Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Om Swastiastu,

Terima kasih kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas review materi dari mata kuliah Arsitektur
Perilaku, yang berjudul “Teritorialitas”. Penyusunan makalah ini juga tidak lepas dari
pihak-pihak lainnya.

Kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang


terlibat dalam penyusunan makalah ini serta kepada tim dosen mata kuliah Arsitektur
Perilaku.
Mohon maaf jika dalam penulisan makalah ini hasilnya masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu kami berharap mendapat saran dan masukkan atas kekurangan dari
makalah yang kami buat. Semoga makalah ini dapat memberi informasi dan wawasan
kepada masyarakat untuk membantu meningkatkan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Denpasar, 3 November 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI ………....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2
1.4. Manfaat Penulisan ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
2.1. Pengertian Teritorialitas ............................................................................. 3
2.2. Fungsi Teritorialitas.................................................................................... 4
2.3 Klasifikasi Teritorialitas…………….……………………………………. 4
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Teritorialitas……..…………………………. 7
2.5 Pelanggaran dan Pertahanan Teritori.…….………………………………. 8
2.6 Teritorialitas dan Perilaku……..…….……………………………………. 9
2.7 Teritorialitas dalam Desain…….…….……………………………………. 10

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 16


3.1. Kesimpulan.................................................................................................. 16
3.2. Saran............................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Respon manusia terhadap lingkungannya bergantung pada bagaimana individu yang


bersangkutan tersebut mempersepsikan lingkungannya. Salah satu hal yang dipersepsi
manusia tentang lingkungannya adalah ruang disekitarnya, baik ruang natural maupun ruang
buatan. Aspek sosialnya adalah bagaimana manusia berbagi dan membagi ruang dengan
sesamanya.

Manusia mempunyai kepribadian individual, tetapi manusia juga makhluk sosial, hidup
dalam masyarakat dalam suatu kolektivitas. Dalam memenuhi kebutuhan sosialnya inilah
manusia berperilaku sosial dalam lingkungan yang dapat diamati dari fenomena perilaku
lingkungan, kelompok-kelompok pemakai, dan tempat terjadinya aktivitas.

Hubungan yang terjadi antara manusia dan lingkungan lebih umum dikenal dengan istilah
interaksi antara manusia dengan lingkungan. Hal ini berada di antara sifat-sifat alami dari
manusia dengan lingkungan dengan berbagai macam atributnya, baik fisik maupun non-fisik.
Terjadinya interaksi antara manusia dengan lingkungan disebut dengan persepsi. Sebuah
persepsi akan muncul jika salah satu unsur tidak ada. Pola perilaku menjadi suatu hal yang
sangat penting untuk membatasi situasi dan konteks situasi, serta untuk mengatakan bahwa
ada batasan kebudayaan dan teritori-teritori tertentu.

Arsitektur merupakan lingkungan buatan yang bukan saja menghubungkan antara


manusia dengan lingkungan melainkan sekaligus merupakan wahana ekspresi kultural untuk
menata kehidupan jasmaniah, psikologis dan sosial manusia.

Arsitek dapat memberi kontribusi dalam merancang suatu lingkungan yang menawarkan
peluang-peluang bagi indvidu untuk membuat identifikasi dan tanda-tanda personal
sedemikian rupa sehingga bisa bersinergi dengan kepentingan publik untuk membentuk suatu
tempat yang sungguh menjadi teritori mereka. Suatu tempat yang di kontrol dan dikelola oleh
setiap individu sehingga bisa menghindari kriminalitas. Fenomena ini menunjuk pada pola-
pola perilaku pribadi, yang berkaitan dengan lingkungan fisik yang ada, terkait dengan
perilaku interpersonal manusia atau perilaku sosial manusia yang disebut dengan
teritorialitas.
1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan teritorialitas?
1.2.2 Apa fungsi teritorialitas?
1.2.3 Apa saja klasifikasi yang terdapat dalam teritorialitas?
1.2.4 Apa saja pelanggaran dan pertahanan terhadap teritorialitas?
1.2.5 Apa saja faktor pengaruh pada teritorialitas?
1.2.6 Bagaimana hubungan teritorialitas dengan perilaku?
1.2.7 Hubungan teritorialitas dengan desain?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui apa itu teritorialitas dalam arsitektur.
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana teritorialitas tersebut apabila terjadi pelanggaran.
1.3.3 Unuk mengetahui bagaimana teritorialitas tersebut diterapkan dalam desain.

1.4 Manfaat Penulisan


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak
khususnya kepada mahasiswa dalam memahami teritorialitas terhadap desain.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Teritorialitas

Pembentukan kawasan teritorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai


privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas
kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas
batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relatif tetap.
Julian Edney (1974) mendefinisikan teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eklusif, personalisasi,
dan identitas. Termasuk di dalamnya dominasi, kontrol, konflik, keamanan, gugatan akan
sesuatu, dan pertahanan. Teritori sendiri memiliki pengertian wilayah atau daerah, dan
teritorialitas adalah wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang. Misalnya, kamar
tidur seseorang adalah wilayah yang sudah menjadi hak seseorang. Meskipun yang
bersangkutan (pemiliknya) tidak sedang tidur di sana dan ada orang yang memasuki kamar
tersebut tanpa izinnya, maka ia (si pemilik) akan merasa tersinggung karena daerah
teritorialitasnya sudah dilanggar dan ia akan marah.
Fisher mengatakan bahwa kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh
persepsi orang yang bersangkutan sendiri. Persepsi ini bisa dalam bentuk aktual, yaitu
memang pada kenyataannya memang benar ia (pemiliknya) yang memiliki, seperti kamar
tidur, tetapi bisa juga hanya berupa kehendak untuk menguasai atau mengontrol suatu
tempat, seperti meja makan di kantin. Permasalahannya di sini adalah aktualisasi persepsi
itu sendiri bisa menjadi sangat subjektif. Misalnya, jika seorang penghuni liar di
perkampungan kumuh di sebuah kota besar diharuskan meninggalkan gubuknya, ia akan
menolak karena ia merasa gubuk itu sudah menjadi teritorinya. Ia merasa sudah menguasai
tempat itu bertahun – tahun tanpa ada yang mengusiknya.
Teritori (territory) artinya wilayah atau daerah, dan teritorialitas (territoriality)
adalah batasan tampak atas wilayah yang dimiliki oleh individu atau wilayah yang dianggap
sudah menjadi hak seseorang. Teritorialitas juga dapat disebut sebagai suatu pola tingkah
laku yag ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang
atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi
dan pertahanan terhadap gangguan dari luar.
Jadi, dapat dikatakan bahwa teritorialitas merupakan suatu pola tingkah laku yang
3
berhubungan dengan kepemilikan atau hak seseorang, yang ditentukan oleh persepsi dari
masing – masing orang, dimana persepsi tersebut dapat bersifat objektif ataupun subjektif,
dimana si pemilik (secara legal atau tidak) akan merasa tersinggung jika daerah yang sudah
dianggap miliknya tersebut diganggu.

2.2 Fungsi Teritorialitas

Teritorialitas pada manusia mempunyai fungsi yang lebih tinggi daripada sekedar
fungsi mempertahankan hidup. Pada manusia, teritorialitas ini tidak hanya berfungsi sebagai
perwujudan privasi saja, tetapi lebih jauh lagi teritorialitas juga mempunyai fungsi sosial
dan fungsi komunikasi.

Fungsi sosial dari teritorialitas, misalnya tampak pada pertemuan-pertemuan resmi


ketika sudah ditentukan tempat duduk setiap orang sesuai dengan kedudukan, jabatan, dan
pangkat yang bersangkutan. Seseorang pegawai biasa tidak berani duduk di bangku terdepan
meskipun bangku itu kosong karena bangku-bangku itu untuk para pejabat. Dengan
demikian, teritorialitas juga mencerminkan lapisan sosial dalam masyarakat.

2.3 Klasifikasi Teritorialitas

Ada berbagai macam teritori, ada yang besar, ada yang kecil, ada pula yang terdapat
di dalam teritori lainnya atau saling berbagi satu sama lain. Dengan mengenal klasifikasi
teritori merupakan salah satu cara untuk mengerti bagaimana suatu teritori seperti tersebut di
atas dapat terjadi.
Tingkah laku teritorialitas manusia mempunyai dasar yang agak berbeda dengan
binatang karena teritorialitas manusia berintikan pada privasi. Teritorialitas manusia
memiliki fungsi yang lebih tinggi daripada sekedar fungsi mempertahankan hidup (seperti
yang terdapat pada teritorialitas hewan). Pada manusia, teritorialitas tidak hanya berfungsi
sebagai perwujudan privasi saja, tetapi lebih jauh lagi teritorialitas juga mempunyai fungsi
sosial dan komunikasi.
Pengklasifikasian teritori yang terkenal adalah klasifikasi yang dibuat oleh Altman
(1980) yang didasarkan pada derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan pencapaian.

4
2.3.1. Teritori Primer

Gambar 2.1 Ruang Tidur Salah satu Contoh Teritori Primer

Teritori primer yaitu tempat–tempat yang sangat pribadi sifatnya, hanya


boleh dimasuki oleh orang–orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah
mendapat izin khusus. Teritori ini dimiliki oleh perseorangan atau sekelompok orang
yang juga mengendalikan penggunaan teritori tersebut secara relatif tetap, berkenaan
dengan kehidupan sehari–hari ketika keterlibatan psikologis penghuninya sangat
tinggi. Misalnya ruang tidur atau ruang kantor.

2.3.2. Teritori Sekunder

Teritori sekunder yaitu tempat – tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah
orang yang sudah cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini tidaklah
sepenting teritori primer dan kadang berganti pemakai, atau berbagi penggunaan
dengan orang asing. Misalnya ruang kelas, kantin kampus, dan ruang latihan olah
raga.

Gambar 2.2 Ruang Kelas Salah satu Contoh Teritori Sekunder


5
2.3.3. Teritori Publik

Gambar 2.3 Mall Salah satu Contoh Teritori Publik

Teritori publik yaitu tempat – tempat yang terbuka untuk umum. Pada
prinsipnya, setiap orang diperkenankan untuk berada di tempat tersebut. Misalnya pusat
perbelanjaan, tempat rekreasi, lobi hotel, dan ruang sidang pengadilan yang dinyatakan
terbuka untuk umum.
Terkadang teritori publik dikuasai oleh kelompok tertentu dan tertutup bagi
kelompok lain, seperti bar yang hanya untuk orang dewasa atau tempat – tempat
hiburan yang terbuka untuk dewasa umum, kecuali anggota ABRI, misalnya.
Berdasarkan pemakaiannya, teritorial umum dapat dibagi menjadi tiga : Stalls,
Turns dan Use Space.
a) Stalls merupakan suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam
jangka waktu tertentu. Contohnya adalah kamar-kamar di hotel, lapangan
tenis. Kontrol terhadap stalls terjadi pada saat penggunaan saja dan akan
berhenti pada saat penggunaan waktu habis.
b) Turns mirip dengan stalls, hanya berbeda dalam jangka waktunya saja. Turns
dipakai orang dalam waktu yang singkat, misalnya tempat antrian karcis,
antrian bensin, dan sebagainya.
c) Use Space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik
kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang diamati seseorang.
Contohnya adalah seseorang yang sedang mengamati lukisan dalam suatu
pameran lukisan, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang
6
mengamatinya adalah “use space” atau ruang terpakai yang dimiliki orang
tersebut tidak dapat diganggu gugat selama orang tersebut masih mengamati
lukisan tersebut.

Selain pengklasifikasian tersebut, Altman (1975) juga mengemukakan dua tipe


teritori lainnya, yaitu objek dan ide. Meskipun keduanya bukan berwujud tempat,
diyakini juga memenuhi kriteria teritori. Karena seperti halnya dengan tempat, orang
juga menandai, menguasai, mempertahankan, dan mengontrol barang mereka, seperti
buku-buku, pakaian, motor dan objek lain yang dianggap miliknya. Sebagai contoh
ruang kerja seseorang bisa menjadi teritori sekunder ketika ia masih mengijinkan orang
lain masuk sebagai tamunya namun akan menjadi teritori primer ketika ia tidak lagi
mengijinkan orang lain masuk. Objek dan ide ini merupakan teritori yang didasari pada
proses kognitif.
Selain itu, Lyman dan Scott (1967) juga membuat klasifikasi tipe teritorialitas
yang sebanding dengan Altman, yaitu teritori interaksi (interaractional territories) dan
teritori badan (body territory).
Teritori interaksi ditujukan pada daerah yang secara temporer dikendalikan oleh
sekelompok orang yang berinteraksi. Misalnya, sebuah tempat perkemahan yang
sedang dipakai oleh sekelompok remaja untuk kegiatan perkemahan, dll. Apabila
terjadi intervensi ke dalam daerah ini, tentunya akan dianggap sebagai gangguan.
Untuk teritori badan dibatasi oleh badan manusia. Namun, berbeda dengan
ruang personal karena batasannya bukanlah ruang maya, melainkan kulit manusia,
artinya segala sesuatu yang mengenai kulit manusia tanpa izin akan dianggap sebagai
gangguan, sehingga orang akan mempertahankan diri terhadap gangguan tersebut.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Teritorialitas


Beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaan teritori adalah karakteristik personal
seseorang, perbedaan situasional dan faktor budaya.
a. Faktor Personal
Faktor personal yang mempengaruhi karakteristik seseorang yaitu jenis kelamin,
usia dan kepribadian yang diyakini mempunyai pengaruh terhadap sikap
teritorialitas.
b. Faktor Situasi
Perbedaan situasi berpengaruh pada teritorialitas, ada dua aspek situasi yaitu

7
tatanan fisik dan sosial budaya yang mempunyai peran dalam menentukan sikap
teritorialitas.
c. Faktor budaya
Faktor budaya mempengaruhi sikap teritorialitas. Secara budaya terdapat
perbedaan sikap teritori hal ini dilatar belakangi oleh budaya seseorang yang
sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada
diluar kultur budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya. Sebagai
contoh seorang Eropa datang dan berkunjung ke Asia dan dia melakukan
interaksi sosial di ruang publik negara yang dikunjungi, ini akan sangat berbeda
sikap teritorinya.

2.5 Pelanggaran dan Pertahanan Teritori

Bentuk pelanggaram teritori yang dapat diindikasikan adalah invasi. Seseorang


secara fisik memasuki teritori orang lain, biasanya dengan maksud mengambil kendali atas
teritori tersebut dari pemiliknya. Hal ini dapat terjadi pada berbagai tingkatan, misalnya
seorang anak mengambil alih ruang kerja kakaknya yang biasa dipakai untuk menjahit
dengan memasang computer untuk bermain games.
Bentuk kedua adalah kekerasan. Suatu bentuk pelanggaran yang bersifat temporer
atas teritori seseorang. Biasanya bertujuan bukanlah untuk menguasai kepemilikiannya,
melainkan suatu bentuk gangguan. Vandalisme, penyerangan, tabrak lari atau pencurian
termasuk ke dalam kategori ini. Kadang-kadang gangguan ini bisa terjadi tidak dengan
sengaja. Misalnya, ketika seorang anak laki-laki yang belum bisa membaca memasuki toilet
wanita. Namun, bisa juga yang terjadi gangguan ini dilakukan secara sengaja, misalnya
pencurian.
Bentuk ketiga adalah kontaminasi. Seseorang mengganggu teritori orang lain
dengan meninggalkan sesuatu yang tidak menyenangkan seperti sampah, coretan, atau
bahkan merusaknya. Misalnya, ketika orang menyewa rumah dan meninggalkan barang-
barang yang tidak disukai pemilik rumah. Atau pabrik yang membuang limbah produksinya
di teritori publik yang menggangu baik karena baunya maupun polusi racunnya.
Untuk menghindari pelanggaran maka dibuatlah suatu pertahanan yang berupa
pencegahan seperti memberi lapisan pelindung, memberi rambu-rambu atau pagar
pembatas sebagai antisipasi sebelum terjadi pelanggaran. Kemudian pertahanan yang kedua
yaitu reaksi sebagai respon terhadap terjadinya pelanggaran seperti langsung menghadapi si
pelanggar. Pertahanan yang ketiga yaitu batas sosial. Digunakan pada tepi teritori
8
interaksional. Pertahanan ini terdiri atas suatu kesepakatan yang dibuat oleh tuan rumah dan
tamunya. Atau diperlukan sebuah tiket masuk bioskop untuk bisa memasuki ruang studio
bioskop, dll.

2.6 Teritorialitas dan Perilaku

Teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam personalisasi, agresi, dominasi,


memenangkan, koordinasi dan kontrol.
a. Personalisasi dan Penandaan
Personalisasi dan penandaan seperti memberi nama, tanda, atau
menempatkan di lokasi strategis, bisa terjadi tanpa kesadaran akan teritorialitas.
Seperti membuat pagar batas, memberi papan nama yang merupakan tanda
kepemilikan. Penandaan juga dipakai seseorang untuk mempertahankan haknya di
teritori publik, seperti nomor kursi kereta, pesawat terbang atau bioskop. Penandaan
dan personalisasi kadang juga dibuat dengan sengaja dengan maksu tertentu, seperti
tulisan “tidak menerima sumbangan” dan “dilarang parkir di depan pintu”
b. Agresi
Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras
bila terjadi pelanggaran di teritori primernya dibandingkan dengan pelanggaran yang
terjadi diruang publik. Agresi bisa terjadi disebabkan karena batas teritori tidak jelas.
Banyak individu atau kelompok rela melakukan tindakan agresi demi
melindungi teritorinya, maka kelihatannya teritori tersebut memiliki beberapa
keuntungan atau hal yang dianggap penting. Kebenaran dari kalimat ” Home Sweet
Home”, telah diuji dalam berbagai eksperimen. Penelitian mengenai teritori primer,
sekunder, dan publik menunjukkan, bahwa orang cenderung merasa memiliki
kontrol terbesar pada teritori primer, dibanding dengan teritori sekunder maupun
teritori publik. Ketika individu mempresepsikan daerah teritorinya sebagai daerah
kekuasaannya, itu berarti mempunyai kemungkinan untuk mencegah segala kondisi
ketidaknyamanan terhadap teritorinya.
Seringkali desain ruang publik tidak memperhatikan kebutuhan penghuninya
untuk memanfaatkan teritori yang dimilikinya.
c. Dominasi dan Kontrol
Dominasi dan kontrol umumnya banyak terjadi di teritori primer.
Kemampuan suatu tatanan ruang untuk menawarkan privasi melalui kontrol teritori
menjadi penting. Privasi suatu lingkungan dapat dicapi melalui pengontrolan
9
teritorial karena di dalamnya tercakup pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang
meliputi: kebutuhan akan identitas berkaitan dengan kebutuhan akan kepemilikan,
kebutuhan terhadap aktualisasi diri yang pada prinsipnya adalah dapat
menggambarkan kedudukan serta peran seseorang dalam masyarakat, kebutuhan
terhadap stimulasi yang berkaitan dengan aktualisasi dan pemenuhan diri, kebutuhan
akan rasa aman, dalam bentuk bebas dari kecaman, bebas dari serangan oleh pihak
luar dan memiliki keyakinan diri, kebutuhan yang berkaitan dengan pemeliharaan
hubungan dengan pihak-pihak lain dan lingkungan sekitarnya. (Lang dan Sharkawy
dalam Lang, 1987)
2.7 Teritori dan Desain

Penerapannya dalam desain arsitektur mengacu pada pola tingkah laku manusia yang
berkaitan dengan teritorialitas sehingga dapat mengurangi agresi, meningkatkan kontrol, dan
membangkitkan rasa tertib dan aman. Berdasarkan pada jenis-jenis ruang yang tercipta dari
teritorialitas juga menjadi acuan hubungan antara arsitektur dan teritorialitas.
Penerapan teritorialitas dalam desain arsitektur mengacu pada pola tingkah laku
manusia sehingga dapat mengurangi agresi, meningkatkan kontrol, dan membangkitkan rasa
tertib dan aman. Terdapat banyak cara dalam mengolah penggunaan elemen fisik untuk
membuat demarkasi teritori. Semakin banyak sebuah desain mampu menyediakan teritori
primer bagi penghuninya, desain itu akan semakin baik dalam memenuhi kebutuhan
penggunanya.
Ada banyak cara dalam mengolah penggunaan elemen fisik untuk membuat
demarkasi teritori. Semakin banyak sebuah desain dapat menyediakan teritori primer pada
penghuninya, desain tersebut akan semkin baik dalam memenuhi kebutuhan penggunanya.
Sebuah ruang terbuka, sebuah ruangan atau ruang arsitektural dapat diklaim sebagai teritori
yang bersifat public ataupun bersifat pribadi, bergantung pada pencapaian, bentuk
pengawasan, siapa yang menggunakan ruang tersebut, siapa yang merawat serta
bertanggung jawab pada ruangan tersebut. Sebuah ruang tidur dianggap bersifat lebih
pribadi dibandingkan dapur dimana tempat kita tinggal. Karena untuk ruang tidur kita
memiliki kunci sendiri untuk bisa mengaksesnya. Bisa menatanya sesuai dengan kehendak
kita sementara untuk pemeliharaan dapur ditanggung bersama seluruh penghuni rumah
sehingga dapat di akses siapapun yang memiliki kunci rumah.
Kendala utama dalam menciptakan teritori primer adalah dana dan kebijakan
organisasi pengelola, seperti kemudahan pengawasan pekerjaan. Di beberapa tempat bahkan

10
jenis pekerjaan sendiri yang menjadi kendala utama untuk membentuk teritori primer,
seperti harus bekerja sama atau berurutan.
a. Publik dan Privat
Kita selalu dihadapkan pada gradasi teritori yang bersifat primer, sekunder ataupun
public dalam desain arsitektur. Berikut merupakan contoh sebuah hunian - hunian yang
dibatasi oleh dinding keliling (penyengker) dan pintu masuk melalui sebuah gapura/candi
bentar dan angkul-angkul sebagai penanda wilayah teritori.

Karena adanya demarkasi teritori yang jelas antara public, semi public, semiprivate,
dan privat yang bisa menjadi barrier simbolis. Contohnya sebuah hunian di Bali dibatasi
oleh dinding keliling dan pintu masuk melalui sebuah gapura sebagai penanda teritori.
Ruang-ruang fungsi ditata sesuai dengan adat istiadat Bali. Sebuah fungsi berupa sebuah
bangunan, seperti ruang tidur sebagai ruang sendiri, dapur sebagai bangunan sendiri
sehingga ketika seseorang telah melewati gapura, ia tidak langsung masuk dalam ruangan
yang bersifat privat. Ia tidak merasa berada dalam teritori hunian yang sifatnya pribadi
karena tidak dengan sendirinya memiliki akses ke ruang-ruang fungsi tersebut. Untuk
menuju ruang-ruang yang bersifat lebih intim tidak dapat dicapai dengan mudah dengan
demikian, rumah Bali ini membentuk gradasi teritori melalui urutan aksesibilitas.
Pengolahan tekstur permukaan, anak tangga, penempatan lampu dan bollards, atau barrier
sesungguhnya seperti dinding.

11
Pada kompleks perumahan real estate di perkotaan juga diberi tanda penanda teritori
kompleks. Biasanya berupa gapura atau pos penjagaan dengan portal besi atau kayu
sehingga meskipun jalan yang ada di dalam kompleks perumahan tersebut adalah jalan
umum atau teritori publik, tidak mudah bagi orang asing mengaksesnya, karena orang yang
bukan penghuni kompleks perumahan tersebut maka harus mendapatkan ijin khusus untuk
dapat mengaksesnya. Berbeda dengan penghuninya ia akan merasa dalam teritorinya meski
sebenarnya ia berada pada teritori publik.
Penggunaan Ruang Publik
Ruang publik merupakan area terbuka. Ruang ini dapat dicapai oleh siapa saja pada
waktu kapan saja dan tanggung jawab pemeliharaannya adalah kolektif. Sementara itu,
ruang privat adalah area yang aksesibilitasnya ditentukan oleh orang atau sekelompok orang
dengan tanggung jawab ada pada mereka. Kadang derajat aksesibiltas itu merupakan suatu
peraturan atau ketentuan. Akan tetapi, dapat juga terjadi sebagai suatu kesepakatan saja
antara para pemakainya.
Apabila seseorang atau sekelompok orang mendapatkan peluang untuk
menggunakan sebagian area public untuk kepentingannya dan hanya tidak langsung berguna
bagi orang lain, akan tebentuk semacam kesepakatan umum bahwa penggunaan itu
dibenarkan secara temporer ataupun permanen. Misalnya, ketika masa panen tiba, petani
menjemur padi di sepanjang jalan raya tanpa diganggu oleh lalu lintas ataupun pejalan kaki
karena orang menyadari pentingnya kontribusi dari setiap anggota masyarakat demi
keberhasilan panen tersebut. Begitu pula di daerah pesisir pantai, para nelayan menjemur
jala dan ikan hasil tangkapannya di jalan umum, bahkan sampai di halaman desa.
Penduduk di rumah susun menjemur pakaian di tangga umum, atau menggunakan
pagar sebagi tempat jemurannya yang semuanya adalah ruang public.
Dalam perancangan ruang-ruang arsitektural, apabila disadari adanya derajat teritori
yang berkaitan dengan aksesbilitas menuju ruang-ruang tertentu, arsitek dapat
mengekspresikan perbedaan teritori ini baik melalui batas nyata, seperti dinding, pintu,
ataupun batas simbolik melalui artikulasi bentuk, penggunaan material, permainan warna
dan cahaya sehingga terbentuk suatu batasan yang utuh.
Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran penghuni akan adanya
perbedaan lingkungan yang berkaitan dengan perbedaan teritori atau perbedaan derajat
aksesibilitas ruang tertentu. Cara orang memberi batas teritori secara simbolik, misalnya
dengan bentuk pintu gerbang dengan langgam dari etnik tertentu yang membedakan daerah
satu dengan daerah lainnya.
12
Penandaan Teritori Secara Simbolik
Penandaan teritori juga bisa dilakukan dengan menempatkan logo tertentu. Namun,
tentu saja penggunaan tanda-tanda simbolis yang tidak dikenal secara umum tidak efektif.
Batas teritori juga bisa berupa pintu apabila dua ruang ruang public berdampingan
dan diperlukan pembedaan teritori. Oleh karena itu, desain pintu bisa dibuat sedemikian
rupa, misalnya dengan menggunakan bahan transparan yang memungkinkan orang melihat
ke ruang lain sebelum memasukinya sehingga bisa menghindari terjadinya tabrakan. Bila
pintu tersebut berfungsi membatasi ruang public dengan privat, bisa dipakai bahan pasif.
Karakter setiap ruang bergantung pada siapa yang menentukan penataan ruang dan
perabot, siapa yang bertanggung jawab pada ruang tersebut beserta pemeliharaanya. Konsep
publik dan privat dalam arti perbedaan tanggung jawab memudahkan arsitek untuk
merancang daerah mana yang penataanya dilakukan oleh arsitek dan daerah mana yang
diserahkan pada penghuni.

b. Ruang Peralihan

Pada rancangan di mana pengguna ruang sama sekali tidak mempunyai kontribusi
dalam penataanya, atau sama sekali tidak memiliki peluang untuk membentuk
lingkungannya karena sepenuhnya bergantung pada struktur organisasi pengelola dan
kemauan arsitek, sukar untuk menstimulasi [engguna agar bisa menjadi penghuni agar bisa
merasa terlibat dalam tanggung jawab lingkungan. Akibatnya, seluruh area dianggapnya
teritori publik.
Apabila teritori primer individual tidak dimungkinkan dalam desain, arsitek bisa
merancang adanya teritori primer atau sekunder bagi sekelompok orang, merancang adanya
peluang mengatur diri bagi pengguna, seperti membuat “sarang”bagi seseorang atau
sekelompok pengguna, memberi kenyamanan agar ia atau mereka bisa merasaaman, tidak
terganggu dan mempunyai lingkungan sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Sekolah
Montessori, Delit, adalah contoh sebuah rancangan yang membentk peluang-peluang bagi
pengguna untuk mersa nyaman dan aman di lingkungan publik.
Daerah peralihan dibuat sebgai penghubung berbagai teritori yang berbeda sifatnya.
Area pintu masuk sekolah dirancang sebagai daerah transisi, bukan hanya semata-mata
sebagai ruang terbuka tempat keluar masuknya siswa. Daerah ini dirancang sebagai daerah
penerima sebelum masuk kelas dengan segala peraturan dan pengawasan guru dan daerah
hingga mengantar meraka menuju rumah masing-masing.
Sebagai daerah peralihan dari teritori primer yang bersifat privatke teritori publik,
13
perwujudan arsitekturalnya hendaknya ramah karena ia akan merupakan daerah “selamat
datang” sekaligus “selamat jalan”. Area peralihan semacam ini juga dipakai sebagai wadah
melakukan kontak sosial sehingga administrative dapat masuk ke dalam teritori publik
ataupn teritori privat.
Pada perancangan rumah tinggal lebih mudah untuk mendapatkan teritori yang jelas.
Namun, pada rumah susun hirarki teritori yang jelas lebih sulit untuk diperoleh. Hirarki
tergantung tidak saja pada posisi rumah terhadap jalan, tetapi juga pada kepadatan lalu
lintas.

Hirarki Teritori untuk rumah tinggal ataupun rumah susun


Pada jalan dengan lalu lintas padat, gugatan teritori pada ruang luar biasanya lebih
kecil. Karena itu, pola rumah umumnya merupakan suatu rangkaian hirarki teritori dari
public ke privat, dari pusat ke tepian. Beberapa contoh bagaimana orang mnataruang
peralihan ini, misalnya menanami”berm” di tepi jalan yang sesungguhnya teritori public
dengan tanaman sesuai selera penghuni, menyirami dan merawatnya dengan baik, menata
jalan di muka rumah memarkir kendaraannya , atau sebaliknya menata jalan agar jalan di
muka rumah tidak dijadikan tempat parkir oleh umum, yang pada akhirnya tentu saja akan
meningkatkan kualitas ruang public.
Pada area transisi, gugatan teritori individual dan kolektif dapat saling tumpeng-
tindih. Untuk menghidari terjadinya konflik maka diperlukan kesepakatan. Keberhasilan
ruang-ruang peralihan akan membentuk ruang komunal yang baik, yaitu setiap penghuni
akan memberi kontribusinya demi kenyamanan lingkungan.
Oscar Newman menyajikan beberapa contoh bangunan bertingkat banyak yang
memiliki hirarki teritori dengan jelas sebagai dasar perancangan sistem strukturnya.

14
Misalnya Stapleton House di Staten Island, di mana pintu masuk di koridor di buat agak
menjorok ke dalam menbentuk sebuah ruang transisi antara teritori semi public dan teritori
privat. Atau apartemen dupleks di Riverband yang memmiliki koridor single loaded, setiap
apartemen terbuka kea rah sebuah patio yang berfungsi sebagai ruang transisi. Teritorialitas
di bentuk di setiap pintu masuk. Sebuah dinding setinggi 1.50 m memisahkan patio tersebut
dari jalan umum. Dari pintu apartemen ada tangga sebagai gerbang simbolik.

Contoh defensible place pada perumahan riverband


Beberapa bangunan memungkinkan peluang perilaku teritori yang lebih mudah.
- Karena adanya demarkasi teritori yang jelas antara publik, semipublik, semiprivate,
dan privat yang bisa menjadi barier simbolis, seperti pengolahan tekstur permukaan,
anak tangga, penempatan lampu dan bellards, atau barier sesungguhnya seperti
adanya dinding
- Penempatan pintu dan jendela yang memungkinkan terjadi penyelamatan alamiah,
misalnya bila ruang dirancang agar orang dapat meilhat area public dan semipublic
dari lingkunganya sebgai bagian dari aktivitas sehari-hari hingga dapat menguragi
perilaku antisosial.
- Penggunaan bentuk dan bahan yang berasosiasi dengan hal rawan
- Lokasi pengembangan pemukiman di daerah tempat masyarakat tidak measa
terancam

15
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Teritorialitas merupakan suatu pola tingkah laku yang berhubungan dengan


kepemilikan atau hak seseorang, yang ditentukan oleh persepsi dari masing – masing
orang, dimana persepsi tersebut dapat bersifat objektif ataupun subjektif, dimana si pemilik
(secara legal atau tidak) akan merasa tersinggung jika daerah yang sudah dianggap
miliknya tersebut diganggu.

Teritorialitas pada manusia mempunya fungsi yang lebih tinggi daripada sekedar
fungsi mempertahankan hidup. Pada manusia, teritorialitas ini tidak hanya berfungsi sebagai
perwujudan privasi saja, tetapi lebih jauh lagi teritorialitas juga mempunyai fungsi sosial
dan fungsi komunikasi.

Pengklasifikasian teritori yang terkenal adalah klasifikasi yang dibuat oleh Altman
(1980) yang didasarkan pada derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan pencapaian. Adapun
klasifikasi tersebut antaralain teritori primer, teritori sekunder, teritori publik. Faktor yang
mempengaruhi keanekaan teritori adalah karakteristik personal seseorang, perbedaan
situasional dan faktor budaya.

Penerapan teritorialitas dalam desain arsitektur mengacu pada pola tingah laku
manusia sehingga dapat mengurangi agresi, meningkatkan kontrol, dan membangkitkan rasa
tertib dan aman. Terdapat banyak cara dalam mengolah penggunaan elemen fisik untuk
membuat demarkasi teritori. Semakin banyak sebuah desain mampu menyediakan teritori
primer bagi penghuninya, desain itu akan semakin baik dalam memenuhi kebutuhan
penggunanya.

4.2 Saran
Arsitek dapat memberi kontribusi dalam merancang suatu lingkungan yang
menawarkan peluang-peluang bagi indvidu untuk membuat identifikasi dan tanda-tanda
personal sedemikian rupa sehingga bisa bersinergi dengan kepentingan publik untuk
membentuk suatu tempat yang sungguh menjadi teritori mereka. Suatu tempat yang di
kontrol dan dikelola oleh setiap individu sehingga bisa menghindari kriminalitas.

16
DAFTAR PUSTAKA

Altman, I. 1975. The Environmental and Social Behavior. California : Brooks/Cole


Publishing Company
Fishier, J.A., Bell, P.A. 7 Baum, A. 1984. Environmental Psychology (2nd ed.). New York :
Holt. Rinehart and Winston.
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas
Gunadarma.
Laurens, Joyce Marcella. 2004. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta : PT Grasindo
Sumber Internet :
http://hottrik.blogspot.co.id/2007/05/teritorialitas-dalam-arsitektur.html diakses pada 1-11-
2017
https://student.unud.ac.id/anantabima/news/47065 diakses pada 1-11-2017

17
M.K. ARSITEKTUR DAN PRILAKU

TERITORIALITAS

Mahasiswa:

DWI PRATIWI (1504205017)

DEWA AYU EMA NADILA S.K. (1504205019)

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

2017

Anda mungkin juga menyukai