Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang
bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja
dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan
dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tidak lepas dari
kaitan iman seseorang. Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak
rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi juga
program aksi.
Sebenarnya umat Islam termasuk beruntung karena semua pedoman dan panduan sudah
terkodifikasi. Kini tinggal bagaimana menterjemahkan dan menerapkan dalam kegiatan
sehari-hari. Jika kita pandang dari sudut bahwa tujuan hidup itu mencari Ridha Allah SWT.
Cara melihat seperti ini akan memberi dampak, misalnya, dalam kesungguhan menghadapi
pekerjaan. Jika seseorang sudah meyakini bahwa Allah SWT sebagai tujuan akhir hidupnya
maka apa yang dilakukannya di dunia tak dijalankan dengan sembarangan. Ia akan mencari
kesempurnaan dalam mendekati kepada Al Haq. Ia akan mengoptimalkan seluruh kapasitas
dan kemampuan inderawi yang berada pada dirinya dalam rangka mengaktualisasikan tujuan
kehidupannya. Ini bisa berarti bahwa dalam bekerja ia akan sungguh-sungguh karena bagi
dirinya bekerja tidak lain adalah ibadah, pengabdian kepada Yang Maha Esa. Lebih seksama
lagi, ia akan bekerja – dalam bahasa populernya – secara profesional.
Apa sebenarnya profesional itu ? Dalam khasanah Islam mungkin bisa dikaitkan dengan
padanan kata ihsan. Setiap manusia, seperti diungkapkan Al- Qur’an, diperintahkan untuk
berbuat ihsan agar dicintai Allah. Kata Ihsan sendiri merupakan salah satu pilar disamping
kata Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana, ihsan berarti kita beribadah kepada
Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau kita memang tidak bisa melihat-Nya, tetapi pada
kenyataannya Allah menyaksikan setiap perbuatan dan desir kalbu kita. Ihsan adalah
perbuatan baik dalam pengertian sebaik mungkin atau secara optimal.
Selanjutnya Allah juga menyatakan telah melakukan ihsan kepada manusia, kemudian
agar manusia pun melakukan ihsan. Dan carilah apa yang dianugerahkan kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dunia, dan
berbuat ihsanlah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. (28:77).
Dari keterangan hadis dan uraian Al Qur’an jelaslah bahwa setiap Muslim harus
menjadi seorang pekerja yang profesional. Dengan demikian ia melaksanakan salah satu
perintah Allah untuk berbuat ihsan dan juga mensyukuri karunia Allah berupa kekuatan akal
dan fisiknya yang diberikan sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan potensi akal dan fisik
ini atau tidak “menajamkannya” bisa bermakna tidak mensyukuri nikmat dan karunia Ilahi
Rabbi.
Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah mengisyaratkan akan lahirnya
masyarakat pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat pertama, Iqra. Hanya tinggal
manifestasi saja bagaimana Iqra itu menjadi jalan kehidupan umat Islam, bukan sebagai
jargon yang yang dilafalkan.Membumikan istilah Iqra itulah merupakan tantangan umat
Islam sehingga tidak ketinggalan dalam budaya masyarakat pengetahuan.
Mengutip istilah Deputi PM Anwar Ibrahim, umat Islam itu harus mampu menyumbangkan
bagi peradaban yang hidup di dunia, sejajar dengan peradaban lainnya. Dengan demikian etos
kerja harus merupakan bagian dari tradisi umat Islam, bukan tradisi masyarakat lain.
Sering muncul pernyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki etos kerja yang rendah.
Secara sosiologis kita harus mengakui bahwa umat Islam merupakan bagian terbesar dari
bangsa ini. Bertolak dari realita ini, umat Islam Indonesia dengan ajaran Islamnya merupakan
kelompok yang pertama kali bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pengembangan etos
kerja bangsa tercinta.
Etos kerja yang rendah ini, ber-implikasi menempatkan umat Islam dalam ekonomi.
Kelompok terbesar dari bangsa ini sering dikalahkan dalam bidang ekonomi oleh kelompok
minoritas tanpa rnelalui perebutan kekuasaan, tetapi cukup melalui solidaritas antara sesama
mereka. Untuk melakukan perbaikan ekonomi ini, etos kerja yang tinggj perlu dimiliki, seperti
peningkatan sumber daya manusia.
Padahal Rasulullah yang menjadi tokoh sentral umat Islam adalah seorang pengemban
amanah yang luar biasa universal dan multikomplek. Beliau seorang pemimpin negara, Kepala
rumah tangga, narasumber dari berbagai permasalahan umat, seorang pengusaha, Abdul
yatama (bapak dari banyak anak asuh) dll. Seluruh amanah tersebut sangat mustahil dapat
terselesaikan tanpa didukung dengan etos kerja yang baik. Maka saat kita berbicara tentang
etos kerja Islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi contoh bagaimana beliau
menjalankan peran-peran dalam hidupnya.
Kesimpulan
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah
ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja.
Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepadaNya
Seorang muslim dalam mengerjakan sesuatu selalu melandasinya dengan mengharap
ridha Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap
seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja
berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan
pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin. Allah
mewajibkan atas segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya, “Yang membuat segala sesuatu
yang Dia ciptakan sebaik-baiknya“. (QS. As-Sajdah ayat 7).
Selain itu muslim pun dalam dianjurkan mengerjakan sesuatu secara sungguh-sungguh
dan teliti sehingga rapi, indah, tertib dan bersesuaian dengan yang lain dari bagian-bagiannya.
Allah SWT berfirman, “Seni ciptaan Allah yang membuat dengan teliti (atqana) segala
sesuatu” (QS. An-Naml ayat 88).