Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Banyak pranata di masyarakat kita pada dewasa ini yang sudah, dan tengah,
mengalami perubahan-perubahan mendasar (malah sebagian juga cukup membingungkan).
Selain itu, tidak sedikit nilai-nilai lama yang sudah bergeser dari fungsi atau kedudukannya
semula, terdesak oleh nilai-nilai yang dianggap modern. Dalam upaya menyikapi
permasalahan tersebut, sebenarnya juga sudah cukup banyak teori atau pendekatan
pendidikan moral yang telah dikembangkan oleh masing-masing pakarnya.
Akan tetapi, disinilah kontroversialnya, tak satupun dari teori atau pendekatan
tersebut yang cukup mampu mengatasi semua permasalahan yang muncul dalam
pendidikan moral kita. Dan satu hal pasti, bahwa realitas semacam itu sebenarnya juga
merupakan satu gejala yang boleh dikatakan universal, dalam arti akan selalu dihadapi oleh
praksis pendidikan moral dimanapun juga.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai realitas pendidikan moral,
yang boleh dikatakan multi-kendala tersebut, maka kami mengemukakan konsepsi John
Wilson terkait dengan pendidikan moral.

I.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan moral?
2. Bagaimana konsepsi John Wilson mengenai pendidikan moral?

I.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan moral.
2. Untuk mengetahui konsepsi John Wilson mengenai pendidikan moral.

1
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Pendidikan Moral


Pendidikan moral terbentuk dari dua kata, yaitu pendidikan dan moral. Pendidikan
sendiri berarti usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Sedangkan moral sendiri
adalah perbuatan, tingkah laku atau ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia.
apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat
tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang
itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari
budaya dan Agama.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan moral adalah usaha
yang dilakukan secara terencana untuk mengubah sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang
dilakukan peserta didik agar mampu berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya sesuai
dengan nilai moral dan kebudayaan masyarakat setempat.

II.2 Konsepsi John Dewey


Menyoroti khasanah konsep dan pemikiran-pemikiran pendidikan moral, boleh jadi
kurang afdol tanpa dilengkapi dengan wawasan pemikiran John Wilson, yang namanya juga
sering disebut-sebut dalam berbagai diskusi pendidikan moral.
Di Indonesia, pakar pendidikan moral yang satu ini memang tidak sepopuler Dewey
ataupun Kohlberg. Akan tetapi dalam beberapa segi ia juga mempunyai pengaruh kuat
terhadap perkembangan pemikiran pendidikan moral, terutama di Inggris, Kanada, bahkan
juga di Amerika Serikat.
Dalam pandangan Wilson, upaya pengembangan pendidikan moral, baik secara
teoritis maupun praktis, harus dimulai dengan menemukan komponen-komponen atau

2
atribut-artibut yang diperkirakan mampu menopang pembentukan sosok pribadi yang
terdidik secara moral (Wilson, 1967).
Dari apa yang dikemukakan diatas, nampak bahwa konsepsi Wilson mengenai
pendidikan moral lebih didasarkan pada pandangannya terhadap masyarakat dan
pengalaman, dan tidak didasarkan pada hierarki tahap-tahap perkembangan psikologis.
Namun berbeda dengan pakar sebelumnya, Wilson agaknya lebih cenderung menemukan
komponen-komponen yang secara logis memang diperlukan untuk menjadi pribadi yang
terdidik secara moral.
Melalui artikel-artikelnya, Wilson mencoba mengemukakan perbedaan antara moral,
sebagai salah satu bentuk pemikiran, dan tindakan. Dalam pandangan Wilson, untuk
bertindak secara moral seseorang harus tahu apa yang dikerjakan, disamping semua
tindakan itu harus dilakukan secara bebas bukan karena paksaan.
Moralitas akan muncul dengan sendirinya manakala seseorang mulai berpikir tentang
apa yang musti dan tidak musti dilakukan. Seseorang bertindak dengan alasan-alasan
tertentu, dan tidak dikendalikan oleh sebab-sebab yang lain. Tindakan moral harus rasional.
Untuk menjadi rasional alasannya pun harus operatif. Jadi tidak sekedar rasional semata.
Singkat kata, setiap orang harus mampu bertindak sebagai mahluk moral. Makhluk moral
menurut Wilson, dapat digambarkan sebagai sosok pribadi yang terdidik secara moral, yang
manifestasinya tidak hanya pada tingkah laku yang nampak akan tetapi menyangkut pula
berbagai motif, alasan, dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai. Secara demikian, moralitas
mencakup pengujian terhadap berbagai sikap, perasaan, dan disposisi yang dimiliki
seseorang. Hakekat pendidikan moral tidaklah sekadar menanamkan pilihan-pilihan yang
benar, akan tetapi juga mengklasifikasikan perasaan dan disposisi.
Melalui dialog internal dan eksternal seseorang akan memiliki kesempatan untuk
mereaksi fakta dengan cara-cara yang lebih beragam. Moralitas menyangkut permasalahan
yang begitu luas, apalagi kalau sudah berkaitan dengan pengambilan berbagai keputusan
yang didasarkan pada sikap dan perasaan yang jelas, baik yang ada pada diri seseorang yang
mengambil keputusan tersebut ataupun orang lain. Dengan kata lain, fungsi unik dari
moralitas adalah mengembangkan sikap yang dimiliki seseorang dalam suatu jaringan antar
hubungan dengan orang lain secara baik.
Jauh sebelum pemikiran Wilson muncul ada satu pandangan yang cukup luas dianut,
bahwa fakta-fakta dan nilai-nilai menempati tertib logika yang berbeda. Kendatipun Wilson

3
tidak berusaha menyangkalnya, namun ia menegaskan bahwa nilai-nilai moral bukanlah
sesuatu yang irasional dan berubah-ubah. Didalamnya ada kriteria keberhasilan dan
sekaligus memuat cara-cara menentukan apakah kepercayaan moral seseorang lebih baik
ketimbang lainnya. Kriteria tersebut, antara lain : masuk akal, rasional, tidak berprasangka,
peka, bijaksana, dan sehat. Istilah-istilah tersebut merupakan indikasi mengenai cara-cara
atau alasan-alasan mengapa seseorang memiliki kepercayaan moral sebagaimana yang
dianutnya.
Pendekatan Wilson mengarah kepada moralitas prinsipiel, kendatipun tampaknya
masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan istilah
“prinsipiel” itu sendiri. Secara singkat dapat dikemukakan disini, bahwa Wilson dapat
membuat satu pembedaan antara apa yang disebutnya prinsip-prinsip tingkatan kedua.
Yang dibsebut pertama, berkaitan dengan isi dari kepercayaan-kepercayaan moral,
yaitu “apa” yang dipercayai seseorang. Akan hal yang satu ini Wilson tidak berupaya
menjawab persoalan “ Bagaimana sebenarnya pandangan moral yang baik itu?”.
Sedang prinsip-prinsip yang ada pada tingkatan kedua, tertuang dalam persoalan
“Bagaimana aturan atau prosedur yang digunakan untuk menilai kebaikan sesuatu
pandangan moral?”. Dengan perkataan lain, prinsip-prinsip yang ada pada tingkatan kedua
ini berkaitan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk memperkirakan manfaat
dari kepercayaan moral atau menjelaskan tentang pribadi yang terdidik secara moral. Akan
hal yang terakhir ini pandangan umum mengakui bahwa prosedur untuk dapat menjadi
pribadi semacam itu antara lain harus menempatkan hukum-hukum logika, menggunakan
bahasa yang benar, dan menyertakan fakta-fakta. Sementara Wilson melihat bahwa kriteris
khusus untuk menjelaskan atau memperhitungkan kualitas kepercayaan moral dari pribadi
yang terdidik secara moral adalah terpenuhinya kondisi dimana kepercayaan tersebut harus:
1. Be autonomous or freely held;
2. Be rational;
3. Be impartial or that is;
4. Be prescriptive, that is :
a. Suitable for all people on similar occasions and
b. Such that the believer commits him-self to acting thusly and
5. Take precedence over the believer’s other opinion (Wilson, 1967 : 77).

4
Prinsip-prinsip moral dalam tingkatan kedua tidak menyangkal adanya suatu
kenyataan yang disebut pengetahuan moral. Mendidik moral dapat diartikan sebagai upaya
mendidik seseorang untuk memperoleh atau menganut kepercayaan mereka dengan
landasan yang logis, jadi tidak sekadar mengajar mereka untuk mengulangi secara persis
kebenaran-kebenaran yang ada. Dengan kata lain, pendekatan Wilson lebih diperlukan
sebagai landasan untuk mendidik kepercayaan-kepercayaan moral.
Lebih jauh Wilson menegaskan, bahwa upaya mempertahankan moralitas boleh
dianggap sebagai aktivitas yang cukup rasional, mengingat hal tersebut erat kaitannya
dengan kepentingan manusia. Dalam satu dan lain segi, sebagian besar tindakan-tindakan
amoral dan irasional disebabkan oleh tidak adanya perhatian atau kesadaran terhadap
perasaan dan kepentingan orang lain. Upaya mengatasi permasalahan ini sebagian
tergantung kepada kejelasan atau perasaan dan kepentingan kita. Ketidakmampuan
menyadari perasaan kita sendiri misalnya, akan membatasi kesadaran kita terhadap orang
lain. Sehubungan dengan itu Wilson mengakui bahwa kita perlu mengarahkan pandangan
moral kita pada satu pengujian, atau paling tidak mengkaitkannya dengan kondisi sosial –
dalam kondisi mana aturan-aturan prosedural lebih cenderung dilihat dan diikuti dengan
lebih efektif. Sebagai pribadi biasanya kita mencoba aturan-aturan tersebut untuk tujuan
akhir kita, atau menerima permasalahan moral sepanjang ada kaitannya dengan fakta atau
logika. Sebagian dari upaya pemecahannya adalah dengan menciptakan konteks tertentu
atau mengikuti prinsip-prinsip umum yang sengaja didesain untuk menunjukkan bagaimana
sebenarnya kita melihat diri kita sendiri, orang lain, dan dunia sekitar kita pada umumnya.
Moralitas tidak dibatasi dalam artian interpersonal, dimana permasalahan-
permasalahan moral yang dianggap umum senantiasa diabaikan dikaitkan dengan apa yang
oleh Wilson disebut personal prudence (kepercayaan moral personal yang seringkali tidak
mencakup secara langsung perhatianterhadap kepentingan orang lain), dan permasalahan
mental health (ketidakmampuan seseorang untuk belajar dengan sadar, dan tidak sekadar
pengaruh psikiatris atau yang bersifat mental). Kendatipun demikian tampak dengan jelas
bahwa bukan suatu hal yang mudah untuk menempatkan secara kategorikal berbagai
kepercayaan atau permasalahan yang benar-benar bersifat personal. Akan hal yang
demikian ini Wilson mengemukakan, bahwa tidak satupun kepentingan yang terlibat,
terutama disaat kepercayaan atau permasalahan yang ada dianggap sebagai bagian dari
kenyataan atau situasi kongkrit. Dan sebagai pertimbangan yang paling pokok, menurut

5
Wilson, tidak lain adalah segi interpersonal itu sendiri. Untuk ini lebih jauh Wilson
menegaskan, bahwa kesadaran perasaan, baik pribadi maupun sosial, melibatkan
kemampuan memberikan penjelasan yang akurat melalui bahasa umum yang rasional. Dan
mengingat tidak adanya satu pola tingkah laku moral yang dapat diperlakukan untuk semua
orang, maka satu-satunya kriteria umum hanyalah rasionalitas moral itu sendiri.
Menurut Wilson, prinsip-prinsip atau isi moral pada tingkatan pertama ini dalam
beberapa segi akan dikembangkan dalam setiap praktek pendidikan, yang pada kesempatan
berikut akan memunculkan permasalahan indoktrinasi. Dalam hubungan ini Wilson
berupaya untuk menemukan kriteria pendidikan moral dari satu landasan yang netral atau
tidak memihak, kendatipun ia juga tidak mengingkari akan pentingnya isi moral. Dalam
pandangan Wilson, sementara ini kita tidak hanya menginginkan anak-anak dapat
memperoleh jawaban-jawaban yang benar, akan tetapi kita dapat menggunakan jawaban-
jawaban yang benar tersebut untuk membantu mendidik mereka dari segi moral. Sejumlah
tingkah laku yang “rule-governed” dan respon-respon yang dikondisikan memang
diperlukan. Pengajaran yang tepat justru bukan untuk mengaburkan prakondisi ini dengan
pendidikan moral.
Beberapa prakondisi yaitu aturan dasar, prinsip kerja, dan kebiasaan masyarakat,
mencanangkan tujuan dari latar (setting) tahap-tahap pendidikan moral. Prakondisi tersebut
membekali satu kerangka kerja atau batu loncatan bagi manusia untuk memilih
kepercayaan ataupun nilai-nilai moral mereka. Adalah satu hal yang amoral apabila guru
menekan atau memaksa nilai-nilai tertentu. Dan boleh jadi juga amoral apabila guru gagal
mengkreasikan atau memanfaatkan kerangka kerja yang digunakan untuk melakukan pilihan
tersebut.
Guru tidak mempunyai kebenaran-kebenaran moral untuk peserta didiknya, akan
tetapi guru hanya memiliki mandat untuk melindungi dan mendidik mereka sedemikian
rupa sehingga mereka dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang bebas. Jadi yang
diperlukan guru adalah adanya kepastian bahwa peserta didik telah memiliki satu kerangka
kerja yang tepat (solid), bukan untuk mendoktrinasi. Dalam pandangan Wilson, kedua
elemen tersebut dapat harmonis sepanjang guru tidak mempunyai pikiran bahwa mereka
harus mengembangkan nilai-nilainya ke dalam kerangka kerja atau kerangka kerja itulah
yang harus dididik dari segi moral. Dengan demikian jelas bahwa guru perlu memiliki satu
standar yang netral tidak memihak (meski bukan berarti relativisme yang tidak bertujuan).

6
Kriteria rasionalitas tidak identik dengan kriteria pendidikan moral. Banyak
permasalahan moral yang lebih sulit untuk dipahami, dan khusus berbicara tentang kondisi
praktis, seperti misalnya kebutuhan ekonomis, kehidupan, dan lain sebagainya, yang
datanya kadang-kadang dipaksakan dari satu standar yang tidak memihak. Kalau hal ini
sampai terjadi, paling tidak kita mempunyai alasan yang jelas mengapa kita sampai pada
penggunaan standar tersebut.
Teori Wilson tentang pendidikan moral juga tidak lepas dari pelbagai kritik. Kritik yang
paling keras dilontarkan para pakar terhadap penekanan Wilson yang berlebih terhadap
prosedur rasional dalam mengembangkan pertimbangan-pertimbangan. Dalam hal ini
peranan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat (yang notabene kurang diperhatikan itu)
bagaimanapun juga merupakan faktor yang menentukan dalam pendidikan moral.
Berdasarkan hal ini, ada satu pandangan bahwa sekolah dapat mengajar lebih dari sekadar
membentuk penalaran moral, mengajar pengetahuan tentang nilai-nilai sekaligus isi/materi
yang harus dikuasai, ini semua dapat dimasukkan dalam satu program pendidikan moral
yang rasional. Bagaimanapun juga Wilson telah memperjelas prosedur dan kriteria
pendidikan moral, di samping memberikan kontribusi dalam menempatkan norma-norma
dan nila-nilai sebagai prakondisi.

7
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Pendidikan moral adalah usaha yang dilakukan secara terencana untuk mengubah
sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan peserta didik agar mampu berinteraksi
dengan lingkungan masyarakatnya sesuai dengan nilai moral dan kebudayaan masyarakat
setempat.
John Wilson mengemukakan bahwa pendidikan moral lebih didasarkan kepada
pandangan terhadap masyarakat dan pengalaman. Moral juga dibedakan sebagai salah satu
bentuk pemikiran dan tindakan, sehingga setiap orang mampu bertindak sebagai makhluk
moral. Prinsip-prinsip moralitas dibedakan atas dua tingkatan, yaitu prinsip-prinsip tingkatan
pertama dan prinsip-prinsip tingkatan kedua.

III.2 Saran
Pendidikan moral merupakan suatu usaha untuk mengubah sikap, perilaku, tindakan,
dan kelakuan yang dilakukan peserta didik agar sesuai dengan nilai moral dan kebudayaan
masyarakat setempat, sebagai seorang tenaga pendidik, kita harus mengajarkan hal ini
secara perlahan-lahan dan menjadi contoh nyata bagi peserta didik sehingga pendidikan
moral tidak hanya dipahami secara kontekstual, namun juga diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari.

8
DAFTAR PUSTAKA

Haricahyono, Drs. Cheppy. 1995. Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral.


Semarang : IKIP Semarang Press.
https://www.eurekapendidikan.com/2015/02/pengertian-dan-
definisi-moral.html diunduh, 25 Februari 2018.
http://maglovthes.blogspot.co.id/2015/02/normal-0-false-false-
false-in-x-none-x.html diunduh, 24 Februari 2018.

Anda mungkin juga menyukai