Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.3. Meningia
Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang.
Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan
cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran terdiri atas 3
lapisan, yaitu:
a. Durameter (Lapisan sebelah luar)
Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan
kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura meter propia di
bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Durameter pada
tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini
dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak
b. Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah)
Cedera kepala adalah suatu ruda paksa yang menimpa struktur kepala sehingga dapat
menimbulkan kelainan structural dan gangguan fungsional jaringan otak. Cedera kepala
melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian terluar (kulit kepala) hingga bagian
terdalam (otak). Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan mekanisme
cedera kepala yang terjadi. Cedera kepala merupakan hantaran energi luar seperti tenaga
mekanik yang menyebabkan rusaknya jaringan kepala sehingga timbul reaksi jaringan
(Fearnside, 1997)
Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala
tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cedera baik yang trauma
tertutup ataupun trauma tertembus (Satya Negara, 1998 : 59). Kontusio cerebri adalah sindrom
Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif
ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar, yang menyebabkan gangguan
fisik, fungsi kognitif, dan psikososial. Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan
disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran(Valadka,1996).Berdasarkan mekanismenya
cedera otak di bagi atas cedera otak tumpul dan cedera otak tembus/tajam (penetrating head
injury) (Valadka, 1996).
Kontusio serebri yang dimaksud dalam penelitian ini didasarkan pada penilaian klinis dengan
Glasgow Coma Scale (GCS) dan CT-scan kepala dimana didapati adanya intracerebral
hemorrhage yang tidak ada indikasi operasi. Cedera kepala kami bagi atas:cedera kepalasedang
(CKS) dengan GCS 9-13 dan cedera kepala berat (CKB) dengan GCS 3-8.
Concussion
Posttraumatic amnesia
Muntah
Seizure
Dikutip dari : Mayer SA, Rowland LP . Head Injury . In : Rowland LP , editor. Merritt’s
Neurology. 10th ed.Philadelphia : Lippincott Williams & Wikkins; 2000. P401-6.
Di Indonesia data epidemiologi secara nasional belum ada. Di ruang rawat neurologi
RSCM Jakarta, dari tahun ketahun terdapat peningkatan. Pada tahun 1994 jumlah penderita
dirawat 1002 orang. (Musridharta dkk, 2006).
Insiden tertinggi penderita trauma kapitis ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun
atau 75 tahun lebih, sedangkan pada anak insiden puncaknya pada usia kurang dari 5 tahun.
Angka insiden untuk pria dua kali lebih sering dibanding wanita dengan ratio tertinggi pada
remaja dan dewasa muda, dan range dari 1,2 : 1 sampai 4,4 : 1 dalam populasi yang berbeda
(Bondanelli dkk ,2005 ).
2.4 Patofisiologi
Akibat dari hematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak
terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan tekanan intrakranial
merangsang kelenjar dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya
timbul rasa mual dan muntah sehingga masukan nutrisi kurang ( Satyanegara, 1998).
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang merusak
jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat
berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi
akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat
memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal,
multifokal ataupun difus (Valadka, 1996).
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh darah. Cedera parenkim
berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah
berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral (Graham,1995), yang dapat
dilihat pada CT-scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik
dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskhemik baik fokal maupun global
(Valadka, 1996).
3. Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah (Ingebrigtsen, et al.
1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood Flow
(CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi
respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering terjadi.Dilaporkan bahwa
89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami kontusio serebri (Cooper, 1982).Depreitere et
al melaporkan bahwa kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere B, 1982).Kontusio serebri adalah
memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi
dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di
sekitar kapiler pembuluh darah otak.Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi
perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan
perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid
(Hardman, 2002).
Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga
menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi kepala.Oleh karena itu, otak
membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap
lintasan asendens retikularisdifus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen
sehingga kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung (Liau et al, 1996).
Diffuse axonal injury merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan merupakan cedera
difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang terjadi lebih dominan pada area otak tertentu yang
mengalami percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI
merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa
olahraga tertentu. Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat
kerusakan yang luas pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri,
korpus kallosum dan gray-white matter junction dari korteks serebri(Smith et al, 1999).
Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan radiologi baik
CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang
membengkak dan putus. Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan
rotasional dari otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas
dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey matter. Pada saat
otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi, jaringan dengan densitas lebih
rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan dengan densitas lebih besar.
Perbedaan kecepatan inilah yang menyebabkan robekan pada akson neuron yang
menghubungkan grey matter dan white matter(Smith et al, 1999).
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera primer dan cedera
sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan akson terjadi akibat regangan saat
kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan
pembengkakan dan putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan
influks natrium yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan
menyebabkan aktifnya calsium-mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan kerusakan
dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang membengkak. Kerusakan
akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat
menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah
vegetative state (Blumbergs, 2011).
Cedera kepala sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan kerusakan
neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal (Marik dkk,2002). Faktor
sekunder akan memperberat cedera kepala dikarenakan hasil shearing pada laserasi otak,
robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem serebral, hipertensi intrakranial, pengurangan
cerebral blood flow (CBF), iskemik,hipoksia dan lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan
dan kematian neuron (Gilroy, 2000).
Bila suatu benda bergerak memukul kepala atau bergerak mengenai suatu benda, maka
pada waktu kontak antara keduanya akan terbentuk energi yang besarnya bergantung pada
massa, densitas, bentuk dan kecepatan benda yang memukul. Sebagian dari energi benda akan
diserap oleh kepala dan menyebabkan terjadinya deformitas berupa pelekukan ke dalam
(inbending) tulang pada lokasi benturan (impak). Jika energi yang terserap melewati suatu
ambang tertentu maka terjadilah fraktur tengkorak.
2.6.1 Anamnesis
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, bila terjadinya kecelakaan yang dialami oleh
pasien. Selain itu perlu ditanyakan pula tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah
apa tidak, adanya kejang. Bila pasien sadar, tanyakan apa yang terjadi, apa keluhan yang
dirasakannya. Kalau pasien tidak ingat apa yang terjadi, tanyakan apa yang terakhir diingatnya
sebelum kecelakaan.
Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital: kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi
dan jenis pernapasan serta suhu badan. Tingkat kesadaran dicatat yaitu kompos mentis,apatis,
somnolen, spoor, soporokoma atau koma. Selain itu ditentukan dengan menilai Skala Koma
Glasgow
Spontaneous 4
To speech 3
To pain 2
None 1
Obey command 6
Localize pain 5
Oriented 5
Confused conversation 4
Inappropriate word 3
Incomprehensible sounds 2
None 1
Skala 5 : Recovery baik. Pasien dapat kembali ke pekerjaan semula, terdapat sedikit
gangguan neurologis atau psikis.
Skala 4 : Keterbatasan moderat. Pasien tidak dapat kembali kepada pekerjaan semula
tetapi dapat menjalankan aktivitas harian secara mandiri.
Skala 3 : Keterbatasan berat. Pasien perlu bantuan untuk aktivitas harian dan tidak dapat
hidup mandiri.
Skala 2 : Status vegetatif persisten. Tidak adanya fungsi wicara dan fungsi mental pada
pasien yang tampak bangun dengan respon buka mata spontan.
Skala 1 : Mati
Skala 5 dan 4 dinilai baik. Skala 3, 2, dan 1 dinilai buruk. (WB Saunders Co, 1996)
2.7.1 Glukosa
Bukti yang paling kuat dari nilai prognostic dari parameter laboratorium terdapat pada
glukosa, dengan kadar yang tinggi dikaitkan dengan outcome yang jelek. Peranan kadar glukosa
darah pada patofisiologi kerusakan neuronal setelah trauma kapitis belum jelas (Kinoshita dkk,
2002).
Rosner dkk telah berspekulasi bahwa hiperglikemi dan peningkatan katekolamin darah
dikaitkan secara sebab-akibat. Katekolamin dan glucagon menstimulasi pecahnya glikogen yang
tersimpan di hati menjadi glukosa. Bessey dkk telah menunjukkan pada manusia normal terdapat
2.7.2 Hematokrit
Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila
tekanan darah rata-rata 50-160mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser ke kanan pada
pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas
160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial.
Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear
terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau
hipertensi.
Pada saat autoregulasi cairan darah otak intak, viskositas hanya berpengaruh sedikit
terhadap Aliran Darah Otak (ADO), yang secara primer dipengaruhi oleh diameter pembuluh
darah. Pada saat autoregulasi hilang ( saat cedera kepala), pembuluh darah dilatasi maksimal, dan
viskositas menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap ADO. Fungsi autoregulasi cairan
darah otak disesuaikan oleh radius pembuluh darah untuk mengkompensasi perubahan tekanan
Banyak studi hewan membuktikan peningkatan Aliran Darah Otak dan penurunan
iskemik sebagai hasil dari hemodilusi dan pengurangan hematokrit. Hematokrit adalah
perbandingan sel darah merah terhadap volume darah. Nilai normal beragam tetapi secara umum
untuk lelaki adalah diantara 40,7% hingga 50,3% manakala untuk wanita adalah 36,1% hingga
44,3%. ( Carlson AP,Schemer CR, Lu SW.Retrospective evaluation of anemia and transfusion in
traumatic brain injury. J trauma, 2006 September; 61(3):571).
Dehidrasi
Eritrositosis
Polisitemia vera
Anemia
Hancurnya sel darah merah
Leukemia
Multiple myeloma
Rheumatoid arthiritis
Gangguan sumsum tulang
Malnutrisi
( Pherson RA, Pincus MR. 2007)
Hematokrit darah diantara 30-35% secara luas diterima sebagai kadar optimal pada
penderita cedera kepala. Angka ini didapat dari beberapa studi eksperimental terhadap
viskositas darah dan kapasitas pengangkutan oksigen. ( Saustiel JF, Levy E.2002)
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis.
Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto
anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-
anterior. Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film
diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis
kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah
tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna
vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau
dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi.
Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae (Markam,S dkk.
1999)
MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas.Beberapa
keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam menilai cedera sub-
akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik dalam menilai dan
melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih akurat karena mampu melakukan
pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak. Sedangkan
kerugian MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan lama
sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis berat, kurang sensitif
dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian fraktur, perdarahan subarachnoid
dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan (Japardi, I.2002).
Glasgow Outcome Scale adalah skala tertua yang digunakan untuk mengukur hasil
setelah terjadinya trauma kapitis dan juga digunakan secara luas sebelum timbul skala baru.
Glasgow Outcome Scale diciptakan oleh Jennet dkk pada tahun 1975 dan extended version
diperkenalkan pada tahun 1998 oleh Wilson dkk. Glasgow Outcome Scale dan Glasgow
Outcome Scale Extended (GOSE) dipakai untuk mengalokasikan pasien yang menderita cedera
otak akut dari cedera otak traumatik dan non-traumatik ke dalam kategori hasil yang lebih luas.
Skala ini mengambarkan disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan; yang difokuskan
pada bagaiman trauma mempengaruhi fungsi pada kehidupan dibanding hanya defisit dan gejala
yang ditimbulkan oleh trauma (Leon-Carrion, 2006).
Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut: (Leon-Carrion, 2006; Capruso dan
Levin, 1996)
1. Meniggal