Anda di halaman 1dari 28

Laporan kasus

DEMAM TIFOID

Disusun Oleh:

YUNIS EKA SHINTA


1611901055

Pembimbing:
dr. Cherlina, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul “Demam tifoid”. Laporan kasus ini diajukan sebagai persyaratan
untuk mengikuti KKS Ilmu Penyakit Anak.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Cherlina , Sp. A selaku pembimbing yang telah bersedia membimbing saya, baik
dalam penulisan dan pembahasan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan penulis juga
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun untuk
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga karya sederhana ini bermanfaat bagi kita
semua.

Bangkinang, 25 Maret 2017

Penulis
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi ............................................................................................................ 3
2.2 Klasifikasi ....................................................................................................... 5
2.3 Etiologi ............................................................................................................ 9
2.4 Patofisiologi
............................................................................................................................... 1
2
2.5 Manifestasi Klinis
............................................................................................................................... 1
4
2.6 Diagnosis
............................................................................................................................... 1
5
2.7 Pemeriksaan Penunjang
............................................................................................................................... 1
8
2.8 Penatalaksanaan
............................................................................................................................... 2
0
2.8 Prognosis
............................................................................................................................... 3
7

BAB III STATUS PASIEN


...................................................................................................................................... 3
8

BAB IV ANALISA KASUS / PEMBAHASAN


...................................................................................................................................... 4
3

BAB V KESIMPULAN
...................................................................................................................................... 4
4
DAFTAR PUSTAKA
...................................................................................................................................... 4
5

LAMPIRAN
...................................................................................................................................... 4
6
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang.
Badan kesehatan dunia, yaitu WHO, mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta
kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai
600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1
Berdasarkan studi epidemiologis yang dilakukan oleh WHO pada 441.435
sampel di 5 negara Asia, yaitu: Pakistan, India, Indonesia, Vietnam dan Cina,
didapatkan adanya perbedaan yang cukup signifikan. Insiden demam tifoid lebih
tinggi di negara-negara Asia Selatan (Pakistan dan India) dibandingkan dengan
negara-negara di Asia Timur (Indonesia, Vietnam, Cina).2
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam
tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6%
dengan 12 provinsi yang memiliki prevalensi diatas angka nasional, yaitu: Provinsi
Nangroe Aceh Darusalam, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan,
Gorontalo, Papua Barat dan Papua.3
Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya
dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung
dengan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
penunjang pun tersedia dalam berbagai pilihan, antara lain : kultur darah, kultur agar
darah, identifikasi biokimia, aglutinasi antibodi, dsb. Pada intinya, segala jenis
pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam
tifoid, yaitu Salmonella enterica subsp. enterica serotipe Typhi (Salmonella Typhi).1
Pemeriksaan serologi yang paling tua ialah uji Widal, yang mengandalkan
reaksi aglutinasi antara serum pasien dengan substrat yang dibuat dari kuman utuh
yang telah dimatikan. Uji ini memiliki banyak kelemahan dan dipengaruhi banyak
faktor, diantaranya gangguan pembentukan antibodi pada pasien, konsumsi
antibiotik, kesalahan saat pengambilan darah, endemisitas wilayah sehingga terdapat
variasi nilai cut-off, reaksi silang dengan organisme lain, serta dipengaruhi oleh
vaksinasi. American Academy of Paediatrics bahkan sudah tidak merekomendasikan
pemeriksaan Widal.4 Begitu pula WHO, WHO juga sudah tidak merekomendasikan
Widal sebagai uji diagnostik untuk demam tifoid. Untuk uji Serologis, WHO lebih
merekomendasikan penggunaa TUBEX dan Typhidot sebagai ujia serologis yang
lebih sensitif dan spesifik. Namun dikatakan bahwa diagnosis definitif terbaik tetap
menggunakan teknik isolasi kuman. 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang disebabkan oleh
salmonella typhi yang di tularkan melalui makanan atau minuman yang tercemar feses manusia.1

2.2. Epidemiologi demam tifoid


Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah dunia.
Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara subtropis pun prevalensi demam
tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari
17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000,
dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1

Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid di


Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai
rumah sakit di Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.6
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di Indonesia,
terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap
tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam
tifoid secara nasional adalah 1,6%.3

Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi, 1990-
2002.5
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan dengan
sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk, sedangkan di daerah urban
ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan
erat dengan penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta sanitasi lingkungan
terutama cara pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan ligkungan.7
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen
Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit
dengan mortalitas tinggi.8

2.3. Etiologi demam tifoid


Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella memiliki dua
spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica terbagi dalam
enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp.
salamae; IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp. diarizonae;
IV. Salmonella enterica subsp. hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica. 9
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe, beberapa
diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin, Salmonella Enteritis,
Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella Heidelberg, Salmonella Infantis,
Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi, Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus.9
Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam tifoid.
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66 o C) selama
15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.10
Gambar 2.2. Struktur antigenik Salmonellae. 10

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 11


1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

2.3.Patogenesis demam tifoid


Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang
biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel usus dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.11

Gambar 2.3. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .12

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) kemudian
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode
waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian
meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka
saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-
8, TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler,
gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.11

2.4. Manifestasi klinis demam tifoid


Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting untuk membantu
mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.11
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada minggu
pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam yang
meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari
ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari. Pada akhir
minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien akan menunjukkan gejala
rose spots, yang warnanya seperti salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya
kurang dari 5; dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli
oleh bakteri di dermis.11
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas, berupa demam,
bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali
per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah
merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi karier
asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka waktu yang tidak
terbatas.

2.5.Diagnosis Demam Tifoid


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat
oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian
yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha
penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1)
pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji
serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.12

2.5.1. Pemeriksaan darah tepi


Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun
atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau
sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.13 Penelitian oleh
beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah
tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai
dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia
dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.14
2.5.2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella Typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang. Bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.12,16 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor,
seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin
negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di
masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia
sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah
minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. 10,12
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.18
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya
bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.12,19 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
Salmonella Typhi adalah media empedu dari sapi. Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.12,17 Sensitivitasnya akan menurun
pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume
darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan
sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil
positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang
sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.17,20 Namun
prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko
aspirasi terutama pada anak. 13,16,17

2.5.3. Uji serologis


2.5.3.1. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella Typhi
dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang yang
pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah
suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid.11,22
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin
H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam. Semakin tinggi titer
aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada
infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada
selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3
minggu memastikan diagnosis demam tifoid.22
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.

2.5.3.2. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.13 Uji ini sering dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d
(Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi. Chaicumpa dkk mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses, dan 40% pada
sampel sumsum tulang.1,24
2.5.3.3. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di
tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,29
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila
dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah
dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh
Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
90% dan spesifisitas sebesar 96%.30

2.5.3.4. Uji Tubex®


Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL Biotech,
Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10 menit, sederhana dan
akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat spesifik
terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-
O9 LPS.23,27

Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif;
bagian bawah, hasil positif.27
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale yang tersedia.
Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10 (warna paling
biru).27
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech 2008: 11,27
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala klinis yang
sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.27

2.5.3.5. Uji Typhidot®


Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh
Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif apabila didapatkan
reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada
kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini memperingatkan, jika hasil yang diperoleh
tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.28

Gambar 2.6. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes;
bagian bawah, interpretasi hasil tes.28
2.5.4. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA.

2.6. Terapi Demam Tifoid

Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi demam tifoid
yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi antibiotik inisial bergantung
terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi pada tiap tiap area. Terapi demam tifoid yang
paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan
karier fecal <2%. Pemberian terapi singkat degan ofloxacin memiliki angka kesuksesan yang
sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap salmonela yang sensitif. Di Asia, penggunaan
luas agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS ( decreased
ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi
dan tidak menjadi terapi empiris. Pasien yang terinfeksi dengan golongan S.typhi DCS sebaiknya
diterapi menggunakan ceftriaxone, azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar.
Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam typhoid DCS,
menyebabkan keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena itu,
terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam
waktu 14 hari.

Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid
MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang resisten dengan
fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1 minggu, dengan angka kegagalan
5-10%, angka karier fekal <3% dan angka relaps 3-6%. Pemberian azithromycin oral,
menurunkan demam dalam 4-6 hari, dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada demam
tifoid DCS, pemberian azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi yang rendah,
dan durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon. Sefalosporin
generasi satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak efektif pada terapi demam tifoid.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di rumah dengan
antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap, diare menetap atau distensi
abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi suportif (tirah baring dan
dukungan nutrisi )disertai pemberian antibiotik parenteral sefalosporin generasi ketiga atau
fluorokuinolon, tergantung dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10
hari atau selama 5 hari setelah resolusi demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi dengan
pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi menggunakan
amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif dalam mengeradikasi karier
kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila
tidak ada siprofloksasin dan galur tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3
bulan , atau 100 mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari,
keduanya diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu hanya
memperlihatkan respons sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan kolesistektomi untuk
mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.

Tabel 2.1 Terapi antibiotik untuk demam tifoid


2.7. Komplikasi Demam Tifoid

Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam nyawa,
terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat vaksinasi), virulensi
dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal *10-20%) dan perforasi
intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal
dan perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri ileocecal.
Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan resusistasi cairan segera dan
intervensi bedah dengan pemberian antibiotik spektrum luas untu periotinits polimikrobial.
Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre
syndrome, neuritits dan gejala neuropsikiatrik.

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular coagulation,


hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis, orkitis, glomerulonefritis,
pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis. Namun komplikasi ini sudah jarnag terjadi
akibat pemberian antibiotik yang tepat.

Gambar 2.7 : Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi


BAB III
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. AQ
Umur : 4 tahun 3 bln
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : sawah
Tanggal masuk : 20 Maret 2017
Nomor MR : 143332

I. KELUHAN UTAMA:
Demam

II. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


 Demam 6 hari SMRS, demam naik turun . Demam meningkat pada sore dan malam hari,
gusi berdarah serta mimisan di sangkal oleh ibu pasien .
 Lidah kotor (+)
 Pilek (+)
 Batuk (+)
 Mual (-) Muntah(-)
 BAK (+)
 Belum ada buang air besar sejak 1 minggu yang lalu
 Nyeri perut (-)
III. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :
- Riwayat penyakit yang sama disangkal

III. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA:


- Anggota keluarga dan tetangga pasien tidak ada yang mengeluhkan kondisi yang sama.
IV. RIWAYAT KEHAMILAN IBU:
 Penyakit : tidak ada
 Pemeriksaan Kehamilan :ANC rutin ke dokter di Puskesmas
 Tindakan selama kehamilan:USG pada kehamilan usia (4, 6, 8) bulan
 Lama hamil : 39-40 minggu
 Riwayat Persalinan : spontan
 Kelainan Bawaan : tidak ada

V. RIWAYAT IMUNISASI:
- Imunisasi lengkap

VI. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

Keadaan umum : Tampak sakit sedang Berat Badan : 10 kg


Kesadaran : Composmentis kooperatif Tinggi Badan : 105,0 Cm
Nadi : 90 x/ menit Status gizi : baik
Suhu : 39,4°C
Pernapasan : 16 x/menit

VII. STATUS GENERALISATA

a. Kepala
- Kepala : Normocephal
- Mata : Cekung (-/-), Sklera ikterik (-/-), Konjungtiva anemis (-/-)
- Hidung : Sekret (+), perdarahan (-)
- Telinga : serumen (-), tanda-tanda radang (-)
- Mulut : Mukosa bibir kering (-), lidah kotor (+)sianosis (-), tonsil (T1-T1)
- Leher : Trakea medial, pembesaran KGB (-)

b. Thoraks
 Inspeksi : Gerakan pernafasan simetris kanan = kiri, retraksi dinding dada (-), ictus
cordis tidak terlihat
 Palpasi : Vocal fremitus simetris kanan dan kiri, ictus cordis teraba
 Perkusi : Sonor di kedua lapang paru. Redup pada batas jantung normal.
 Auskultasi : Pulmo  SN: vesikular, Rhonki (-/-), wheezing (+/+).
Cor  Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-)

c. Abdomen
 Inspeksi : Bentuk normal, simetris, ascites (-)
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : Nyeri tekan-lepas (-), hepar teraba, konsistensi kenyal dan tepinya rata,
lien tidak teraba.

d. Genitalia (tidak dilakukan pemeriksaan)

e. Ekstremitas
- Superior : Akral hangat (+), sianosis (-), ptechie (-), edema (-), CRT<2”
- Inferior : Akral hangat (+), sianosis (-), ptechie (-), edema (-), CRT<2”

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG :


- Pemeriksaan Laboratorium:
 Darah Lengkap
 Hemoglobin : 12,4 gr%
 Leukosit : 12,8/mm3
 Hematokrit : 35,9 %
 Trombosit : 236.000/mm.3
 Fungsi hati
 SGOT : 38 U/L
 SGPT : 23 U/L
 Imuno- Serologi
Widal
 S. thyphi H : 1/160
 S. thyphi O : 1/160
IX. DIAGNOSIS KERJA:
Demam tifoid

X. DIAGNOSIS BANDING:
Demam berdarah, malaria
XI. PENATALAKSANAAN
- IUFD RL 20 tts/mikro
- Inj. Ceftriaxone 2x 500 mg
- Inj. Ranitidine 2x 25 mg
- paracetamol syr 3 x 1 cth
- klorampenikol syr 4 x 1 cth
BAB IV
ANALISA KASUS

Seorang anak 4 tahun dengan diagnosis demam tifoid. Diagnosis demam tifoid
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Berdasarkan teori,
manifestasi klinis dari demam tifoid berupa demam yang berlangsung 10-14 hari. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada minggu pertama,
ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Karakteristik demamnya adalah demam yang meningkat secara
perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih
rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari. Pada akhir minggu
pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C. Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi
semakin berkembang jelas, berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1 o C
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor), hepatomegali,splenomegali.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam
empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi(2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi
dan biakan kuman (3) uji serologis dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.
BAB V
KESIMPULAN
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah
dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di
Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari
20.000 setiap tahunnya. Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak
hanya dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung dengan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif. Pada intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut
bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan
serologis yang ada, widal sebagai pemeriksaan yang paling tua sudah tidak lagi menjadi
pemeriksaan yang direkomendasikan. Saat ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan
sensitifitas dan spesitifitas yang lebih baik seperti TUBEX dan Typhidot.

Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka
kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Penggunaan luas agen fluorokuinolon
secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS (decreased ciprofloxacin
susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak
menjadi terapi empiris. Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA

1. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.
World Health Organization; 2003: 17-18.
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK, Agtini MD, et
al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and
implications for controls. http://www.who.int/ bulletin/volumes/86/4/06039818/
en/#content. [31 Mei 2013].
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. http://www.litbang.depkes. go.id/
bl_riskesdas2007. [31 Mei 2013].
4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran Indonesia.
2012; XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-2012/edisi-no-08-vol-
xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-akurat-diagnosis-demam-tifoid. [31
Mei 2013].
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al. Bull.
World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7. http://www.who.
int/bulletin/online_first/11-087627.pdf. [31 Mei 2013].
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for Diagnosis of
Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007; 45(1): 246–247.
http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC 1828988/.
[ 31 Oktober 2013 ].
7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin M Anti
Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika Udayana 2.6; 2013: 1080-
1090. http://ojs.unud.ac.id /index.php/eum/article/view/5626. [31 Oktober 2013].
8. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al. Salmonella Typhi, the
causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol. 2002 Oct;2(1):39-45.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12797999. [ 31 Oktober 2013 ].
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta :
Interna Publishing. 2009:2797-2800.
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New England
Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/
full/10.1056/NEJMra020201. [31 Oktober 2013].
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi – Pediatri
Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa
Timur, 2005:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of Pediatrics,
edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika,
2002:1-43.
15. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.
16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI,
2001:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation of bacteria
in bone marrow from patients with typhoid fever : relationship between counts and
clinical features. J Clin Microbiol 2001;39(4):1571-6.
19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P. Diagnosis of
typhoid fever by detection of Salmonella Typhi antigen in urine. J Clin Microbiol
1992;30(9):2513-5. [Abstract]
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [ 31 Oktober 2013 ].
21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
22. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Mei 2006. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes /KMK%20No.
%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf.
[31 Oktober 2013].
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [31 Oktober 2013]
24. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
www.genwaybio.com. [ 31 Oktober 2013 ].
25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and rapid dipstick
assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002; 51:173-177.
26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M . A Comparative
Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3) : 244-6.
http:// medind.nic.in/jac/t04/i3/jact 04i3p244.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008. www.idl.se. [ 31
Oktober 2013 ].
28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis of Typhoid
Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/ 2034/12a-%204058.A.pdf. [
31 Oktober 2013 ].
29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Salmonellosis.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition. United States : Mc Graw Hill.
2015:1049-1052.

Anda mungkin juga menyukai