Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No.

2
ISSN : 1978 - 0303

PENGARUH TINGKAT PENAMBAHAN TEPUNG TERIGU TERHADAP KADAR


AIR, KADAR LEMAK, KADAR PROTEIN, MIKROSTRUKTUR, DAN MUTU
ORGANOLEPTIK KEJU GOUDA OLAHAN

The Effect of Wheat Starch Addition Level on Moisture Content, Fat Content, Protein Content,
Microstructure, and Organoleptic Quality of Processed Gouda Cheese
1
Eka Fitasari
1)
Program Studi Peternakan Fakultas Ilmu Pertanian dan Sumber Daya Alam Universitas
Tribhuwana Tunggadewi Malang

diterima 1 Juni 2009; diterima pasca revisi 12 Juli 2009


Layak diterbitkan 12 Agustus 2009

ABSTRACT

The research was conducted to find out the optimum level of wheat starch to produce
processed cheese with good quality based on its moisture content, fat content, protein
content, microstructure, and organoleptic quality. The result showed that the different level
of wheat starch gave highly significant effect (p<0.01) on moisture content, fat content,
protein content, and panelist preference to texture, taste, and smell. It is concluded that
wheat starch decrease moisture content, fat content, protein content, and panelist preference
to texture, taste and smell processed Gouda cheese. It is suggested to add 10 % wheat
starch to produce processed cheese because the product met the existing standard of
commercial product chemically and physically, except fat content and protein content.
Further research on the production of processed cheese is suggested by adding fat and
protein sources to meet the standard of fat and protein content.

Keywords : processed cheese, wheat starch

PENDAHULUAN memperbaiki tekstur keju olahan. Contoh


bahan pengisi yang digunakan adalah
Keju olahan atau biasa disebut padatan susu, susu skim, cream, whey
dengan Process cheese merupakan keju bubuk, pati nabati, tepung kentang, dan
yang dibuat dengan mencampur keju alami sebagainya (Fox, 1993 dan Anonymous,
dan menggunakan garam pengemulsi serta 1991). Tidak semua pati nabati yang
bahan-bahan baik dari hasil susu maupun digunakan dalam keju olahan diketahui
non susu yang diolah menggunakan jenisnya. Oleh karena itu perlu dilakukan
perlakuan pemanasan dan pencampuran penelitian mengenai penggunaan tepung
yang kontinyu untuk membentuk produk terigu sebagai bahan pengisi dalam
yang homogen dan memiliki ketahanan pembuatan keju olahan.
produk yang lama (Kapoor and Metzger, Tepung terigu merupakan hasil
2008). Di pasaran pembuatan keju olahan ekstraksi dari proses penggilingan gandum
banyak menggunakan berbagai bahan (T. sativum) yang tersusun oleh 67-70 %
pengisi dalam campurannya. Tujuannya karbohidrat, 10-14 % protein, dan 1-3 %
adalah untuk menurunkan harga dan untuk lemak (Riganakos and Kontominas, 1995).

17
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

Menurut Damodaran and Paraf (1997) membentuk adhesive (sifat lengket),


pada sebagaian besar produk makanan, pati cohesive mass (bahan-bahan dapat menjadi
terigu terdapat dalam bentuk granula kecil padu), films, dan jaringan 3 dimensi.
(1-40 m) dan dalam suatu sistem, Penggunaan gluten dalam industri roti
contohnya adonan, pati terigu terdispersi untuk memberi kekuatan pada adonan,
dan berfungsi sebagai bahan pengisi. mampu menyimpan gas, membentuk
Protein dari tepung terigu membentuk struktur, dan penyerapan air. Gluten juga
suatu jaringan yang saling berikatan digunakan untuk tujuan formulasi, binder,
(continous) pada adonan dan bertanggung dan bahan pengisi (Igoe and Hui, 1996).
jawab sebagai komponen yang membentuk Tujuan penelitian ini adalah untuk
viscoelastik. mencari tingkat penggunaan tepung terigu
Gluten merupakan protein utama yang paling baik terhadap kadar air, kadar
dalam tepung terigu yang terdiri dari lemak, kadar protein, mikrostruktur, dan
gliadin (20-25 %) dan glutenin (35-40%). mutu organoleptik.
Menurut Fennema (1996), sekitar 30%
asam amino gluten adalah hidrofobik dan MATERI DAN METODE
asam-asam amino tersebut dapat
menyebabkan protein mengumpul melalui Materi yang digunakan dalam
interaksi hidrofobik serta mengikat lemak penelitian ini adalah keju Gouda olahan
dan substansi non polar lainnya. Ketika yang dibuat dari bahan baku kehu Gouda
tepung terigu tercampur dengan air, bagian- muda yang berumur 1 hari, keju tua (keju
bagian protein yang mengembang Gouda) berumur 6 bulan yang diperoleh
melakukan interaksi hidrofobik dan reaksi dari Dinas Peternakan Malang, tepung
pertukaran sulfydryl-disulfide yang terigu yang diperoleh dari pasar lokal, dan
menghasilkan ikatan seperti polimer- sodium tripoliphosphat (STPP).
polimer. Polimer-polimer ini berinteraksi
dengan polimer lainnya melalui ikatan Penelitian dilakukan menggunakan
hidrogen, ikatan hidrofobik, dan disulfide dua tahap. Tahap pertama adalah
cross-linking untuk membentuk seperti melakukan penelitian pendahuluan untuk
lembaran film (sheet-like film) dan menentukan kisaran konsentrasi penambahan
memiliki kemampuan mengikat gas yang tepung pada keju olahan. Tahap kedua adalah
terperangkap. melakukan penelitian inti. Penelitian
Pada pembuatan adonan yang dilakukan menggunakan metode percobaan
mengalami pemanasan, gluten memiliki dengan menggunakan Rancangan Acak
kemampuan sebagai bahan yang dapat Kelompok (Yitnosumarto,

Formulasi yang digunakan dalam pembuatan keju Gouda olahan selengkapnya adalah
sebagai berikut :
Kode Konsnetrasi tepung Keju muda Air (dari berat Garam (dari Garam (dari berat
Perlakuan (dari berat keju keju muda) berat keju muda) keju muda)
muda)
T0 0% Keju tua (20%) 25% 1% 1%
T5 5% Keju muda (80%) 25% 1% 1%
Keju tua (20%)
T10 10% Keju muda (80%) 25% 1% 1%
Keju tua (20%)
Keju muda (80%)
T15 15% 25% 1% 1%
Keju tua (20%)
Keju muda (80%)
T20 20% 25% 1% 1%
Keju tua (20%)
Keju muda (80%)

18
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

1999). Percobaan dilakukan menggunakan susu


tepung terigu sebagai filler yang terdiri
dari 5 tingkatan yaitu : 0% (T0), 5% (T5), Pateurisasi suhu 72 C
o

10% (T10), 15% (T15) dan 20% (T20) dari


berat keju alami. Setiap perlakuan diulang o
Pendinginan hingga suhu 40 C
3 kali. Variabel yang diukur adalah kadar
air, kadar lemak, kadar protein, dan mutu
Penambahan starter 1% + pemeraman + 30 menit
organoleptik (meliputi tekstur, rasa, dan
bau).
Penambahan enzim 0,025%
Diagram alir cara pembuatan keju
muda (Purwadi, 2004) dan keju Gouda
olahan (Caric and Kalab dalam Fox, 1993) Pemeraman + 1 jam hingga terbentuk curd, suhu dijaga 40 C
o

yang telah dimodifikasi dapat dilihat pada


Gambar 1 dan 2. Variabel yang diamati Pemotongan curd, diamkan selama 15 menit
terhadap keju Gouda olahan ini adalah
kadar air (Cunnif, 1999), kadar lemak
menggunakan metode Babcock (Susrini Pembuangan whey sebanyak 1/3 bagian
dkk, 1999), kadar protein menggunakan
metode Makro Kjeldahl (AOAC, 1970 Pemotongan curd
dalam Sudarmadji dkk, 1997),
mikrostruktur (Romlah, 1997), dan mutu Penambahan air ( 60 oC) sebanyak 1/3 bagian, diamkan 15 menit
organoleptik (tekstur, rasa, dan bau) (Watts
dkk, 1993). Untuk pengamatan mikrostruktur
keju, pertama-tama sampel dihaluskan Pembuangan whey sebanyak ½ bagian
menggunakan mortar, kemudian sampel
diletakkan pada obyek glass. Pemotongan curd
Sampel dicat dengan Kalium Iodida
(KI) dan Sudan 3%. Sampel lalu ditutup Penambahan air ( 60 oC) sebanyak 1/3 bagian, diamkan 15 menit
dengan cover glass, Sampel difoto
menggunakan mikroskop binocular
photomicrograph pembesaran 400x. Pembuangan sisa whey

Data kadar air, kadar lemak, dan


kadar protein keju olahan dianalisa untuk Pemotongan curd
mengetahui pengaruh dari perlakuan
dengan menggunakan analisis ragam Penggaraman 1 jam
dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda
Duncan (Yitnosumarto, 1991). Hasil uji Pengepresan
kesukaan dianalisa dengan menggunakan
analisis ragam dilanjutkan dengan uji Jarak
Pemeraman selama 1 malam
Berganda Duncan (Watts dkk, 1993).
Penentuan perlakuan terbaik dari tingkat
penambahan tepung terigu pada pembuatan Keju muda
keju Gouda OLahan ditentukan dengan
indeks efektivitas (Susrini, 2005). Gambar 1. Diagram alir cara pembuatan
keju muda

19
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

Komposisi tepung terigu yang a. Pengaruh Tingkat Penggunaan Tepung


digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat Terigu Terhadap Kadar Air Keju Gouda
pada Tabel 1. Olahan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
Tabel 1. Kandungan tepung terigu per 100 tingkat penambahan tepung terigu yang
gr (untuk penelitian) berbeda memberikan perbedaan pengaruh
Komposisi Jumlah yang sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar
Energi Min 340 kal air keju Gouda olahan. Hasil analisis data
Air 14 g
Protein Min 13 g menunjukkan bahwa penurunan kadar air
Besi (Fe) Min 5 mg keju olahan dari perlakuan T0 hingga
Zinc (Zn) Min 3 mg perlakuan T20 dipengaruhi oleh bahan
Asam Folik Min 0,2 mg
Kalsium 13 mg pengisi yang digunakan yaitu tepung terigu.
Karbohidrat 70 mg Semakin banyak penambahan tepung terigu
Lemak 0,9 g akan menyebabkan kadar air keju olahan
Vitamin B1 Min 0,25 mg
Vitamin B2 Min 0,4 mg semakin menurun. Hal ini karena dengan
semakin banyak penambahan tepung terigu
HASIL DAN PEMBAHASAN maka kandungan padatannya semakin
banyak sehingga kadar airnya semakin
Pengaruh Tingkat Penggunaan Tepung menurun.
Terigu terhadap Kadar Air, Kadar Penambahan tepung terigu
Lemak, dan Kadar Protein Keju Gouda menyebabkan sebagian besar air pada keju
Olahan akan terserap ke dalam pati. Menurut
Hasil penelitian mengenai pengaruh Winarno (1992), penambahan air dingin ke
tingkat penggunaan tepung terigu terhadap dalam tepung akan menyebabkan pati
kadar air, kadar lemak, dan kadar protein menyerap air dan membengkak. Namun
dari keju Gouda olahan dapat dilihat pada jumlah air yang terserap dan
Tabel 2. pembengkakannya terbatas. Air yang
terserap tersebut hanya dapat mencapai
Tabel 2. Pengaruh tingkat penggunaan kadar 30%. Pada saat granula pati
tepung terigu terhadap kadar air, dipanaskan dengan suhu yang lebih tinggi
keju olahan maka akan terjadi peningkatan volume air
Kode Perlakuan Kadar air (%) Kadar Kadar dan pembengkakan.
lemak (%) Protein (%) Selama proses pencampuran antara
T0 (tanpa 44, 7239 + 26,4667 + 20,9497 +
penambahan 0.23c 0.86c 0.58c tepung dan keju muda yang disertai dengan
tepung) o
pemanasan suhu 70 C, terjadi penyerapan
T5 (penambahan 44,1707 + 24,8333 + 19,544 + air oleh pati secara bertahap. Apabila
tepung 5%) 0.43bc 0.50bc 0.03b
T10 42,4431 + 23,4 + 1.83b 19,2163 +
tepung terigu hanya bercampur dengan air
(penambahan 1.41
b
0.27
b
maka pembengkakan granula pati akan
tepung 10%) terjadi secara maksimal. Namun
T15 41,5543 + 20,6333 + 18,295 +
(penambahan 1.44
ab
0.68
a
0.28
b pencampuran lemak dari keju ternyata
tepung 15%) memiliki pengaruh yang kuat. Ketika
T20 39,827 + 19,0667 + 16,7937 + globula-globula lemak menyebar diantara
a a a
(penambahan 1.25 0.76 0.62 gel pati, pati tidak bisa membengkak secara
tepung 20%)
Keterangan : Notasi yang berbeda maksimal. Pada kondisi dimana globula
menunjukkan perbedaan yang lemak keju melakukan interaksi dengan
sangat nyata (p<0,01) (a, b, c) substansi non polar, maka globula lemak
juga akan mengikat pati yang
pembengkakkannya belum maksimal tadi.

20
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

Keju muda (80%) Keju tua (20%)

Pemilihan &
pembersihan dari kulitnya

Penggilingan dengan grinder

Pencampuran keju muda + keju tua

o
Pemanasan suhu 50 C hingga leleh dengan
menggunakan sistem batch

Tepung terigu
(sesuai perlakuan) Pencampuran + garam 1%, STPP 1% dan
+ air (20%) sesekali diaduk

o
Pemanasan pada 70 C sampai kalis

Keju olahan

Pencetakan

Pengemasan

o
Penyimpanan pada suhu 5 C

Gambar 2. Diagram alir cara pembuatan Keju Gouda Olahan

21
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

Hal ini sesuai dengan pendapat menyebabkan kadar lemak keju olahan
Gaonkar (1995) bahwa penambahan lemak semakin menurun.
mengurangi gelatinasi dan pembengkakan Perlakuan T0 memiliki kadar lemak
dan juga mencegah pelepasan amilosa dari paling besar diantara perlakuan-perlakuan
pati pada saat pemanasan. lainnya karena pada perlakuan T0 ikatan
Berdasarkan uji organoleptik terhadap terjadi antara air dan grup non polar
tekstur, keju olahan yang memiliki tekstur lainnya termasuk lemak. Air dan lemak
yang paling baik adalah pada perlakuan T10 membentuk suatu emulsi (Caric and Kalab
(Tabel 3). Berdasarkan hal ini dapat diambil dalam Fox, 1993).
kesimpulan bahwa penambahan tepung Pada saat proses pengolahan,
terigu sebanyak 10% dari berat keju lebih beberapa molekul pati khususnya amilosa
disukai oleh konsumen dan mampu yang memiliki sifat lebih mudah larut
mengasilkan hasil yang terbaik berdasarkan dalam air, meningkatkan granula-granula
tekstur keju olahan. Hal ini didukung oleh pati yang membengkak dan masuk ke
pengamatan terhadap mikrostruktur dalam cairan yang ada di sekitarnya.
perlakuan T10, terlihat bahwa penyebaran Amilopektin menyebabkan granula pati
globula-globula lemaknya tidak sepadat mengembang. Namun, karena selama
perlakuan lain yang mengandung tepung pencampuran terdapat lemak yang berasal
terigu dalam jumlah yang besar. dari keju muda maka lemak akan mengikat
Penyebaran globula lemak pada T10 pati yang pembengkakannya belum
seimbang dengan air. Berdasarkan SNI sempurna. Lemak mengikat komponen-
keju olahan, perlakuan T10 sudah komponen non polar melalui ikatan
memenuhi standar keju olahan yang mana hidrofobik. Menurut Gaonkar (1995),
kadar air maksimal keju olahan adalah 45 penambahan lemak mengurangi gelatinasi
%, sedangkan perlakuan T10 kadar airnya dan pembengkakan serta mencegah
42,4431%. pelepasan amilosa dari pati pada saat
pemanasan. Kestabilan struktur granular
b. Pengaruh Tingkat Penggunaan Tepung pati terjadi karena pembentukan kompleks
Terigu Terhadap Kadar Lemak Keju amilosa lemak .
Gouda Olahan Menurut Eliasson and Gudmundsson
Penambahan tepung terigu (1996), bahwa ada bentuk ikatan komplek
menghasilkan kadar lemak keju olahan yang antara amilosa pati dengan lemak yaitu
cenderung menurun dari perlakuan T0 ke antara rantai hidrokarbon dari lemak dan
T20, hal ini karena adanya pengaruh dari amilosa pati. Ketika amilosa terurai dari
tepung terigu yang digunakan. Semakin granula pati selama proses gelatinisasi,
banyak penambahan tepung terigu akan maka lemak langsung berikatan dengan
menyebabkan kadar lemak keju olahan amilosa di permukaan granula dan
semakin menurun. Hal ini karena dengan menghambat pembengkakan.
semakin banyak penambahan tepung terigu
maka kandungan patinya semakin banyak c. Pengaruh Tingkat Penggunaan Tepung
dan lemaknya semakin turun. Kandungan Terigu Terhadap Kadar Protein Keju
lemak nabati dari tepung terigu sendiri hanya Gouda Olahan
sebesar 0.9%, sementara karbohidrat Dari Tabel, diketahui bahwa
merupakan komponen yang terdapat dalam penambahan tepung terigu menghasilkan
prosentase yang terbesar dalam pati yaitu 75- kadar protein keju olahan yang cenderung
80 % (Damodaran and Paraf, 1997). menurun dari perlakuan T5, T10, T15, dan
Berdasarkan hal ini maka akan T20, hal ini karena dipengaruhi oleh bahan
pengisi yang digunakan yaitu tepung terigu.

22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

Semakin banyak penambahan tepung terigu glutenin menyebabkan sifat viscoelastic


akan menyebabkan kadar protein keju olahan dari adonan akibat adanya disulfide cross
semakin menurun. Hal ini karena dengan linking (Fennema, 1996).
semakin banyak penambahan tepung terigu Gaonkar (1995) menyatakan bahwa di
maka kandungan patinya semakin banyak dalam adonan tepung terigu memiliki
dan lemaknya semakin turun. Kandungan karakteristik sebagai filled gels yang mana
lemak nabati dari tepung terigu sendiri hanya granula-granula tepung terigu menyebar
sekitar 13%, sementara karbohidrat dengan matriks yang saling bersambung
merupakan komponen yang terdapat dalam antar protein gluten. Protein dapat
prosentase yang terbesar di dalam pati yaitu berinteraksi dengan air atau bereaksi dengan
75-80 % (Damodaran and Paraf, 1997). komponen lainnya yang memiliki ciri yang
Berdasarkan hal ini maka akan menyebabkan sama (ikatan ion atau ikatan H) dan sebagai
kadar protein keju olahan semakin menurun. residu yang polar yang dapat mengikat air
dan berinteraksi sebagai residu non polar
Fennema (1996) menyatakan bahwa di lainnya (melalui reaksi hidrofobik). Stephen
dalam tepung terigu terkandung protein yang (1995), menambahkan bahwa ikatan yang
dapat larut. Protein yang dapat larut (sekitar kuat antara protein-polisakarida (dari tepung)
20% dari total protein dalam tepung terigu) berlangsung karena adanya interaksi
utamanya adalah albumin dan globulin serta elektrostatik atau ikatan kovalen. Interaksi
glikoprotein dalam jumlah minor. Namun, yang kuat dapat terjadi secara langsung antar
protein ini tidak memiliki kontribusi dalam ion positif dan anionis polisakaraida terutama
pembentukan adonan. Sedangkan protein dengan ion yang rendah muatannya.
lainnya adalah gluten. Sekitar 30% asam-
asam amino yang terdapat dalam gluten Penggunaan garam pengemulsi (STPP)
adalah hidrofobik dan pada proses pembuatan keju olahan akan
dapat berkumpul melalui interaksi memperbaiki kemampuan emulsifikasi dari
hidrofobik, serta juga dapat mengikat casein dengan memindahkan kompleks
lemak dan bahan-bahan non polar lainnya. kalsium phosphate dalam jaringan kalsium-
Gluten mampu menyerap air parakasenat phosphate (dimana pada keju
walaupun terbatas. Hal ini dikarenakan alami memiliki sifat tidak dapat larut).
kandungan Lys, Arg, Glu, Asp (jumlahnya Pemindahan kompleks kalsium phosphate
10% dari total asam amino dalam tepung). mengganggu muatan molecular utama yang
Sekitar 30% residu asam amino gluten mengikat secara saling silang berbagai
adalah hidrofobik, dan residu tersebut monomer casein di dalam jaringan.
memiliki kemampuan untuk membuat Gangguan pada kompleks kalsium phosphate
protein berkumpul melalui interaksi dipacu dan ditingkatkan oleh adanya
hidrofobik serta mengikat lemak dan pemanasan dan pengadukan menyebabkan
komponen non polar lainnya. tingginya hidrasi dan penyebaran sebagian dari
glutamine dan asam aminohydroxyl dari jaringan kalsium-parakaseinat phosphate.
gluten adalah bertanggungjawab sebagai Sebagai tambahan terjadinya hidrasi,
komponen pengikat air. Sebagai tambahan, kompleks kalsium-parakaseinat yang
ikatan hydrogen antara glutamine dan terdispersi sebagian menjadi mengikat lemak
hydroxyl dari polipeptida gluten melalui interaksi hidrofobik. Setelah tahap
menyebabkan sifat cohesion-adhesion. proses pengolahan selesai dan selama tahap
Gluten mengandung komponen yang pendinginan, matriks kaseinat yang
berperan dalam pembentukan adonan yaitu terdispersi sebagian membentuk flocs dan
gliadin dan glutenin. Gliadin dari gluten floc-floc kemudian berinteraksi untuk
menyebabkan sifat viscous dari adonan dan membentuk kepaduan, berdekatan

23
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

membentuk suatu jaringan gel. Proses ini Tabel 3. Pengaruh tingkat penggunaan
memberikan peningkatan bagi lemak untuk tepung terigu terhadap tekstur,
teremulsi dengan membentuk suatu rasa, dan bau dari keju Gouda
kepaduan yang mendekati seperti jaringan olahan
gel protein (Kapoor and Metzger, 2008). Kode Perlakuan Tekstur
a
Rasa
a
Bau
a
T0 (tanpa 3,9556 5,4667 5,6667
Fox et al. (2000) menambahkan bahwa penambahan
konversi kalsium menjadi sodium tepung)
b a b
(phosphate) parakaseinat selama proses T5 (penambahan 4,7667 5,3333 6,1
tepung 5%)
merupakan faktor utama yang c b b
T10 (penambahan 6,3 6,1333 6,2778
menyebabkan kemampuan protein dalam tepung 10%)
mengikat air. T15 (penambahan 6,0778
c
5,7
a
6,1445
b

Pati (dalam penelitian ini tepung 15%)


c a a
T20 (penambahan 5,2111 5,7 5,8889
menggunakan tepung terigu) berfungsi tepung 20%)
dalam meningkatkan meltability dan Keterangan : Notasi yang berbeda
memelihara supaya keju dapat menunjukkan perbedaan yang
mulur/ditarik. Dalam produk keju, pati sangat nyata (p<0,01) (a, b, c)
memiliki kemampuan untuk mestabilkan
antara bahan-bahan fase minyak dan air a. Kesukaan Panelis terhadap Tekstur
sehingga dapat terdispersi pada permukaan Keju Gouda Olahan
mulur dari keju (Akins, 2002). Hasil analisis ragam menunjukkan
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat penambahan tepung terigu
bahwa pati akan mengikat lemak sehingga yang berbeda memberikan perbedaan yang
mencegah lemak cair (oiling off) keluar sangat nyata (p<0,01) terhadap kesukaan
dari tekstur yang dikelilingi oleh protein. panelis terhadap tekstur keju Gouda
Dengan adanya proses homogenisasi olahan. Nilai kesukaan panelis terhadap
selama proses pengolahan, pati akan tekstur keju Gouda olahan yang paling
menyerap air bebas yang sengaja tinggi dihasilkan oleh perlakuan T10 yang
ditambahkan pada waktu proses nilainya termasuk agak disukai. Perlakuan
pengolahan, dan dengan suhu pengolahan T10 menghasilkan tekstur yang halus,
yang tidak terlalu tinggi yaitu kurang dari seragam, dan mudah diiris. Hal ini Karena
o
85 C, maka proses gelatinisasi akan lemak dapat terdispersi secara merata dan
terjadi dan suhu yang tidak terlalu tinggi adanya kandungan gluten dari tepung
tidak akan menyebabkan proses Maillard terigu yang menyebabkan sifat viscous dan
yang berlebihan. Hal ini sesuai dengan viskoelastik pada donan. Hal ini sesuai
pendapat Akins (2002), selama proses dengan pendapat Fennema (1996) bahwa
pemasakan atau pemanasan juga terjadi gliadin dari gluten menyebabkan sifat
interaksi dengan bahan-bahan lain (yang viscous adonan dan glutenin menyebabkan
digunakan dalam pembuatan keju olahan. sifat viscoelastik dari adonan akibat adanya
disulfide cross linking.
Pengaruh Tingkat Penggunaan Tepung Tekstur keju Gouda olahan yang
Terigu Terhadap Mutu Organoleptik memperoleh nilai terendah adalah perlakuan
Keju Gouda Olahan T0 dengan nilai keju yang tidak disukai.
Hasil penelitian mengenai pengaruh Perlakuan T0 menghsilkan keju yang lunak
tingkat penggunaan tepung terigu terhadap dan berpasir (sandy defect). Adanya tekstur
tekstur, rasa, dan bau dari keju Gouda seperti berpasir ini diduga terbentuknya
olahan dapat dilihat pada Tabel 3. kristal laktosa yang keras pada saat
pengolahan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Susrini (1992) yang menyatakan

24
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

bahwa produk fermentasi (keju) masih pelarut untuk komponen-komponen lain


mengandung laktosa karena bakteri yang terdapat di dalam lemak diantaranya
pembentuk asam laktat hanya fosfolipid, serebrosida, sterol, karotenoid,
memfermentasi laktosa 15-40 %, tokoferol, dan senyawa-senyawa lain,
pengolahan yang kurang tepat dapat seperti aldehid, keton dan lakton. Beberapa
membentuk kristal laktosa yang keras dari senyawa tersebut berperan dalam
sehingga tekstur produk tidak halus atau pembentukan rasa keju olahan. Faktor lain
terjadi sandy defect. Perlakuan T5 yang berpengaruh terhadap rasa keju
menghasilkan keju olahan yang cukup baik adalah asam amino diantaranya glisin,
tapi rapuh dan masih lunak. Hal ini karena alanin, falin, serin, dan treonin yang
kandungan air yang terlalu tinggi sehingga membentuk rasa manis. Sedangkan leusin,
tepung tidak bisa menyerap air dengan isoleusin, fenilalanin, triptofan, arginin,
maksimal sementara proses gelatinasi histidin, lisin, dan metionin membentuk
dibatasai oleh karena adanya lemak yang rasa agak pahit, serta asam glutamate yang
relative tinggi yang berasal dari keju alami membentuk rasa gurih.
(Gaonkar, 1995). Panelis menyukai perlakuan T10
Perlakuan T10 menghasilkan rata- karena rasanya yang enak (rasa keju) dan
rata nilai tekstur tinggi tetapi tidak berbeda juga tidak berbau tepung. Hal ini juga
nyata dengan perlakuan T15 dan T20 didukung berdasarkan uji organoleptik
sehingga dari segi ekonomis perlakuan terhadap tekstur dan bau, bahwa T10
T10 lebih dipilih. mendapatkan nilai yang tertinggi
dibandingkan perlakuan lain. Berdasarkan
b. Kesukaan Panelis terhadap Rasa Keju hal tersebut dapat diambil kesimpulan
Gouda Olahan bahwa dari segi ekonomis perlakuan T10
Hasil analisis ragam menunjukkan lebih terpilih.
bahwa tingkat penambahan tepung terigu
yang berbeda memberikan perbedaan c. Kesukaan Panelis terhadap Bau Keju
pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) Gouda Olahan
terhadap kesukaan panelis terhadap keju Hasil analisis ragam menunjukkan
Gouda olahan. Perlakuan T10 bahwa tingkat penambahan tepung terigu
menghasilkan kesukaan keju olahan yang yang berbeda memberikan perbedaan
paling tinggi yaitu dengan nilai keju yang pengaruh yang sangat nyata (p<0,01)
agak disukai, karena rasa yang dihasilkan terhadap kesukaan panelis terhadap bau
halus dan seragam serta tidak terlalu asin. keju Gouda olahan. Nilai kesukaan panelis
Adanya rasa yang terbentuk dalam yang paling tinggi dihasilkan oleh
keju olahan disebabkan oleh kandungan perlakuan T10 dengan nilai keju agak
lemak susu dan asam amino dalam keju disukai. Perlakuan T10 menghasilkan bau
Goud aolahan yang berperan dalam keju yang enak dan tidak berbau tepung.
pembentukan rasa keju. Daulay (1991) Menurut Winarno (1992) bau-bauan dapat
menyatakan bahwa pembentukan aroma dikenali bila terbentuk uap dan molekul-
dan rasa pada keju merupakan fenomena molekul komponen bau tersebut harus
yang kompleks. Lemak susu merupakan sempat menyentuh silia sel olfaktori dan
sumber dari sebagian rasa pada keju. diteruskan ke otak dalam bentuk impuls
Lemak susu merupakan rangkaian yang listrik oleh ujung-ujung saraf olfaktori.
sangat kompleks dari asam-asam lemak Perbedaan nilai kesukaan terhadap
yang bergabung dari satu batang gliserol bau diantara semua perlakuan disebabkan
membentuk trigliserida. Trigliserida- kandungan lemak susu yang berasal dari
trigliserida tersebut berperan sebagai keju muda. Lemak susu merupakan

25
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

campuran dari berbagai gliserida yang Pengaruh Tingkat Penggunaan Tepung


terdiri dari dari asam lemak yang volatile Terigu terhadap Mikrostruktur.
dan tidak volatile. Menurut Susrini (1992) Hasil gambar keju Gouda olahan
asam-asam lemak susu yang termasuk secara mikroskopi menunjukkan adanya
volatil adalah asam butirat, kaproat, perbedaan sebaran globula lemak pada
kaprilat, kaprat, laurat, dan sejumlah kecil setiap perlakuan (Gambar 3).
asam lemak yang lain. Sedangkan asam Pada Gambar 3 hingga Gambar 7
lemak non volatil adalah miristat, palmitat, terlihat warna merah, biru kehitaman, dan
oleat, stearat, dan sejumlah asam lemak warna kuning. Warna kemerahan tersebut
lain. menunjukkan globula lemak yang
Penggunaan keju tua memberikan dipengaruhi larutan Sudan yang diteteskan,
pengaruh yang kuat terhadap bau keju sedangkan warna biru kehitam-hitaman
olahan karena selama pemeraman terjadi menunjukkan pati yang bereaksi dengan
hidrolisa berbagai macam asam lemak KI. Warna kekuningan menunjukkan air
yang mudah menguap seperti asetat dan yang terikat secara fisik diantara globula-
propionate, adan asam-asam lemak yang globula lemak.
volatil seperti asam butirat, asam kaproat, Perlakuan T10 menunjukkan bahwa
asam kaprilat, dan asam kaproat (Daulay, globula-globula lemak terdispersi secara
1991). Asam-asam ini menyebabkan bau merata diantara air dalam bentuk globula-
yang khas terhadap keju olahan. Perlakuan globula yang kecil, hal ini karena protein
T10 tidak berbeda nyata dengan perlakuan dari keju dan emulsifier yang
T10 merupakan perlakuan yang terbaik. mempertahankan emulsi antara lemak dan
Berdasarkan hal tersebut dapat diambil air.
kesimpulan bahwa secara ekonomis
perlakuan T10 lebih dipilih.

B
A C

A
B
Gambar 4. Perlakuan T5
Gambar 3. Perlakuan T0

B C
C
A
A
B

Gambar 5. Perlakuan T10 Gambar 6. Perlakuan T15

26
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

B
Keterangan :
A = Globula lemak
C B = Air
A C = Pati

Gambar 7. Perlakuan T20

yang paling tinggi jika dibandingkan


Pada saat pengolahan, kasein yang perlakuan lainnya jika dilihat dari segi
sebelumnya memilki sifat yang tidak dapat teksturnya (Tabel 3). Hal ini juga didukung
larut dalam air dengan adanya emulsifier dia berdasarkan kadar air yang mana
akan menjadi larut dan mengikat sejumlah perlakuan T10 sudah memenuhi SNI keju
air. Berdasarkan sifat fisis keju olahan dari olahan (Tabel 4). jika dilihat dari gambar
perlakuan T0 menghasilkan keju yang terlalu mikrostrukturnya terdapat keseimbangan
lunak, berpasir, rapuh, dan lengket pada antara penyebaran lemak dan air yang
permukaan pisau ketika diiris. mengakibatkan tekstur keju olahan ini
Gambar 4 hingga Gambar 7 lebih disukai oleh konsumen. Pada
menunjukkan sebaran globula lemak yang perlakuan T0 dan T5 penyebaran lemak
besar-besar, hal ini karena pada keempat dan air tidak seimbang. Jumlah air yang
perlakuan ini mendapatkan penambahan terlalu besar akan menyebabkan tekstur
tepung terigu sehingga terjadi ikatan keju olahan menjadi lembek.
hidrofobik antara lemak dan grup non Perlakuan T15 dan T20 menghasilkan
polar seperti protein dan tepung, dan juga keju olahan dengan tekstur yang lebih padat
interaksi dengan grup polar yaitu air. (berdasarkan sifat fisisnya) dibandingkan
Menurut Moskowitz (1987), lemak perlakuan lainnya. hal ini karena dengan
berinteraksi dengan gluten dari tepung semakin banyaknya penambahan tepung
terigu selama proses pemanasan. Hal ini terigu maka jumlah padatannya juga semakin
menyebabkan produk menjadi empuk, banyak dan jumlah gluten juga
yang mana pada khirnya akan menjadi semakin banyak sehingga ketika
massa yang padat dimana komponen- komponen-komponen tersebut berikatan
komponen akan berkumpul karena adanya secara kimia maka ikatannya terjadi lebih
ikatan dengan gluten. Lemak diserap pada rapat yang menyebabkan tekstur menjadi
permukaan protein glutenaceous yang lebih keras. Keadaan ini ternyata kurang
berikatan melalui hydrasi dan disukai oleh konsumen.
berkembangnya struktur gluten yang padat.
Faridi (1994) menambahkan, bahwa gliadin Perlakuan Terbaik
dari gluten mengikat lemak polar melalui Penentuan perlakuan terbaik
hidrasi sedangkan glutenin mengikat lemak dilakukan pada keju Gouda olahan dengan
secara mekanikal. Pada perlakuan T5 dan penambahan tepung terigu dengan
T10 jika dilihat berdasarkan sifat fisisnya menggunakan indeks efektifitas (Susrini,
maka menghasilkan keju yang cukup bagus, 2005). Dari hasil perhitungan didapatkan
cohesive, dan dapat diiris. Perlakuan T10 perlakuan yang terbaik pada perlakuan T10
merupakan keju olahan yang memiliki nilai

27
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

(keju Gouda olahan dengan penambahan (p<0,01) terhadap kadar air, kadar
tepung terigu sebanyak 10% dari berat keju), lemak, kadar protein, dan mutu
dengan kondisi kadar air, kadar lemak, kadar organoleptik (kesukaan terhadao
protein dan mutu organoleptik (kesukaan tekstur, rasa, dan bau) keju Gouda
rasa, tekstur, bau) keju Gouda olahan seperti olahan.
tertera pada Tabel 4. b. Tingkat penambahan tepung terigu
sebanyak 10% dari berat keju sebagai
Tabel 4. Perbandingan kualitas keju bahan pengisi pada pembuatan keju
Gouda olahan dari perlakuan Gouda olahan merupakan perlakuan
terbaik dengan Standar Nasional yang terbaik diantara perlakuan-
Indonesia perlakuan yang baik.
Produk
Variabel SNI Rata- Keterangan
rata
DAFTAR PUSTAKA
Kadar air Maksimal 42,5438% Memenuhi standar

Kadar lemak
45%
Minimal
Akins, M. L., 2002. Effects of Starch-
25% 22,33% Tidak memenuhi standar based Anti-caking agents on The
Kadar lemak Minimal Fuctional Properties of Shredded
19,5% 18,9597% Tidak memenuhi standar
Mutu Mozarella Cheese. Master of Science
organoleptik : in Life Science in Food Science.
- rasa Normal 5,66667 Tidak ada standar
- tekstur Normal 5,2622 Tidak ada standar Departemnt of Food Science and
- bau Normal 6,0156 Tidak ada standar Technology Balcksburg, VA.
Anonymous. 1991. All Eyes on New Potato
Berdasarkan nilai mutu organoleptik Starch Use of Perfectamyl Gel MB,
terhadap rasa, tekstur, dan bau diperoleh A Potato Starch Derivative, in The
bahwa perlakuan T10 merupakan nilai Making of Imitation Cheese. Http
tertinggi. Penilaian terhadap mutu ://www.findarticles.com/ p/articles/
organoleptik ini merupakan penilaian yang mi_m3301/is_n11-v92/ai_11533661.
diberikan oleh konsumen dan konsumen Diakses tanggal 1 Maret 2005.
memilih bahwa perlakuan T10 merupakan Cunniff, P. 1999. Official Method of
perlakuan terbaik dibandingkan perlakuan- Analysis of AOAC International.
perlakuan yang lainnya. hal ini didukung AOAC International Suite 500 481
oleh gambar mikrostruktur, pada perlakuan North Frederick Avenue
T10 terdapat keseimbangan penyebaran ed th
Gaithersburg, Maryland USA 16 .5
globula lemak keju dan air. Berdasarkan hal revision volume II.
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Damodaran, S. and A. Paraf. 1997. Food
penambahan tepung terigu sebanyak 10% Proteins and Their Applications.
dari berat keju dapat memberikan hasil yang Marcel Dekker. New York.
terbaik terhadap kadar air, kadar protein, Daulay, D. 1991. Buku / Monograf
kaar lemak, rasa, tekstur, dan bau. Kadar air Fermentasi Keju. Departemen
perlakuan T10 sudah memenuhi Standar Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional Indonesia. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Pusat Antar Universitas Pangan dan
KESIMPULAN Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Faridi, H. 1994. The Science of Cookie and
Kesimpulan yang dapat diambil dari Cracker Production. Chapman &
penelitian ini adalah : Hall. New York.
a. Penambahan tepung terigu memberikan
pengaruh penurunan yang sangat nyata

28
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2009, Hal 17-29 Vol. 4, No. 2
ISSN : 1978 - 0303

Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry, Stephen, A. M. 1995. Food Polysaccharides


third edition. Marcel Dekker, Inc. and Their Applications. Marcel
New York. Dekker. New York.
Fox, P.F. 1993, Advanced Dairy Chemistry, Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi.
vol 3. Chapman and Hall. London. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan
Fox, P. F., Guinee, T. P., Cogan, T. M., and Makanan dan Pertanian. Liberty.
McSeeney, P. L. H., 2000. Yogyakarta.
Fundamentals of Cheese Science. Susrini, I. 1992. Pengantar Teknologi
Aspen Publishers, Inc. Maryland. Pengolahan Susu. Fakultas
Eliasson, A. C. and M. Gudmundsson. Peternakan Universitas Brawijaya.
1996. Starch : Physicochemical and Malang
Functional Aspect. Marcell Dekker, Susrini, I. 2005. Indeks Effectivitas Suatu
Inc. New York. Pemikiran Tentang : Alternatif Untuk
Gaonkar, A. G. 1995. Ingredient Memilih Perlakuan Terbaik pada
Interactions Effects on Food Quality. Penelitian Pangan. Program Studi
Marcel Dekker. New York. Teknologi Hasil Ternak Fakultas
Igoe, R. S. and Y. H. Hui. 1996. Dictionary Peternakan Universitas Brawijaya.
of Food Ingredient, third edition. Malang.
Chapman & Hall. New York. Susrini, I., Sawitri, M. E., dan Thohari, I.
Kapoor, R and L. E. Metzger, 2008. 1990. Pedoman Pengujian Susu dan
Process Cheese : Scientific and Produk Susu. LUW-Universitas
Technological Aspects A Review. Brawijaya. Malang. Diterjemahkan
Comprehensive Reviews In Food dari Dairy Factory Test Manual.
Science and Food Safety, vol. 7, 1966. Australian Sociaety of Dairy
2008. Journal. Technology Melbourne. Australia.
Moskowitz, H. R. 1987. Food Texture, Watts, B. M., Ylimaki, G. L., Jeffery, L. G.,
Instrumental and Sensory dan Elias, L. E. 1993. Dasar-dasar
Measurement. Marcel Dekker, Inc. Metode Sensori untuk Evaluasi
New York and Basel. Pangan. Diterjemahkan oleh
Riganakos, K. A. and M. G. Kontominas. Purwadi. Fakultas Peternakan
1995. Effect of Heat Treatment on Universitas Brawijaya. Malang.
Moisture Sorption Behavior of Wheat Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan
Flours Using A Hygrometric Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Tehnique. G. Charalambous (Ed). Jakarta.
Food Flavors : Generation Analysis Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan
and Process Influence. Journal. Rancangan, Analisis, dan
Romlah. 1997. Sifat Fisik Adonan Mie Interpretasinya. Gramedia Pustaka
Beberapa Jenis Tepung Gandum Utama. Jakarta.
dengan Penambahan Kamsui, Telur,
dan Ubi Kayu. Tesis Master.
Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai