Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KELOMPOK

XII

MAKALAH TUTORIAL KGD 2

PENYUSUN KELOMPOK 7:

1. MOCHAMAD ZUNAN A (201110420311204) / KETUA


2. DEWI PURNAMASARI (201110420311206)
3. DESTA LIA SYAHELA (201110420311208)
4. NURUL HASANAH (201110420311209)
5. ROHMA YUNI AGUSTIN (201110420311211)
6. NIKA AL VEGA (201110420311216)
7. NOVICARUALLAH IS. A (201110420311233)

BAB I
PENDAHULUAN

1. Penulisan Kasus
 Kasus I

Terjadi kecelakaan mobil dengan mobil. Pertama tabrakan mobil terjadi dari
depan, kemudian terjadi tabrakan susulan dari samping, yang menyebabkan
penumpang di dalamnya (mobil pertama warna merah) mengalami multi fraktur.
Dalam mobil merah, terdapat 3 korban. Korban pertama (duduk di belakang
pengemudi) mengalami benturan hebat di area cervikalnya dan kehilangan
kesadarannya. Korban kedua (di samping pengemudi) saat tabrakan dari depan,
mengalami benturan dari depan ke belakang mengenai kaca mobil dan kursi mobil.
Korban ke- 3 yaitu pengemudi. Saat tabrakan dari depan, korban mengalami benturan
hebat dengan stir mobil, kemudian terpantul ke kursi mobilnya, korban ke-3 menangis
dan berteriak histeris.

Sedangkan di mobil ke- 2 terdapat 3 korban, yaitu seorang bapak, balita dan
bayi. Pupil Bayi mengalami midrasis (meninggal) bapaknya di perkirakan meninggal
dan balita berteriak “dady wake up”..

Beberapa menit kemudian datang seorang pemuda sambil teriak minta tolong
dan menyuruh seseorang untuk menelpon bantuan. Kemudian bantuan datang dan
memberikan pertolongan oksigenasi serta fiksasi area fraktur pada korban ke-3.
Kemudian mengeluarkan balita dari mobil dengan menggendongnya.

 Kasus II

Sedangkan di kasus ke-2 korban dengan perdarahan berat di area femurnya


teriak-teriak minta tolong dengan pola napas yang tersengal-sengal. Kemudian datang
beberapa penolong, salah satu penolong menghentikan perdarahannya dengan
mengikat ikat pinggang sumber perdarahannya, dan sebagian lagi memberikan terapi
oksigen dan menginspeksi thoraksnya.
2. Daftar pertanyaan Kasus
1. Cidera apa saja yang dialami pasien pada kasus 1 dan dua?
2. Apakah ada pengetahuan khusus yang harus dimiliki oleh orang awam untuk
menjadi penolong kecelakaan?
3. Apakah dalam kasus tetap dilakukan triage?
4. Bagaimana memindahkan pasien dengan trauma pada kasus 1?
5. Bagaimana cara menangani pasien dengan trauma?
6. Bagaimana cara penentuan kebutuhan oksigenasi dan macam-macam alat
oksigenasi?
7. BLS CAB aatau ABC?
8. Berapa batas maksimal petugas yang menangani pasien dalam IGD?
9. Bagaimana prinsip kegawat daruratan?
10. Bagaimana seharusnya standart penolong pada kasus 2?
11. Bagaimana dasar Hukum ketika terjadi kesalahan pada pertolongan pertama di
Lapangan?
12. Bagaimana penggolongan prioritas pasien pada kasus?
13. Apa saja peran perawat KGD?
14. Bagaimana komunikasi dan transportasi pada KGD?
15. Alat apa saja dan bagaimana cara mengatasi perdarahan?
16. Bagaimana balut bidai yang benar terhadap pasien dengan fraktur femur?
17. Macam-macam syok dan penanganannya?
18. Kenapa pada kasus 2 perdarahannya di tangani terlebih dahulu dari pada
oksigenasi nya?
19. Apa tindakan pertama yang harus dilakukan ketika pasien pertama datang ke
IGD?
20. Bagaimana peraturan dan UU dalam berkendara?
21. Diagnosa untuk kasus 1 dan 2?
BAB II
PEMBAHASAN Materi

1. Cidera apa saja yang dialami Pasien?


a. Tabrakan depan / Frontal
Benturan frontal adalah tabrakan / benturan dengan benda didepan
kendaraan, yang secara tiba-tiba mengurangi kecepatannya, sehingga secara tiba-
tiba kecepatannya berkurang.
Pada suatu tabrakan frontal dengan penderita tanpa sabuk pengaman,
penderita akan mengalami beberapa fase sebagai berikut :
a) Fase 1
Bagian bawah penderita tergeser kedepan, biasanya lutut akan menghantam
dashboard dengan keras yang menimbulkan bekas benturan pada dashboard
tersebut.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
 Fraktur femur karena menahan beban berlebihan
 Dislokasi sendi panggul karena terdorong kedepan sehingga lepas
dari mangkuknya.
 Dislokasi lutut atau bahkan Patah tulang lutut, karena benturan yang
keras pada dash board.
b) Fase 2
Bagian atas penderita turut tergeser kedepan sehingga thoraks dan atau
abdomen akan menghantam setir.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
 Trauma abdomen sampai terjadinya perdarahan dalam karena
terjadinya perlukaan/ruptur pada organ seperti hati, limpa, lambung
dan usus.
 Trauma thoraks
 Selain itu ancaman terhadap organ dalam rongga dada seperti paru-
paru, jantung, dan aorta.
c) Fase 3
Tubuh penderita akan naik, lalu kepala membentur kaca mobil bagian depan
atau bagian samping.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
 Cedera kepala (berat, sedang, ringan)
 fraktur servikal
d) Fase 4
Setelah wajah membentur kaca, penderita kembali terpental ketempat
duduk. Perlu mendapat perhatian khusus apabila kursi mobil tidak tersedia
head rest karena kepala akan melenting dibagian atas sandaran kursi.
Kondisi akan semakin parah apabila penderita terpental keluar dari
kendaraan.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
 Trauma vertebre (servikal-koksigis) karena proses duduk yang begitu
cepat sehingga menimbulkan beban berlebih pada tulang belakang.
 Fraktur cervical karena tidak ada head rest
 Multiple trauma apabila penderita terpental keluar dari kendaraan
(Thomson dan Dains, 1992)
b. Tabrakan dari belakang (Rear Collition)
Tabrakan dari belakang mempunyai biomekanik tersendiri. Biasanya
tabrakan seperti ini terjadi ketika kendaraan berhenti atau pada kendaraan yang
kecepatannya lebih lambat. Kendaraan tersebut berikut penumpangnya mengalami
percepatan (akselerasi) kedepan oleh perpindahan energi dari benturannya. Badan
penumpang akan terakselerasi kedepan sedangkan kepalanya seringkali tidak
terakselerasi sehingga akan mengakibatkan hiperekstensi leher. Hal ini akan
diperparah apabila sandaran kursi kendaraan tidak memiliki head rest sehingga
struktur penunjang leher mengalami peregangan yang berlebihan dan
menyebabkan terjadinya whiplash injury (gaya pecut). Kemungkinan cedera yang
akan terjadi : Fraktur Servical (Thomson dan Dains, 1992).
c. Tabrakan dari samping (Lateral Collition)
Tabrakan samping seringkali terjadi diperempatan yang tidak memiliki
ramburambu lalulintas. Benturan lateral adalah tabrakan / benturan pada bagian
samping kendaraan, yang mengakselerasi penumpang menjauhi titik benturan.
Benturan seperti ini adalah penyebab kematian kedua setelah benturan frontal . 31
% dari kematian karena tabrakan kendaraan terjadi sebagai akibat dari tabrakan /
benturan lateral. Banyak tipe trauma yang terjadi pada tabrakan lateral sama
dengan yang terjadi pada ttabrakan frontal. Selain itu trauma kompreasi pada tubuh
dan felvis juga sering terjadi. Trauma internal terjadi pada sisi yang sama dimana
lokasi yang tertabrak, seberapa dalam posisi melesaknya kabin penumpang, posisi
penumpang / pengemudi, dan lamanya. Pengemudi yang tertabrak pada posisi
pengemudi kemungkinan terbesar mengalami trauma pada sisi kanan tubuhnya
demikian juga sebaliknya pada penumpang.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
1. Fraktur servical
2. Fraktur iga
3. Trauma pulmo
4. Trauma hati / limpa
5. Trauma pelvis
6. Trauma skeletal (Thomson dan Dains, 1992)

d. Terbalik (Roll Over)


Pada kendaraan yang terbalik, penumpangnya dapat mengenai / terbentur
pada semua bagian dari kompartemen penumpang. Jenis trauma dapat diprediksi
dengan mempelajari titik benturan pada kulit penderita.sebagai hukum yang umum,
dalam kejadian terbaliknya kendaraan maka terjadi beberapa gerakan yang dahsyat,
dapat menyebabkan trauma yang serius. Ini lebih berat bagi penumpang yang tidak
memakai sabuk pengaman. Dalam menangani kasus seperti ini harus lebih berhati-
hati karena semua bagian bisa mengalami cedera baik yang kelihatan atau tidak
kelihatan Kemungkinan cedera yang akan terjadi : Multiple trauma, Waspadai
kemungkinan cedera tulang belakang dan fraktur servikal (Thomson dan Dains,
1992)
e. Terlempar keluar (ejeksi)
Trauma yang dialami penumpang dapat lebih berat bila terlempar keluar
dari kendaraan. Kemungkinan terjadinya trauma meningkat 300 % kalau
penumpang terlempar keluar. Petugas gawat darurat yang memeriksa penderita
yang terlempar keluar harus lebih teliti dalam mencari trauma yang tidak tampak.

Kemungkinan cedera yang akan terjadi :

1. Multiple trauma
2. Trauma kepala
3. Trauma organ dalam
4. Fraktur servikal (Thomson dan Dains, 1992)

2. Pengetahuan yang harus dimiliki oleh orang awam (penolong pertama)


Pengetahuan dasar BLS untuk penolong
Agar menghindari penolong dari bahaya dan BLS dilakukan dengan efektif
serta efisien pada korban, hal dasar yang harus diperhatikan untuk penolong yaitu:
a) Safety check: untuk menghindari bahaya baik penolong maupun korban
b) Evaluation: untuk mengetahui apakah korban masih dapat bernapas spontan
atau dengan palpasi nadi korban
c) Airwaycontrol: untuk mempertahankan dan menjaga jalan napas korban
d) Ventilatory support: untuk menstabilkan ventilasi menggunakan udara dari luar
e) Circulatory support: untuk menstabilkan sirkulasi buatan dengan kompresi
dada

Pendekatan SAFE

a) Bila menemukan korban tidak sadarkan diri, langkah yang harus dilakukan
pertama adalah Shout (berteriak) meminta tolong. BLS dapat dilakukan dengan
efektif bila penolong lebih dari 1 orang, namun penolong dapat melakukan
tindakan lain hingga bantuan datang.
b) Orang yang tidak sadarkan diri berada dimanapun dan kapanpun dengan sebab
yang berbeda. Tindakan penyelamat selanjutnya adalah Approach (mendekat)
ke korban yang tidak sadarkan diri dengan membawa alat bantu
menyelamatkan korban.
c) Perlu di ingat bahwa penolong maupun korban dapat mengalami bahaya, maka
hal yang harus diketahui yaitu Free from danger (bebas dari bahaya) sebelum
melakukan tindakan seperti resusitasi.
d) Yang terakhir, penolong Evaluation (evaluasi) kondisi pasien dengan
pendekatan CAB (circulation, airway and breathing). Tidak semua pasien
membutuhkan bantuan sirkulasi buatan dengan kompresi dada (Greaves,
2010).
3. Apakah dalam Kasus tetap dilakukan Triage?
Klasifikasi Triage:
a) Triage Pre-Hospital
Triage pada musibah massal/bencana dilakukan dengan tujuan bahwa
dengan sumber daya yang minimal dapat menyelamatkan korban sebanyak
mungkin. Pada musibah massal, jumlah korban puluhan atau mungkin ratusan,
dimana penolong sangat belum mencukupi baik sarana maupun penolongnya
sehingga dianjurkan menggunakan teknik START.
Hal pertama yang dapat lakukan pada saat di tempat kejadian bencana
adalah berusaha untuk tenang, lihat sekeliling dan menyeluruh pada lokasi
kejadian. Pengamatan visual memberikan kesan pertama mengenai jenis
musibah, perkiraan jumlah korban, dan beratnya cedera korban. Pengamatan
visual juga memberikan perkiraan mengenai jumlah dan tipe bantuan yang
diperlukan untuk mengatasi situasi yang terjadi. Laporkan secara singkat pada
call center dengan bahasa yang jelas mengenai hasil dari pengkajian, meliputi
hal-hal sebagai berikut.
1) Lokasi kejadian.
2) Tipe insiden yang terjadi.
3) Adanya ancaman atau bahaya yang mungkin terjadi.
4) Perkiraan jumlah pasien.
5) No yang bisa di hubungi.
Metode Simple Triage and Rapid Treatment (START)

Pasien dapat diklasifikasikan menjadi berikut ini.

1) Korban kritis/immediate diberi label merah/kegawatan yang mengancam


nyawa (prioritas 1)
Untuk mendeskripsikan pasien dengan luka parah diperlukan transportasi
segera ke rumah sakit. Kriteria pada pengkajian adalah sebagai berikut.
a. Respirasi >30 x/menit
b. Tidak ada nadi radialis
c. Tidak sadar/penurunan kesadaran
2) Delay/tertunda diberi label kuning/kegawatan yang tidak mengancam nyawa
dalam waktu dekat (prioritas 2)
Untuk mendeskripsikan cedera yang tidak mengancam nyawa dan dapat
menunggu pada periode tertentu untuk penatalaksanaan dan transportasi
dengan kriteria sebagai berikut.
a. Respirasi <30 x/menit
b. Nadi teraba
c. Status mental normal
3) Korban terluka yang masih dapat berjalan diberi label hijau/tidak terdapat
kegawatan/penanganan dapat ditunda (prioritas 3)
Penolong pertama di tempat kejadian akan memberikan instruksi verbal
untuk pergi ke lokasi yang aman dan mengkaji korban dari trauma, serta
mengirim ke rumah sakit.
4) Meninggal diberi label hitam/tidak memerlukan penanganan.

b) Triage in Hospital
Pada unit gawat darurat perawat bertanggung jawab dalam menentukan
prioritas perawatan pada pasien. Keakutan dan jumlah pasien, skill perawat,
ketersediaan peralatan dan sumber daya dapat menentukan seting prioritas.
Thomson dan Dains (1992) mengidentifikasikan tiga tipe yang umum dari
sistem triage yaitu sebagai berikut:T
1) Tipe 1 Traffic Director/Triage non-Nurse.
Petugas yang melakukan triage bukan staf berlisensi seperti asisten
kesehatan. Staf melakukan pengkajian visual secara tepat dan bertanya apa
keluhan utama. Hal ini tidak berdasarkan standar dan tidak ada/sedikit
dokumentasi.
2) Tipe 2 Spot Check Triage/Advanced Triage.
Staf yang berlisensi sebagai perawat atau dokter melakukan
pengkajian cepat termasuk latar belakang dan evaluasi subjektif dan objektif.
Biasanya tiga kategori keakutan pasien digunakan. Meskipun
penampilandari tiap profesional pada triage bervariasi bergantung dari
pengalaman dan kemampuan.
3) Tipe 3 Comprehensive Triage.
Tipe ini merupakan sistem advanced dari triage di mana staf
mendapat pelatihan dan pengalaman triage. Kategori keakutan termasuk 4
atau 5 kategori. Tipe ini juga menulis standar atau protokol untuk proses
triage termasuk tes diagnostik, penatalaksanaan spesifik, dan evaluasi ulang
dari pasien. Dokumentasi juga harus dilakukan.
Sementara itu, berdasarkan Emergency Nurses association (ENA)
sistemtriage terbagi menjadi tiga tipe, yaitu sebagai berikut.
a) Tipe 1
Triage tipe 1 dilaksanakan oleh tenaga non-perawat, tipe ini merupakan
sistem paling dasar. Seorang penyedia layanan kesehatan ditunjuk
menyambut pasien, mencatat keluhan yang sdang dirasakan pasien dan
berdasarkan dari anamnesis ini petugas tersebut membuat keputusan,
apakah pasien sakit atau tidak.
b) Tipe 2
Pada sistem triage tipe 2, triage dilakukan oleh perawat berpengalaman
(Registered Nurse/RN) atau dokter yang bertugas di ruang triage. Pasien
segera dilakukan tindakan pertolongan cepat oleh petugas professional
yang berada di ruang triage. Data subjektif dan objektif terbatas pada
keluhan utama. Berdasarkan hal tersebut pasien diputuskn masuk dalam
tingkatan : gawat darurat, darurat, tau biasa.
c) Tipe 3
Sistem triage tipe 3/triage komprehensif adalah tipe triage yang
memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan sistem triage yang
lain. Sistem triage tipe 3 merupakan proses tiage yang disarankan oleh
ENA dalam praktik keperawatan darurat. Perawat berlisensi yang
bertugas di unit gawat darurat memilah pasien dan menentukan priotitas
perawatan.

Jadi, kesimpulannya pada kasus 1 dan 2 tetap dilakukan trigae


terlebih dahulu untuk menentukan prioritas pasien dan indakan apa yang
akan dilakukan sesuai dengan prioritasnya.

Denah IGD

Laboratorium

tid
ur

Ruang observasi

T
T
T
Ruang
T medica
l

r. lemari
sesu
Ruang OK
sitasi
ruang
surgical
l. T
westa obat ECT SET pmbca T
fel
PO

4. Bagaimana Memindahkan Pasien dengan Trauma pada Kasus 1?


a) dengan teknik moving-lifting
b) metode pemindahan :
 Berdiri dengan kaki yang diberi jarak,kaki utama berkedudukan ke arah
pemindahan .
 Lutut dan pinggul dibengkokkan,pertahankan punggung tegak dan kepala
terangkat .
 Pegang korban sedekat mungkin menggunakan genggaman yang mantap .
 Untuk mengangkat korban,luruskan pinggul dan lutut.untuk menurunkan
korban,bengkokkan pinggul dan lutut .
 Jangan pernah mencoba untuk mengangkat seseorang secara manual
tanpa bantuan kecuali jika dia seorang bayi atau anak kecil (Junaidi,
2010).

5. Bagaimana Cara Menangani Pasien dengan Trauma?


Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan pasien
dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah mempertahankan
jalan nafas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan mengontrol
perdarahan.
Kematian akibat trauma memiliki pola distribusi trimodal.Puncak morbiditas
pertama terjadi dalam hitungan detik atau menit setelah cedera.Kemtian ini di
akibatkan gangguan pada jantung atau pembuluh darah bessar, otak atau saraf
tulang belakang. Puncak kedua kematian terjadi dalam hitungan menit sampai jam
sesudah trauma terjadi. Kematian periode ini terjadi pada umumnya karena memar
intra cranial atau perdarahan yang tidakterkontrolakibatpatahtulangpanggul,
robekanpada organ solid ataubeberapaluka. The trauma nursing core course(TNCC)
and advanced trauma life support (ATLS) menggunakanpendekatanprmarydan
secondary survey. Pendekatan ini berfokus pada pada pencegahan kematian dan
kecacatan pada jam-jam pertama setelah terjadinya trauma. Puncak morbiditas
ketiga terjadi beberapa hari sampai minggu sesudah trauma. Kematian pada periode
ini terjadi karena sepsis, kegagalan beberapa organ dan pernafasan atau komplikasi
lainnya.
Pada pasien anak dan lanjut usia mencerminkan kelompok trauma khusus.
Perawat gawat darurat harus mempertimbangkan perbedaan penting yang meliputi
aspek anatomis, psikologis, perkembangan dan penilaian ketika merawat pasien
anak dan usia lanjut usia tetapi tidak mengubah prioritas perawatan (kartikawati,
2011).

Trauma tulang belakang dan medulla spinalis, caranya :

1. Imobilisasi : pada fase pra rumah sakit biasanya dilakukan imobilisasi sebelum
transfer klien ke UGD. Setiap penderita yang dicurigai trauma tulang belakang
harus dilakukan imobilisasi dibagian atas sampai bawah dari trauma sampai
adanya kemungkinan fraktur dapat ditindaklanjuti dengan pemeriksaan
rontgen. Perhatian harus diberikan jika melakukan tindakan imobilisasi dengan
menggunakan long spine board yang dilakukan terlampau lama, biasanya akan
menyebabkan rasa tak nyaman dan juga decubitus.
Obat-obatan : penderita yang terbukti trauma medulla spinalis akan diberika
metil prednisolone pada 8 jam pertama setelah trauma. Dosis yang diberikan 30
mg/kg dalam 15 menit pertama, diikuti dengan 5,4 mg/kg/jam pada 8 jam
selanjutnya. Pemberian obat steroid masih terjadi perdebatan, sehingga ada yang
memberikan da nada yang tidak (kartikawati, 2011).

Trauma thorax, caranya :

1) Torakosentesis jarum, caranya :


a) Identifikasi thorax yang bermasalah.
b) Beri oksigen tinggi dan ventilasi sesuai kebutuhan.
c) Identifikasi sela iga 2, dilinea midklavikula line disisi thorax yang sakit.
d) Anastesi local jika penderita sadar.
e) Penderita dalam posisi tegak jika fraktur servikal sudah disingkirkan.
2) Insersi chest tube, caranya :
a) Resusitasi cairan dan monitor tanda-tanda vital.
b) Tentukan tempat insersi biasanya setinggi putting.
c) Siapkan pembedahan dan anastesi local.
3) Trauma Musculoskeletal, caranya :
a) Perdarahan besar arterial, caranya :
b) Gunakan tourniquet pneumatic.
c) Jika terjadi fraktur dan luka terbuka yang berdarah aktif harus segera
diluruskan, segera pasang bidai serta balut tekan diatas luka.
d) Dislokasi sendi harus pasang bidai (Hermanto, 2009).

6. Bagaimana cara penentuan kebutuhan oksigenasi dan macam-macam alat


oksigenasi?
Cara menentukan kebutuhan oksigenasi:
Oksigenasi adalah memberikan aliran gas oksigen (O2) lebih dari 21 % pada
tekanan 1 atmosfir sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam tubuh.
Rumus kebutuhan oksigenasi:

𝐵𝐵 𝑥 𝑣𝑡 𝑥 𝑅𝑅
1000

Keterangan: BB : beraat badan


VT: volume tidal (6-8 cc/kg BB)
RR: respiration rate

Macam – macam masker yang digunakan:


1) Nasal kanul Alatnya sederhana dapat memberikan oksigen dengan aliran 2-
4lt/menit dan konsentrasi oksigen sebesar 24%-44%.

2) Simple Mask Aliran oksigen melalui alat ini sekitar 5-7lt/menit dengan
koonsentrasi 40-60%

3) Non rebriting mask:


Memberikan konsentrasi oksigen sampai 99% dengan aliran yang sama pada
kantong rebreathing. Pada prinsipnya, udara inspirasi tidak tercampur dengan
ekspirasi. Indikasi penggunaan adalah pada klien dengan kadar tekanan
karbondioksida yang tinggi (Brenda, 2001).
4) Rebrithing Mask:
Konsentrrasi ooksigen yang di berikan lebih tinggi dari pada sungkup muka
sederhana yaitu 60-80% dengan aliran oksigen 8-12lt/menit. Indikasi
penggunaan adalah pada klien dengan kadar tekanan karbondioksida yang
rendah, udara inspirasi sebagian tercampur dengan udara ekspirasi sehingga
konsentrasi karbondioksida lebih tinggi dari pada sungkup sederhana (Brenda,
2001).

5) BVM atau Bag Valve Mask atau Ambubag


Adalah alat yang digunakan untuk memberikan tekanan pada system
pernapasan pasien yang henti napas atau yang napasnya tidak adekuat. Alat ini
merupakan bagian dari peralatan resusitasi untuk tenaga ahli, seperti pekerja
ambulans. Gas flows 12-15 L (Brenda, 2001).

7. Basic Life Support (BLS)


Menurut AHA 2010

Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi selama lima


tahun terakhir AHA mengeluarkan Panduan RJP 2010. Fokus utama RJP 2010 ini
adalah kualitas kompresi dada. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara
Panduan RJP 2005 dengan RJP 2010.

Bukan lagi ABC, melainkan CAB

1) AHA 2010

“A change in the 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC is to reccomend the initiation
of chest compression before ventilation.”

2) AHA 2005

“The sequence of adult CPR began with opening of the airway, checking for normal
breathing, and then delivering 2 rescue breaths followed by cycles of 30 chest
compressions and 2 breaths.”

Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC:


Airway, Breathing, Ciculation (Chest Compression) yaitu buka jalan nafas, bantuan
pernafasan, dan kompresi dada. Pada saat ini, prioritas utama adalah Circulation
baru setelah itu tatalaksana difokuskan pada Airway dan selanjutnya Breathing.
Satu-satunya pengecualian adalah hanya untuk bayi baru lahir (neonatus), karena
penyebab tersering pada bayi baru lahir yang tidak sadarkan diri dan tidak
bernafas adalah karena masalah jalan nafas (asfiksia). Sedangkan untuk yang
lainnya, termasuk RJP pada bayi, anak, ataupun orang dewasa biasanya adalah
masalah Circulation kecuali bila kita menyaksikan sendiri korban tidak sadarkan
diri karena masalah selain Circulation harus menerima kompresi dada sebelum
kita berpikir memberikan bantuan jalan nafas.
8. Batas maksimal petugas di IGD:
Batas maksimal penolong di UGD
a) Dokter subspisialis.
b) Dokter spisialis.
c) Dokter PPDS.
d) Dokter umum + mempunyai kemampuan kegawatdaruratan.
e) Perawat S1 atau D3 + mempunyai kemampuan kegawatdaruratan (Menkes, 2009).

Klasifikasi pelayanan Unit Gawat Darurat

1. UGD kelas IV
 Dokter spesialis on call
 Dokter spesialis on site 24 jam
 Dokter umum on site 24 jam dengan kualifikasi GELS (General Emergency
Life Support) mampu melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien
 Perawat sesuai rasio dengan kualifikasi PPGD
 Memiliki alat transportasi 24 jam dan komunikasi untuk rujukan
2. UGD kelas III
 Dokter spesialis 4 besar (Dalam, Bedah, Anak, Kebidanan) on site 24 jam
 Dokter umum on site 24 jam dengan kualifikasi GELS (General Emergency
Life Support) mampu melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien
 Perawat sesuai rasio dengan kualifikasi PPGD
 Memiliki alat transportasi 24 jam dan komunikasi untuk rujukan
3. UGD kelas II
 Dokter spesialis 4 besar (Dalam, Bedah, Anak, Kebidanan) on call 24 jam
 Dokter umum on site 24 jam dengan kualifikasi GELS (General Emergency
Life Support) mampu melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien
 Perawat sesuai rasio dengan kualifikasi PPGD
 Memiliki alat transportasi 24 jam dan komunikasi untuk rujukan
4. UGD kelas I
 Dokter umum on site 24 jam dengan kualifikasi GELS (General Emergency
Life Support) mampu melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien
 Perawat sesuai rasio dengan kualifikasi PPGD
 Memiliki alat transportasi 24 jam dan komunikasi untuk rujukan
(Kartikaqati, 2013).

9. Bagaimana Prinsip Kegawat Daruratan?


a) Gawat darurat (emergency triage), Klien yang tiba – tiba dalam keadaan gawat
atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anngota badannya (akan
menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya. Kategori yang
termasuk di dalamnya yaitu kondisi yang timbul berhadapan dengan keadaan
yang dapat segera mengancam kehidupan atau beresiko kecacatan. Misalnya,
klien dengan nyeri dada substernal, nafas pendek, dan diaphoresis di triage
segera kedalam ruangan treatment dan klien injuri trauma kritis atau seseorang
dengan pendarahan aktif.

b) Gawat tidak darurat (urgent triage), klien berada dalam keadaan gawat tetapi
memerlukan tindakan darurat misalnya kanker rahim stadium lanjut. Kategori
yang mengindikasikan bahwa klien harus dilakukan tindakan segera, tetapi
keadaan yang mengancam kehidupan tidak muncul saat itu. Misalnya klien
dengan searangan baru pneumonia (sepanjang gagal nafas tidak mucul segera),
nyeri abdomen, kolik ginjal, leserasi kompleks tanpa adanya perdarahan mayor,
dislokasi, riwayat kejang sebelum tiba dan suhu lebih dari 37O.

c) Darurat tidak gawat (non urgent triage), klien akibat musibah yang datang tiba –
tiba, tetapi tidak mengancam nyawa dan anggota badannya, misalanya luka
sayat dangkal. Secara umum dapat ditoleransi menunggu beberapa jam untuk
layanan kesehatan tanpa sesuatu resiko signifikan terhadap kemunduran klinis
(Krisanty, 2009).

10. Bagaimana seharusnya standart penolong pada kasus 2?


Standart penolong padaa kasus 2:
Penolong pertama dapat melindungi diri dan orang lain terhadap penyakit dengan mengikuti
langkah berikut:
 Gunakan PPE (personal protective equipment) yang sesui seperti sarung
tangan. Jika tidak ada tempatkan kantok plastic atau gunakan bahan tahan
air untuk perlindungan
 .Jika anda telah memperoleh pelatihan tentang prosedur yang tepat, gunakan
barrier absorben untuk merendam darah atau bahan infeksius lainnya
 Bersihkan area tumpahan dengan larutan desinfektan yang sesuai.
 Buah bahan-bahan yang terkontaminasi dalma wadah pembuangan yang
tepat.
 Cuci tangan anda dengan sabun dan air setelah memberikan pertolongan.
 Jika pajanan terjadi di tempat kerja, laporkan kejadian tersebut pada
pengawas anda. Kalau tidak hubungi dokter anda
Alat Pelindung Diri yang umum digunakan oleh tenaga kesehatan diantaranya:

a) Penutup muka atau goggle

b) Penutup rambut (cap)

c) Masker
d) Jubah khusus

e) Apron plastik yang dapat dicuci ulang

f) Sarung tangan tebal dan panjang


g) Sepatu boot yang tahan air

Sebagai orang awam, APD yng bisa digunakan diantaranya :

a) Masker
b) Sarung tangan
c) Sepatu boot yang tahan air
d) Perlindungan Tangan : Jenis sarung tangan biasanya terbuat dari bahan
karet, kulit dan pengisolasi (asbestos) untuk temperatur tinggi. Jenis karet
yang digunakan pada sarung tangan, diantaranya adalah karet butil atau
alam, neoprene, nitril, dan PVC (Polivinil klorida).
e) Jenis-Jenis Safety Glove antara lain : Sarung Tangan Metak Mesh, Sarung
metal mesh tahan terhadap ujung yang lancip dan menjaga terpotong,
Sarung tangan Kulit, Sarung tangan yang terbuat dari kulit ini akan
Melindungi tangan dari permukaan kasar, Sarung tangan Vinyl dan
neoprene Melindungi tangan terhadap bahan kimia beracun, Sarung
tangan Padded Cloth Melindungi tangan dari ujung yang tajam, pecahan
gelas, kotoran dan Vibrasi, Sarung tangan Heat resistant Mencegah terkena
panas dan api, Sarung tangan karet Melindungi saat bekerja disekitar arus
listrik karena karet merupakan isolator (bukan penghantar listrik), Sarung
tangan Latex disposable Melindungi tangan dari Germ dan bakteri, sarung
tangan ini hanya untuk sekali pakai,Sarung tangan lead lined Digunakan
untuk melindungi tangan dari sumber radiasi (Menkes, 2009)

11. Dasar Hukum dalam KGD:


1) Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed
consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana
harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak
didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat
diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus
disimpan dalam berkas rekam medis.
2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas
Kesehatan DKI Nomor 3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan
Pencatatan dan Pelaporan kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di
wilayah DKI Jakarta yang telah disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah
ditetapkan bahwa semua peristiwa kematian rudapaksa dan yang dicurigai
rudapaksa dianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan kepada pihak
kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo
untuk dilakukan visum et repertum (Pusponegoro, 1992)

a) Konsep/program PBB/WHO
b) UU Kesehatan Np. 23/1992
c) UU Kepolisian Negara RI No. 2/2002
d) UU Penanggulangan Bencana No. 24/2007
e) Peraturan Ka. BNPB No. 3/2008
f) Perda Penanggulangan Bencana No. 5/2007
g) Charitable immunity & Medical Necessity
h) dll.
12. Penggolongan Prioritas Pasien dalam Kasus:
1) Prioritas Pertama (MERAH) : Pasien dengan gangguan airway, breathing dan
circulation
2) Prioritas Sedang (KUNING) : Tanpa gangguan airway breathing tetapi dapat
memburuk perlahan. Contoh: patah tulang paha
3) Prioritas Rendah (HIJAU) : Luka ringan atau histeris
4) Bukan Prioritas (HITAM) : Pasien Meninggal

Klasifikasi Triage:
Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penangan dan
pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul. Beberapa hyang
mendasari pasien dalam system triage adalah kondisi klien meliputi:
1) Gawat, adalah keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
2) Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan
penanganan yang cepat dan tepat seperti kegawatan.
3) Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa yang disebabkan
oleh gangguan ABC (Airway/ jalan napas, Breathing/ pernapasan, Circulation/
sirkulasi) jika ditolong segera maka akaan meninggal atau akan mengalami
kecacatan (Wijaya, 2010).

13. Peran Perawat KGD:


1) Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik).
2) Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
3) Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang
mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan).
4) Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara
menyeluruh. Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika ada
ortopnea), lindungi korban dari kedinginan.
5) Jika korban sadar, jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk
menenangkan dan yakinkan akan ditolong.
6) Hindari mengangkat/memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika hanya
ada kondisi yang membahayakan.
7) Jangan diberi minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan kemungkinan
tindakan anastesi umum dalam waktu dekat.
8) Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai
dilakukan dan terdapat alat transportasi yang memadai (Menkes, 2009).
14. Tugas dan Fungsi IGD:

Memberikan pelayanan kesehatan pasien gawat darurat selama 24 jam secara terus
menerus dan kesinambungan:

1) Mengelola pelayanan Gadar


2) Melakukan pelayanan siaga bencana
3) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan gadar
4) Mengelola fasilitas, peralatan dan obat-obatan life saving
5) Mengelola tenaga medis, keperawatan dan non medis
6) Mengelola administrasi dan keuangan UGD
7) Melaksanakan pengendalian mutu pelayanan gadar
8) Melakukan koordinasi dengan unit/RS lain.

15. Komunikasi dan Transportasi dalam KGD:


Komunikasi
Tujuan :
 Memudahkan minta pertolongan
 Mengatur, membimbing pertolongan medis di tempat kejadian dan selama
perjalanan ke RS
 Mengkoordinir pada musibah missal.

Jenis : telepon., faximile, teleks, radio komunikasi (HT), komputer (internet)

1) Dalam komunikasi hubungan yang dapat diperlukan adalah :


- pusatkomunikasi ambulance gawat darurat ( contoh : 118, pro-
emergency,dll)
- pusat komunikasi kerumah sakit
- pusat komunikasi kepolisi (contoh : 110)
- pusat komunikasi kepemadam kebarakan (contoh: 113)
2) Untuk komunikasi fasilitas pager, radio, telepon, telepon genggam
3) Tugas komunikasi adalah :
- Menerima permintaan tolong
- mengirim ambulance terdeket
- mengatur dan memonitor rujukan penderita gawat darurat
- memonitor kesiapan rumah sakit yaitu terutam unit gawat darurat dan ICU
(Krisanty. 2009)

Transportasi

Memindahkan pasien dari tempat kejadian/mendekatkan ke fasilitas kesehatan.


Prinsip :

 jangan memperberat KU pasien


 bila KU sudah stabil
ke tempat yang terdekat dan tepat

Sarana : Darat, Laut, Udara  tradisional/modern

16. Alat dan cara mengatasi Perdarahan:

Cara menghentikan perdarahan, yaitu dengan mempergunakan bahan


lembut apa saja yang dimiliki saat itu seperti sapu tangan atau kain yang bersih.
Lalu tekankan pada bagian tubuh yang mengalami perdarahan yang kuat . kemudian
ikatlah sapu angan tadi dengan dasi, baju, ikat pinggang,atau apapun juga agar sapu
tangan tadi tetap menekan luka sumber perdarahan.

Letakkan bagian perdarahan lebih tinggi dari bagian tubuh lainnya, kecuali kalau
keadaannya tidak memungkinkan . jika tangan atau kaki si orban hancur sehingga
tidak dapat menggunakan kain atau verban maka digunakan penekan khusus /
torniket (Junaidi, 2010).
Alat dan tindakan pertolongan:
a) Penekanan di Tempat Sumber Perdarahan
Cara pertolongan ini adalah yang terbaik untuk perdarahan arteri pada
umumnya. Caranya ialah dengan mempergunakan setumpuk kassa steril (atau
kain bersih biasa) dan tekankan pada tempat perdarahan tekanan itu harus
dipertahankan terus sampai perdarahan berhenti atau sampai pertolongan yang
lebih baik diberikan. Kasa boleh dilepas jika sudah terlalu basah oleh darah dan
perlu diganti dengan yang baru. Kemudian kasa baru ditekankan kembali sampai
perdarahan berhenti, setelah itu kasanya ditutup dengan balutan yang menekan
dan korban dibawa ke rumah sakit.
Selama dalam perjalanan, bagian yang mengalami peerdarahan diangkat
lebih tinggi dari letak jantung. Setelah itu perhatikan pula tanda-tanda shock dan
pastikan bahwa perdarahannya betul-betul sudah berhenti. Korban diminta
tetap tenang karena kegelisahan dapat menyebabkan perdarahan terjadi
keembali.
b) Penekanan dengan Torniket
Torniket adalah balutan yang menekan sehingga aliran darah dibawahnya
berhenti mengalir. Selembar pita kain yang lebar, pembalut segitiga yang dilipat-
lipat atau sepotong karet ban sepeda dapat digunakan untuk keperluan
ini.tempat yang terbaik untuk memasang torniket adalah lima jari dibawah
ketiak (jika perdarahan di lengan) dan lima jari di bawah lipat paha (untuk
perdarahan di kaki).
c) Penekanan pada tempat-tempat tertentu
Tempat-tempat yang ditekan alah pangkal arteri yang terluka. Jadi tujuan
penekanan ini ialah untuk menghentikan aliran darah yang menuju ke
pembuluh arteri yang robek (Junaidi, 2010).

17. Balut Bidai pada Fraktur Femur:


Bidai di pasang memanjang dari pinggul hingga ke kaki. Harus dipastikan
bidai telah terpasang sebelum korban dipindahkan atau diusung ke tempat lain

Pedoman umum pembidaian

Membidai dengan bidai jadi ataupun improvisasi, haruslah tetap mengikuti


pedoman umum sebagai berikut:
1) Sedapat mungkin beritahukan rencana tindakan kepada penderita.
Sebelum membidai paparkan seluruh bagian yang cedera dan area
perdarahan bila ada.
2) Selalu buka atau bebaskan pakaian pada daerah sendi sebelum membidai,
buka perhiasan di daerah patah atau di bagian distalnya.
3) Nilai gerakan & sensasi & sirkulasi GSS pada bagian distal cedera sebelum
melakukan pembidaian.
4) Siapkan alat-alat selengkapnyjangan berupaya merubah posisi bagian
yang cedera.
5) Upayakan membidai dalam posisi ketika ditemukan. Jangan berusaha
memasukkan bagian tulang yang patah.
6) Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum dipasang
diukur lebih dulu pada anggota badan penderita yang sehat.
7) Bila cedera terjadi pada sendi, bidai kedua tulang yang menga pit sendi

tersebut. Upayakan juga membidai sendi distalnya. Lapisi bidai dengan bahan

yang lunak, bila memungkinkan. Isilah bagian yang kosong antara tubuh dengan
bidai dengan bahan pelapis.
8) Ikatan jangan terlalu keras dan jangan longgar. Ikatan harus cukup
jumlahnya, dimulai dari sendi yang banyak bergerak, kemudian sendi atas dari
tulang yang patah. Selesai dilakukan pembidaian, dilakukan pemeriksaan GSS
kembali, bandingkan dengan pemeriksaan GSS yang pertama. Jangan
membidai berlebihan (Junaidi, 2010).

18. Macam-macam Shock dan penanganannya:


Macam-macam Shock
1) Syok hipovolemik merupakan syok yang disebabkan oleh hilangnya
cairan/plasma (luka bakar, gagal ginjal, diare, muntah), kehilangan darah
(cedera parah, pasca operasi).
2) Syok anafilaktik merupakan syok yang disebabkan oleh pajanan zat allergen
sehingga memicu reaksi elergi yang akhirnya diikuti oleh vasodilatasi pembuluh
darah massif.
3) Syok neurogenik, merupakan syok yang disebabkan kegagalan pusat vasomotor
yang ditandai dengan hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di
seluruh tubuh sehingga terjadi penurunan tekanan darah secara massif.
4) Syok sepsis,merupakan sindroma klinik ketidakadekuatan perfusi jaringan
akibat terjadinya sepsis.
5) Syok kardiogenik,merupakan syok yang disebabkan kegagalan jantung yang
ditandai dengan menurunnya kardiak out put sehingga mengakibatkan
ketidakadekuatan volume intravascular.

Penanganan Shock secara Umum:

1) Segera baringkan panderita, dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
menaikan aliran balik vena. Usaha ini bertujuan untuk memperbaiki curah
jantung dan menaikan tekanan darah

2) Penilaian ABC sebagai tahapan dari resusitasi jantung paru

3) Menghilangkan atau mengasi penyebab syok

Penanganan Shok secara Khusus:


1) Vasopressor, Pemberian obat-obatan ini adalah setelah koreksi cairan dan
ventilasi. Bila terjadi bradikardi, berikan terlebih dahulu isoproterenol untuk
meningkatkan O2 miokard, sehingga dapat mencegah meluasnya infark
miokard.

2) Vasodilator, Obat-obatan ini terutama untuk syok kardiogenik dimana jantung


mengalami kelemahan. Nitrogliserin digunakan dengan tujuan untuk
mengurangi preload sehingga menurunkan beban jantung.

3) Inotropik, Obat ini digunakan terutama pada pasien syok kardiogenik dengan
tujuan untuk menurunkan aktivitas jantung yang berlebih, sehingga
menurunkan kebutuhan oksigen miokard (Hudak & Gallo, 1994).

19. Kenapa Perdarahan ditangani Terlebih dahulu daripada Oksigenasi pada


Kasus 2?
Darah yang keluar dari pembuluh-pembuluh darah besar sangat berbahaya dan
dapat menyebabkan kematian hanya dalam waktu 3-5 menit. Itu sebabnya
perdarahan harus segera di ketahui dan segera dihentikan (Junaidi, 2010).
Selain itu, Fungsi hemoglobin yang paling utama adalah mengikat oksigen.
Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan
tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk
dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan sebagai reservoir oksigen: menerima,
menyimpan dan melepas oksigen di dalam sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80%
besi tubuh berada di dalam hemoglobin (Sunita, 2001).

Menurut Depkes RI adapun fungsi hemoglobin antara lain:

1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-


jaringan tubuh.
2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-
jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.
3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil
metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah
seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan
pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal
berarti kekurangan darah yang disebut anemia (Widayanti, 2008).

Jika terjadi perdarahan hebat dan jika tidak segera di hentikan, Hemoglobin
dalam darah tidak dapat menjalankan fungsinya.

20. Apa tindakan Pertama yang Harus dilakukan ketika Pasien pertama datang ke
IGD?
21. UU Keselamatan dalam Berkendara:
UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009
 Kenakan Helm Standar Nasional Indonesia (SNI)
Pasal 57 Ayat (2) dan Pasal 106 Ayat (8) memberlakukan untuk menggunakan
Helm SNI (bukan helm catok). Untuk pengendara ataupun bagi penumpang
yang dibonceng diwajibkan mengenakan helm SNI.
 UU Lalu Lintas No 22 Tahun 2009, dalam Pasal 57 Ayat (3) mensyaratkan,
perlengkapan sekurang-kurangnya adalah sabuk keselamatan, ban cadangan,
segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, helm, dan rompi pemantul
cahaya bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat/lebih yang tak
memiliki rumah-rumah dan perlengkapan P3K.
 STNK
Setiap bepergian, jangan lupa pastikan surat tanda nomor kendaraan bermotor
sudah Anda bawa. Kalau kendaraan baru, jangan lupa membawa surat tanda
coba kendaraan bermotor yang ditetapkan Polri.

Beberapa hal yang perlu di perhatiakan dalam berkendar amobil ialah:

 Memeriksa mesin, rem, kemudi, dna ban sebelum berangkat.


 Menjaga kebersihan kaca-kaca mobil
 Memasang sit-belt sebelum mobil di jalankan.
 Kecepatan mobil sesuaikan dengan keadaan jalan dan lalu lintas
 Jagan mengemudi mobil sewaktu sakit, lelah, sehabis makan obat tidur,
antihistamin, penenang atau minuman keras.
 Jangan menggunakan obat perangsang untuk mengurangi rasa lelah.
 Usahakan tidak merokok sewaktu mengemudikan mobil.
 Berikan tanda-tanda sebelum berhenti, berbelok, atau hendak menyalip
kendaraan lain. Sekali-kali tengoklah lalu lintas di belakang melalui kacaspion.
(sumber pustaka).
22. Askep

NO ANALISA DATA ETIOLOGI MASALAH DIAGNOSA KEPERAWATAN


KEPERAWATAN
1 Agens cidera Nyeri akut Nyeri akut b/d agens cidera
DS :

DO :
- Menangis
- Meringis
kesakitan
- Berteriak
- Multi
Fraktur
- Perdarahan

2 Hipovolemia Resiko syok Resiko syok b/d


DS : Hipovolemia
-
DO :
- Perdarahan
di area
Femur
- Sesak

3 DS: Nyeri Hambatan Mobilitas Hambatan mobilitas


DO: Fisik fisik b/d nyeri
-Multi fraktur
- Menangis
- Pasien
Melindungi are
nyeri
- perdarahan

No. Diagnosa Keperawatan NOC NIC


1 Nyeri akut b/d agens cidera Setelah dilakukan tindakan selama PAIN MANAGEMENT (1400)
1x24 jam diharapkan klien dapat 1. Observasi reaksi nonverbal dari
mengontrol nyeri, dengan criteria ketidaknyaman
hasil : 2. Kaji nyeri secara komprehensif
1. Mengenal gejala nyeri meliputi (lokasi, karakteristik,
(5) dan onset, durasi,frekuensi,
2. Mengenali onset (lama kualitas, intesitas nyeri )
sakitnya) 3. Kaji skala nyeri
(5) 4. Gunakan komunikasi terapeutik
3. Menggunakan metode non- agar klien dapat
analgetik mengekspresikan nyeri
(5) 5. Kaji factor yang dapat
4. Menggambarkan factor menyebabkan nyeri timbul
penyebab 6. Ajarkan pada pasien untuk cukup
(5) istirahat
5. Menggunakan tindakan 7. Kontrol lingkungan yang dapat
pencegahan mempengaruhi nyeri
(5) 8. Monitor TTV
6. Menggunakan terapi analgesic 9. Ajarkan tentang teknik non
sesuai kebutuhan farmakologis (relaksasi) untuk
(5) mengurangi nyeri
7. Melaporkan gejala pada 10. Jelaskan factor – factor yang
petugas kesehatan dapat mempengaruhi nyeri
(5) 11. Kolaborasi dengan dokter dalam
8. Mencari bantuan tenaga pemberian obat
kesehatan
(5)
9. Melaporkan nyeri yang sudah
terkontrol
(5)

2 Resiko syok b/d Setelah dilakukan tindakan selama Hypovolemia management:


Hipovolemia 1x24 jam diharapkan klien:
1. Penurunan tekanan nadi 1. Memantau status
(5) hemodynamic termasuk HR,
2. Penurunan tekanan darah BP, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO,
systolic and CL, jika tersedia
(5) 2. Monitor dehidrasi (turgor
3. Penurunan tekanan darah kulit, membrane mukosa,
dystolic penurunan urin output)
(5) 3. Pertahankan kepatenan IV
4. RR dbn access
(5) 4. Pemberian produk darah
5. CRT dbn untuk meningkatkan tekanan
(5) plasma dan mengganti volume
6. Tidak ada nyeri dada darah.
(5) 5. Monitor reaksi transfuse
3 Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan selama BED REST CARE (0740)
1x24 jam diharapkan pasiendapat 1. Menjelaskan alasan mengapa
b/d nyeri
melakukan gerakan secara mandiri pasien membutuhkan istirahat
ditandai dengan: 2. Meletakkan tempat tidur yang
1. Keseimbangan
sesuai
1 2 3 4 (5)
3. Memposisikan tubuh pasien
2. Koordinasi tubuh
dengan nyaman
1 2 3 4 (5)
4. Menjaga linen tempat tidur tetap
3. Pergerakan otot
kering dan bersih
1 2 3 4 (5)
5. Memakai alat bantu untuk
4. Berjalan
melinfungi keselamatan pasien
1 2 3 4 (5)
6. Memutar posisi membantu
5. Bergerak dengan nyaman
mobilisasi pasien setiap 2 jam
1 2 3 4 (5) 7. Memonitor kondisi kulit
8. Mengajari latihan saat di tempat
tidur
9. Melakukan latihan ROM dan
PROM

EXERCISE THERAPY: AMBULATION


(1400)
1. Membantu pasien untuk memakai
alas kaki
2. Melakukan kolaborasi dengan
fisioterapis untuk membuat
rencana tindakan
3. Memberikan alat bantu untuk
ambulasi, jika pasien belum siap
4. Menyuruh pasien/pemberi
asuhan tentang teknik ambulasi
yang aman
5. Memonitor pasien saat
menggunakan alat bantu
Mendorong pasien melakukan
ambulasi secara mandiri
Daftar Pustaka

Brunner dan Suddart. “Keperawatan Medical Bedah”. 2000. Jakarta : EGC

Edy Hermanto. “Penanggulangan Penderita Gawat Darurat”. 2009

STANDAR INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) RUMAH SAKIT, Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009

Pusponegoro AD. “Perbedaan Pengelolaan Kasus Gawat Darurat Pra Rumah Sakit dan Di
Rumah Sakit. 1992. Bandung: PKGDI

Krisanty paula, dkk. Asuhan keperawatan gawat darurat. Jakarta : trans info media 2009

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-vickynurpr-5195-3-bab2.pdf

karti kawati.N. ,Dewi. 2011. buku ajar dasar-dasar keperawatan gawat darurat. Jakarta :
salemba medika

Kartikaqati N, Dewi. 2013. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:
Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai