Anda di halaman 1dari 3

1.

Bulliying
Dalam sebuah riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for
Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini menunjukkan fakta
mencengangkan terkait kekerasan anak di sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia
mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni
70%.

Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan
Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang, Banten. Survei diambil pada Oktober 2013
hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9 ribu siswa usia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah,
orangtua, dan perwakilan LSM.
Padahal Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang melindungi anak
dari tindak kekerasan. Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-kejahatan Seksual
terhadap anak, dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Full:

Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan anak di sekolah di berbagai daerah di Indonesia sudah


memasuki tahap memprihatinkan. Cukup banyak siswa yang menganggap bahwa kekerasan yang
dialami atau yang dilakukan sebagai tindakan wajar. Banyak guru dan orangtua siswa yang
cenderung tidak mengadukan kekerasan di sekolah karena khawatir akan menjadi pihak yang
disalahkan.

Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Doni Koesema mengatakan, guru
harus punya peran penting dalam menangani kasus kekerasan anak di sekolah. Mereka juga harus
berani memberi sanksi tegas pada siswa yang melanggar atau melakukan tindak kekerasan
maupun bullying.

"Guru tidak boleh takut memberi sanksi pada siswanya jika berbuat salah. Kalau ada 1 anak
melakukan kekerasan atau bullying tidak diberi sanksi, maka besok akan ditiru banyak temannya,"
ujar Doni dalam diskusi bertema 'Stop Kekerasan dan Ciptakan Sekolah Ramah Anak' yang
diselenggarakan Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) di Jakarta, Sabtu (14/3/2015).

Di samping itu, guru juga harus mendapat edukasi tentang kekerasan anak. Guru harus tahu
bentuk-bentuk kekerasan anak, ciri-ciri, dan bagaimana menindak.

Hal senada disampaikan Ketua Yayasan Sejiwa Diena Haryana. Ia mengatakan, salah satu
penyebab kekerasan anak marak terjadi di lembaga pendidikan adalah lantaran pihak terkait
membiarkan kekerasan sebagai proses kewajaran. Selain itu kurangnya rasa memiliki pada
masalah di antara pemangku negeri juga menjadi problem utama.

"Salah satunya pendidik membiarkan dan menganggap kekerasan sebagai proses yang wajar dan
biasa. Pemerintah juga tidak bekerja sama dan cenderung bekerja sendiri-sendiri," terang Diena.

Bermula dari Bullying

Diena mengatakan, permasalahan kekerasan berakar dari tindakan bullying. Bullyingsendiri hanya
bisa dilihat dalam perspektif korban. Karena tidak semua anak ketika diejek akan berdampak serius
pada psikologisnya. Namun demikian, bullying tidak bisa dianggap enteng karena bisa berdampak
pada tumbuh kembang anak. Bahkan bisa memicu tindak kekerasan, pengeroyokan, hingga
pembunuhan.
Sementara aktivis Gerakan Nasional Anti-Bullying (Genab) Mardianto Janna
mengatakan,bullying terjadi karena rasa saling menghormati antar-teman, orangtua, guru mulai
hilang. Ia mengajak kepada semua pihak baik guru, orangtua, pemerintah maupun masyarakat
umum lebih sadar terhadap permasalahan kekerasan anak di sekolah ini.

"Harus dibangun awareness bahwa kekerasan di sekolah sudah menjadi gawat darurat di negara
ini. Kita harus mendorong partisipasi aktif terutama sluruh ekosistem pendidikan untuk memutus
mata rantai kekerasan di sekolah," ucap Mardianto.

Riset di 5 Negara

BACA JUGA

 Ini yang Menyebabkan Kasus Kekerasan Antaranak Makin Marak


 Pelecehan Seks Dominasi Kasus Kekerasan Anak
 Kenapa Masih Banyak Guru Lakukan Kekerasan pada Murid?

Dalam sebuah riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on
Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini menunjukkan fakta mencengangkan terkait
kekerasan anak di sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah.
Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%.

Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang
diambil dari Jakarta dan Serang, Banten. Survei diambil pada Oktober 2013 hingga Maret 2014
dengan melibatkan 9 ribu siswa usia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah, orangtua, dan perwakilan
LSM.

Selain itu, data dari Badan PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1
dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini menunjukkan kekerasan di
Indonesia lebih sering dialami anak perempuan.

Padahal Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang melindungi anak dari
tindak kekerasan. Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-kejahatan Seksual terhadap anak, dan UU
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Namun penerapan perangkat hukum ini masih terbentur beragam kendala seperti ketidaktahuan
masyarakat dan kurangnya komitmen pemerintah daerah. Penerapan yang belum optimal ini
membuat anak-anak di Indonesia belum sepenuhnya terlindungi.

Bahkan menurut Ketua FMGJ Heru Purnomo, tindak kekerasan yang dialami anak di Indonesia tidak
menurun, namun justru semakin mengerikan.

"Contohnya pengeroyokan terhadap siswi SD di Padang yang terjadi di jam belajar. Penyekapan
dan penganiayaan terhadap siswi SMA di Yogyakarta hanya karena tato Hello Kitty. Siswa di
Surabaya menebas lengan temannya karena cemburu. Atau tawuran siswa SMA di Jakarta yang
merenggut nyawa, dan masih banyak lagi. Artinya, ini menunjukkan banyak masalah dengan
pendidikan di negeri ini. Harus ada revolusi mental di dunia pendidikan," papar Heru Purnomo. (Ans)
2.
3. m

Anda mungkin juga menyukai