akan menolong
diagnosa demensia pada pasien lansia.
PENATALAKSANAAN
Pencegahan
Delirium merupakan suatu masalah yang umum dan serius yang paling baik
dicegah, meskipun identifikasi awal delirium yang nyata dapat membantu
mengurangi lamanya gejala. Pasien resiko tinggi hendaklah diidentifikasi sesegera
mungkin melewati penyaringan pada saat atau sebelum masuk rumah sakit (Tabel
2). Hal ini khususnya penting untuk persiapan bedah dan hendaklah rutin pada saat
klinik preoperatif. Pada suatu penelitian 100 pasien tua delirius O'Keeffe dan
Lavan menunjukkan bahwa ko-eksis dari pre-eksis gangguan kognitif, sakit berat
dan peningkatan urea serum memperkirakan awitan delirium pada 100% pasien.
Serupa, Francis dkk. pada suatu penelitian pasien lansia menunjukkan bahwa
mereka dengan tiga atau lebih faktor resiko spesifik (sodium abnormal, sakit parah,
demensia, atau hipotermia, pemakaian obat psiko-aktif dan uremia) mempunyai
60% insiden delirium. Demikian jelas bahwa sarana pengkajian diperlukan untuk
mendiagnosis dan pemantauan delirium dan untuk mengkajian keampuhan
pengobatan.
Pemeriksaan
Sekali pasien telah terdiagnosis dengan delirium adalah sangat penting untuk
menegakkan penyebabnya. Pada lansia, delirium mungkin hanya sebagai fakta atas
masalah medis yang mendasari. Riwayat dan pemeriksaan yang rinci hendaklah
dibentuk, maupun meninjau kembali pengobatan, khususnya psikoaktif dan jumlah
obat terdahulu. Pada kenyataan, beberapa penatalaksanaan baru dimulai di rumah
sakit, khususnya perioperatif, hendaklah ditinjau kembali dan seluruh pengobatan
yang tidak perlu hendaklah dihentikan. Halusinasi visual, apabila ada, menduga
suatu masalah yang dikenali sebagai obat bius atau demenia. Pemeriksaan darah
rutin hendaklah diminta (tabel 6), maupun pencarian yang menyeluruh untuk
infeksi, terutama dada dan saluran kencing, yang mungkin sebaliknya tanpa gejala.
Sasaran lain pemeriksaan hendaklah dikerjakan seperlunya, termasuk uji fungsi
tiroid, elektrokardiograf, gas darah arteri, vitamin B12 dan folat. Penggunaan rutin
elektroensefalogram (EEG), komputer tomografi otak dan punksi lumbar adalah
kontroversial, oleh karena spesifisitasnya yang rendah. Meskipun beberapa klinisi
meminta pemeriksaan komputer tomografi otak pada pemeriksaan awal delirium,
hasilnya rendah jika tidak karena delirium sebab intrakranial yang diduga,
didasarkan pada neurologi fokal, tanda peningkatan tekanan interakranial,
antikoagulan atau perkembangan konfusio setelah jatuh atau cidera otak.
Spesifisitas EEG jatuh dengan peningkatan usia dan demensia dan ia pada
umumnya tidak di-indikasikan. Punksi lumbar mempunyai peranan yang terbatas
oleh karena hasilnya sangat rendah, kecuali kalau terdapat kenampakan spesifik
yang mencurigai meningitis.
Penting untuk mencegah secara agresif dan mengobati komplikasi yang berkaitan
dengan delirium. Apabila diperlukan, analgesik hendaklah diberikan pada jadwal
yang ketat. Cairan dan asupan makanan mestnya dipantau ketat, dengan
pertimbangan dini nutrisi tambahan atau konsul ahli gizi. Pasien mungkin
memerlukan bantuan dengan makanan atau cairan subkutan atau intravena.
Pengurangan dosis diuretik dan obat-obat terkeluarkan lewat ginjal mungkin
diperlukan. Konstipasi mestinya dicegah dengan menggunakan pencahar.
