Anda di halaman 1dari 8

Pengelolaan Anestesi pada Intubasi Sulit di Populasi

Pediatrik ketika Laringoskop Direk Gagal atau tidak


Memungkinkan

Kata kunci

Penelitian ini dilaksanakan lebih dari 12 bulan dengan berbagai macam teknik yang dilakukan
oleh sekelompok pediatrik anestesi berpengalaman dalam skenario airway yang sulit, meskipun
ketersediaan alat-alat baru seperti videolaringoskop, intubasi optik fiber masih menjadi teknik
pilihan yang sering digunakan dalam pengelolaan management airway.

Abstrak

Latar belakang

Informasi terkait tingkat kesulitan bernafas pada populasi pediatrik sangat kurang, tetapi
ketersediaan data yang disarankan bertambah pada orang muda dan memiliki kongenital atau
keadaan abnormalitas airway yang didapat. Meskipun alat-alat yang lebih baru seperti video
laringoskop telah dikembangkan, intubasi fiber optik kemungkinan masih menjadi teknik gold
standar pada management kesulitas bernapas pada pediatrik.

Objektif

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan teknik management pernapasan apa yang
dilakukan pada situasi kesulitas bernapas oleh sekelompok konsultan anestesi berpengalaman
pada sebuah pediatrik center.

Metodologi

Selama 12 bulan dari september 2011 sampai agustus 2012 konsultan anestesi dirumah sakit
anak birmingham telah menyelesaikan sebuah pro-forma untuk semua anestesi yang dimana
intubasi trakea sulit dilakukan. Catatan pasien juga dipelajari untuk menerima semua data yang
memungkinkan.

Hasil

60 kasus dari intubasi sulit telah dianalisa. 90% dari kasus tersebut diprediksi intubasi sulit, dan
62% sudah ditemukan sebelumnya memiliki intubasi sulit. 58% kondisi medis yang dikaitkan
dengan itubasi sulit dan 60% berusia dibawah 6 tahun. Fiber optik intubasi adalah pilihan
pertama teknik tatalaksana dalam 70% kasus ; 90,6% dari nasal FOI dan 66,7% dari oral FOI
telah berhasil. Glidescope videolaringoskop dan teknik airtraq memilki 77,8% dan 44,4% tingkat
keberhasilan. 12 kasus memerlukan 2 teknik penanganan tatalaksana yang berbeda, dan dalam 1
kasus progresi pada teknik ke 3 sangat diperlukan.

Kesimpulan

Tidak ada teknik intubasi yang 100% berhasil. Selagi ketersediaan peralatan yang lebih baru
berguna, FOI kemungkinan masih menjadi metode paling baik selama kesulitan bernapas pada
pediatrik.

Kata kunci

Pediatrik, sulit bernapas, intubasi, FOI, videolaringoskop

Latar belakang

Tidak ada satu definisi yang jelas tentang apa yang mendasari keberadaan dari kesulitan
bernapas. The American Society of Anestesiologist menjelaskan dificult airway sebagai “ situasi
klinik yang dimana seorang anestesiologi berpengalaman mengalami kesulitan dalam ventilasi
Face mask, intubasi trakea, atau keduanya”. (1). Sebuah intubasi trakea yang sulit telah diartikan
sebagai sebuah situasi ketika “seorang anestesiologi terlatih normalnya membutuhkan lebih dari
3x percobaan, atau lebih dari 10 menit untuk berhasil melakukan intubasi endotrakeal.” (2)
insiden dari kesulitas bernapas pada populasi dewasa telah ditemukan, tetai informasi terkait
tingkat kesulitan bernapas pada anak-anak kurang tersedia. Sedikit penelitian yang telah mencari
secara spesifik pada kesulitan intubasi pada populasi pediatrik, seperti yang diartikan oleh
seorang Cormack-Lehane (CL) tingkatan 3 atau 4, telah menemukan tingkt dari 0,58 sampai 3%
(3,4,5). National Audit Project 4 (NAP 4) termasuk 13 kasus pediatrik mewakili 7% dari semua
kasus yang telah dilaporkan, dan 8,3 % dari kasus anestesi yang berhubungan (6) meskipun
jumlah nilai yang disorot relatif kecil; intubasi sulit dihubungkan dengan kongenital atau
abnormal yang didapat. Dalam 6 kasus, dan dalam 9 kasus pada anak-anak dibawah umur 4
tahun. Pedoman mengenai manegement sulit bernapas pada dewasa telah dihasilkan oleh
Difficult Airway Society (DAS) selama beberapa tahun, (7). Dan pada 2012 di Assosiation of
Pediatric Anaesthetists (APA) dengan bantuan DAS,menghasilkan pedoman untuk management
kesulitas bernapas pada pediatrik (8). FOI telah dideskripsikan sebagai sebuah teknik yang
berguna pada anestesi pediatri, (9) Dan kemungkinan sisa-sisa dari pendekatan biasa dalam
kesulitas bernapas. Alat-alat yang lebih baru, seperti videolaringoskop, juga telah berhasil
digunakan pada sulit bernapas (10,11,12,13). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan
teknik manegement teknik pernapasan apa yang digunakan pada situasi sulit bernapas, oleh
sekelompok konsultan anestesi berpengalaman, pada sebuah pediatrik center besar.

Metodologi

Rumah sakit anak Birmingham adalah sebuah rumah sakit pediatri besar yang menawarkan
semua layanan pembedahan mayor, dan melakukan 12.000- 15.000 prosedur bedah pertahun;
analisa dari database menyatakan sekitar 40-45% akan diintubasi. Selama periode 12 bulan,
dimulai dari september 2011, konsultan anestesi di RSAB menyelesaikan sebuah pro-forma
diikuti semua anestetik yang intubasi trakea sulit. Informasi yang dikupulkan termasuk;
demografik pasien, diagnosa airway, teknik anestesi, dan strategi manegement pernapasan
dikerjakan; dan alasan-alasan untuk percobaan intubasi yang gagal. Untuk tujuan penelitian ini
DI telah diartikan sebagai sebuah percobaan yang gagal pada laringoskop direct dan intubasi,
menyebabkan sebuah perubahan pada manegement teknik pernapasan, atau sebuha situasi
dimana direct laringoskop tidak dilakukan akibat keterbatasan mulut yang terbuka, Hal itu
mengarah kepada strategi manegement pernapasan alternatif. Teknik tatalaksana 1 adalah
metode intubasi yang digunakan setelah DI terindetifikasi, teknik tatalaksana 2 dan 3 digunakan
ketika metode sebelumnya gagal.

Kesimpulan

Ada 61 kasus DI dilaporkan, yang mana 1 kasus dikeluarkan akibat dokumentasi yang tidak
lengkap. 60 DI terdiri dari 39 pasien yang berbeda, dengan beberapa diantaranya melakukan
operasi dalam periode penelitian.

preoperatif

kasus tersebut diklasifikasikan sesuai kelompok umur dan berat badan rata-rata perkelompok
dihitung (median, IQR) ( lihat tabel 1). 90% kasus memerlukan intubasi untuk operasi bedah,
dengan 30% menjalani ENT? Maxillofacial prosedur, dan 10% diintubasi pada PICU. 90% dari
kasus tersebut sulit intubasi telah di antisipasi, dengan 62% memiliki riwayat DI sebelumnya.
57% dilakukan diagnosa mallampati, dengan peningkatan rasio dalam anak-anak lebih tua.
Semua pasien menjalani semua bentuk diagnosa pernapasan. Tabel 2 menyimpulkan
indentifikasi utama, yang sering ditemukan adalah mikrognatia (50%) dan TMJ ankilosi (21,7%).
58% (N=35) mengalami sebuah sindrom medis dikenal berkaitan dengan management Dificult
airway (DA). 35 kasus tersebut terdiri dari 23 jenis pasien 9 diantaranya telah melakukan operasi
secara berulang selama periode penelitian.
Intraoperatif

Gambar 1 mengilustrasikan teknik induksi dan permuaan management airway pada 60 kasus,
dan gambar 2 menyimpulkan managemnt tatalaksana intubasi.

Tabel 3 dan 4 memberikan rincian dari alat-alat yang berbeda yang digunakan pada teknik
tatalaksana 1 dan 2, penglihatan intubasi didapat, beberapa percobaan intubasi, tingkat
kesuksesan intubasi dan alasan kegagalan. NB pada beberapa kasus lembar data tidak
sepenuhnya diselesaikan, dengan demikian beberapa informasi hilang dari tabel.

Tatalaksana 3.

1 kasus melakukan sebuah teknik intubasi ketiga, yang mana nasal FOI telah digunakan dan
intubasi berhasil didapatkan setelah 2 kali percobaan. Dalam kasus ini teknik yang dilakukan
sebelumya sudah di glidescope ( tatalaksana 1) dan oral FOI (tatalaksana 2)

Posoperatif

Dari 60 kasus, 44 kasus diberhentikan dan diarahkan langsung ke bangsal dan 12 kasus ke PICU;
tujuan pemberhentian tidak didokumentasikan pada 4 kasus.

