Anda di halaman 1dari 107

15.

Pre Eklamsia

1. Definisi

Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada saat
kehamilan dan nifas. Preeklampsia berat merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan
hipertensi (sistole ≥160 mmHg dan diastole ≥ 110 mmHg) pada trimester kedua
kehamilan atau pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Pada beberapa konsensus
terakhir dilaporkan bahwa edema dan protein urin tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria
diagnosis. Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan
proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria).
Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita
lain menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang
menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak
mengalami proteinuri. (Dharma et al, 2013)

2. Epidemiologi

Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi dalam kehamilan
(25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali lebih
tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di Negara
maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8% - 18%
(Osungbade et al 2011). Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun
atau sekitar 5,3% (Kemenkes, 2015)

3. Faktor resiko
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada
wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita hamil
berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap (Bahari, 2009)
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada nulipara, muda maupun tua, nulipara tua risiko lebih
tinggi untuk preeklampsia berat (Bahari, 2009).
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko
meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang
ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan
penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari
ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam
keluarga (Bahari, 2009).
d. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes terjadi
sebelum hamil (RR 3.56; 95% CI 2,54 - 4,99) (n=56.968).
e. Merokok
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang
jauh lebih tinggi. Berhubungan dengan hipertensi kronik (Bahari, 2009).
f. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus
mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan
ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada preeklampsia
(Bahari, 2009).
g. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya preeklampsia
jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita dengan Body
Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita dengan Body Mass Index
(BMI) > 35 kg/m2 (Bahari, 2009).
h. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari
105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu karena
eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya ialah
dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan
menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih
dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah
janin lebih dari satu (Bahari, 2009).

4. Etiologi

Penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Terdapat
banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari penyakit ini tetapi tidak ada
yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat
menjelaskan tentang mengapa preeklampsia meningkat prevalensinya pada primigravida,
hidramnion, kehamilan ganda dan mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat
menjelaskan penyebab bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia
kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam
kandungan, dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema, proteinuria,
kejang dan koma. Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah
teori “iskemia plasenta”. Teori ini pun belum dapat menerangkan semua hal yang
berkaitan dengan penyakit ini (Pangemanan, 2012)

5. Patofisiologi

Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler


Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan
pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasoaktif (vasopresor),
sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan
normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar
prostacyclin dengan akibat meningkatnya thromboksan yang mengakibatkan
menurunnya sintesis angiotensin II sehingga peka terhadap rangsangan bahan
vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi (Simona, 2009)
b. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai 45%,
sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga mencapai 30-
40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma menimbulkan hemokonsentrasi
dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada jaringan atau organ
penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi gangguan pada pertukaran
bahan-bahan metabolik dan oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam
jaringan utero-plasenta mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering
terjadi pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation), gawat
janin, bahkan kematian janin intrauterin (Simona, 2009)
c. Vasokonstriksi pembuluh darah
Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac output
meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan dengan
hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonstriktor
sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan cepat menimbulkan
vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada sistem pembuluh darah
arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan suatu sistem kompensasi
terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil
dengan hipertensi akan berada dalam syok kronik. Perjalanan klinis dan temuan
anatomis memberikan bukti presumtif bahwa preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi
suatu zat beracun dalam darah yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh
darah halus, selanjutnya membuat nekrosis berbagai organ. Gambaran patologis pada
fungsi beberapa organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme
dan iskemia, telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat.
Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan
otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan
menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan
mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin,
tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida,
prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan
pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah
termasuk platelet dan fibrinogen (Simona, 2009)

Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi


normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas efek
terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara simultan.
Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap perubahan pada
sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme, serta aliran darah
regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena penurunan perfusi
uteroplasenta (Simona, 2009)

6. Patogenesis

Adapun teori-teori tersebut adalah:

a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan


Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,
sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang,
sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh
trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi
aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi
plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume plasma (Simona, 2009)
b. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama
terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna
sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap
Histikompatibilitas Plasenta. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan
aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan
proteinuria (Simona, 2009).
c. Peran Faktor Genetik
Preeklampsia/eklampsia bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa
bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia
antara lain:
1) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
2) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia-Eklampsia
pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia (Simona, 2009).
d. Iskemik dari uterus.
Mekanisme terjadinya Preeklampsia adalah iskemik uteroplasentar, sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi
sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Disfungsi plasenta juga ditemukan pada
preeklampsia, sehingga terjadi penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental
Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna.
Untuk mempertahankan penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan
kelenjar paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan
kadar kalsitonin yang mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang
dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel
mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan
tekanan darah (Simona, 2009).
Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta
adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan merupakan faktor yang
menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran darah uterus dan plasenta
menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan
antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang
berkurang. Selain itu hipoperfusi uterus menjadi rangsangan produksi renin di
uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga
meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin,
aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi. Oleh karena
gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke
janin. Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian
janin (Simona, 2009).
e. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam
pathogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang
mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil
dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester
pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan
kehamilan (Dharma et al, 2013).
Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress
hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan
hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut disfungsi
endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi vasoaktif sehingga
dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga menyebabkan permeabilitas vaskular
meningkat sehingga menyebabkan edema dan proteinuria. Jika terjadi disfungsi
endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan molekul adhesi. seperti
vascular cell adhesion molecule-1(VCAM-1) dan intercellular cell adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam
supernatant kultur sel endotel yang diinkubasi dengan serum penderita preeklampsia,
tetapi tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-
selektin. Oleh karena itu diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklampsia
(Dharma et al, 2013).
Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum mempunyai
hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga mengakibatkan
permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik, sehingga bisa terjadi
aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi dapat diperiksa D-dimer,
kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1 dan 2 atau fibrin monomer
(Dharma et al, 2013).

7. Klasifikasi

Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia dan Preeklampsia Berat berdasarkan
Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, yaitu:
a. Preeklampsia, bila disertai keadaan sebagai berikut:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau
kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan
riwayat tekanan darah normal.
2) Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
3) Terdapat edema paru dan sianosis
4) Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)
5) Gangguan fungsi hati SGPT dan SGOT naik 2x lipat
6) Kadar kreatinin > 1,1 mg/dL
7) Oligohidramnion dan pertumbuhan janin terhambat

b. Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.


2) Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
3) Terdapat edema paru dan sianosis
4) Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)
5) Gangguan fungsi hati SGPT dan SGOT naik 2x lipat
6) Kadar kreatinin > 1,1 mg/dL
7) Oligohidramnion dan pertumbuhan janin terhambat

8. Klasifikasi hipertensi pada kehamilan

Menurut The National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) Working
Group, diagnosis banding hipertensi pada kehamilan dibagi menjadi empat grup yaitu
(Lim, 2009) :

a. Preeklampsia
Pasien dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah usia kehamilan 20
minggu dengan sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Preeklampsia dibagi
menjadi dua yaitu preeklampsia dan preeklampsia berat. Edema dan protein urine
sekarang bukan merupakan pertimbangan utama dalam kriteria diagnosis
preeclampsia. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara
kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin
masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia
(preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia
ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan
dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam
waktu singkat
b. Hipertensi Kronis
Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang terjadi sebelum kehamilan atau
sebelum usia kehamilan 20 minggu dan bukan merupakan penyebab dari penyakit
tropoblastik kehamilan. Hipertensi yang terdiagnosa setelah usia kehamilan 20
minggu dan menetap selama lebih dari 12 minggu setelah melahirkan termasuk
dalam klasifikasi hipertensi kronis
c. Superimposed Preeklampsi
Peningkatan tekanan darah pada usia kehamilan 20 minggu yang sebelumnya
memiliki riwayat hipertensi kromik atau penurunan jumlah platelet hingga dibawah
100.000 secara tiba-tiba pada wanita dengan hipertensi sebelum usia kehamilan 20
minggu

9. Diagnosis

a. Anamnesis
Pada anamnesis kita dapatkan informasi peningkatan tekanan darah terjadi setelah
usia kehamilan >20, selain itu didapatkan keluhan sakit kepala di daerah frontal,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium atau regio kanan atas
abdomen. Selain itu, ditemukan juga edema paru dan gangguan pertumbuhan janin
yang menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal
Growth Restriction (FGR) Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia
yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending
eklampsia) (Tranquilli et al , 2014).
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama. Alat
tensimeter sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa, namun apabila tidak
tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum atau tensimeter otomatis yang sudah
divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan pengukuran tekanan darah menggunakan
alat otomatis sering memberikan hasil yang lebih rendah. Berdasarkan American
Society of Hypertension ibu diberi kesempatan duduk tenang dalam 15 menit
sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan
pada posisi duduk posisi manset setingkat dengan jantung, dan tekanan diastolik
diukur dengan mendengar bunyi korotkoff V (hilangnya bunyi). Ukuran manset yang
sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa diperlukan agar tercapai pengukuran tekanan
darah yang tepat. Pemeriksaan tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik
harus dilakukan pada kedua tangan, dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang
tertinggi (Tranquilli et al , 2014).
c. Pemeriksaan penunjang
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia, yaitu (Tranquilli et al , 2014) :
1) Trombositopenia : trombosit < 100.000 / microliter
2) Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
3) Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal

10. Penatalaksanaan
a. Prinsip tatalaksana
Tujuan utama penanganan preeklampsia berat adalah mencegah terjadinya
eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin dengan trauma sekecil-
kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah gangguan fungsi organ
vital (Prawirohardjo et al, 2010)
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk
mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah diatasi,
tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan
(Prawirohardjo et al, 2010)
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada neonatus
berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta baik akut
maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada saat kelahiran
maupun sesudah kelahiran (Prawirohardjo et al, 2010)
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang
terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti diikuti
dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala, gangguan
visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan
penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah,
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST (Prawirohardjo et al,
2010)
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia, dibagi
menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau
terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif,
kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil
(Prawirohardjo et al, 2010).
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada
preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan
eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria.
Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat
menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia, vasospasme,
kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary
capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral
ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya
harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan
dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan
tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa a) 5% ringer dextrose atau
cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam atau b) infuse dekstrose 5% yang tiap 1
liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc (Hartuti et al,
2011).
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi bila
produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida
untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari
resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak dan garam (Hartuti et al, 2011).
b. Medikamentosa
1) MgSO4
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk
antikejang pada preeklampsia atau eklampsia (Cunningham et al , 2013).
Cara pemberian MgSO4, sebagai berikut:
 Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
 Maintenance dose :Diberikan 1-2 g/jam selama 24 jam post partum

Syarat-syarat pemberian MgSO4 , sebagai berikut:

 Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium


glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
 Refleks patella (+) kuat
 Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas

Dosis terapeutik dan toksis MgSO4

 Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl


 Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
 Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
 Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24 jam
pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium sulfat
dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari pemberiannya
menimbulkan efek flushes (rasa panas) (Cunningham et al , 2013).

Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau fenitoin
(difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin sodium
mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan otak dan
efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium
diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50
mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman
pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit (Cunningham et al ,
2013).

2) Diuretikum

Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida.
Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin (Cunningham et
al , 2013)

3) Antihipertensi

Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off)
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut
off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg (Cunningham et
al , 2013)
Pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau
tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu
penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai
< 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi.
Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni pemberian
diazokside, ketanserin dan nimodipin (Cunningham et al , 2013).

Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin (apresoline)


injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada arteriole yang
menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output, sehingga
memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah labetalol
injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat antihipertensi yang
tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin (catapres). Satu ampul
mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam
faal atau larutan air untuk suntikan (Cunningham et al , 2013).

Antihipertensi lini pertama, yaitu:

 Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg


dalam 24 jam

Antihipertensi lini kedua, yaitu:

 Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg iv/kg/5


menit.
 Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
4) Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah
jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat
kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat
menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria. Pemberian glukokortikoid untuk
pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34
minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP (Cunningham
et al , 2013).
c. Sikap terhadap kehamilannya

Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-
gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya
dibagi menjadi:

1) Konservatif (ekspektatif)
Berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian
medikamentosa. Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37
minggu tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin
baik. Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeklampsia, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelaah
24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan
medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila penderita
kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia (Cunningham et al , 2013)
2) Aktif
Berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian
medikamentosa. Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan
di bawah ini, yaitu:
 Ibu
- Umur kehamilan ≥ 37 minggu
- Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
 Janin
- Adanya tanda-tanda fetal distress
- Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
- Terjadinya oligohidramnion
 Laboratorik

Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit


dengan cepat (Cunningham et al , 2013).

11. Pencegahan

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini
preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia tersebut.
Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi preeklampsia
dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan yang baik pada ibu
hamil (Bahari, 2009).

Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang berguna
dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini yaitu dengan
mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet
tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang
tidak berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal secara dini preeklampsia dan merawat
penderita tanpa memberikan diuretika dan obat antihipertensi merupakan manfaat dari
pencegahan melalui pemeriksaan antenatal yang baik (Bahari, 2009)

12. Komplikasi
a. Eklampsia
Dapat didefinisikan sebagai kejang yang bukan merupakan dikarenakan penyebab
apapun pada wanita dengan preeklampsia (Pangemanan, 2012).
b. Solusio plasenta
Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang menderita hipertensi akut. Di
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo 15,5 % solusio plasenta terjadi pada pasien
preeklampsia (Pangemanan, 2012).
c. Hipofibrinogenemia
Pada preeklampsia berat didapatkan komplikasi 23% hipofibrinogenemia
(Pangemanan, 2012).
d. Hemolisis.
Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukan gejala klinik
hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini
merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal
hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan
mekanisme ikterus tersebut (Pangemanan, 2012).
e. Perdarahan otak.
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal (Pangemanan, 2012).
f. Kelainan mata.
Kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung selama seminggu dapat
terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini merupakan tanda gawat
dan akan terjadi apopleksia serebri (Pangemanan, 2012)
g. Nekrosis hati.
Nekrosis periportal hati pada pasien preeklampsia-eklampsia diakibatkan
vasospasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati (Pangemanan, 2012).
h. Sindroma HELLP, yaitu hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet
(Pangemanan, 2012).
i. Kelainan ginjal.
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa pembengkakan sitoplasma sel
endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat
timbul ialah anuria sampai gagal ginjal (Pangemanan, 2012).
j. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterine (Pangemanan, 2012)
Komplikasi lain berupa lidah tergigit, trauma dan fraktur karena terjatuh akibat
kejang, pneumonia aspirasi dan DIC (Pangemanan, 2012).
Daftar Pustaka :

1. Bahari J. 2009. Hubungan Usia dan Paritas terhadap Kejadian Preeklampsia pada
Ibu Bersalin. Buletin Penelitian RSUD Dr. Soetomo, Vol. 11 No. 4, Desember 2009.

2. BKKBN. 2010. Perdarahan Penyebab Kematian Ibu. Papua Barat.


http://papuabarat.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=49&ContentTypeId=
0x01003DCABABC04B7084595DA364423DE7 897.

3. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, 2013.


Obstetri Williams Preeklamsia. Ed. Bahasa Indonesia. Jakarta : EGC

4. Canadian Hypertensive Disorders of Pregnancy Working Group, Diagnosis,


Evaluation, and Management of the Hypertensive Disorders of Pregnancy: Executive
Summary. Journal of Obstetrics Gynecology Canada. 2014: 36(5); 416-438

5. Depkes. 2014. Angka kematian ibu di Kabupaten Karanganyar.


http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KAB_KOTA_2014/3313_J
ateng_Kab_Karanganyar_2014.pdf

6. Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta. 2013. Disfungsi


Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia.

7. Hartuti Agustina, dkk. Journal Preeklampsia. Purwokerto. Universitas Jendral


Sudirman. 2011

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun


2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI: 2015.

9. Kusumawardhani, dkk. 2009. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp,


IntraUterine Fetal Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil Preterm
Belum Dalam Persalinan. Universitas Negri Surakarta.

10. Osungbade KO, Ige OK. Public Health Perspectives of Preeclampsia in Developing
Countries: Implication for Health System Strengthening. Journal of Pregnancy. 2011.
(Diakses pada 8 Agustus 2011). Diunduh dari:
http://www.hindawi.com/journals/jp/2011/481095.

11. Pangemanan Wim T. 2012. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Palembang.


Universitas Sriwijaya.

12. Prawirohardjo Sarwono dkk. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam Kehamilan. Jakarta.
PT Bina Pustaka. 2010. Hal : 542-50\

13. Robson SE, J. Waugh, 2012. Patologi pada Kehamilan Manajemen & Asuhan
Kebidanan (Medical Disorders in Pregnancy: A Manual for Midwives). Jakarta: ECG.

14. Simona Gabriella R. 2009. Obstetri dan Ginekologi, Patofisiologi Preeklampsia.


Maluku. Universitas Pattimura.

15. Tranquilli AL, Dekker G, Magee L, Roberts J, Sibai BM, Steyn W, Zeeman GG,
Brown MA. The classification, diagnosis and management of the hypertensive disorders
of pregnancy: a revised statement from the ISSHP. Pregnancy Hypertension: An
International Journal of Women;s Cardiovascular Health 2014: 4(2):99-104

16. UNICEF. 2010. The Situation of Children and Women in Indonesia 2000–2010
(WORKING TOWARDS PROGRESS WITH EQUITY
UNDERDECENTRALISATION).http://www.unicef.org/sitan/files/Indonesia_SitAn_20
10.pdf.
17. Eklamsia

1. Definisi

Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba- tiba yang
dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas yang
menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat grand mal dan bukan
diakibatkan oleh kelainan neurologis.Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang
berarti halilintar. Kata-kata tersebut dipergunakan karena seolah-olah gejala eklampsia
timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain.3,4

Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia


partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum), berdasarkan saat
timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin
meningkat saat mendekati kelahiran. Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum
melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul
setelah 6 minggu postpartum.5,6

Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working Group on
Blood Pressure in Pregnancy preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai dengan
proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah persalinan. Saat
ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak spesifik dalam
diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan 7

sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 90
mmHg. Proteinuria adalah adanya protein dalam urin dalam jumlah ≥300 mg/dl dalam
urin tampung 24 jam atau ≥ 30 mg/dl dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan
tanda-tanda infeksi saluran kencing.8,9

2. Etiologi

a. Primigravida atau nullipara, terutama pada umur reproduksi ekstrem, yaitu 16 tahun
dan umur 35 tahun ke atas
b. Multigravida dengan kondisi klinis:
1) Kehamilan ganda dan hidrops fetalis.

2) Penyakit vaskuler termasuk hipertensi esensial kronik dan diabetes mellitus.

3) Penyakit-penyakit ginjal.

c. Hiperplasentosis Molahidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar,


diabetes mellitus.
d. Riwayat keluarga pernah pre-eklamsia atau eklamsia.
e. Obesitas dan hidramnion.
f. Gizi yang kurang dan anemi.
g. Kasus-kasus dengan kadar asam urat yang tinggi, defisiensi kalsium, defisiensi asam
lemak tidak jenuh, kurang antioksidans.

3. Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Preeklampsia dibagi


menjdai ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila ada satu atau lebih tanda
dibawah ini :9

a. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih.

b. Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada pemetiksaan kualitatif

c. Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam 


d. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium 


e. Edema paru atau sianosis. 
Pada umumnya serangan kejang didahului dengan
memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal,
gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia.
Menurut Sibai terdapat beberapa perubahan klinis yang memberikan peringatan gejala
sebelum timbulnya kejang, adalah sakit kepala yang berat dan menetap, perubahan
mental sementara, pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik, mual,
muntah. Namun, hanya sekitar 50% penderita yang mengalami gejala ini. Prosentase
gejala sebelum timbulnya kejang eklampsia adaah sakit 9

Nyeri kepala yang berat dan menetap (50-70%), gangguan penglihatan (20-30%), nyeri
epigastrium (20%), mual muntah (10-15%), perubahan mental sementara (5- 10%).
Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah
mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemuadian seluruh tubuh
menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10
sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan
keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata, otot-otot wajah yang lain dan
akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu
yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan
penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit
oleh karena kejang otot-otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai satu menit,
kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan pada
akhirnya penderita tak bergerak.5

Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti. Selama


beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian
penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal. Apabila
tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang-kejang
berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang yang berkelanjutan
yang disebut status epileptikus. Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma
selama beberapa saat. Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila
kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah
kejang. Namun, pada kasus-kasus yang berat, keadaan koma belangsung lama, bahkan
penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang
jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama
bahkan kematian.5

Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat


mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis
laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis. Demam
tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabila hal tersebut terjadi maka
penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.5

Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang – kadang
sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan urin
output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita.
Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu beberapa hari sampai dua minggu
setelah persalinan apabila keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka hal ini
merupakan akibat penyakit vaskuler kronis.5

4. Insiden dan Faktor Risiko

Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2% - 0,5% dari seluruh persalinan dan lebih
banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan negara maju
(0,05%-0,1%).Insiden yang bervariasi dipengaruhi antara lain oleh paritas, gravida,
obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan faktor lingkungan yang merupakan faktor
risikonya.5,6

Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan


eklampsia dan mengontrolnya, sehingga memungkinkan dilakukan pencegahan primer.
Dari beberapa studi dikumpulkan ada beberapa fakto risiko preeklampsia, yaitu :

a. Usia 
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia dan eklampsia hampir


dua kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih pada primipara maupun
multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko secara bermakna (Evidence II, 2004).
Robillard dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia dan eklampsia pada kehamilan
kedua meningkat dengan peningkatan usia ibu. Choudhary P dalam penelitiannya
menemukan bahwa eklampsia lebih banyak (46,8%) terjadi pada ibu dengan usia kurang
dari 19 tahun.

b. Nulipara
Hipertensi gestasional lebih sering terjadi pada wanita nulipara.



Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir tiga kali lipat (RR 
2,91, 95% CI
1,28 – 6,61) (Evidence II, 2004).

c. Kehamilan pertama oleh pasangan baru 
Kehamilan pertama oleh pasangan yang
baru dianggap sebagai faktor risiko, walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat
pada wanita yang memiliki paparan rendar terhadap sperma.


d. Jarak antar kehamilan
Studi melibatkan 760.901 wanita di Norwegia,


memperlihatkan 
bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun
atau lebih memiliki risiko preeklampsia dan eklampsia hampir sama dengan
nulipara.
Robillard dkk melaporkan bahwa ririko preeklampsia dan eklampsia semakin
meningkat sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun
jarak kehamilan pertama dan kedua; p <0,0001).

e. Riwayat preeklampsia eklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada


kehamilan sebelumnya merupakan 
faktor risiko utama. Menurut Duckitt risiko
meningkat hingga tujuh kali lipat (RR 7,19 95% CI 5,85-8,83). Kehamilan pada wanita
dengan riwayat preeklampsia dan eklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya
kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dinin dan dampak perinatal yang buruk.

f. Riwayat keluarga preeklampsia eklampsia
Riwayat preeklampsia dan eklampsia


pada keluarga juga 
meningkatkan risiko hampir tiga kali lipat. Adanya riwayat

preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak 3,6 kali lipat. 


g. Kehamilan multifetus 
Studi melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan,


kehamilan kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir tiga kali lipat.12,13

h. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor
sperma, donor oossit atau donor embrio juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu
hipotesis yang populer penyebab preeklampsia adalah lajadaptasi imun. Mekanisme
dibalik efek protektif dari paparan sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan
adanya peningkatan frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan oosit,
frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta makin mengecilkan
kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dari pasangan yang sama dalam
jangka waktu yang lebih lama. Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai
penyakit pada kehamilan pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada
kehamilan berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun,
efek protektif dari multiparitas menurun apabila berganti pasangan. Robillard dkk
melaporkan adanya peningkatan risiko preeklamspia sebanyak dua kali pada wanita
dengan pasangan yang pernah memiliki isteri dengan riwayat preeklampsia.

i. Diabetes Melitus Terganung Insulin (DM tipe I) 
Kemungkinan preeklampsia


meningkat hampir empat kali lipat bila diabetes terjadi sebelum hamil. Anna dkk juga
menyebutkan bahwa diabetres melitus dan hipertensi keduanya berasosiasi kuat dengan
indeks masa tubuh dan kenaikannya secara relevan sebagai faktor risiko eklampsia di
United State.

j. Penyakit ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia



meningkat sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan 
penyakit
ginjal.

k. Sindrom antifosfolipid 
Dari dua studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt
menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus
atau keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat.


l. Hipertensi kronik
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik,



didapatkan insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% (n-180) dan hampir
setengahnya adalah preeklampsia onset dini (<34 minggu) dengan keluaran maternal dan
perinatal yang lebih buruk.


m. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali Antenatal
Care (ANC) 
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar
dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin,
yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas meningkatkan rsisiko
preeklampsia sebanyak 2,47 kali lipat, sedangkan wanita dengan IMT sebelum hamil >35
dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia empat kali lipat.
Pada
studi kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelao dan Belizan pada 878.680 kehamilan,
ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada kehamilan di populasi wanita yang
kurus (IMT< 19,8) adalah 2,6% dibandingkan 10,1% pada populasi wanita yang gemuk
(IMT> 29,0).


n. Kondisi sosioekonomi
Faktor lingkungan memiliki peran terhadap terjadinya


hipertensi pada kehamilan. Pada wanita dengan sosioekonomi baik memiliki risiko yang
lebih rendah untuk mengalami preeklampsia. Kondisi sosioekonomi pasien di RS dapat
dilihat melalui sistem pembayarannya.8

o. Frekuensi ANC
 menyebutkan bahwa eklampsia banyak terjadi pada ibu yang
kurang mendapatkan pelayanan ANC yaitu sebesar 6,14% 
dibandingkan dengan yang
mendapatkan ANC sebesar 1,97%.28 Studi case control di Kendal menunjukkan bahwa
penyebab kematian ibu terbesar (51,8%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua
penyebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pelayanan antenatal yang memadai atau
pelayanan berkualitas dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan.12

5. Etiologi, Patofisiologi Eklampsia
dan Hipertensi dalam Kehamilan

Hingga saat ini etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan masih belum
diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk mencari etiologi dan
patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga kini belum memuaskan
sehinggan Zweifel menyebut preeklampsia dan eklampsia sebagai “the disease of
theory”. Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya adalah :


a. Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut berperanan dalam
patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya peningkatan angka
kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang
menderita preeklampsia preeklampsia dan eklampsia.

Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian preeklampsia dan
eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene (HLA) pada penderita
preeklampsia. Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara histokompatibilitas antigen
HLA- DR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-ibu dengan HLA haplotipe A 23/29, B
44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi terhadap perkembangan preeklampsia
eklampsia dan intra uterin growth restricted (IUGR) daripada ibu-ibu tanpa haplotipe
tersebut.

Peneliti lain menyatakan kemungkinan preeklampsia eklampsia berhubungan dengan gen


resesif tunggal. Meningkatnya prevalensi preeklampsia eklampsia pada anak perempuan
yang lahir dari ibu yang menderita preeklampsia eklampsia mengindikasikan adanya
pengaruh genotip fetus terhadap kejadian preeklampsia. Walaupun faktor genetik
nampaknya berperan pada preeklampsia eklampsia tetapi manifestasinya pada penyakit
ini secara jelas belum dapat diterangkan.

b. Iskemia Plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi


desidua dan miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler
menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada
tunika media dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan
material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini proses
tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction.

Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel trofoblas di mana
sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga kedalaman
miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu penggantian endotel,
perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan material fibrionid dinding arteri.
Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang berdinding tipis, lemas dan berbentuk
seperti kantong yang memungkinkan terjadi dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan
dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada kehamilan.

Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya


disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-
sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi
sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian
arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetapi mempunyai dinding muskulo-elastis
yang reaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler.

Gambar 1. Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan normotensi (atas) dan hipertensi
(bawah). Sel sitotrofoblas menginvasi dengan baik pada kehamilan normotensi.8

Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis) pada arteri spiralis
yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan mengalami obliterasi.
Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran darah ke plasenta dan berhubungan dengan
luasnya daerah infark pada plasenta.
Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki resistensi vaskuler
disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua.
Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah intervilli yang menyebabkan
penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di
plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR) hingga
kematian bayi.

c. Prostasiklin-tromboksan
Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang


dihasilkan di sel endotel yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya
dikatalisis oleh enzim sikooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular
pada sel otot polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi
trombosit.

Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat dengan bantuan
enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasikonstriktor dan agregasi
trombosit prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek yang berlawanan dalam
mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah.

Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu, plasenta dan
janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan produksi prostasiklin dan
kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio tromboksan A2 :
prostasiklin.

Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel akan mengakibatkan menurunnya


produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat pembentuknya prostasiklin dan
meningkatnya produksi tromboksan sebagai kompensasi tubuh terhadap kerusakan
endotel tersebut. Preeklampsia berhubungan dengan adanya vasospasme dan aktivasi
sistem koagulasi hemostasis. Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan sentral
pada proses ini di mana hal ini sangat berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
tromboksan dan prostasiklin.

Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan produksi


prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit dan fibrinolisis yang kemudian
akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III shingga
terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyababkan pelepasan tromboksan A2 dan
serotonin sehingga akan terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

d. Imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi imunologis


sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia terjadi penurunan
proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang normotensi yang dimulai sejak
awal trimester II. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada 50% wanita
dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15%.

Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri spiralis oleh
sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi oleh peningkatan
pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal bebas oleh desidua.

Sitokin TNF-α dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif yang berhubungan dengan
preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-α akan merubah sebagian aliran elektron
untuk melepaskan radikal bebas- oksigen yang selanjutkan akan membentuk lipid
peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan.

Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan kerusakan sel
endotel. Radikal bebas-oksigen dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida yang
akan membuat radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini akan
menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang akan
mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan tromboksan di mana terjadi peningkatan
produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin dari endotel vaskuler.

Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden,
aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria).

Antioksidan merupakan kelompok besar zat yang ditunjukan untuk mencegah terjadinya
overproduksi dan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Telah dikenal beberapa
antioksidan yang poten terhadap efek buruk dari radikal bebas diantaranya vitamin E (α-
tokoferol), vitamin C dan β-caroten. Zat antioksidan ini dapat digunakan untuk melawan
perusakan sel akibat pengaruh radikal bebas pada preeklampsia.

Gambar 2. Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi dalam kehamilan.

6. Etiologi dan Patofisiologi Kejang Eklamptik

Patofisiologi kejang eklamptik belum diketahui secara pasti. Kejang eklamptik dapat
disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi lokal otak, dan fokus perdarahan di
korteks otak. Kejang juga sebagai manifestasi tekanan pada pusat motorik di daerah lobus
frontalis. Beberapa mekanisme yang diduga sebagai etiologi kejang adalah sebagai
berikut :8

a. Edema serebral 


b. Perdarahan serebral

c. Infark serebral 

d. Vasospasme serebral 


e. Pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler 


f. Koagulopati intravaskuler serebral 


g. Ensefalopati hipertensi 


7. Pengelolaan umum

a. Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi sampai tekanan diastolik
antara 90-100 mmHg 


b. Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar no.16 atau lebih 


c. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload 


d. Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan pemeriksaan proteinuria 


Infus cairan dipertahankan 1.5 - 2 liter/24 jam 


e. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan



kematian ibu dan janin 


f. Observasi tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap 1 jam 
Auskultasi
paru untuk mencari tanda edema paru. Adanya krepitasi merupakan tanda 
adanya
edema paru. Jika ada edema paru, hentikan pemberian cairan dan berikan 
diuretik (mis.
Furosemide 40 mg IV) 


g. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika pembekuan tidak terjadi setelah
7 
menit, kemungkinan terdapat koagulopati.

· Anti konvulsan

Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang
pada preeklampsia dan eklampsia. Alternatif lain adalah Diasepam, dengan risiko
terjadinya depresi neonatal. 

.

8. Komplikasi:

a. Paru

Edema paru adalah tanda prognostik yang buruk yang menyertai eklampsia. Faktor
penyebab atau sumber terjadinya edema adalah : (1) pneumonitis aspirasi setelah inhalasi
isi lambung jika terjadi muntah pada saat kejang; (2) kegagalan fungsi jantung yang
mungkin sebagai akibat hipertensi akibat berat dan pemberian cairan intravena yang
berlebihan.

b. 
Otak

Pada preeklampsia, kematian yang tiba-tiba terjadi bersamaan dengan kejang atau segera
setelahnya sebagai akibat perdarahan otak yang hebat. Hemipelgia terjadi pada
perdarahan otak yang sublethal. Perdarahan otak cenderung terjadi pada wanita usia tua
dengan hipertensi kronik. Yang jarang adalah sebagai akibat pecahnya aneurisma arteri
atau kelainan vasa otak (acute vascular accident, stroke). Koma atau penurunan
kesadaran yang terjadi setelah kejang, atau menyertai preeklampsia yang tanpa kejang
adalah sebagai akibat edema otak yang luas. Herniasi batang otak juga dapat
menyebabkan kematian. Bila tidak ada perdarahan otak yang menyebabkan koma dan
dengan pemberian terapi suportif yang tepat sampai penderita kembali sadar umumnya
prognosis pada penderita adalah baik.

c. Mata
Kebuataan dapat terjadi setelah kejang atau dapat terjadi spontan bersama
dengan preeklampsia. Ada dua penyebab kebutaan, yaitu :

1) Ablasio retina, yaitu lepasnya retina yang ringan sampai berat. 


2) Iskemia atau infark pada lobus oksipitalis. Prognosis untuk 
kembalinya


penglihatan yang normal biasanya baik, apakah itu yang disebabkan oleh kelainan retina
maupun otak, dan akan kebali normal dalam waktu satu minggu.
d. Psikosis
Eklampsia dapat diikuti keadaan psikosis dan mengamuk, tapi

keadaan ini jarang terjadi. Biasanya berlangsung selama beberapa hari sampai dua
minggu, tetapi prognosis untuk kembali normal umumnya baik, selama tidak ada
kelainan mental sebelumnya.

e. Sistem hematologi

Plasma daeah menurun, viskositas darah meningkat, hemokonsentrasi, gangguan


pembekuan darah, disseminated intravascular coagulation (DIC), sindroma HELLP.

f. Ginjal
Filtrasi glomerulus menurun, aliran plasma ke ginjal meningkat, klirens


assam urat menurun, gagal ginjal akut.

g. Hepar

Nekrosis periportal, gangguan sel liver, perdarahan subkapsuler.

h. Uterus

Solusio plasenta yang dapat menyebabkan perdarahan pascapartum. Abrutio plasenta


yang dapat menyebabkan DIC.

i. Kardiovaskuler

Cardiac arrest, acute decompensatio cordis, spasme vaskular menurun, tahanan pembuluh
darah tepi meningkat, indeks kerja ventrikel kiri naik, tekanan vena sentral menurun,
tekanan paru menurun.

j. Perubahan Metabolisme umum

Asidosis metabolik, gangguan pernapasan maternal.

Daftar Pustaka :

1. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.


2. Lindheimer MD., Taler SJ, Cunningham FG. Hipertension in pregnancy. In:
Journal of the American Society of Hypertension. 2008

3. Angsar MD,dkk. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di


Indonesia edisi kedua. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. 2005

4. Amiruddin R, dkk. Issu Mutakhir tentang Komplikasi Kehamilan (preeklampsia


dan eklampsia). Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS. 2007

5. Cunningham, F.G.et al. Hipertensive Disorder in Pregnancy. In: Williams


Obstetrics-22nd Edition. USA: Mc Graw Hill co. 2005

6. Prasetiyo I. Eklampsia. [online]. [cited: November 2012]. Available from:


http://rsud.patikab.go.id/?page=download&file=EKLAMPSIA.doc&id=13

7. Tierney, M.L., McPhee, S.J., Papadakis, M.A. Current Medical Diagnosis &
Treatment-45th Edition.. USA: Mc Graw Hill co.2006

8. Rambulangi J, Ong T. Preeklampsia dan Eklampsia. In: Rangkuman Protap


Obgyn Unhas

9. Galan, H. et al. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. USA: Elsevier.


2007

10. JNPK-KR. Buku Acuan Pelatihan Klinik Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar.
Jakarta. 2008

11. Pokharel SM, Chattopadhyay SK. HELLP Syndrome – a pregnancy disorder with
poor diagnosis. 2008

12. Witlin AG, Sibai BM. Diagnosis and Management of Women with HELLP
syndrome. 2000

13. Greer IA, Walters B, Nelson C. Maternal Medicine. London: Elsevier. 2007
17. Janin Tumbuh Lambat

1. DEFINISI
Pertumbuhan Janin Terhambat adalah gangguan pertumbuhan pada janin dan bayi
baru lahir yang meliputi semua parameter (lingkar kepala, berat badan, panjang badan),
yang beratnya dibawah 10 persentil untuk usia gestasionalnya. Bayi-bayi antara persentil
10 dan 90 diklasifikasikan sebagai kelompok dengan berat sesuai usia gestasional. 5
Pertumbuhan Janin Terhambat atau Intra Uterine Growth Restriction adalah suatu
keadaan dimana terjadi gangguan nutrisi dan pertumbuhan janin yang mengakibatkan
berat badan lahir dibawah standar berat dari usia kehamilannya.
Menurut Gordon (2005), pertumbuhan janin terhambat (Intrauterine growth
restriction) diartikan sebagai suatu kondisi dimana janin berukuran lebih kecil dari
standar ukuran biometri normal pada usia kehamilan. Kadang pula istilah PJT sering
diartikan sebagai kecil untuk masa kehamilan-KMK (small for gestational age).
Umumnya janin dengan PJT memiliki taksiran berat dibawah persentil ke-10. Artinya
janin memiliki berat kurang dari 90 % dari keseluruhan janin dalam usia kehamilan yang
sama. Janin dengan PJT pada umumnya akan lahir prematur (<37 minggu) atau dapat
pula lahir cukup bulan (aterm, >37 minggu). Bila berada di bawah presentil ke-7 maka
disebut small for gestational age (SGA), di mana bayi mempunyai berat badan kecil yang
tidak menimbulkan kematian perinatal.
Gambar 1. Bayi dengan PJT (kiri) dan bayi dengan pertumbuhan normal sesuai usia
gestasi sumber : www.mountsinai.on.

Gambar 2. Persentil Berat Badan Janin sesuai dengan Usia Kehamilan

Jadi ada dua komponen penting pada PJT yaitu:


1. Berat badan lahir di bawah presentil ke-10
2. Adanya faktor patologis yang menyebabkan gangguan pertumbuhan.
Sedangkan pada KMK ada dua komponen yang berpengaruh yaitu:
1. Berat badan lahir di bawah presentil ke-7
2. Tidak adanya proses patologis.

Ada dua bentuk PJT menurut Renfield (1975) yaitu:


1. Proportionate Fetal Growth Restriction: oleh Campbell dan Thoms (1997) dikenal
juga dengan istilah pertumbuhan janin terhambat simetris, yaitu Janin yang
menderita distress yang lama di mana gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-
minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi lahir sehingga berat, panjang dan
lingkar kepala dalam proporsi yang seimbang akan tetapi keseluruhannya masih di
bawah gestasi yang sebenarnya.
2. Disproportionate Fetal Growth Restriction: oleh Campbell dan Thoms (1997)
dikenal juga dengan istilah pertumbuhan janin terhambat asimetris. Dimana terjadi
akibat distress subakut. Gangguan terjadi beberapa minggu sampai beberapa hari
sebelum janin lahir. Pada keadaan ini panjang dan lingkar kepala normal akan tetapi
berat tidak sesuai dengan masa gestasi. Bayi tampak waste dengan tanda-tanda
sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit, kulit kering keriput dan mudah diangkat,
bayi kelihatan kurus dan lebih panjang.
Pada bayi PJT perubahan tidak hanya terhadap ukuran panjang, berat dan
lingkaran kepala akan tetapi organ-organ di dalam badanpun mengalami perubahan,
misalnya Drillen (1975) menemukan berat otak, jantung, paru dan ginjal bertambah
sedangkan berat hati, limpa, kelenjar adrenal dan thimus berkurang dibandingkan bayi
prematur dengan berat yang sama. Perkembangan dari otak, ginjal dan paru sesuai
dengan masa gestasinya.

2. PERTUMBUHAN NORMAL INTRAUTERIN


Pada masa kehamilan janin mengalami pertumbuhan tiga tahap di dalam
kandungan, yaitu:
1. Hiperplasia, yaitu: Pada 4-20 minggu kehamilan terjadi mitosis yang sangat cepat
dan peningkatan jumlah DNA.
2. Hiperplasia dan hipertrofi, yaitu: Pada 20-28 minggu aktifitas mitosis menurun,
tetapi peningkatan ukuran sel bertambah.
3. Hipertrofi, yaitu: Pada 28-40 minggu pertumbuhan sel menjadi maksimal
terutama pada minggu ke 33, penambahan jumlah lemak, otot dan jaringan ikat
tubuh.
3. PERKEMBANGAN PJT INTRAUTERIN
Peningkatan rasio berat plasenta terhadap berat lahir ditimbulkan oleh kondisi diet
rendah nutrisi terutama protein
1. Kondisi kekurangan nutrisi pada awal kehamilan
Pada kondisi awal kehamilan pertumbuhan embrio dan trofoblas dipengaruhi oleh
makanan. Studi pada binatang menunjukkan bahwa kondisi kekurangan nutrisi
sebelum implantasi bisa menghambat pertumbuhan dan perkembangan.
Kekurangan nutrisi pada awal kehamilan dapat mengakibatkan janin berat lahir
rendah yang simetris. Hal sebaiknya terjadi kondisi percepatan pertumbuhan pada
kondisi hiperglikemia pada kehamilan lanjut
2. Kondisi kekurangan nutrisi pada pertengahan kehamilan
Defisiensi makanan mempengaruhi pertumbuhan janin dan plasenta, tapi bisa juga
terjadi peningkatan pertumbuhan plasenta sebagai kompensasi. Didapati ukuran
plasenta yang luas.
3. Kondisi kekurangan nutrisi pada akhir kehamilan
Terjadi pertumbuhan janin yang lambat yang mempengaruhi interaksi antara janin
dengan plasenta. Efek kekurangan makan tergantung pada lamanya kekurangan.
Pada kondisi akut terjadi perlambatan pertumbuhan dan kembali meningkat jika
nutrisi yang diberikan membaik. Pada kondisi kronis mungkin telah terjadi proses
perlambatan pertumbuhan yang irreversibel.6,7,8
4. KLASIFIKASI
Antara PJT dan KMK banyak terjadi salah pengertian karena definisi keduanya
hampir mirip. Tetapi pada KMK tidak terjadi gangguan pertumbuhan, bayi hanya
mempunyai ukuran tubuh yang kecil. Sedangkan pada PJT terjadi suatu proses patologis
sehingga berat badan janin tersebut kecil untuk masa kehamilannya.
Berdasarkan gejala klinis dan USG janin kecil dibedakan atas:
1. Janin kecil tapi sehat. Berat lahir di bawah presentil ke-10 untuk masa
kehamilannya. Mempunyai ponderal index dan jaringan lemak yang normal.
Ponderal index adalah suatu perbandingan terhadap indeks massa tubuh tapi
memberikan perbandingan yang lebih baik antara individu dengan berbagai
tinggi.
Ponderal index = BB(gram) x 100
PB(cm)
2. Janin dengan gangguan pertumbuhan karena proses patologis, inilah yang disebut
true fetal growth restriction. Berdasarkan ukuran kepala, perut, dan panjang
lengan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Simetris (20%), gangguan terjadi pada fase Hiperplasia, di mana total
jumlah sel kurang, ini biasanya disebabkan oleh gangguan kromosom atau
infeksi kongenital misalnya TORCH. Proses patologis berada di organ
dalam sampai kepala.
2. Asimetris (80%), gangguan terjadi pada fase Hipertrofi, di mana jumlah
total sel normal tetapi ukurannya lebih kecil. Biasanya gangguan ini
disebabkan oleh faktor maternal atau faktor plasenta

Simetris Asimetris
Etiologi: faktor genetik dan infeksi Insufisiensi plasenta kronik
frekuensi : 20% 80%
Mulai dari awal kehamilan Trimester ketiga
Organ terganggu  mikrosefalus Berat>panjang
Timus>hati>jantung> otak
Rasio otak : liver  6:1
Semua bagian tubuh kecil Kepala lebih besar dari perut
Ponderal index normal Meningkat
Perbandingan kepala, perut dan panjang Meningkat
tangan normal
Jumlah sel-lebih kecil Normal
Ukuran sel normal Kecil
Bayi dengan komplikasi prognosisnya Biasanya tanpa komplikasi baik
buruk prognosisnya
Evaluasi USG : BPD  pertumbuhan Pertumbuhan datar
lambat
AC, lingkar perut  kecil Kecil
HC-AC  sama dengan SMK fetus, no Lebih besar dari 1 setelah 37 minggu
brain sparing. biasanya dengan relative brain sparing

Tabel 1. Perbandingan PJT Simetris dan Asimetris

Gambar 3. Perbandingan Ukuran antara bayi PJT kanan dengan bayi normal (kiri)8
Sumber : www.fetal.com

Ada pula tipe campuran dimana terjadi pada kehamilan 20-28 minggu, yaitu gangguan
potensi tumbuh kombinasi hyperplasia dan hipertrofi sel, misalnya pada malnutrisi ibu,
kecanduan obat atau keracunan.

