Anda di halaman 1dari 8

POST MODERN

1) Friedrich Nietzscche
Nietzsche adalah seorang filsuf yang tidak begitu mendapat perhatian dalam disiplin teori
sosiologi maupun teori sosial. Namun hal tersebut segera berubah begitu pemikiran-pemikiran
Nietzsche menempati posisi sentral dalam post-strukturalisme serta postmodernisme. Tentu
merupakan suatu kesulitan untuk menampilkan secara ringkas sumbangan pemikiran Nietzsche
dalam hal tersebut karena watak teks-teks Nietzsche yang fragmented, kontradiktoris, dan
“terbuka”. Hal tersebut tak dapat dipungkiri mendatangkan pelbagai penafsiran yang berbeda
[Antonio, 1995:5]. Baru-baru ini Robert J. Antonio [1995] telah membuat ringkasan atas
gagasan-gagasan Nietzsche yang relevan secara sosial serta gagasan-gagasannya yang punya
dampak terhadap post-strukturalisme dan postmodernisme.
Perhatian utama Antonio adalah bahwa Nietzsche, berlawanan dengan sebagian besar
teori sosiologi klasik, menawarkan suatu bentuk “anti-sosiologi”. Nietzsche menilai apa yang
oleh para teoritikus sosiologi klasik dianggap sebagai kemajuan yakni pencerahan dan kebebasan
sebagai sebentuk dekadensi, keletihan dan cara hidup yang terlalu teratur. Anti-sosiologi
Nietzsche juga tampil dalam bentuk chaotic dan aporistik, berbeda dengan model narasi besar
yang sistematik yang diproduksi oleh para pemikir modernis.
Nietzsche mengambil dua asumsi dasar dari teori sosial modern dalam penolakannya
terhadap gagasan akan “subyek rasional”. Hal tersebut menandakan: pertama, Nietzsche menolak
memberikan perhatian serta evaluasi positif atas akal budi, rasionalitas serta proses rasionalisasi.
Sebaliknya, Nietzsche memuji kekuatan-kekuatan non-rasional dan irasionalitas serta
menyalahkan proses rasionalisai yang dianggapnya melemahkan semangat. Kedua, Nietzsche
menolak memfokuskan diri pada pembahasan soal-soal subyektifitas, jiwa dan pikran yang
selama ini menjadi fokus utama teori-teori modern. Sebaliknya, Nietzsche memfokuskan
perhatiannya pada soal tubuh, fisologi dan semacamnya. Impuls-impuls non-rasional yang
dikontrol dan ditekan oleh masyarakat rasional berasal dari tubuh. Maka kekuatan-kekuatan
tersebut mesti diekspresikan, meskipun dalam sebuah cara yang bersifat rohaniah.
Konsep kunci dalam karya Nietzsche, yakni ressentiment, oleh Antonio [1995: 7] didefinisikan
sebagai suatu “keinginan kaum lemah untuk membuat penderitaannya menjadi lebih bermakna
lewat cara menyalahkan pihak lain serta menempuh ‘balas-dendam imajiner’.” Obyek utama
yang dipersalahkan oleh kaum lemah ini yang juga menjadi obyek kontrol sebagian besar
masyarakat tak lain adalah mereka yang kuat, mereka yang emosinya tidak pernah bisa dihalangi
dan didomestifikasi. Karena orang-orang kuat disub-ordinasi, maka sebagai akibatnya dunia
dikuasai oleh para budak dan moralitas kerdil mereka. Dalam pandangan Nietzsche, Socrates,
Katolikisme, Protestantisme serta Pencerahan bertanggung-jawab atas moralitas budak ini dan
penyebarannya ke wilayah-wilayah yang lebih luas. Mereka yang dikarunia mentalitas budak
cenderung terombang-ambing dan oleh karenanya sering berperilaku menyedihkan dan
mengidap prasangka-prasangka.
Kekuatan ini tidak hanya memperlemah orang kuat tetapi juga kebudayaan secara luas.
Negara menguasai kebudayaan dan mejadi locus ressentimen. Nietzsche tidak melihat revolusi
sosialis sebagai solusi atas masalah ini. Dia merasa bahwa hal itu justru semakin
memperkuatnya. Selain menentang sosialisme, Nietzsche juga tidak mendukung kapitalisme,
karena baginya kapitalisme dianggap sebagai sebentuk perlawanan terhadap kemajuan
kebudayaan serta individu-individu yang tangguh. Mereka yang ambil bagian dalam
perekonomian kapitalis direduksi menjadi “semut-semut industri” sementara negara kapitalis
dilengkapi dengan “meluasnya pangsa pasar” [Antonio, 1995:5]. Kemudian, “egalitasianisme”
yang menyertai kapitalisme mereduksi segala sesuatu ke common denominator yang paling
rendah, yang mana hal itu mempengaruhi terjadinya keletihan budaya. Akhirnya, semua
kekhasan individual dan juga kekhasan kebudayaan tersingkir.
Jelaslah bahwa Nietzsche memuji mereka yang mampu menghindar dari kekuatan-
kekuatan opresif tersebut –yang disebutnya sebagai “individu-individu yang berdaulat”. Menurut
Nietzsche, orang-orang macam ini adalah individu-individu yang unik, yang mengandalkan
inteligensi tubuh dan insting-insting vital mereka ketimbang larut dalam aturan-aturan dan
harapan. Melalui penipuan dan penguasaan diri, mereka dapat terhindar dari kekuatan-kekuatan
penyeragam (homogenizing forces) yang ada di masyarakat.
Nietzsche sangat menghargai kebudayaan dengan segala “kehendak untuk menipu” (will
to deception) yang ada di dalamnya ketimbang pengetahuan dan “kehendak akan kebenaran”-nya
(will to truth). Pengetahuan dikaitkan dengan rasionalitas dan askesitisme, sedangkan
kebudayaan dikaitkan dengan irasionalitas dan permainan yang tidak menghambat. Kebudayaan
dan estetika berkaitan dengan kebebasan yang lebih besar, lebih dari sekedar individualitas,
kegembiraan yang lebih besar dan kelucuan kanak-kanak. Nietzsche mendambakan dunia
dimana kebudayaan menjadi sesuatu yang dominan dan pemimpin dari kebudayaan itu adalah
individu-individu berdaulat yang memiliki “kekuatan yang diperlukan, kreativitas dan tiada
hambatan…. dapat menghadapi segala macam provokasi dan hasutan, chauvinisme, penjilatan
dan kekerasan” [Antonio, 1995:20]. Namun, para pemimpin harus hati-hati untuk menghindari
moralisme berlebihan dan mengembangkan sebuah obsesi dengan kontrol.
Antonio menunjukan bahwa kompleks Nietzsche dan gagasan-gagasannya yang sering
kontradiktoris memiliki signifikansi terhadap perkembangan teori sosial postmodern –khususnya
Weber, terhadap para pemikir sayap kiri, teoritikus sayap kanan dan terhadap kaum
postmodernis –yang menjadi perhatian utama buku ini. Secara singkat Antonio menjelaskan
pengaruh Nietzsche terhadap pemikiran beberapa pemikir yang akan di dalami dalam buku ini
seperti Foucault, Derrida dan Baudrillard. Secara lebih umum, “tema-tema Nietzschean punya
kekuatan menembus; kaum postmodernis biasanya mencintai gaya ekspresi yang estetis, saling
bertentangan, terpecah-pecah dan selalu berubah ketimbang representasi konvensional. Mereka
juga mencintai pengetahuan yang penuh perspektif ketimbang pengetahuan yang obyektif,
mencintai visi kebudayaan yang non-rasional ketimbang visi kebudayaan yang rasional. Motif-
motif kaum Nietzschean sanagt jelas tampak dalam sejumlah argumentasi mereka mengenai
peran bahasa dalam dominasi kebudayaan, dalam kritik mereka atas negara yang selalu
mengawasi, dalam afirmasi mereka atas perbedaan multi-kultural serta dalam klaim mengenai
perkiraan probematis, bidang-bidang yang tidak terekplorasi dan suara-suara yang di marginalisir
dalam teori sosial. Juga, serangan mereka yang cantik terhadap ideologi-ideologi moralistik,
positivisme, bias-bias kebudayaan yang sempit dan dalil-dalil intelektual sanagt jelas
menunjukkan dorongan-dorongan Nietzschean.”
Namun hal tersebut sama sekali tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan penting antara
Nietzsche dengan teori sosial post-modern. Di satu pihak, banyak kaum postmodernis yang
mendukung pandangan yang condong ke kiri, egalitarian, dan pluralistik. Kedua, relativisme
ekstrem kaum postmodern terkadang mencerminkan modernisme liberal yang justru selama ini
dikritik oleh Nietzsche. Ketiga, kaum postmodernis cenderung mengabaikan argumennya atas
bentuk-bentuk baru otoritas dan dominasi kebudayaan. Akhirnya, sebutan Nietzsche untuk
individu-individu yang “berdaulat” sering hilang sebagaimana lenyapnya subyek dalam dunia
tanda-tanda postmodern.
Meskipun Nietzsche mensubordinasikan pengetahuan dalam kebudayaan, ia menyetujui
pentingnya “kehendak akan kebenaran”, terutama kesediaan untuk melihat kenyataan
sebagaimana adanya, “dalam segenap multisiplitas, ketidak-pastian khaotik dan kekerasannya,
apapun biayanya. Maka bagi para individu yang berdaulat, “visi yang mengundang gairah serta
kebenaran ilmiah merupakan dua hal yang dibutuhkan untuk menghadapi ‘lautan bebas dan
tugas-tugas besar”.

2) Richard Rorty
Rorty memulai Philosophy and the Mirror of Nature dengan tinjauan singkat mengenai
filsafat Barat dari abad 17 hingga abad 19. Ada sejumlah pemikiran dominan yang muncul
selama periode ini seperti pemikiran yang memfokuskan diri pada persoalan manusia sebagai
“yang mengetahui” (the knower) yang terlibat dalam proses merepresentasikan dunia; suatu
pandangan yang melihat filsafat “sebagai pengadilan atas rasio murni, yang mendukung dan
menyangkal klaim-klaim kebudayaan”, dan “sebagai sebuah disiplin dasar yang diklaim oleh
pengetahuan” [Rorty, 1979:4]. Selama beberapan tahun filsafat tumbuh semakin ketat dan
ilmiah. Dalam proses ini, filsafat semakin tidak dapat berbuat banyak berhadapan dengan
segenap gejala kebudayaan lain.
Pada abad 20, sejumlah filsuf terutama Ludwig Wittgenstein, Martin Heidegger1 dan
John Dewey mempertanyakan orientasi filsafat dan mencari cara baru dalam membuat filsafat
menjadi fondasional. Bagi Rorty [1979:6] yang terpenting adalah fakta bahwa para pemikir
tersebut “menyetujui gagasan pengetahuan sebagai representasi akurat yang hanya
dimungkinkan oleh proses-proses mental dan dimengerti lewat sebuah teori umum tentang
representasi yang sudah saatnya ditinggalkan.” Rorty menganut pandangan bahwa apa yang
diperlukan adalah dekonstruksi atas teori representasi, atau dalam istilah yang ia pakai,
“dekonstruksi gambaran Cermin Alam Semesta (The Mirror of Nature). Rorty mengajukan kritik
dan mengembangkan sebuah alternatif, dengan orientasi filosofis sebagai berikut: gambaran
yang mendukung pesona filsafat tradisional adalah apa yang dalam pikiran disebut sebagai
cermin besar yang memantulkan gambaran bermacam-macam –yang beberapa ada yang tepat
dan beberapa lagi ada yang tidak, dan dapat dipelajari lewat metode-metode murni dan non-
empiris. Tanpa memahami pikiran sebagai cermin, ide pengetahuan sebagai representasi akurat
tidak akan punya manfaat bagi dirinya sendiri… Cerita tentang dominasi pemikiran Barat
melalui metafor perbandingan-perbandingan.
Rorty bukan hanya menentang filsafat yang memberi tempat istimewa terhadap
representasi, tetapi dia juga menyerang gagasan yang berusaha menjadikan filsafat sebagai suatu
pengadilan tertinggi dan disiplin fondasional.
Rorty mengaitkan pemikiran-pemikiran yang dia tolak dengan apa yang ia sebut sebagai
filsafat-filsafat sistematik. Filsafat sistematik melibatkan kepercayaan akan manusia sebagai
subyek yang mengetahui dan mengenal esensi-esensi serta melibatkan pencarian atas dasar-dasar
sistematik yang membangun sebuah pemikiran. Berbeda dengan filsafat sistematik, Rorty
memperkenalkan filsafat kemajuan (edifying philosophy) yang mencurigai semua pretensi
filsafat sistematik. Rorty menawarkan serangkaian pertentangan antara kedua filsafat itu yang
memberi kita gambaran atas apa yang ia maksud sebagai “filsafat kemajuan”: filsafat kemajuan
bersifat reaktif dan menawarkan yang satire, parodi dan aphorisme. Filsafat ini tahu bahwa
pekerjaannya kehilangan arah manakala masa bagi sesuatu yang ia tanggapi sudah lewat. Filsafat
ini secara intensional bersifat pinggiran. Filsafat-filsafat sistematik, seperti halnya para ilmuan
besar, membangun proyeknya demi keabadian. Filsafat kemajuan menghancurkan pemikiran-
pemikiran demi kepentingan generasinya sendiri. Para filosof sistematik ingin menempatkan
tujuan mereka pada jalan pengetahuan yang aman. Para filsuf kemajuan ingin tetap membuka
ruang bagi semacam keajaiban dimana puisi bisa mendapat tempat… sesuatu yang tidak dapat
dijelaskan dan hanya dapat dideskripsikan seadanya.
Jelaslah bahwa filsafat kemajuan jauh lebih rendah hati dari filsafat sistematik. Filsafat
ini tidak hanya mengutuk gagasan tentang kepemilikan pemikiran tetapi juga menghindari posisi
dalam memberikan pandangan-pandangan. Ia adalah “sejenis filsafat non-epistemologis” [Rorty,
1979:381]. Filsafat ini tidakmenempuh jalan yang diambil oleh ilmu pengetahuan dan program-
program penelitiannya karena dalam pandangannya tidak ada satu jalan yang tepat untuk
menggambarkan kenyataan. Sains diserang oleh Rorty [1979: 384–385], ”segera setelah program
menempatkan filsafat pada jalan pengetahuan yang aman berhasil, dia akan mengalihkan filsafat
ke dalam sebuah kekhususan akademik yang membosankan. Tujuannya tidak untuk menemukan
kebenaran sebagaimana dalam filsafat sistematik dan sains, tetapi hanya untuk melanjutkan
percakapan. Sebaliknya, sains menutup berlangsungnya percakapan dengan tindakannya
menemukan jawaban. Mengurangi jawaban final atau kebenaran, filsafat kemajuan terus
memberikan deskripsi-deskripsi baru dan selalu berjuang melawan kebenaran kebenaran, sebuah
kebenaran yang elusif dan tidak pernah dicapai. Seperti ditegaskan Rorty [1979: 373], “filsafat
kemajuan lebih bertujuan meneruskan percakapan daripada menemukan kebenaran.”
Berlangsungnya percakapan dimaksudkan untuk menghadirkan diskursus yang tidak memaksa
untuk kemudian mengambil langkah yang tidak terburu-buru. Jadi tujuan filsafat kemajuan
adalah sebentuk diskursus yang bertujuan membangkitkan diskursus-diskursus abnormal, yaitu
gagasan-gagasan baru. Tujuan filsafat kemajuna bukan untuk menemukan kenyataan atau
kebenaran, tetapi untuk mempertahankan percakapan, karena lewat percakapan
berkesinambungan seperti ini perspektif-perpektif dan wawasan baru akan ditemukan. Jadi,
filsafat kemajuan berjarak dengan ilmu pengetahuan yang menutup percakapan-percakapan.
Filsafat kemajuan lebih dekat dengan puisi, novel dan lebih penting, untuk tujuan kita, teori
sosial postmodern. Kemajuan, bagi Rorty merupakan sebuah “proyek menemukan sebuah cara
berbicara yang baru, yang lebih baik, lebih menarik dan lebih bermanfaat”.

3) Sigmund Freud
Banyak kaum post-strukturalis dan postmodernis berupaya melampaui pemikiran sang
pencipta psikoanalisis, Sigmund Freud. Oleh karena itu ada baiknya diberikan pengantar singkat
atas beberapa pemikiran Freud sehingga kita melihat relevansinya –baik dalam pengertian positif
atau negatif terhadap perkembangan posts-trukturalisme dan postmodernisme.
Dalam pengertian tertentu, Freud adalah seorang strukturalis yang melacak problem-
problem psikologis yang nampak di permukaan dengan membongkar proses-proses bawah sadar.
Sebagai contoh adalah Konflik Oedipus, sebuah konflik primodial yang harus diatasi oleh
seorang atau yang lain demi menghindari lahirnya problem-problem psikologis di kemudian hari.
Berbeda dengan perempuan yang memiliki dinamika yang saling berbeda, Freud percaya bahwa
anak lelaki yang berumur 4-5 tahun menginginkan ibunya, dan karena itu ia cemburu dan
cenderung agresif terhadap ayahnya yang memiliki ibu tersebut. Namun sang anak takut pada
ayahnya, terutama ketakutan akan dikebiri. Penyelesaian atas konflik ini terletak pada
kemampuan sang anak dalam menginternalisasi figur sang ayah sehingga bisa mengurangi
kecemasannya. Namun kalau konflik itu tidak di selesaikan secara memadai akan melahirkan
problem yang mendalam yang melahirkan problem psikologis di masa dewasa.
Sebagai contoh, strukturalisme Freud juga terefleksikan dalam pandangannya mengenai hal-hal
seperti silap lidah (slips of the tongue) dan mimpi. Makna dari fenomena-fenomena seperti ini
tidak terletak dalam apa yang nampak (manifest) tetapi lebih dalam fakta sesuatu yang ditekan
dan direpresi oleh masyarakat. Maka seorang psikoanalis harus mampu melihat apa yang ada di
bawah “permukaan” dan realitas-realitas yang ada di dalamnya. Logika seorang psikoanalis
adalah bahwa orang yang sedang berbicara mengambil kesenangan dari silap lidah. Hal ini pada
gilirannya akan mengacaukan makna verbal dari apa yang dikatakan. Jadi, kata-kata yang
terucap dari silap lidah harus ditafsirkan sebagai simtom realitas bawah sadar yang tidak
disadari.
Beberapa kaum post-strukturalis dan kaum postmodernis mengambil jarak dari jenis
pemikiran semacam ini. Salah satu yang dihindari oleh kaum postmodernis dan kaum post-
strukturalis adalah pembedaan Freud atas kebutuhan manusia yang murni (pure human needs)
dengan keinginan-keinginan nyata (actual desires). Baudrillard mempertanyakan perbedaan ini
dengan menganggapnya sebagai ide yang keliru yang memisahkan kebutuhan murni dari
keinginan. Lebih umum, Foucault melihat psikoanalis dan banyak ilmu-ilmu kemanusiaan yang
lain sebagai sebuah upaya untuk terlibat dalam proses memperluas pengetahuan masyarakat
untuk mengukuhkan kekuasaan mereka atas yang lainnya.
Freud menciptakan sebuah teori yang dalam banyak hal bercorak sangat modern. Dia
percaya bahwa ada karakteristik manusia yang esensial. Dia mengacu pada sebuah pandangan
deterministik, ilmiah dan positivistik, dan dalam banyak cara dia mengadopsi pandangan
totalistik tentang perkembangan masa kanak-kanak, tentang represi sosial atas kebutuhan dan
keinginan manusia (needs and desires), serta tentang kebutuhan pasien untuk memecahkan
masalah mereka dengan cara membicarakan masalah-masalahnya kepada psikiater dan
membiarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang terpendam dinyatakan, juga keinginan dan
pengalaman mereka. Kaum postmodernis sangat menentang totalisasi seperti itu sebagai sesuatu
yang represif dan berwatak teror.
Namun demikian teori-teori Freud memainkan peran cukup penting dalam perkembangan
post-strukturalisme dan postmodernisme. Diantara gagasan freud yang cukup relevan bagi kaum
postmodernis adalah pandangannya bahwa masyarakat modern gagal memenuhi janji-janjinya,
gagal dalam menawarkan representasi kenyataan yang tidak distorsif. Sesuatu yang marginal
seperti mimpi dan silap lidah adalah fenomena yang amat penting dan bahwa proses untuk
sampai pada sebuah interpretasi “yang benar” hanya membawa pada penafsiran-penafsiran lain.
Sumber

Djelantik, A.A.M,1999 ESTITIKA:Sebuah Pengantar, Bandung:Masyarakat Seni Pertunjukkan


Indonesia.

Lash, Scoot ,2004 Sosiologi Postmodernisme, Jakarta:Kanisius.

Leahy, Louis, 1985, Manusia Sebuah Misteri;sintesa filosofis makhluk paradoks,Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai