Anda di halaman 1dari 5

Waspadalah Terhadap Perangkap

Riya..!
Minggu, 23 September 2012 17:38:54 WIB
Kategori : Risalah : Tazkiyah Nufus
WASPADALAH TERHADAP PERANGKAP RIYA..!

Oleh
Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisyah

IKHLAS UNTUK ALLAH TA’ALA [1]


Apa Syarat Diterimanya Amal?
Sebelum anda melangkah satu langkah –wahai saudaraku muslim- hendaklah
anda mengetahui jalan untuk merengkuh keselamatanmu. Janganlah anda
memberati diri dengan amalan-amalan yang banyak,. Karena, alangkah
banyak orang yang memperbanyak amalan, namun hal itu tidak memberikan
manfaat kepadanya kecuali rasa capai dan keletihan semata di dunia dan
siksaan di akhirat. [2]

Maka, sebelum memulai semua amalan, hendaklah anda mengetahui syarat


diterimanya amal. Yaitu harus terpenuhi dua perkara penting pada setiap
amalan. Jika salah satu tidak tercapai, akibatnya amalan seseorang tidak ada
harapan untuk diterima. Pertama : Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua : Amalan itu telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-
Qur’an, atau dijelaskan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sunnahnya, dan mengikuti Rasulullah dalam pelaksanaannya.

Jika salah satu dari dua syarat ini rusak, perbuatan yang baik tidak masuk
kategori amal shalih dan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pernyataan ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala.

‫صا ِل احا َو ََل يُ ْش ِر ْك بِ ِعبَادَةِ َربِ ِه أ َ َحداا‬ َ ‫فَ َم ْن َكانَ يَ ْر ُجو ِلقَا َء َربِ ِه فَ ْليَ ْع َم ْل‬
َ ‫ع َم اًل‬

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia


mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang
pun dalam beribadah kepada Rabb-nya” [Al-Kahfi/18 : 110]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar amal yang
dikerjakan ialah amalan shalih, yaitu amal perbuatan yang sesuai dengan
aturan syari’at. Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
orang yang menjalankannya supaya mengikhlaskan amalan itu kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak mencari pahala atau pamrih dari selain-
Nya dengan amalan itu.

Al-Hafiz Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya ; “Dua perkara ini merupakan
rukun diterimanya suatu amalan. Yaitu, amalan itu harus murni untuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keterangan serupa juga diriwayatkan Al-Qadhi
Iyadh rahimahullah dan lainnya” [Tafsir surah Al-Kahfi].

PERINTAH IKHLAS, LARANGAN BERBUAT RIYA DAN SYIRIK [3]


Ketahuilah, wahai saudaraku muslim, bahwa semua amalan pasti terjadi
dengan niat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ِ ‫ِإن َما ْاْل َ ْع َما ُل ِبالنِيا‬


ٍ ‫ت َو ِإن َما ِل ُك ِل ْام ِر‬
‫ئ َما ن ََوى‬

“Sesungguhnya semua amalan ini terjadi dengan niat, dan setiap orang
mendapatkan apa yang dia niatkan” [4]

Dan dalam amal itu harus mengikhlaskan niat untuk Allah Ta’ala berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫ِصينَ لَهُ الدِينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا الص ًَلة َ َويُؤْ تُوا الزكَاة َ ۚ َو َٰذَلِكَ ِدينُ ْالقَيِ َم ِة‬
ِ ‫َو َما أُمِ ُروا إَِل ِليَ ْعبُد ُوا َّللاَ ُم ْخل‬

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan


memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat ; dan yang
demikian itulah agama yang lurus” [Al-Bayyinah/98 : 5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.

ُ ‫ُور ُك ْم أ َ ْو ت ُ ْبد ُوهُ يَ ْعلَ ْمهُ َّللا‬


ِ ‫صد‬ُ ‫قُ ْل ِإ ْن ت ُ ْخفُوا َما فِي‬

“Katakanlah : ‘Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atas
kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui” [Ali-Imran/3 : 29]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memperingatkan bahaya dari berbuat


riya’, dalam firman-Nya.

َ‫ع َملُك‬ َ َ‫لَئ ِْن أ َ ْش َر ْكتَ لَيَحْ ب‬


َ ‫طن‬

“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu” [Az-


Zumar/39 : 65]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

َ ‫ع َم اًل أ َ ْش َركَ فِي ِه َمعِي‬


ُ ‫غي ِْري ت ََر ْكتُهُ َوش ِْر َكه‬ َ ‫ع ِن الش ِْركِ َم ْن‬
َ ‫عمِ َل‬ ُّ ‫قَا َل َّللاُ تَعَالَى أَنَا أ َ ْغنَى ال‬
َ ِ‫ش َر َكاء‬

“Allah Ta’ala berfirman ; “Aku sangat tidak membutuhkan sekutu.


Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia mneyekutukan selain Aku
bersama-Ku pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya” [HR Muslim,
no. 2985]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

‫ف ْال َجن ِة يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة يَ ْعنِي ِري َح َها‬ َ ْ‫ع َرضاا مِ ْن الدُّ ْنيَا لَ ْم يَ ِجد‬
َ ‫ع ْر‬ َ ‫يب بِ ِه‬ َ ِ‫َم ْن تَعَل َم ع ِْل اما مِ ما يُ ْبتَغَى بِ ِه َوجْ هُ َّللا‬
ِ ‫عز َو َجل ََل يَتَعَل ُمهُ إَِل ِلي‬
َ ‫ُص‬

“Barangsiapa mempelajari ilmu yang dengannya dicari wajah Allah Azza wa


Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih kesenangan dunia
dengan ilmu itu, ia tidak akan mendapat aroma surga pada hari kiamat” [5]

RIYA DAN JENIS-JENISNYA [6]


Di antara jenis riya’ ialah sebagi berikut.
1. Riya Yang Berkaitan Dengan Badan
Misalnya dengan menampakkan kekurusan dan wajah pucat, agar
penampakan ini, orang-orang yang melihatnya menilainya memiliki
kesungguhan dan dominannya rasa takut terhadap akhirat. Dan yang
mendekati penampilan seperti ini ialah dengan merendahkan suara,
menjadikan dua matanya menjadi cekung, menampakkan keloyoan badan,
untuk menampakkan bahwa ia rajin berpuasa.

2. Riya Dari Sisi Pakaian


Misalnya, membiarkan bekas sujud pada wajah, mengenakan pakaian jenis
tertentu yang biasa dikenakan oleh sekelompok orang yang masyarakat
menilai mereka sebagai ulama, maka dia mengenakan pakaian itu agar
dikatakan sebagai orang alim.

3. Riya Dengan Perkataan


Umumnya, riya’ seperti ini dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan
agama. Yaitu dengan memberi nasihat, memberi peringatan, menghafalkan
hadits-hadits dan riwayat-riwayat, dengan tujuan untuk berdiskusi dan
melakukan perdebatan, menampakkan kelebihan ilmu, berdzikir dengan
menggerakkan dua bibir di hadapan orang banyak, menampakkan
kemarahan terhadap kemungkaran di hadapan manusia, membaca Al-Qur’an
dengan merendahkan dan melembutkan suara. Semua itu untuk
menunjukkan rasa takut, sedih, dan khusyu’ (kepada Allah, pent).

4. Riya’ Dengan Perbuatan


Seperti riya’nya seseorang yang shalat dengan berdiri sedemikian lama,
memanjangkan ruku, sujud dan menampakkan kekhusyu’an, riya’ dengan
memperlihatkan puasa, perang (jihad), haji, shadaqah dan semacamnya.

5. Riya’ Dengan Kawan-Kawan Dan Tamu-Tamu


Seperti orang yang memberatkan dirinya meminta kunjungan seorang alim
(ahli ilmu) atau ‘abid (ahli ibadah), agar dikatakan “sesungguhnya si Fulan
telah mengunjungi si Fulan”. Atau juga mengundang orang banyak untuk
mengunjunginya, agar dikatakan “sesungguhnya orang-orang baragama
sering mendatanginya”.

PERKARA YANG DISANGKA RIYA DAN SYIRIK, PADAHAL BUKAN !


1. Pujian Manusia Untuk Seseorang Terhadap Perbuatan Baiknya

‫اج ُل‬ َ َ‫علَ ْي ِه قَا َل ت ِْلك‬


ِ ‫ع‬ ُ ‫سل َم أ َ َرأَيْتَ الر ُج َل يَ ْع َم ُل ْالعَ َم َل مِ ْن ْال َخي ِْر َويَحْ َمدُهُ الن‬
َ ‫اس‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلى َّللا‬
َ ِ‫ول َّللا‬ُ ‫ع ْن أَبِي ذَ ٍر قَا َل قِي َل ل َِر‬
ِ ‫س‬ َ
ْ
ِ ْ‫بُ ْش َرى ال ُمؤ‬
‫مِن‬

Dari Abu Dzar, dia berkata : Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam : “Beritakan kepadaku tentang seseorang yang melakukan amalan
kebaikan dan orang-orang memujinya padanya!” Beliau bersabda : “itu
adalah kabar gembira yang segera bagi seorang mukmin” [HR Muslim, no.
2642, Pent)

2. Giatnya Seorang Hamba Melakukan Ibadah Pada Saat Dilihat Oleh Orang-
Orang Yang Beribadah
Al-Maqdisi rahimahullah berkata : Terkadang seseorang bermalam bersama
orang-orang yang melaksanakan shalat tahajjud, lalu mereka semua
melakukan shalat di sebahagian besar waktu malamnya, sedangkan
kebiasaan orang itu melakukan shalat malam satu jam, sehingga ia pun
menyesuaikan dengan mereka. Atau mereka berpuasa, lalu ia pun berpuasa.
Seandainya bukan karena orang-orang itu, semangat tersebut tidak muncul.
Mungkin ada seseorang yang menyangka bahwa (perbuatan) itu merupakan
riya’, padahal tidak mutlak demikian. Bahkan padanya terdapat perincian,
bahwasanya setiap mukmin menyukai beribadah kepada Allah Ta’ala, tetapi
terkadang banyak kendala yang menghalanginya. Dan kelalaian telah
menyeretnya, sehingga dengan menyaksikan orang lain itu, maka
kemungkinan menjadi faktor yang menyebabkan hilangnya kelalaian
tersebut, kemudian ia dapat menguji urusannya itu, dengan cara
menggambarkan orang-orang lain itu berada di suatu tempat yang dia dapat
melihat mereka, namun mereka tidak dapat melihatnya. Jika dia melihat
jiwanya ringan melakukan ibadah, maka itu untuk Allah. Jika jiwanya merasa
berat, maka keringanan jiwanya di hadapan orang banyak itu merupakan
riya’. Bandingkan (perkara lainnya) dengan ini” [7]

Aku katakan :
Kemalasan seseorang ketika sendirian datang masuk dalam konteks sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

ِ ‫فَإِن َما يَأ ْ ُك ُل‬


ِ َ‫الذئْبُ ْالق‬
َ‫اصيَة‬

“(Sesungguhnya srigala itu hanyalah memakan kambing yang menyendiri),


sedangkan semangatnya masuk ke dalam bab melaksanakan sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

َ ‫علَ ْي ُك ْم ِب ْال َج َما‬


‫ع ِة‬ َ

“(Hendaklah kamu menetapi jama’ah) [8]

3. Membaguskan Dan Memperindah Pakaian, Sandal Dan Semacamnya


Di dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

‫سنَةا قَا َل إِن َّللاَ َجمِ ي ٌل‬ َ ‫ََل يَ ْد ُخ ُل ْال َجنةَ َم ْن َكانَ فِي قَ ْلبِ ِه مِ ثْقَا ُل ذَرةٍ مِ ْن ِكب ٍْر قَا َل َر ُج ٌل إِن الر ُج َل يُحِ بُّ أ َ ْن يَ ُكونَ ث َ ْوبُهُ َح‬
َ ‫سناا َونَ ْعلُهُ َح‬
‫اس‬ ُ
ِ ‫ق َوغ َْمط الن‬ ِ ‫يُحِ بُّ ْال َج َما َل ال ِكب ُْر بَط ُر ال َح‬
ْ َ ْ

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan
seberat biji sawi”. Seorang laki-laki bertanya : “Ada seseorang suka bajunya
bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?)”. Beliau
menjawab : “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan
kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” [HR
Muslim no. 2749, Pent]

4. Tidak Menceritakan Dosa-Dosanya Dan Menyembunyikan


Ini merupakan kewajiban menurut syari’at atas setiap muslim, tidak boleh
menceritakan kemaksiatan-kemaksiatan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.

ُ‫مِلت‬ْ ‫ع‬
َ ُ‫علَ ْي ِه فَيَقُو َل يَا فُ ًَلن‬ ْ ُ‫ع َم اًل ثُم ي‬
َ ‫ص ِب َح َوقَ ْد‬
َ ُ‫ست ََرهُ َّللا‬ ْ ‫ُك ُّل أُمتِي ُمعَافاى ِإَل ْال ُم َجاه ِِرينَ َو ِإن‬
َ ‫مِن ْال ُم َجاه ََرةِ أ َ ْن يَ ْع َم َل الر ُج ُل ِباللي ِْل‬
ُ ‫ص ِب ُح يَ ْكش‬
َ ِ‫ِف ِستْ َر َّللا‬
ُ‫ع ْنه‬ ِ َ‫ْالب‬
ْ ُ‫ار َحةَ َكذَا َو َكذَا َوقَ ْد بَاتَ يَ ْست ُ ُرهُ َربُّهُ َوي‬

“Semua umatku akan diampuni (atau : tidak boleh dighibah) kecuali orang
yang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya
termasuk melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan, yaitu seseorang
yang melakukan perbuatan (kemaksiatan) pada waktu malam dan Allah telah
menutupinya (yakni, tidak ada orang yang mengetahuinya, Pent), lalu ketika
pagi dia mengatakan : “Hai Fulan, kemarin aku melakukan ini dan itu”,
padahal pada waktu malam Allah telah menutupinya, namun ketika masuk
waktu pagi dia membuka tirai Allah terhadapnya” [HR Al-Bukhari, no. 6069,
Muslim no. 2990, Pent]

Menceritakan dosa-dosa memiliki banyak kerusakan, (dan) bukan di sini


perinciannya. Di antaranya, mendorong seseorang untuk berbuat maksiat di
tengah-tengah hamba dan menyepelekan perintah-perintah Allah Ta’ala.
Barangsiapa menyangka bahwa menyembunyikan dosa-dosa merupakan riya’
dan menceritakan dosa-dosa merupakan keikhlasan, maka orang itu telah
dirancukan oleh setan. Kita berlindung kepada Allah darinya.

5. Seorang Hamba Yang Meraih Ketenaran Dengan Tanpa Mencarinya


Al-Maqdisi berkata : “Yang tercela, ialah seseorang mencari ketenaran.
Adapaun adanya ketenaran dari sisi Allah Ta’ala tanpa usaha menusia untuk
mencarinya, maka demikian itu tidak tercela. Namun adanya ketenaran itu
merupakan cobaan bagi orang-orang yang lemah (imannya, Pent)” [9]

Demikian, beberapa penjelasan berkaitan dengan riya’. Semoga Allah Azza


wa Jalla menjauhkan kita semua dari sifat buruk ini, baik dalam perkataan
maupun perbuatan, serta semoga menjadikan kita termasuk orang-orang
yang ikhlas dalam beramal.

Washallallahu ‘ala nabiyyna Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit


Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
_______
Footnote
[1]. Diasadur dari Kitab Al-Ikhlas, Syaih Husain bin Audah Al-Awaisyah,
Maktabah Islamiyyah, cetakan VII, Tahun 1413H-1992M halaman 9-10
[2]. Contoh dalam masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa slam ;

َ ‫صيَامِ ِه ِإَل ْال ُجوعُ َو ُرب قَائ ٍِم لَي‬


‫ْس لَهُ مِ ْن قِيَامِ ِه ِإَل الس َه ُر‬ ْ ُ‫ْس لَه‬
ِ ‫مِن‬ َ ‫صائ ٍِم لَي‬
َ ‫ُرب‬

“Alangkah banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan bagian


dari puasanya kecuali lapar. Dan alangkah banyak orang yang shalat malam,
namun ia tidak mendapatkan bagian dari shalat malamnya kecuali begadang”
[HR Ibnu Majah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh
guru kami Syaikh Al-Albani dalam Shahihul-Jami, no. 3482]
[3]. Lihat kitab Al-Ikhlas, halaman 11-13
[4]. Bagian dari sebuah hadits di dalam dua kitab shahih
[5]. HR Abu Dawud dengan sanad yang shahih
[6]. Kitab Al-Ikhlas, halaman 63-67
[7]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, halaman 234
[8]. Nash haditsnya ialah : “Tidaklah tiga orang tinggal di sebuah desa atau
padang pasir, shalat (jama’ah) tidak ditegakkan pada diri mereka kecuali
mereka akan dikuasai oleh setan. Maka hendaklah kamu menetapi jama’ah,
karena sesungguhnya srigala itu hanyalah memakan kambing yang
menyendiri” [HR Abu Dawud, dihasankan Syaikh Al-Albani, Pent]
[9]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, halaman 218

Anda mungkin juga menyukai