Demam Tifoid Pada Anak Case
Demam Tifoid Pada Anak Case
DEMAM TIFOID
Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. Cherlina, Sp. A
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
BAB V KESIMPULAN
...................................................................................................................................... 4
4
DAFTAR PUSTAKA
...................................................................................................................................... 4
5
LAMPIRAN
...................................................................................................................................... 4
6
BAB I
PENDAHULUAN
Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi, 1990-
2002.5
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan dengan
sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk, sedangkan di daerah urban
ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan
erat dengan penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta sanitasi lingkungan
terutama cara pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan ligkungan.7
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen
Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit
dengan mortalitas tinggi.8
Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) kemudian
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode
waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian
meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka
saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-
8, TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler,
gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.11
Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif;
bagian bawah, hasil positif.27
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale yang tersedia.
Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10 (warna paling
biru).27
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech 2008: 11,27
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala klinis yang
sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.27
Gambar 2.6. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes;
bagian bawah, interpretasi hasil tes.28
2.5.4. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA.
Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi demam tifoid
yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi antibiotik inisial bergantung
terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi pada tiap tiap area. Terapi demam tifoid yang
paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan
karier fecal <2%. Pemberian terapi singkat degan ofloxacin memiliki angka kesuksesan yang
sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap salmonela yang sensitif. Di Asia, penggunaan
luas agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS ( decreased
ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi
dan tidak menjadi terapi empiris. Pasien yang terinfeksi dengan golongan S.typhi DCS sebaiknya
diterapi menggunakan ceftriaxone, azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar.
Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam typhoid DCS,
menyebabkan keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena itu,
terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam
waktu 14 hari.
Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid
MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang resisten dengan
fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1 minggu, dengan angka kegagalan
5-10%, angka karier fekal <3% dan angka relaps 3-6%. Pemberian azithromycin oral,
menurunkan demam dalam 4-6 hari, dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada demam
tifoid DCS, pemberian azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi yang rendah,
dan durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon. Sefalosporin
generasi satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak efektif pada terapi demam tifoid.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di rumah dengan
antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap, diare menetap atau distensi
abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi suportif (tirah baring dan
dukungan nutrisi )disertai pemberian antibiotik parenteral sefalosporin generasi ketiga atau
fluorokuinolon, tergantung dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10
hari atau selama 5 hari setelah resolusi demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi dengan
pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi menggunakan
amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif dalam mengeradikasi karier
kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila
tidak ada siprofloksasin dan galur tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3
bulan , atau 100 mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari,
keduanya diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu hanya
memperlihatkan respons sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan kolesistektomi untuk
mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.
Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam nyawa,
terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat vaksinasi), virulensi
dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal *10-20%) dan perforasi
intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal
dan perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri ileocecal.
Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan resusistasi cairan segera dan
intervensi bedah dengan pemberian antibiotik spektrum luas untu periotinits polimikrobial.
Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre
syndrome, neuritits dan gejala neuropsikiatrik.
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AQ
Umur : 4 tahun 3 bln
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : sawah
Tanggal masuk : 20 Maret 2017
Nomor MR : 143332
I. KELUHAN UTAMA:
Demam
V. RIWAYAT IMUNISASI:
- Imunisasi lengkap
a. Kepala
- Kepala : Normocephal
- Mata : Cekung (-/-), Sklera ikterik (-/-), Konjungtiva anemis (-/-)
- Hidung : Sekret (+), perdarahan (-)
- Telinga : serumen (-), tanda-tanda radang (-)
- Mulut : Mukosa bibir kering (-), lidah kotor (+)sianosis (-), tonsil (T1-T1)
- Leher : Trakea medial, pembesaran KGB (-)
b. Thoraks
Inspeksi : Gerakan pernafasan simetris kanan = kiri, retraksi dinding dada (-), ictus
cordis tidak terlihat
Palpasi : Vocal fremitus simetris kanan dan kiri, ictus cordis teraba
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru. Redup pada batas jantung normal.
Auskultasi : Pulmo SN: vesikular, Rhonki (-/-), wheezing (+/+).
Cor Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-)
c. Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, ascites (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan-lepas (-), hepar teraba, konsistensi kenyal dan tepinya rata,
lien tidak teraba.
e. Ekstremitas
- Superior : Akral hangat (+), sianosis (-), ptechie (-), edema (-), CRT<2”
- Inferior : Akral hangat (+), sianosis (-), ptechie (-), edema (-), CRT<2”
X. DIAGNOSIS BANDING:
Demam berdarah, malaria
XI. PENATALAKSANAAN
- IUFD RL 20 tts/mikro
- Inj. Ceftriaxone 2x 500 mg
- Inj. Ranitidine 2x 25 mg
- paracetamol syr 3 x 1 cth
- klorampenikol syr 4 x 1 cth
BAB IV
ANALISA KASUS
Seorang anak 4 tahun dengan diagnosis demam tifoid. Diagnosis demam tifoid
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Berdasarkan teori,
manifestasi klinis dari demam tifoid berupa demam yang berlangsung 10-14 hari. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada minggu pertama,
ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Karakteristik demamnya adalah demam yang meningkat secara
perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih
rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari. Pada akhir minggu
pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C. Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi
semakin berkembang jelas, berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1 o C
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor), hepatomegali,splenomegali.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam
empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi(2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi
dan biakan kuman (3) uji serologis dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.
BAB V
KESIMPULAN
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah
dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di
Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari
20.000 setiap tahunnya. Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak
hanya dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung dengan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif. Pada intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut
bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan
serologis yang ada, widal sebagai pemeriksaan yang paling tua sudah tidak lagi menjadi
pemeriksaan yang direkomendasikan. Saat ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan
sensitifitas dan spesitifitas yang lebih baik seperti TUBEX dan Typhidot.
Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka
kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Penggunaan luas agen fluorokuinolon
secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS (decreased ciprofloxacin
susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak
menjadi terapi empiris. Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif
untuk demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA
1. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.
World Health Organization; 2003: 17-18.
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK, Agtini MD, et
al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and
implications for controls. http://www.who.int/ bulletin/volumes/86/4/06039818/
en/#content. [31 Mei 2013].
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. http://www.litbang.depkes. go.id/
bl_riskesdas2007. [31 Mei 2013].
4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran Indonesia.
2012; XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-2012/edisi-no-08-vol-
xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-akurat-diagnosis-demam-tifoid. [31
Mei 2013].
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al. Bull.
World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7. http://www.who.
int/bulletin/online_first/11-087627.pdf. [31 Mei 2013].
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for Diagnosis of
Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007; 45(1): 246–247.
http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC 1828988/.
[ 31 Oktober 2013 ].
7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin M Anti
Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika Udayana 2.6; 2013: 1080-
1090. http://ojs.unud.ac.id /index.php/eum/article/view/5626. [31 Oktober 2013].
8. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al. Salmonella Typhi, the
causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol. 2002 Oct;2(1):39-45.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12797999. [ 31 Oktober 2013 ].
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta :
Interna Publishing. 2009:2797-2800.
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New England
Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/
full/10.1056/NEJMra020201. [31 Oktober 2013].
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi – Pediatri
Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa
Timur, 2005:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of Pediatrics,
edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika,
2002:1-43.
15. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.
16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI,
2001:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation of bacteria
in bone marrow from patients with typhoid fever : relationship between counts and
clinical features. J Clin Microbiol 2001;39(4):1571-6.
19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P. Diagnosis of
typhoid fever by detection of Salmonella Typhi antigen in urine. J Clin Microbiol
1992;30(9):2513-5. [Abstract]
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [ 31 Oktober 2013 ].
21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
22. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Mei 2006. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes /KMK%20No.
%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf.
[31 Oktober 2013].
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [31 Oktober 2013]
24. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
www.genwaybio.com. [ 31 Oktober 2013 ].
25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and rapid dipstick
assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002; 51:173-177.
26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M . A Comparative
Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3) : 244-6.
http:// medind.nic.in/jac/t04/i3/jact 04i3p244.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008. www.idl.se. [ 31
Oktober 2013 ].
28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis of Typhoid
Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/ 2034/12a-%204058.A.pdf. [
31 Oktober 2013 ].
29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Salmonellosis.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition. United States : Mc Graw Hill.
2015:1049-1052.