1. Produksi Kitosan Dari Bahan Baku Cangkang Udang Menggunakan
Metode Kimia dan Enzimatis dengan Enzim Kitin Deasetilase
Pada tahun 2016, Rahmawati mempublikasikan penelitian yang berjudul
Produksi Kitosan Dari Bahan Baku Cangkang Udang Menggunakan Metode Kimia dan Enzimatis dengan Enzim Kitin Deasetilase. Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang terdapat banyaknya limbah kulit udang dalam jumlah yang besar yang mana limbah ini belum dimanfaatkan secara komersial. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang udang dari PT. Indokom Samudra Persada, lalu kitin komersial didapatkan dari PT. Biotech Sukofindo, crude enzim kitin deasetilase dari penelitian pendahuluan mengenai isolasi enzim kitin deasetilase dari isolat tanah humus aspergillus aculeatus dan identifikasi enzim tersebut dalam produksi kitosan asam klorida pekat (HCl), natrium hidroksida (NaOH), asam asetat (CH3COOH), indikator universal, aquadest. Penelitian utama dilakukan untuk mengekstraksi kitin dari cangkang udang melalui proses deproteinasi menggunakan senyawa basa berupa NaOH dengan pemanasan yang tinggi. Deproteinasi bertujuan untuk memutuskan ikatan antara protein dan kitin, dengan cara menambahkan NaOH. Selama perendaman, protein terekstrak dalam bentuk Na-asam lemak (Na-proteinat) akibat reaksi saponifikasi antara lemak yang terkandung dalam cangkang udang dengan larutan NaOH panas, dimana ion Na+ akan mengikat ujung rantai protein yang bermuatan negatif dan mengendap. Deproteinasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan NaOH 3 M dalam waktu 60 menit dan dengan suhu ± 900C. Setelah dilakukan tahap deproteinasi, endapan yang diperoleh dicuci dengan akuades sampai pHnya netral, sebagai indikator digunakan pH universal. Pencucian ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan. Pada tahap demineralisasi, senyawa kalsium akan bereaksi dengan asam klorida yang larut dalam air. Protein, lemak, fosfor, magnesium, dan besi yang mana merupakan dari mineral akan turut terbuang dalam proses ini. Dalam penelitian ini, demineralisasi dilakukan pada kondisi temperatur 25-30 0C dengan larutan asam kuat yaitu asam klorida 2 M dengan perbandingan (1:7). Kitosan dihasilkan melalui tahap berupa proses deasetilasi. Deasetilasi bertujuan untuk memutuskan gugus asetil (−COCH3) yang terdapat pada kitin. Pada penelitian ini, deasetilasi kitin dilakukan dengan merendam kitin selama 60 menit pada suhu 9000C menggunakan larutan NaOH 20%. Kitin mempunyai struktur kristalin yang panjang dengan ikatan kuat antara atom nitrogen dan gugus karboksil. Oleh karena itu pada proses deasetilasi digunakan larutan NaOH dengan konsentrasi tinggi (40-60%) untuk mendapatkan kitosan dari kitin. Berdasarkan hal di atas, deasetilasi kitin menggunakan metode kimia dengan perlakuan suhu 90- 1000C selama 60 menit diperoleh derajat deasetilasi 71%. Proses deasetilasi enzimatis dapat meningkatkan derajat deasetilasi 530%, tergantung pada derajat deasetilasi awal. Semakin tinggi derajat deasetilasi awal, semakin kecil peningkatan derajat deasetilasi yang terjadi. Sebelumnya kitin dalam bentuk tepung direndam dalam NaOH 60% selama 24 jam, kemudian di panaskan pada suhu 600C selama 2 jam. Penepungan dilakukan agar proses deasetilasi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna, karena semakin luasnya permukaan yang dapat diakses oleh larutan alkali. Derajat deasetilasi awal yang rendah menunjukkan banyaknya jumlah residu asetil yang belum terpotong. Lebih banyak residu asetil menunjukkan lebih banyak substrat yang tersedia untuk reaksi enzim. Sesuai dengan kinetika enzim, semakin banyak substrat yang tersedia, laju reaksi akan cepat dan akan menurun jika jumlah substrat berkurang. Kitin hasil deasetilasi sebagian dilarutkan dalam asam asetat 0,1 M. Kemudian dicampurkan enzim CDA (Kitin Deasetilase) 100 μL dalam 10 ml larutan kitosan 1% lalu di inkubasi pada suhu 55 0C selama 24 jam. Berdasarkan hasil penelitian telah diketahui bahwa kadar air kitosan sebesar 7,59%. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan memenuhi standar mutu kadar abu yang ditetapkan Spesifikasi Kitosan Niaga yakni sebesar <10%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar abu kitosan belum memenuhi standar yang ditetapkan Spesifikasi Kitosan Niaga (Anonim, 1987) yakni < 2%. sebagian besar cangkang udang mengandung mineral kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Penghilangan mineral dipengaruhi oleh proses pengadukan selama demineralisasi, sehingga panas yang dihasilkan akan menjadi homogeny dan merata keseluruhnya. 2. Pemanfaatan Limbah Udang Sebagai Pengawet Alami Produk Olahan Perikanan
Pada tahun 2014, Reskiati mempublikasikan penelitian yang berjudul
Pemanfaatan Limbah Udang Sebagai Pengawet Alami Produk Olahan Perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah udang yang digunakan sebagai pengawet alami produk olahan perikanan. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan melakukan uji skala laboratorium secara terkontrol dengan konsentrasi kitosan; 0%, 1% dan 2% untuk mengetahui konsentrasi kitosan yang terbaik dengan melihat tingkat penerimaan dikalangan masyarakat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2014. Parameter yang diukur adalah dengan uji skor (scooring test) dan uji ALT. Penelitian ini diujikan pada pembuatan bakso ikan bandeng. Lokasi penelitian di Kabupaten Pinrang dengan luas wilayah pesisir yang mencapai 1.457,19 km² atau 74,27%, dan panjang garis pantai ± 93 km, memiliki sumberdaya perikanan yang cukup besar. Penggunaan kitosan bertujuan untuk mempertahankan mutu bakso. Prinsip dalam pengawetan bakso ikan adalah mencegah penguapan air dan terlepasnya kandungan gizi, serta mencegah masuk dan tumbuhnya mikroorganisme di dalam bakso ikan bandeng selama mungkin. Larutan kitosan hanya melapisi (coating) bakso bagian luar. Kitosan ini tidak akan mengubah gizi dan organoleptik dari bakso ikan. Dari hasil penelitian didaptkan bahwa bakso yang ditambahkan kitosan 0%, 1% dan 2% setelah penyimpanan 3 hari. Kisaran yang diperoleh dari fluktuasi nilai hedonik penampakan adalah 5- 7 dengan spesifikasi produk yaitu bentuk bulat kerang beraturan, kurang seragam, berongga, warna krem agak kusam sampai bentuk bulat beraturan, seragam, sedikit berongga, warna putih krem. Hasil organoleptik menunjukkan penurunan mutu seiring dengan lamanya penyimpanan. Pada hari ke-1 terjadi penurunan pada masing- masing perlakuan kecuali pada kitosan 0%. Nilai tertinggi berada pada konsentrasi 1% nilai rata-ratanya 6,25. Hal ini juga berlaku pada penyimpanan hari ke-2 maupun ke-3. Secara umum, lama penyimpanan sampai hari ke-3 mengalami penurunan nilai organoleptik untuk setiap perlakuan. Hal ini diduga akibat produk bakso ikan yang dihasilkan mengalami penurunan mutu penampakan setelah dilakukan penyimpanan. Penambahan larutan kitosan terbaik untuk uji kenampakan pada bakso ikan bandeng yang diujicobakan berdasarkan panelis adalah kitosan yang memiliki konsentrasi 1% karena pada konsentrasi 1% memiliki rata-rata peringkat organoleptik yang cukup tinggi dibandingkan dengan penambahan konsentrasi kitosan yang 0% maupun 2%. Hasil uji organoleptik tehadap aroma pada hari ke-0 berada pada kisaran 5-7. Pada hari ke-3 penyimpanan bakso, meskipun mengalami penurunan nilai organoleptik tetap masih berada pada nilai yang relatif tinggi yaitu pada kisaran 5- 6 dengan spesifikasi produk yaitu agak amis, agak tengik sampai tidak amis, dan spesifik bakso ikan berkurang. Penurunan aroma produk bakso ikan diduga akibat degradasi protein, aktifitas mikroba dan adanya oksidasi lemak. Penambahan larutan kitosan terbaik untuk aroma berdasarkan panelis adalah konsentrasi 2% karena memiliki rata-rata peringkat organoleptik tertinggi dibandingkan dengan penambahan konsentrasi kitosan yang lain yaitu pada konsentrasi 0% maupun 1%. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian ALT. Kerusakan pada bahan pangan oleh mikroorganisme dapat menyebabkan makanan dan minuman tidak layak dikonsumsi akibat mutu atau karena makanan tersebut beracun. Bakso yang disimpan pada suhu kamar pada hari ke 1 tanpa menggunakan larutan kitosan mengandung total mikroba sebesar 1,2 x 10 8 koloni/g. Sedangkan bakso setelah ditambahkan kitosan 1% pada hari ke 2 rata-rata mengandung mikroba 1,3 x 10 9 koloni/g, bakso setelah penambahan kitosan 2% pada hari ke 3 rata-rata telah mengandung 1,1 x 102 koloni/gr. Perlakuan kitosan pada bakso untuk konsentrasi 1% dan konsentrasi 2% mengalami kenaikan koloni mikroba pada hari ke 3. Secera umum kenaikan jumlah kaloni bakteri yang terjadi selama penyimpanan, karena pertumbuhan mikroorganisme ini dipengaruhi oleh waktu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kitosan yang dipakai tidak menyebabkan perubahan cita rasa dan kenampakan tetapi membuat bakso ikan bandeng terlihat kesat. Pada pengujian organoleptik konsentrasi kitosan yang optimal untuk digunakan sebagai pengawet bakso ikan bandeng adalah kitosan berkonsentrasi 1%, begitupun dengan pengujian ALT konsentrasi kitosan 1% merupakan konsentrasi yang memiliki efektivitas penghambatan untuk tumbuhnya bakteri.