5. ETIOLOGI
PJT merupakan hasil dari suatu kondisi ketika ada masalah atau abnormalitas
yang mencegah sel dan jaringan untuk tumbuh atau menyebabkan ukuran sel menurun.
Hal tersebut mungkin terjadi ketika janin tidak cukup mendapat nutrisi dan oksigen yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan organ dan jaringan, atau karena
infeksi. Meskipun beberapa bayi kecil karena genetik (orang tuanya kecil), kebanyakan
PJT disebabkan oleh sebab lain.
Penyebab dari PJT dapat dibedakan menjadi tiga faktor, yaitu:
1. Maternal
 Tekanan darah tinggi
Pada trimester kedua terdapat kelanjutan migrasi interstitial dan
endotelium trophoblas masuk jauh ke dalam arterioli miometrium sehingga
aliran menjadi lancar menuju retroplasenter sirkulasi dengan tetap. Aliran
darah yang terjamin sangat penting artinya untuk tumbuh kembang janin
dengan baik dalam uterus.
Dikemukakan bahwa jumlah arteri-arterioli yang didestruksi oleh sel
trophoblas sekitar 100-150 pada daerah seluas plasenta sehingga cukup untuk
menjamin aliran darah tanpa gangguan pada lumen dan arteri spiralis terbuka.
Gangguan terhadap jalannya destruksi sel trophoblas ke dalam arteri
spiralis dan arteriolinya dapat menimbulkan keadaan “iskemia retroplasenter”.
Dengan demikian dapat terjadi bentuk hipertensi dalam kehamilan apabila
gangguan iskemianya besar dan gangguan tumbuh kembang janin terjadi
apabila iskemia tidak terlalu besar, tetapi aliran darah dengan nutrisinya
merupakan masalah pokok. Berikut kelainan yang dapat menyebabkan
terjadinya gangguan sirkulasi fetomaternal.
 Penyakit ginjal kronik,
 Diabetes Melitus
 Penyakit jantung dan pernapasan
 Malnutrisi dan anemia
 Infeksi
 Pecandu alcohol, Perokok
Kebiasaan merokok terlebih dalam masa kehamilan akan melahirkan bayi
yang lebih kecil sebesar 200 sampai 300 gram pada waktu lahir. Kekurangan
berat badan lahir ini disebabkan oleh dua faktor yaitu :
Wanita perokok, cenderung makan sedikit karena itu ibu akan kekurangan
substrat di dalam darahnya yang bisa dipergunakan oleh janin.
Merokok menyebabkan pelepasan epinefrin dan norepinefrin yang
menyebabkan vasokonstriksi yang berkepanjangan sehingga terjadi
pengurangan jumlah pengaliran darah kedalam uterus dan yang sampai ke
dalam ruang intervillus.
2. Uterus dan Plasenta
 Penurunan aliran darah di uterus dan plasenta
 Plasenta abruption, plasenta previa, infark plasenta (kematian sel pada
plasenta), korioangioma.
 Infeksi di jaringan ikat sekitar uterus
 Twin-to-twin transfusion syndrome
3. Janin
 Janin kembar
 Penyakit infeksi (Infeksi bakteri, virus, protozoa dapat menyebabkan PJT.
Rubela dan cytomegalovirus (CMV) adalah infeksi yang sering menyebabkan
PJT).
Infeksi intrauterine adalah penyebab lain dari hambatan pertumbuhan
intrauterine.banyak tipe seperti pada infeksi oleh TORCH (toxoplasmosis,
rubella, cytomegalovirus, dan herpes simplex) yang bisa menyebabkan
hambatan pertumbuhan intrauterin sampai 30% dari kejadian. Infeksi AIDS
pada ibu hamil menurut laporan bisa mengurangi berat badan lahir bayi
sampai 500 gram dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir sebelum terkena
infeksi itu.
Diperkirakan infeksi intrauterin meninggikan kecepatan metabolisme pada
janin tanpa kompensasi peningkatan transportasi substrat oleh plasenta
sehingga pertumbuhan janin menjadi subnormal atau dismatur.
 Kelainan kongenital
 Kelainan kromosom (Kelainan kromosom seperti trisomi atau triploidi dan
kelainan jantung bawaan yang berat sering berkaitan dengan PJT. Trisomi 18
berkaitan dengan PJT simetris serta polihidramnion (cairan ketuban berlebih).
Trisomi 13 dan sindroma Turner juga berkaitan dengan PJT) .
 Pajanan teratogen (zat yang berbahaya bagi pertumbuhan janin). Berbagai
macam zat yang bersifat teratogen seperti obat anti kejang, rokok, narkotik,
dan alkohol dapat menyebabkan PJT. (1,2,4,5,6)
Penyebab dari PJT menurut kategori retardasi pertumbuhan simetris dan asimetris
dibedakan menjadi:
1. Simetris: Memiliki kejadian lebih awal dari gangguan pertumbuhan janin yang
tidak simetris, semua organ mengecil secara proporsional. Faktor yang
berkaitan dengan hal ini adalah kelainan kromosom, kelainan organ (terutama
jantung), infeksi TORCH (Toxoplasmosis, Other Agents <Coxsackie virus,
Listeria), Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simplex/Hepatitis B/HIV, Syphilis),
kekurangan nutrisi berat pada ibu hamil, dan wanita hamil yang merokok.
Faktor-faktor lainnya:
a. Nutrisi buruk pada ibu
Pertambahan berat maternal yang jelek, IMT rendah,  penurunan berat
badan lahir anak, mengakibatkan 9x lipat kemungkinan terjadi hambatan
pertumbuhan telah diteliti oleh bansil dan rekan pada 2008.

b. Infeksi janin
Virus, bakteri, protozoa dan spirochete terlibat pada pertumbuhan janin
terhambat, infeksi yang terkenal rubella  insuffisiensi vaskuler dan
cytomegalovirus  sitolisis langsung + penghilangan sel fungsional.
- