Hak Asasi Manusia (PKN)
Hak Asasi Manusia (PKN)
manusia yang didapatkan sejak lahir dimana secara kodrati HAM sudah melekat dalam diri
manusia dan tak ada satupun orang yang berhak mengganggu gugat karena HAM bagian dari
anugrah Tuhan, itulah keyakinan yang dimiliki oleh manusia yang sadar bahwa kita semua
makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki derajat yang sama dengan manusia yang lainnya sehingga
mesti berhak bebas dan memiliki martabat serta hak-hak secara sama. Jika anda masih belum
menyadari betapa pentingnya Hak asasi manusia atau HAM.
Hak Asasi Manusia (HAM) mucul dari keyakinan manusia itu sendiri bahwasanya semua
manusia selaku makhluk rakitan Tuhan adalah sama serta sederajat. Manusia dilahirkan lepas
dan memiliki martabat juga hak-hak yang sama. Bagi dasar itulah manusia mesti diperlakukan
secara sama setimpal dan beradab. HAM bersifat universal, artinya berlaku bakal semua
manusia tanpa mebeda-bedakannya berdasarkan atas ras, keyakinan, suku dan bangsa (etnis).
Berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM), cakupannya sangatlah luas, baik ham yang
bersifat individual (perseorangan) maupun HAM yang bersifat komunal atau kolektif
(masyarakat). Upaya penegakannya juga sudah berlangsung berabad-abad, walaupun di berbagai
belahan dunia termasuk Indonesia, secara eksplisit baru terlihat sejak berakhirnya perang Dunia
II, dan semakin intensif sejak akhir abad ke-20. Sudah banyak juga dokumen yang dihasilkan
tentang hal itu, yang dari waktu ke waktu terus bertambah.
Pelanggaran HAM adalah pelanggaran atau kelalaian terhadap kewajiban asasi yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain. Namun tidak semua pelanggaran yang berkenaan dengan hak
merupakan pelanggaran HAM. Yang termasuk dalam pelanggaran HAM diantaranya pelecehan
dan pembunuhan, berikut penjelasan lengkap mengenai pelanggaran HAM dan Contoh Kasus
Pelanggaran Ham di Indonesia.
PENYEBAB
Delapan tahun silam, tepatnya pada 2004, Indonesia dikejutkan oleh meninggalnya seorang
aktivis HAM, Munir Saib Thalib. Kematianya menimbulkan kegaduhan politik yang menyeret
Badan Intelijen Negara (BIN) dan instituti militer negeri ini. Berdasarkan hasil autopsi,
diketahui bahwa penyebab kematian sang aktivis yang terkesan mendadak adalah karena adanya
kandungan arsenik yang berlebihan di dalam tubuhnya. Munir meninggal ketika melakukan
perjalanan menuju Belanda. Ia berencana melanjutkan studi S2 Hukum di Universitas Utrecht,
Belanda, pada 7 September 2004. Dia menghembuskan nafas terakhirnya ketika pesawat sedang
mengudara di langi Rumania.
PENYELESAIAN
Kasus Munir merupakan contoh lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Kasus Munir juga
merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan orde baru yang saat itu lebih bersifat otoriter.
Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar meninggalkan cara-
cara yang bersifat otoriter k arena setiap manusia atau warga Negara memiliki hak untuk
memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman.
Sedangkan bangsa Indonesia saat ini memiliki sistem pemerintahan demokrasi yang seharusnya
menjunjung tinggi HAM seluruh masyarakat Indonesia.
Kronologi pembunuhan
Munir Said Thalib, akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda.
Pukul 21.30 WIB. Melalui pengeras suara, seluruh penumpang pesawat Garuda Indonesia nomor
penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam dipersilakan petugas bandara naik ke pesawat.
Berangkat dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta
Rombongan orang kulit putih bergegas, banyak dari mereka adalah warga negara Belanda. Saat akan
memasuki pintu pesawat, Munir bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa
dipanggil Polly. Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang terbang sebagai
penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis.
Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila
masuk melalui pintu belakang. Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas
bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G. Polly
selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan mengobrol dengan awak kokpit yang
bertugas. Saat pesawat mundur dan siap tinggal landas, Polly dipersilakan oleh purser Brahmanie untuk
duduk di kelas premium karena banyak tempat duduk yang kosong di kelompok termahal itu. Purser
adalah pimpinan kabin yang bertanggung jawab atas kenyamanan seluruh penumpang, termasuk
kepindahan tempat duduk mereka. Lelaki berseragam pilot kemeja putih dan celana biru dongker itu
pun duduk di 11B.
Ada dua cerita tentang kepindahan Munir ke kelas bisnis itu, yaitu menurut kisah Brahmanie dan Polly.
Dalam sidang PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi, “Saat sedang di depan toilet
bisnis, saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu, Saudara Polly, sambil memegang boarding pass
warna hijau, bertanya dalam bahasa Jawa, ‘Mbak, nomer 40G nang endi? Mbak, aku ijolan karo
kancaku,’ (Mbak, nomor 40G di mana? Mbak, saya bertukar tempat dengan teman saya.) tanpa
menyebutkan nama temannya. Karena nama temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu siapa teman
Saudara Polly. Lalu, saya datangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di sana Saudara Munir, yang lalu
saya salami. Saudara Polly tidak duduk di 40G, tapi di premium class nomor 11B atas anjuran saya
karena banyak tempat duduk yang kosong.” Sementara itu, dalam wawancara di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita, “Saya ketemu Munir di pintu pesawat Garuda Indonesia,
di bandara Jakarta. Dia tanya di pintu bisnis, ‘Tempat duduk ini di mana?’ Saya bilang, ‘Wah Bapak ini di
ekonomi, cuma tempat duduknya yang mana saya tidak hafal.’ Kemudian, itu kan antre, ada banyak
penumpang lain mau masuk, saya persilakan duluan. Saya sebagai kru lebih baik ngalah, toh sama-sama
naik pesawat, nggak mungkin ditinggal. Setelah itu, karena saya mau masuk ke ruang bisnis, mau
melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada Munir, ‘Saya duduk di bisnis, kalau Bapak mau di sini,
ya Bapak tanya dulu sama pimpinan kabin, kalau diizinkan ya silakan, bila tidak ya mohon maaf.’ Bahasa
saya seperti itu. Sudah, itu saja.” Sebelum pesawat tinggal landas, di kelas bisnis, Yeti Susmiarti
menyajikan welcome drink. Penumpang diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus
apel. Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan sauna
towel (handuk panas), yang biasa digunakan untuk mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar
kepada penumpang yang ingin membacanya. Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan
Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB
pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur Muhammad Taufik itu tinggal landas. Untuk mengukur
waktu tinggal landas dan mendarat secara tepat, industri penerbangan menggunakan istilah block of
dan block on. Block of adalah waktu yang menunjukkan saat ganjal roda pesawat di bandara dilepas dan
pesawat mulai bergerak untuk terbang. Block ondigunakan sebagai penanda waktu kedatangan pesawat
di bandara tujuan, yaitu saat ganjal roda pesawat dipasang.
Sekitar 15 menit setelah tinggal landas, pramugari menawarkan beberapa pilihan makanan dalam
kemasan yang masih panas di atas nampan. Di kursi 3K, Munir memilih mi goreng. Selesai mi, Yeti
kembali memberi tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan daripada welcome drink. Pilihannya
adalah minuman beralkohol (wiski, gin, vodka, red wine, white wine, dan bir), soft drink, jus apel serta
jus jeruk Buavita, jus tomat Berry, susu putih Ultra, air mineral Aqua, teh, dan kopi. Munir kembali
memilih jus jeruk. Setelah mengarungi langit pulau Jawa, Sumatera, dan laut di sekitarnya selama 1 jam
38 menit, pesawat GA 974 mendarat di Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Zona
waktu Singapura satu jam lebih awal ketimbang WIB. Awak kabin memberi penumpang waktu untuk
jalan-jalan atau kegiatan apa saja di Bandara Changi selama 45 menit.
Transit di Bandar Udara Internasional Changi Singapura
Karena keluar dari pintu bisnis, Munir pun lebih cepat mencapai Coffee Bean dibanding jika keluar dari
pintu ekonomi. Usai singgah di kedai itu, dia kembali menuju ke pesawat melaui gerbang D 42. Di
perjalanan menuju pintu Garuda, dia disapa oleh seorang laki-laki. “Anda Pak Munir, ya?” “Iya, Pak.”
“Saya dr. Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. Pak Munir ngapain ke Belanda?” “Saya mau belajar,
mau nge-charge satu tahun.” “Di mana?” “Utrecht.” “Wah, Indonesia kehilangan, dong. Anda kan orang
penting?” komentar dr. Tarmizi. “Ya… ini perlu untuk saya, Pak,” timpal Munir sambil tersenyum. “Anda
‘kan pernah nulis tentang Aceh. Bagaimana sih, bisa beres nggak tuh?” tanya dokter lagi, sambil
keduanya berjalan. “Ah, itu tergantung niat, Dok.” “Maksudnya?” “Kalau niatnya membereskan, tiga
bulan juga beres.” Kemudian, dokter kelahiran Sumatera Barat itu mengeluarkan dompet dan memberi
Munir kartu namanya sambil berkata, “Kapan-kapan, bila perlu, silakan menghubungi saya.” Munir
menerima kartu nama dr. Tarmizi Hakim, lalu keduanya berpisah. Si dokter masuk ke kelas bisnis, Munir
menuju pintu bagian belakang pesawat dan duduk di kursi 40G kelas ekonomi, sebagaimana tercantum
di boarding pass-nya. Karena Polly hanya sampai Singapura, Munir pun kembali ke tempat duduk aslinya
untuk penerbangan Singapura-Amsterdam. Total waktu transit di Changi (antara block on dan block of)
adalah 1 jam 13 menit, jumlah waktu yang digunakan pesawat untuk pengisian bahan bakar,
penggantian seluruh awak kokpit dan kabin, serta penambahan penumpang dari Singapura.
Menuju Bandar Udara Internasional Schiphol
Pesawat tinggal landas dari Changi pukul 01.53 waktu setempat. Penerbangan menuju Schipol ini
dipimpin oleh Kapten Pantun Matondang, dengan purser Madjib Nasution sebagai penanggung jawab
pelayanan penumpang. Sebelum pesawat mengangkasa, pramugari Tia mengecek kesiapan penumpang
untuk tinggal landas. Saat melakukan kewajibannya, dia dipanggil oleh Munir yang meminta obat
Promag. Pramugari bernama lengkap Tia Dewi Ambara itu meminta Munir menunggu sebentar karena
pesawat akan tinggal landas dan seluruh awak kabin harus duduk di tempat masing-masing. Kira-kira 15
menit kemudian, setelah pesawat di ketinggian aman, Tia mulai membagikan selimut dan earphone,
dilanjutkan dengan makanan pengantar tidur. Saat Tia sampai di 40G, lelaki berkaus abu-abu dan
bercelana jins hitam itu sedang tidur. Tia membangunkannya dan bertanya, “Apa Bapak sudah dapat
obat dari teman saya?” “Belum.” “Maaf, kami tidak punya obat.” Tia lalu menawarkan makanan, yang
ditolak oleh Munir. Namun, lelaki ini meminta teh hangat. Tia pun menyajikan teh panas yang
dituangkan dari teko ke gelas di atas troli. Munir menerima uluran minuman itu, lengkap dengan gula 1
sachet. Ketika Tia melanjutkan melayani penumpang lain, Munir melewatinya di gang menuju toilet. Ini
kali pertama Munir pergi ke toilet, sekitar 30 menit setelah tinggal landas.
Mulai pergi bolak-balik ke toilet
Tiga jam sudah pesawat besar itu terbang dan sedang berada di langit India saat Munir semakin sering
pergi ke toilet. Ketika berjalan di gang kabin yang hanya diterangi oleh lampu baca, dia berpapasan
dengan pramugara Bondan Hernawa. Dia mengeluhkan sakit perut dan muntaber kepada Bondan, serta
memintanya memanggilkan dr. Tarmizi yang duduk di kelas bisnis. Munir juga memberinya kartu nama
dokter itu. Sesuai prosedur untuk situasi semacam ini, Bondan pun melapor kepada purser Madjib
Nasution yang berada di Purser Station. “Bang, ini Pak Munir penumpang kita sakit. Buang-buang air,
muntah-muntah. Ini ada kawannya, dokter, tapi saya tidak tahu duduk di mana. Tolong carikan tempat
duduknya,” ujar Bondan sambil menyerahkan kartu nama dr. Tarmizi. Madjib mencari penumpang atas
nama dr. Tarmizi Hakim di Passenger Manifest dan menemukannya di kursi nomor 1J. Belum sempat dia
beranjak, Munir sudah berada di depan Purser Station. Sambil memegangi perut, Munir berkata, “Saya
sudah buang-buang air, pakai muntah juga. Mungkin maag saya kambuh. Seharusnya tadi tidak minum
jeruk waktu dari Jakarta-Singapura.” Munir pun melanjutkan perjalanannya ke toilet. Madjib dan Bondan
lalu mendatangi 1J dan mendapati dr. Tarmizi sedang tidur di 1K, kursi sebelah kanannya yang, karena
dekat jendela dan dia dapati kosong, lalu dia duduki. “Dokter, dokter…,” Madjib berusaha
membangunkan. Keduanya mengulanginya beberapa kali dengan suara lebih keras, tapi tidur dokter
bedah itu tetap tak terusik. Madjib kembali berjumpa Munir di gang dan memintanya membangunkan
dr. Tarmizi sendiri, sementara Bondan pergi ke pantry untuk melaksanakan tugas terjadwalnya. Akhirnya,
dr. Tarmizi bangun. Munir menjelaskan kondisi tubuhnya yang saat itu tampak sangat lemah dengan
berkata, “Saya sudah muntah dan buang air besar enam kali sejak terbang dari Singapura.” Dr. Tarmizi
mengusulkan kepada Madjib supaya Munir pindah tempat duduk ke nomor 4 karena tempat itu kosong
dan dekat dengannya. Munir pun duduk di kursi 4D. Dr. Tarmizi mengambil posisi di samping kirinya.
“Pak Munir makan apa saja dua hari terakhir ini?” tanya dokter spesialis bedah toraks kardiovaskular itu.
Munir hanya diam, mungkin akibat nyeri perutnya. Pertanyaan itu disambut oleh Madjib, “Pak Munir
tadi sempat minum air jeruk, padahal Pak Munir tidak kuat minum jeruk karena punya maag.” Munir
tetap diam, tidak berkomentar. “Kalau maag tidak begini,” kata si dokter, yang lalu bertanya kepada
Munir, “Anda makan apa?” “Biasa saja.” “Kemarin?” “Biasa saja.” “Kemarinnya lagi?” “Biasa saja.” Dokter
itu melakukan pemeriksaan secara umum dengan membuka baju pasiennya. Dia lalu mendapati nadi di
pergelangan tangan Munir lemah. Dokter berpendapat Munir menunjukkan gejala kekurangan cairan
akibat muntaber.
Pergi ke toilet ke-2 kali
Munir kembali lagi ke toilet, diikuti dokter, pramugara, dan pramugari. Setelah muntah dan buang air,
dia pulang ke kursi 4D, sambil terus batuk-batuk berat. Dr. Tarmizi meminta seorang pramugari
mengambilkan Doctor’s Emergency Kit yang dimiliki setiap pesawat terbang. Kotak itu dalam keadaan
tersegel. Setelah melihat isinya, dia berpendapat obat yang tersedia sangat minim, terutama untuk
kebutuhan Munir. Dr. Tarmizi memerlukan infus, tapi tidak ada. Tidak ada obat khusus untuk sakit perut
mulas, juga obat muntaber biasa. Si dokter pun mengambil obat dari tasnya sendiri. Dia memberi Munir
obat diare New Diatabs serta obat mual dan perih kembung Zantacts dan Promag. Dua tablet untuk yang
pertama dan masing-masing satu tablet untuk dua terakhir. Dr. Tarmizi lalu meminta seorang pramugari
membuatkan teh manis dengan sedikit tambahan garam di dalamnya. Namun, lima menit setelah
meminum teh hangat itu, Munir kembali ke toilet. Munir rampung setelah lima menit dan membuka
pintu. Dr. Tarmizi lalu membimbing Munir berjalan menyusuri gang sambil berkomentar kepada purser
Madjib, “Mengapa infus saja tidak ada padahal perjalanan sejauh ini?” Di kotak obat pesawat terdapat
cairan Primperam, obat antimual dan muntah, yang kemudian disuntikkan dr. Tarmizi ke tubuh Munir
sejumlah 5 ml (dosis 1 ampul). Injeksi di bahu kiri ini cukup berpengaruh karena Munir kemudian tidur.
Penderitaannya reda selama 2-3 jam.
Pergi ke toilet ke-3 kali
Munir bangun dan kembali masuk ke toilet. Dia cukup lama berada di dalamnya, kira-kira 10 menit, dan
pintunya pun tidak tertutup dengan sempurna. Madjib memberanikan diri melongok lewat celah yang
ada dan mengetuk pintu, tapi tidak ada respons dari orang yang sedang menderita di dalam sana.
Madjib membuka pintu lebih lebar dan melihat laki-laki 38 tahun itu sedang bersandar lemas di dinding
toilet. Purser Madjib langsung memanggil dokter yang selama setengah jam terakhir paling tahu kondisi
penumpangnya itu. Dr. Tarmizi mengajak Madjib dan pramugara Asep Rohman mengangkat Munir
kembali ke kursi 4D. Setelah didudukkan di kursi, Munir menjalani pemeriksaan oleh dr. Tarmizi, dalam
gelapnya kabin pesawat yang hanya diterangi lampu baca. Kegelapan ini keadaan yang tak bisa mereka
atasi sebab demikianlah aturan penerbangan. Pertama pergelangan tangan, lalu perut. Saat perutnya
diketuk oleh si dokter, Munir mengeluh, “Aduh, sakit,” sambil memegang perut bagian atas. Madjib
menyarankannya untuk ber-Istighfar, disambut Munir dengan menyebut, “Astaghfirullah Haladzim, La
Illaha Illa Llah,” sambil tetap memegangi perut. Pramugari Titik Murwati yang berada di dekat situ
berinisiatif memberi balsem gosok, tindakan yang dia harap bisa membantu meredakan derita
penumpangnya. Atas persetujuan dr. Tarmizi, Titik menggosok perut Munir dengan balsem yang bisa
memberikan rasa hangat. Munir berkata dia ingin istirahat karena capek. Dr. Tarmizi membuka kotak
obat lagi dan mengambil obat suntik Diazepam. Kali ini, dokter menyuntikkan 5 mg di bahu kanan, juga
dengan bantuan purser Madjib. Jarak antara kedua suntikan sekitar 4-5 jam. Sesudah suntikan obat
penenang itu, Munir masih merasakan mulas di perut. Lima belas menit berlalu dan Munir ke toilet lagi,
ditemani dokter, purser, serta pramugari. Di dalamnya, Munir muntah, diikuti buang air. Kembali ke
tempat duduk, Munir berkata dirinya ingin tidur telentang. Purser dan seorang anak buahnya
membentangkan sebuah selimut sebagai alas di lantai depan kursi 4D-E dan sebuah bantal di atasnya.
Dia pun berbaring di sana, dengan dua selimut lagi diletakkan di atas tubuhnya agar hangat. Dr. Tarmizi
berkata kepada awak kabin itu supaya Munir dijaga, dan bahwa dirinya ingin istirahat karena besok kerja
(dia akan melakukan operasi jantung di rumah sakit di Swole), sambil minta dibangunkan bila terjadi
apa-apa dengan Munir. Juga, dia berpesan agar mereka memastikan dokter dari Amsterdam yang besok
masuk ke pesawat membawa infus. Setelahnya, si dokter kembali ke kursi di 1K dan tidur. Munir kembali
bisa tidur, tapi sering berubah posisi, dan posisi itu selalu miring, tidak pernah telentang atau tengkurap.
Madjib terus setia menjaga Munir sampai sekitar 3 jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol,
saat awak kabin menyiapkan makan pagi penumpang. Madjib berjalan ke tempat duduk dr. Tarmizi dan
bertanya apakah perlu dirinya membangunkan Munir untuk sarapan, yang dijawab dengan anjuran
untuk membiarkan Munir tetap istirahat. Madjib pun melakukan tugas rutinnya mengawasi lingkungan
pesawat.
Meninggal dunia
Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat, jam 05.10 GMT atau 12.10 WIB, ketika sarapan masih
berlangsung dan lampu kabin masih menyala, Madjib kembali melangkahkan kaki mengunjungi “tempat
tidur” Munir. Di depan kursi 4D-E, dia melihat tubuh Munir dalam posisi miring menghadap kursi,
mulutnya mengeluarkan air liur tidak berbusa, dan telapak tangannya membiru. Dia memegang tangan
Munir dan mendapati rasa dingin. Madjib yang kaget bergegas menuju kursi sang dokter. Dokter
memegang pergelangan tangan Munir sambil dengan tangan satunya menepuk-nepuk punggung. Dia
berulang-ulang berujar, “Pak Munir… Pak Munir….“ Akhirnya, memandang purser Madjib, dr. Tarmizi
berkata pelan, “Purser, Pak Munir meninggal… Kok secepat ini, ya…. Kalau cuma muntaber, manusia bisa
tahan tiga hari.” Purser Madjib meminta Bondan dan Asep membantunya mengangkat tubuh kaku
Munir ke tempat yang lebih baik: lantai depan kursi 4J-K. Munir berbaring di atas dua lembar selimut,
kedua matanya dipejamkan oleh Bondan, tubuhnya ditutupi selimut.
Bondan dan Asep membaca surat Yassin di depan jenazah Munir Said Thalib, 40.000 kaki (12,192 km) di
atas tanah Rumania.
Hasil otopsi jenazah
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik
Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi
oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang
menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
1 HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara
otomatis.
2 HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan
politik atau asal-asul sosial dan bangsa.
3 HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar
hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak
melindungi atau melanggar HAM .