Pemakaian kateter hendaklah dicegah oleh karena resiko trauma dan infeksi;
inkontinensia sendiri bukanlah indikasi untuk pemasangan kateter. Pasien
hendaklah segera dimobilisasi untuk menghindari resiko signifikan terjadinya
atelektasis, penekanan area, kontraktur dan perburukan keadaan umum, yang mana
seluruhnya mungkin menyumbang peningkatan morbiditas dan lama rawat. Pada
kasus diijinkan diperlukan, pengayoman mungkin diperlukan.
Tatalaksana Farmakologi
Fenotiazin lain, misalnya tioridazin dan klorpromazin, pada dosis awal 12,5-25
mg, juga telah digunakan karena keampuhan mereka dan khasiat sedatif-nya,
meskipun ketenaran mereka mundur oleh karena kardiotoksis. Efek samping lain
adalah antikolinergik, terlalu sedasi dan hipotensi postural. Klormetiazol, suatu
sedatif kerja-pendek, mungkin berguna untuk sindrom tarikan, meskipun terapi
jangka lama membawa resikonya ketergantungan, dan tidak dipakai secara rutin.
Sekarang telah terdapat penelitian multipel dan laporan kasus yang menunjukkan
keampuhan obat-obat atipik seperti risperidon, olanzapin, klozapin, quetiapin
untuk pengobatan agitasi atau psikosis yang berhubungan dengan penyakit
Alzheimer atau terapi dopaminergik untuk penyakit Parkinson. Obat ini pada
umumnya telah ditoleransi dengan insidensi lebih rendah terjadinya ESEP daripada
antipsikotik tradisional. Tetapi, hanya terdapat sedikit laporan kasus dan tidak ada
uji yang berkaitan dengan pemakaian mereka untuk delirium. Dengan bukti yang
lebih jauh ini mungkin berguna sebagai cadangan antipsikotik yang lebih
tradisional.
PROGNOSIS
KESIMPULAN
Delirium merupakan masalah umum dan serius yang mempengaruhi bagian yang
bermakna perawatan di rumah sakit penderita lanjut usia. Ini berhubungan dengan
keluaran yang jelek dalam pengertian peningkatan lama perawatan dan biaya
pemeliharaan kesehatan, komplikasi perawatan di rumah sakit, pemberhentian
status fungsional dan tujuan, dan mortalitas. Penyebab delirium biasanya
multifaktorial, dengan banyak faktor pemicu yang potensial dapat dicegah. Ia
memerlukan perhatian bahwa pasien yang lebih rentan hanya membutuhkan sangat
kecil pengaruh untuk menyebabkan delirium. Semestinya terdapat pencarian dan
perbaikan yang agresif terhadap seluruh penyebab potensial, termasuk infeksi dan
abnormalitas metabolik. Pengobatan semestinya ditinjau ulang sepenuhnya dengan
penghentian seluruh obat yang tidak diperlukan. Terdapat keperluan yang lebih
dititikberatkan pada pencegahan dan deteksi awal delirium. Pegawai rumah sakit
hendaklah waspada pada pasien-pasien itu yang barangkali berkembang menjadi
delirium, dan sangat disarankan bahwa seluruh pasien mempunyai suatu
pengkajian kognitif yang menyeluruh pada pendaftaran masuk, ditambah dengan
riwayat sebelum sakit secukupnya, khususnya pada yang akan menjalani operasi.
Presipitan yang diketahui, khususnya faktor iatrogenik dan lingkungan, hendaklah
dihindari, dan pegawai mengawasi pasien secara hati-hati untuk tanda-tanda
delirium, terutama penampakan hipoaktif. Sekali delirium telah ditegakkan, suport
dan tindakan farmakologik yang tepat hendaklah dilaksanakan. Delirium
merupakan kelainan yang potensial yang membinasakan yang barangkali
selanjutnya terjadi peningkatan prevalensi seiring dengan populasi lanjut usia.
Bagaimanapun, dengan perhatian yang baik kepada pasien, faktor kesakitan dan
rumah sakit, ia semestinya dimungkinkan untuk meminimalkan dampak terhadap
lansia yang dirawat.