Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin
secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem
saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladder adalah penyakit yang menyerang
kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem
saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom. (Ginsberg, 2013).
Gejala neurogenik bladder berkisar antara kurang berfugsi hingga
overaktivitas, tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius
mungkin terpengaruhi, menyebabkan spincter menjadi kurang berfungsi atau
overaktivitas dan kehilangan koordinasi dengan fungsi kandung kemih. Salah
satu penelitian pertama mengenai prevalensi Neurogenic Bladder di Asia
adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific Continence
Advisory Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan, dimana
sekitar 70% adalah perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia
didapatkan bahwa prevalensi Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah
sekitar 50,6%. (Shenot, 2012).
Banyak penyebab dapat mendasari timbulnya Neurogenic Bladder
sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis
ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis, Selain itu
kondisi lain yang dapat menyebabkan neurogenic bladder adalah penyakit
degenaratif neurologis (multipel sklerosis, dan sklerosis lateral amiotropik),
kelainan bawaan tulang belakang (spina bifida). Neurogenic bladder akan
meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di
Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%- 90% pasien
dengan multiple sclerosis, 37% - 72% pada pasien dengan parkinson dan 15%
pada pasien dengan stroke. Ini memperkirakan bahwa 70-84% pasien dengan
spinal cord injury paling tidak mempunyai sedikit gangguan kandung kemih.
(Ginsberg, 2013).

1
Terapi yang cocok ditentukan dari diagnosis yang tepat dengan
perawatan medis yang baik dan perawatan bersama dengan bermacam
pemeriksaan klinis, meliputi urodinamik dan pemeriksaan radiologi terpilih.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi persarafan kandung kemih?
1.2.2 Apa definisi dari Neurogenic Bladder ?
1.2.3 Bagaimana etiologi dari Neurogenic Bladder ?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi dari Neurogenic Bladder ?
1.2.5 Bagaimana manifestasi klinis Neurogenic Bladder ?
1.2.6 Apa saja pemeriksaan diagnostik pada Neurogenic Bladder ?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan medis pada Neurogenic Bladder ?
1.2.8 Bagaimana asuhan keperawatan pada Neurogenic Bladder ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan pada pasien dengan Neurogenic
Bladder.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahani tentang anatomi fisiologi persarafan kandung
kemih
2. Mengetahui dan memahami tentang definisi dan etiologi Neurogenic Bladder.
3. Mengetahui dan memahami tentang patofisiologi Neurogenic Bladder.
4. Mengetahui dan memahami tentang manifestasi klinis Neurogenic Bladder.
5. Mengetahui dan memahami tentang pemeriksaan diagnostic pada kasus
Neurogenic Bladder.
6. Mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan medis pada kasus
Neurogenic Bladder.
7. Mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada kasus
Neurogenic Bladder.

2
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mahasiswa
Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami definisi, patofisiologi,
manifestasi klinis, penatalaksanaan medis pada pasien dengan Neurogenic
Bladder serta dapat menerapkan asuhan keperawatan, khususnya untuk
mahasiswa keperawatan.
2. Dosen
Makalah ini dapat dijadikan tolak ukur sejauh mana mahasiswa mampu
mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen dan sebagai bahan
pertimbangan dosen dalam menilai mahasiswa.
3. Masyarakat umum
4. Masyarakat umum dapat mengambil manfaat dengan mengetahui definisi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis dan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Neurogenic Bladder.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Proses berkemih terjadi melalui mekanisme sistem persarafan yang
kompleks dan multifaktoral. Pada sistem saraf pusat misalnya, terdapat Pusat
miksi Pons yang mengatur miksi melalui refleks pengaturan pengisian atau
pengosongan kandung kemih dan daerah kortikal serta daerah subkortikal di
lobus frontal otak yang memberikan rangsang yang akan berpengaruh pada
sfingter eksternal uretra. Sedangkan pada sistem persarafan perifer terdapat
persarafan otonom yang akan mengatur refleks berkemih secara volunter.
Selain pada otak, sistem saraf pada sumsum tulang belakang juga turut
serta dalam proses berkemih yaitu mengatur reflek berkemih melalui
mekanisme saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Sistem saraf simpatik
terletak pada T11 hingga L2 medula spinalis yang mengatur regulasi proses
penampungan urin di kandung kemih, sedangkan saraf parasimpatik terdapat
pada kolumna medula spinalis antara S2 dan S4 pada materi abu abu ventral
yang mengatur kontrol kontraksi kandung kemih dan perjalanan urin. Terdapat
2 bentuk persarafan pada saraf parasimpatik yaitu serabut saraf sensorik dan
serabut saraf motorik, pada serabut sensorik akan mendeteksi peregangan
kandung kemih sehingga akan memicu refleks pengosongan kandung kemih,
sedangkan pada serabut motorik akan memicu kontraksi otot detrusor pada
kandung kemih.

2.2 Definisi
Neurogenic bladder adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami
penurunan fungsi atau kehilangan fungsi dari kandung kemih akibat kerusakan
pada otak, spinal cord, dan sistem saraf (Urology Care Foundation, 2018).
Kandung Kemih Neurogenik (Neurogenic Bladder) adalah hilangnya
fungsi kandung kemih yang normal akibat kerusakan pada sebagian sistem
sarafnya (Isselbacher, 1999).

4
Neurogenic bladder merupakan gangguan fisiologis kandung kemih
akibat kelainan sistem saraf. Gangguan ini tidak mengacu pada diagnosa atau
etiologi yang spesifik melainkan gangguan urologi akibat kelainan neurologis
(Gisberg D, 2013)
Neurogenic Bladder adalah adalah gangguan kandung kemih
disebabkan oleh motor atau jalur sensorik dalam sistem saraf pusat atau perifer
yang memiliki masukan untuk blader tersebut (Carpenitto, 2009).
Berikut klasifikasi neurogenic bladder menurut Carpenitto (2009):
a. Kandung kemih neurogenik otonom merupakan hasil dari kerusakan dari
pusat kandung kemih di sumsum tulang belakang sacral pada atau di bawah
T12-L1. Klien merasa ada sensasi sadar untuk membatalkan dan tidak
memiliki refleks berkemih.
b. Kandung kemih neurogenik refleks terjadi dengan kerusakan antara
sumsum tulang belakang sakral dan korteks serebral , di atas T12 - L1. Klien
tidak memiliki sensasi untuk membatalkan dan tidak bisa membatalkan atas
keinginannya.
c. Kandung kemih neurogenik motor paralytic terjadi ketika ada kerusakan
pada sel-sel tanduk anterior dari akar ventral S2 - S4 dan kerusakan reflek
berkemih. Klien memiliki sensasi utuh, tetapi mengalami hilangnya
sebagian atau seluruh fungsi motorik.
d. Kandung kemih neurogenik kelumpuhan sensorik terjadi ketika akar dorsal
S2-S4 atau jalur sensorik ke korteks serebral mengalami kerusakan. Klien
kehilangan sensasi, tetapi dapat mengontrol kapasitas kandung kemih.
e. Kandung kemih neurogenik uninbitited hasil dari kerusakan pada kandung
kemih pusat di korteks serebral. Klien memiliki sensasi terbatas terhadap
distensi kandung kemih, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk
menghambat buang air kecil.

2.3 Etiologi
Setiap kondisi yang merusak kandung kemih dapat menyebabkan
kandung kemih neurogenik. Penyebab mungkin melibatkan:

5
a. Sistem saraf pusat (CNS): Kejadian serebrovaskular, cedera tulang
belakang, meningomyelocele, amyotrophic lateral sclerosis
b. Sistem saraf perifer (PNS): Diabetes, AIDS, alkohol, neuropati
kekurangan vit B12, hernia, kerusakan akibat operasi panggul
c. Campuran CNS dan PNS: Penyakit Parkinson, multiple sclerosis, sifilis,
tumor (Willacy, 2012)
Neurogenic bladder terjadi akibat kerusakan sistem persarafan yang
mengatur proses konstraksi-relaksasi otot vesikula urinaria dan sfingter uretra
secara fisiologis, sehingga proses ini berjalan tidak seharusnya. Dan kerusakan
proses neurologi berkemih ini dapat dipicu oleh beberapa gangguan, seperti;
- Multiple sclerosis
- Penyakit pada tulang belakang seperti hydromyelia
- Tumor pada otak
- Parkinson’s disease
- Diabetes
- Trauma tulang belakang
- Stroke
- Spina bifida
- Komplikasi dari pembedahan di pelvis.

2.4 Manifestasi Klinis


Hal yang biasa atau mungkin ditemukan pada klien dengan kondisi neurogenic
bladder adalah berupa salah satu atau lebih dari:
1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur
yang berbahaya akibat pola berkemih yang abnormal.
2. OAB (Overactive bladder) : frekuensi berkemih yang berlebihan, bisa
lebih dari 8x per 24 jam
3. Incontinence : kehilangan kemampuan untuk mengontrol berkemih
4. UAB (Underactive bladder) : terjadinya retensi urin karena sfinkter tidak
bekerja dengan baik
5. Pancaran air kencing bercabang

6
6. Frekuensi : Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal,
yaitu lebih dari tujuh kali.
7. Overflow incontinence (inkontinensia paradoxal) : Terjadi karena
meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang terus
menerus. Tekanan di vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan di
uretra. Akibatnya urin dapat keluar sendiri tanpa terkontrol. Jadi disini
terlihat adanya perbedaan antara overflow inkontinensia (inkontinesia
paradoksal) dengan flow incontinentia. Pada flow incontinenntia,
misalnya akibat paralisis musculus spshincter urtetra, urin keluar tanpa
adanya keinginan untuk kencing. Kalau pada overflow incontinence,
pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh), namun urin keluar
tanpa bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut inkontinensia paradoxal.
8. Dysuria dan hematuria

2.5 Patofisiologi
Gangguan kandung kencing / bladder dapat terjadi akibat dari
kerusakan saraf atau lesi yang terjadi pada sistem saraf manusia. Apabila
sistem saraf pusat atau system saraf tepi yang merupakan jalur persarafan
system perkemihan mengalami gangguan maka akan mengganggu proses
berkemih. Otak, pons, medulla spinalis dan saraf perifer merupakan beberapa
bagian dari system saraf yang memungkinkan untuk terlibat. Gejala yang
dapat terjadi apabila terjadi disfungsi kandung kemih / bladder adalah retensi
inkontinensia yang berlebihan, urinasi yang kerapkali hanya sedikit, atau
kombinasi dari keduanya.
Berdasarkan lokasinya penyebab secara garis besar, Neurogenic
Bladder dibagi menjadi tiga, antara lain:
a. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi
dan seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus
frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada
umumnya akan berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan

7
hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi
periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus
atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung
kemih yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang
yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara
volunteer.
b. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan
bagian sacral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi
kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa
keadaan yang mungkin terjadi antara lain adalah:
1. Vesica urinaria yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi
normal akan menimbulkan suatu keadaan vesica urinaria yang
hiperrefleksi yang akan menyebabkan kenaikan tekanan pada
penambahan yang kecil dari volume vesica urinaria.
2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului
kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi
sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter
untuk berelaksasi akan menghambat miksi sehingga dapat
terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang
menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas.Urine dapat
keluar dari vesica urinaria hanya bila kontraksi detrusor.
berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga aliran
urine terputus-putus.
3. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga
pengosongan vesica urinaria yang terjadi tidak sempurna.
Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia akan
menimbulkan peningkatan volume residu pasca miksi.

8
4. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan vesica
urinaria yang hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit
volume tambahan untuk terjadinya kontraksi vesica urinaria.
Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah
yang sedikit.
c. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis
maupun ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi
vesica urinaria dan hilangnya sensibilitas vesica urinaria. Proses
pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan karena mekanisme
untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, vesica urinaria
menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah
parsial. Compliance vesica urinaria juga hilang karena hal ini
merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya
persyarafan. Sensibilitas dari peregangan vesica urinaria terganggu
namun sensasi nyeri masih didapatkan karena informasi aferen
yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke
daerah thorakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu
mekanisme penutupan namun jaringan elastik dari leher vesica
urinaria memungkinkan terjadinya miksi. Mekanisme untuk
mempertahankan miksi selama kenaikan tekanan intra abdominal
yang mendadak hilang, sehingga stress inkontinens sering timbul
pada batuk atau bersin.

9
2.6 WOC

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan urodinamika
Merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui fungsi
kandungan kemih dengan mengevaluasi kerja kandung kemih untuk
penyimpanan urin, pengosongan kandung kemih dan kecepatan aliran urin
keluar dari kandung kemih pada saat buang air kecil. Pemeriksaan
urodinamika dapat berupa Cystometrography, Postvoid residual urine,
uroflometri, serta elektromielografi sfingter.
a. Cystometrography : Untuk mengukur tekanan, kapasitas dan
refleks kandung kemih
b. Postvoid Residual Urine : Pengukuran residu urine setelah
berkemih. Normal <50 ml

10
c. Elektromielografi : Untuk memastikan adanya berkemih yang
terkoordinasi atau tidak
d. Uroflowmetri : Mengukur pancaran urin selama proses miksi
secara eletronik
2. Cystoscopy
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau
tidak. Dapat mendeteksi adanya penemuan massa pada kandung kemih
(tumor, kanker atau batu).
3. Pemeriksaan Imaging berupa pemeriksaan X-ray, USG, CT-Scan serta
MRI.
Untuk mendeteksi kelainan neurologis dapat dilakukan pemeriksaan ini.
4. Tes darah untuk menilai fungsi ginjal

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan serta pengobatan yang tepat ditentukan oleh gejala,
jenis, dan tingkat kerusakan saraf, dan mendiskusikannya dengan klien dapat
membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan kandung kemih.
Prioritas tata laksana kandung kemih neurogenik adalah pemeliharaan fungsi
ginjal.
a. Terapi non farmakologis
Satu terapi non farmakologis yang efektif. Fungsinya untuk
mengembalikan tonus kandung kemih agar fungsinya kembali normal.
Tujuannya untuk melati kandung kemih dan mengembalikan pola
normal perkemihan dengan mengambat atau menstimulasi pengeluaran
air kemih. Tiga macam metode bladder training :
1. Kegel Exercises
Aktifitas fisik yang dilakukan berulang-ulang guna
meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam
pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul
dapat memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat

11
penutupan uretra dan secara reflex menghambat kontraksi
kandung kemih.
2. Delay urination
Dilakukan dengan cara melatih diri untuk menahan rasa
ingin berkemih (miksi). Hal ini dilakukan untuk melatih dan
mengontrol kontraksi sfingter uretra eksternal, sehingga urin
tidak keluar tanpa disadari.
3. Scheduled bathroom trips
Pada pasien yan terpasang kateter bladder training dapat
dilakukan dengan mengeklem urin ke kantong urin. Bladder
training dilakukan sebelum katerisasi diberhentikan. dengan cara
menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas
setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit
kemudian dilepas. Terapi tersebut tujuannya memperpanjang
interval berkemih yang normal dengan berbaai teknik distraksi
atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih berkuran hanya
6-7 kali per aria tau 3-4 jam sekali
b. Clean intermittent catheterization
Pilihan tata laksana awal penanganan kandung kemih neurogenik
adalah dengan cara clean intermittent catheterization (CIC). Tindakan
tersebut bertujuan untuk mengosongkan kandung kemih secara adekuat
dan aman.
Beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi tindakan CIC
perhari, di antaranya asupan cairan perhari, kapasitas kandung kemih,
dan tekanan intra-vesika pada saat pengisian dan pengosongan kandung
kemih. Biasanya, pada bayi CIC dilakukan enam kali sehari sedangkan
pada anak usia sekolah dilakukan sebanyak lima kali. Risiko infeksi
akibat tindakan CIC rendah asalkan pengosongan kandung kemih
tercapai sempurna. Pencegahan terjadinya struktur terutama pada anak
lelaki dapat dikurangi dengan penggunaan lubrikan dan meminimalisir
manipulasi saat pemasangan kateter. Konstipasi merupakan penyulit

12
proses pengisian dan pengosongan kandung kemih sehingga perlu
diatasi untuk menunjang keberhasilan terapi. Tindakan CIC juga
mengurangi angka dilakukannya augmentasi pada leher kandung kemih
(level of evidence: 2, rekomendasi derajat B).
c. Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang sering digunakan adalah oksibutinin,
tolterodin, trospium, dan propiverin. Sebagian besar studi yang
dilakukan terhadap oksibutinin menunjukkan hasil memuaskan,
meskipun validitasnya masih rendah karena tidak terdapat kelompok
kontrol. Oksibutinin lebih banyak diberikan secara intra vesika
dibandingkan per oral karena lebih dapat ditolerir. Dosisnya antara 0,3
– 0,6 mg/kgbb perhari terbagi dalam 2 – 3 dosis, yang dapat
ditingkatkan hingga 0,9 mg/kgbb perhari. Angka keberhasilan
pengobatan kombinasi oksibutinin dan CIC cukup tinggi yakni sebesar
90%.
1. Anti kolinergik
Anti kolinergik efektif dalam mengobati inkontenensia karena
bekerja menghambat kontraksi vesikula urinaria volunter dan
memperbaiki fungsi penampungan air kemih oleh vesikula
urinaria. Misalnya Hiosiamin dan Dicyclomine hydroclhoride
2. Anti spasmodik
Golongan obat ini juga digunakan untuk meningkatkan kapasitas
kandung kemih dan efektif mengurangi inkontenensia, dengan
bekerja menghambat spasme otot. Misalnya Oksibutinin dan
Tolterodin
3. Obat Betanekol klorida (Urecholine)
Suatu obat kolinergik yang bekerja pada reseptor muskarinik
(kolonerik) dan dipakai untuk meningkatkan kontraksi detrusor.
Sehingga dapat membantu menstimulasi kontraksi bladder pada
pasien yang mengalami akumulasi urin. Misalnya Betanekol
Klorida

13
4. Botulinium Toxian A (BTX-A) Injection
Disuntikan pada daerah muskulus detrusor yang berfungsi untuk
memblok presinaptik melepaskan asetilokinin dari nervus
parasimpati sehingga akan menyebabkan otot halus pada detrusor
mengalami paralisis sehingga tidak kontraksi. Toksin tersebut
bersifat long acting tetapi denervasi kimianya bersifat reversible.
d. Operasi
Aksesoris buatan seperti sfingter buatan terdiri dari manset yang
sesuai di sekitar leher kandung kemih, balon tekanan yang mengatur,
dan pompa yang mengembang manset. Balon ditempatkan di bawah
otot perut. Pompa ini ditempatkan di labia pada wanita dan dalam
skrotum untuk pria.
Bila masalahnya terletak pada kontraksi otot detrusor lemah dan
kapasitas kandung kemih yang rendah pasca terapi medikamentosa,
maka tindakan pembedahan yang dilakukan adalah menambah
kapasitas kandung kemih dengan sistoplasti. Tindakan tersebut
dilakukan dengan menggunakan usus halus yang kemudian
digabungkan dengan kandung kemih. Syarat dilakukannya tindakan ini
adalah fungsi sfingter harus baik dan uretra yang paten untuk tindakan
kateterisasi.
1. Augmentation Enterocystoplasty
Tujuannya untuk menghasilkan reservoir dengan kapasitas besar
dan good compliance dengan cara melakukan sigmoidocolocystoplast
yang terkadang dikombinasi dengan tindakan ureteral re-impantation.
2. Tissue Engineering Bladder Augmentation
Tindakan ini menggunakan small intestine submuccosa (SIS) dan
terbukti meningkatkan fungsional vesika urinaria
3. Artificial Urinary Sphicter (AUS)
Pasien dengan neurogenic bladder mempunyai resistensi vesika
urinaria yang rendah, dan tindakan AUS memungkinkan terjadinya
spontaneous voiding

14
e. Pemantauan
Pasien kandung kemih neurogenik pada dasarnya membutuhkan
pemantauan jangka panjang terutama pemantauan fungsi ginjal.
Pengawasan ditekankan pada gejala kelainan saluran kemih atas, fungsi
ginjal, dan kandung kemih. Pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan secara
berkala, tes urodinamik perlu diulang setiap tahun. Pemeriksaan
pencitraan dilakukan untuk mendeteksi hidronefrosis atau refluks
vesiko ureter.
f. Managemen medis
1. Terapi manuver valsava pada pemasangan kateter urin yang
intermitten. Seperti manuver crede, produk inkontinensia, alat oklusi
ureter, bladder training (untuk memperbaiki fungsi kandung kemih)
2. Terapi fisik-psikologis. Terapi ini disebut juga dengan berkemih
waktunya, menggabungkan kekuatan kemauan dan latihan. Cara yang
dapat dilakukan yaitu dengan membuat catatan jumlah dan waktu
minum cairan, berapa kali buang air kecil setiap hari, dan apakah pernah
bocor urin harus dituliskan. Catatan ini (voiding diary) dapat membantu
menentukan waktu hari Anda harus dekat kamar mandi, dan saat-saat
harus berusaha untuk buang air kecil. Hal ini akan melatih kontrol
buang air kecil.
3. Terapi listrik-stimulasi. Penggunaan elektroda dan stimulator kecil
ditempatkan di dekat saraf tertentu selama prosedur bedah minor.
Stimulator ditempatkan di bawah kulit dan memberikan impuls listrik
seperti yang disampaikanoleh saraf yang normal. Perangkat ini telah
disetujui oleh US Food and Drug Administration untuk mengobati
inkontinensia dan retensi urin pada klien yang terapi lain gagal.
5. Diet
Menghindari stimulant seperti makanan yang berbumbu pedas,
kuat rempah-rempah (kari, cabai, dan cabai rawit) dan panas
berkontribusi untuk inkontinensia. Buah-buahan yang kaya kalium
dapat memperburuk dorongan inkontinensia seperti anggur dan jeruk.

15
Selain itu coklat yang mengandung kafein harus dihindari karena
memperburuk gejala iritasi kandung kemih. Kafein adalah diuretik
alami, dan memiliki efek rangsang langsung pada otot polos kandung
kemih. Penelitian telah menunjukkan bahwa minum minuman
berkarbonasi, jeruk buah minuman, dan jus asam dapat memperburuk
berkemih iritasi atau mendesak gejala. Konsumsi pemanis buatan juga
telah berteori untuk berkontribusi inkontinensia . Begitu pula asupan
cairan harus yang terkendali sesuai kebutuhan setiap tubuh manusia.

16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pada pengkajian perawat dapat melakukan dua teknik yaitu anamnesa
(wawancara) dan pemeriksaan fisik secara langsung untuk menggali dan
memperoleh data yang akurat, sehingga data tersebut digunakan sebagai acuan
dalam membuat rencana asuhan keperawatan yang tepat.
3.1.1 Anamnesa
Data demografi klien meliputi identitas klien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan terakhir, suku bangsa, agama,
tanggal MRS, dan diagnosa medis klien.
1. Keluhan Utama
Klien dengan Neurogenic Bladder biasanya datang dengan keluhan utama
yaitu sulit untuk berkemih, nyeri, dan cemas dengan keadaannya.
2. Riwayat Penyakat Sekarang
Tanyakan kepada klien mengenai sejak kapan menglami gangguan
berkemihnya serta faktor pencetus kenapa klien mengalami hal tersebut.
Kaji juga tentang status perkemihan klien seperti, frekuensi berkemih, pola
berkemih, kekuatan/ dorongan untuk berkemih, warna dan jumlah output
urin dalam 24 jam, serta penggunaan obat obatan seperti diuretik.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan pada klien, apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, riwayat
pembedahan saluran kemih, infeksi saluran kemih, riwayat Diabetes
Mellitus, Hipertensi dan AIDS, dan apakah pernah dirawat di rumah sakit.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Perawat juga perlu menanyakan apakah penyakit tersebut pernah dialami
oleh anggota keluarga lain. Adakah anggota keluarga yang pernah
mengalami penyakit infeksi saluran kemih lainnya.
5. Pengkajian Gaya Hidup

17
Tanyakan klien tentang pola kebiasaan merokok, penggunaan alkohol,
penggunaan zat narkotika, asupan kafein, dan terpapar zat nefrotoksik.
6. Pengkajian Psikososial
Umumnya klien akan merasa cemas dengan kondisi yang dialaminya serta
malu akan bau urin dan kurangnya kontrol berkemih. Pasien berperspsi
bahwa alternatif satu-satunya adalah kateterisasi urin. Klien juga mungkin
takut akan terjadinya disfungsi seksual.

3.1.2 Pemeriksaan Fisik


a. B1 (Breath)
Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya pada
sistem pernapasan tidak ditemukan kelainan. Kaji sistem pernapasan
apabila klien juga mengeluhkan sesak napas, dan penurunan saturasi
oksigen. Klien biasanya merasa sesak napas karena stress dengan
keadaanya.
b. B2 (Blood)
Pada sistem peredaran darah biasanya juga tidak ditemukan
kelainan. Apabila klien merasa cemas dan takut biasanya terjadi
peningkatan tekanan darah dan jumlah nadi.
b. B3 (Brain)
Kaji tingkat kesadaran klien dengan sistem GCS. GCS : E= 4
V=5 M= 6 Total nilai: 15 (Compos Mentis).
c. B4 (Bladder)
Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya
mengalami perubahan dalam proses berkemih, meliputi frekuensi
berkemih, disuria, enuresis, poliuria, oliguria, dan hematuria.
Periksa kebersihan organ genitourinari eksterna klien, lalu lihat
warna, bau, banyaknya urine, biasanya bau menyengat terjadi karena
aktivitas mikroorganisme dalam kandung kemih serta disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra
pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih

18
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
Lakukan palpasi pada daerah umbilikal, suprapubik, dan pelvis,
dan lihat respons klien apa terasa nyeri, seperti rasa terbakar di urera
luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e. B5 (Bowel)
Periksa bising usus apakah ada peningkatan atau penurunan.
Biasanya terdapat nyeri tekan abdomen pada bagian umbilikan dan
supra pubik, adanya ketidaknormalan perkusi karena distensi abdomen,
dan terjadi ketidaknormalan palpasi pada ginjal apabila terjadi infeksi
pada ginjal.
f. B6 (Bone)
Perawat mengkaji kondisi kulit untuk mengetahui status hidrasi klien,
meliputi turgor kulit dan mukosa mulut. Kaji adanya nyeri otot, kelemahan/
keletihan, serta keterbatasan partisipasi pada latihan.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat diambil untuk mengatasi masalah
keperawatan pada klien dengan neurogenic bladder adalah sebagai berikut:
1. Gangguan Eleminasi Urine (Inkontinensia urine) berhubungan dengan
gangguan impuls eferen penghambatan sekunder ke otak atau disfungsi
sumsum tulang belakang.
2. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
3. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan perubahan pola berkemih.
4. Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan Nocturia.
5. Risiko Infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter urine.

19
3.3 Intervensi Keperawatan

Gangguan Eleminasi Urine (Inkontinensia urine) berhubungan dengan


gangguan impuls eferen penghambatan sekunder ke otak atau disfungsi
sumsum tulang belakang
NOC NIC
1. Kandung kemih klien kosong Urinary retention care
secara penuh 1. Memonitor intake dan output klien
2. Intake cairan klien dalam rentang2. Memonitor penggunaan obat
normal antikolinergik
3. Klien tidak mengalami residu urine3. Memonitor derajat distensi bladder
> 100-200 cc 4. Menstimulasi reflek bladder dengan
4. Balance cairan seimbang kompres dingin pada abdomen
5. Klien tidak mengalami ISK 5. Melakukan katerisasi jika
diperlukan
6. Memonitor tanda dan gejala ISK

Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih


NOC NIC
1. Klien melaporkan bahwa nyeri
1. Mengkaji secara komprehensip
berkurang terhadap nyeri termasuk lokasi,
2. Klien dapat menggunakan teknis karakteristik, durasi, frekuensi,
non farmakologis kualitas, intensitas nyeri dan faktor
3. Ekspresi klien tidak menunjukkan presipitasi
nyeri 2. Mengobservasi reaksi
4. Klien tidak gelisah ketidaknyaman secara nonverbal
3. Menggunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk mengungkapkan
pengalaman nyeri dan penerimaan
klien terhadap respon nyeri

20
4. Mengajarkan cara penggunaan
terapi non farmakologi (distraksi,
guide imagery,relaksasi)
5. Mengontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
ketidaknyamanan klien( suhu
ruangan, cahaya dan suara)
6. Menentukan faktor yang dapat
memperburuk nyeriLakukan
evaluasi dengan klien dan tim
kesehatan lain tentang ukuran
pengontrolan nyeri yang telah
dilakukan

3.4 Evaluasi
1. Klien tidak mengalami gangguan pola eliminasi urine
2. Klien tidak merasakan nyeri karena distensi kandung kemih

21
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Neurogenic Bladder adalah kondisi terputusnya inervasi kandung
kemih yang normal, neurologic bladder diklasifikasikan antara lain lesi diatas
batang otak, lesi sempurna pada suprasacral spinal cord,trauma/ penyakit di
sacral spinal cor, gangguan pd refleks perifer (injury distal ke spinal cord).
Neurogenic Bladder bisa kurang aktif, dimana kandung kemih tidak mampu
berkontraksi dan tidak mampu menjalankan pengosongan kandung kemih
dengan baik; atau menjadi terlalu aktif dan melakukan pengosongan
berdasarkan refleks yang tak terkendali. Pengobatan yang tepat dapat
membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan ginjal.
4.2 Saran
Melalui makalah ini diharapkan mahasiswa keperawatan dapat
memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan baik karena telah
mengetahui penyebabnya serta cara pencegahan maupun pengobatannya
terhadap klien dengan gangguan Neurogenic Bladder.

22
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2009). Nursing Care Plan & Documentation edisi 5.
China: Library of Catloging

Ginsberg, D. 2012. Assessment and Diagnostic Strategies for Neurogenic Bladder.


Journal of Renal and Urology Haymarket Medical Education Part 1.

Hopkins J. Neurogenic bladder. Article of The Johns Hopkins Medicine. 2012.

Shenot,MD.2014. Neurogenic bladder. Article of Merck Manual Home Health


Handbook Neurogenic Bladder

Willacey, Haley (2012) http://patient.info/doctor/neurogenic-bladder. Diakses pada


24 Februari 2018 pukul 07.32

23

Anda mungkin juga menyukai