DISKUSI

NAP 4 telah memacu departement anestesi untuk melihat ke menegement airway mereka. Telah
ada sebuah pengantar dari alat-alat pernapasan baru untuk membantu DI dan pedoman untuk
menghadapi skenario DA telah tersedia. Penelitian ini menyediakan detail data atau rincian data
dari teknik management airway yang digunakan selama periode 1 tahun oleh konsultan anetesi
pediatri berpengalaman disebuah spesialis center yang besar, melihat secara spesifik pada kasus-
kasus dimana intubasi pada awalnya tidak memungkinkan pada direct laringoskopi. Analisa data
mengungkapkan bahwa mayoritas kasus (90%) sudah diantisipasi, dengan 62% telah dilaporkan
sebelumnya sebagai DI dan 20% melakukan operasi berulang dalam periode penelitian. 58%
kasus mengalami sebuah sindrom yang dikenal berhubungan dengan DA dan 60% adalah usia 6
tahun kurang. Temuan ini menyoroti bahwa DI terantisipasi terjadi pada yang muda,
dihubungkan dengan ciri-ciri yang dapat dikenali dan sebuah bagian yang penting kemungkinan
besar akan kembali mengalami operasi berikutnya.

Bagaimanapun, DI yang tidak terantisipasi telah terjadi. NAP 4 merekomendasikan untuk


mengembangkan prediksi yang kuat dalam DI pada anak-anak. Melakukan sebuah diagnosa
airway secara seksama, termasuk skor mallampati, dapat sulit pada anak-anak, terutama pada
yang sangat muda. Heinrich et all melakukan sebuah review dari 11.219 prosedur pediatri dan
menemukan bahwa mallampati skor didokumentasikan 66% dari kasus, dengan tingkat yang
lebih tinggi dilihat pada peningkatan umur, menjangkau lebih besar dari 80`%pada kelompok
usia diatas 6 tahun. Data kami dapat diabndingkan dengan ini, dengan 61% dokumentasi dari
skor mallampati pada anak-anak usia sekolah dan 100% pada remaja. Harus dicatat bahwa semua
anak-anak memiliki beberapa bentuk diagnosa pernapasan yang didokumentasikan. Sebuah skor
mallampati di petakan pada beberapa infant dan neonatus dan 1 kelahiran dari seri ini; kami tidak
yakin seberapa akurat hal ini karena diagnosa mallampati sepertinya tidak bisa dipertanggung
jawabkan atau konsisten pada kelompok umur tersebut. pada penelitian kami migronatia adalah
alasan paling sering disebutkan untuk memprediksi sebuah DI, dilihat pada 50% kasus.

Meskipun bedah maksilofacial adalah keahlian ang dihubungkan dengan hampir semua
kebanyakn kasus pada seri ini (17%), angka-angka tsb menyebar pada beberapa ahli bedah. DI
yang tidak diantisipasi memang terjadi dan tidak akan terjadi pada daftar yang terhubung secara
tradisional dengan DA, seperti bedah ENT.

Teater logistik harus mengijinkan akses pada bantuan ahli dan peralatan yang pas dalam
mengantisipasi kejadian tsb.

Pada penelitian teknik Induksi inhalasi ini digunakan pada 73% kasus dan sebuah teknik ke 4
murni pada 23%. Alasan mengapa anestesi dipenelitian kami sering dipilih untuk sebuah teknik
inhalasi bisa karena dia familiar dengan teknik tsb, keinginan untuk membuat anak tsb tetap
bernapas secara spontan, dan pengetahuan bahwa ini adalah metode pilihan tradisional untuk
anak anak dengan DA. Temuan ini konsisten dengan sebuah survey anestesi Kanada yang
menemukan sebuah teknik inhalasi mempertahankan ventilasi spontan adalah metode yang
dipilih untuk mengatur DI pada bayi (90%) dan anak-anak yang lebih muda (97%).

Ventilasi mask memungkinkan pada semua kasus dengan orofaringeal airway diikuti dengan
Nasofaringeal airway, menjadi tambahan yang paling sering digunakan. Sisipan dari layngeal
mask airway (LMA) adalah salah satu hambatan dalam petunjuk DA ketika dihadapkan dengan
difficult mask ventilation, yang mana kurang sering digunakan dibanding NPA dalam seri ini
dapat mencerminkan sesuatu yang familiar bagi anastesis pediatrik dengan menggunakan NPA
dan juga campuran kasus yang termasuk 13 pasien dengan temporal mandibular ankylosis.
Trauma ke nasal airway selama penempatan NPA adalah kerugian yang besar dari tambahan ini,
dimana pendarahan yang terjadi dapat menyebabkan intubasi lebih sulit.

Penggunaan neuromuscular blocking agents dalam susah bernafas pada anak masih menjadi isu
yang kontroversial. Meskipun penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan rocuronium
selama induksi inhalasi dengan sevoflurane secara signifikan mengurangi insiden komplikasi
respiratori and meningkatkan kondisi intubasi yang diperbolehkan, pemilihan dari
penggunaannya akan bergantung pada patologi yang mendasar dengan ventilasi face mask akan
dilaksanakan. Dalam penelitian ini rocorium adalah agen yang biasa digunakan; agen ini lebih
banyak dipilih karena dapat ditukar dengan suggamadex Dari data tersebut kami tidak dapat
menganalisa apakah obat pelemas otot meningkatkan ventilasi mask.

Teknik FOI telah dipertimbangkan menjadi gold standar pada DA dewasa dan pediatrik, ketika
intubasi melalui direct laringoskop tidak memungkinkan. Meskipun keuntungan sangat jelas dari
teknik tsb ini dapat menjadi teknik yang sulit untuk dikuasai dan harus sering dilakukan agar
skill dapat terjaga. Ada juga situasi seperti darah dan sekresi berada di airway, yang membuat
FOI tidak memungkinkan secara virtual. Dalam penelitian kami sebuah teknik FOI dilakukan
sebagai strategi airway lanjutan yang pertama dalam 70% kasus ( N=42), dengan nasal FOI
digunakan dalam 32 kasus. FOI mungkin teknik yang paling sering digunakan karena familiar
dengan prosedur tsb, tetapi juga bisa karena campuran kasus dalam seri ini, dengan 13 kasus
TMJ ankilosing membuat FOI menjadi teknik yang paling lumrah. Dari 32 Nasal FOI 90,6%
(N=29) berhasil, dengan 71,9% (N=23) berhasil dalam percobaan pertama, temuan ini dapat
dibandingkan dengan data sebelumnya. Satu penelitian melihat pada penggunaan FOI dalam
difficul pediatrik airway ditemukan sebuah percobaan pertama yang berhasil dari 80,4% dan
rata-rata nya 90,6%. Dalam penelitian kami teknik oral FOI digunakan sebagai pilihan pertama
dalam 9 kasus, meskipun begitu tingkat keberhasilan teknik ini levih rendah dibandingkan nasal
FOI; 66,7% (N=6) tingkat keberhasilan intubasi dengan hanya 4 kasus yang berhasil dalam
percobaan pertama. Oral intubasi menggunakan LMA telah dideskripsikan secara baik, dan
kemugnkinan menjadi metode untuk meningkatkan keberhasilan intubasi oral. Alasan yang
paling lumrah untuk kegagalan adalah pandangan yang buruk karena darah dan sekresi. Ini
adalah pandangan penulis dimana FOI memiliki keberhasilan lebih jika digunakan secara dini
dalam seknario DI, ketika darah dan sekresi kemungkinan kecil terakumulasi.

Dalam beberapa tahun belakang beberapa peralatan telah dikembangkan untuk membantu dalam
menegement DI, dan telah diklasifikasikan secara luas sebagai videolaringoskop (VL). VL telah
ditemukan untuk meningkatkan penglihatan laringeal yang bisa didapatkan ketika dibandingkan
dengan direct laringoskop, tetapi bukan berarti bahwa menyalurkan ETT melalui kord dapat
dihasilkan secara mudah. Tugas yang harus dilakukan oleh peralatan Vl dalam menegement DA
masih belum ditentukan secara jelas, dan kurang bukti membantu mengganti standar direk
laringoskop dengan teknik yang lebih baru dalam rutinitas atau situasi DA.

Glidescope adalah sebuah VL yang terdiri atas sebuah pisau laringoskop, dengan sudut 60
derajat, dan dapat dipakai kembali videobaton yang dapat digunakan kembali; angulasi dari pisau
berarti bahwa oral, faring, dan aksis trakea tidak perlu untuk disejajarkan untuk keberhasilan
intubasi. Data tersebut yang dipublikasikan dalam penggunaannya pada ank-anak telah
menunjukan bahwa hal itu meningkatkan CL grade didapatkan ketika dibandingkan dengan DL,
dan itu telah berhasil digunakan dalam DA yang telah diketahui. Data yang menunjukan apakah
hal tsb meningkatkan waktu yang dibutuhkan untuk intubasi adalah bertentangan. Pada
penelitian kami GS digunakan sbg teknik tatalaksana 1 dalam 15% (N=9) kasus, dan teknik
tatalaksana 1 yang paling berhasil nomor 2 setelah nasal FOI (77,8% vs 90,6% ), meskipun itu
dapat memngurangi keberhasilan saat intubasi pada percobaan pertama saat dibandingkan
dengan nasal FOI (percobaan pertama 33% vs 72%). Peningkatan percobaan intubasi dapat
disebabkan oleh peralatan yang lebih baru dimana pengguna tidak familiar dengan teknik ketika
dibandingkan dengan FOI yang lebih mapan. Orofaring yang lebih kecil dikaitkan dengan pasien
yang memiliki mikro/retroagnatia dapat membuat manuver dan penempatan dari ETT lebih sulit.
Hal ini mungkin tidak akan terlihat hingga percobaan pertama dan hasil dalam dan berkurangnya
keberhasilan awal. Dalam menjaga data yang sebelumnya dipublikasikan sebuah pandangan
yang bagus pada glotis telah didapatkan dalam 100% dari kasus GS, yang menyimpulkan bahwa
hal tsb telah melewati ETT melalui kord yang mewakili masalah tsb, ketimbang menghasilkan
sebuah pandangan.

Airtract adalah alat VL tunggal yang memilki pisau optikal dengan sebuah channel kanal
samping melalui ETT yang disalurkan. Dalam penelitian ini juga digunakan sebagai teknik
tatalaksana 1 dalam 15% (N=9) kasus , tetapi juga ditemukan tingkat keberhasilan yang rendah
dari 44% (N=4). Dan lagi, tingkat keberhasilan yang rendah dapat disebabkan karena kurangnya
pengalaman dengan teknik tsb, tetapi dapat juga karena fakta bahwa minimnya bukaan mulut
yang mana diperlukan 12-13 mm, membatasi kegunaanya pada bayi dan yang bukaan mulutnya
kecil.

Dalam penelitian ini 2 pasien dibangunkan untuk menjalani bedah. Ini sangat penting untuk
melanjutkan evaluasi ulang situasi selama skenario DI, dimana meninggalkan anestesi dan
membiarkan pasien untuk bangun adalah pilihan yang paling aman, khususnya pada kasus
elektif. Pendekatan ini disorot dalam pedoman yang telah dipublikasikan. Pada 1 kasus
keberhasilan intubasi dengan direk laringoskop dihasilkan dan diterima setelah beberapa
kegagalan menggunakan DL, diikuti oleh kegagalan FOI. Penting untuk mengoptimalkan semua
percobaan pada DL dengan memposisikan anak dnegan benar dan menggunakan ukuran pisau
yang tepat; dalam beberapa situasi menggunakan pendekatan paraglosal telah berhasil.NAP 4
menyarankan bahwa keterkaitan tim ENT ketika berhadapan dengan DA, khususnya pada yang
muda dapat sangat membantu. Dalam penelitian ini ENT diikut sertakan dalam 2 kasus dimana
sebuah rigid bronkokop digunakan untuk mengamankan airway ini adalah pendapat penulis
bahwa akses untuk teknik tsb sangat penting. 20% dari kasus yang melibatkan PICU selama
admisinya. 10% kasus pasien PICU membutuhkan intubasi, dan 10% yang lain diterima ke PICU
untuk tindakan postoperatif care. Kami tidak dapat menggambarkan apakah ini karena
menagement airway atau hasil dari tindakan prosedural. Meskipun begitu ini menggarisbawahi
bahwa kebutuhan komunikasi yang baik diantara beberapa spesialis dan perlunya untuk
membangun pedoman lokal ketika berhadapan dengan situasi DA yang potensial, yang dapat
naik saat kecelakaan dan emergensi atau keadaan PICU.

Kesimpulan

Pikiran dibalik penelitian ini adalah untuk membuat gambaran dari berbagai metode yang
digunakan dalam menegement DI diRS kami. Tidak ada metode yang 100% berhasil. Ketika
peralatan lebih baru yang tersedia itu berguna, FOI kemungkinan menjadi metode yang paling
baik. Mayoritas pasien diprediksikan sulit; untungnya hal tsb memungkinkan perencanaan, tidak
saja dalam tim anetesi tetapi juga dengan tim lain seperti ENT ini adalah pandangan penulis
bahwa komunikasi tsb sama pentingnya dengan teknik yang dipilih.

Anda mungkin juga menyukai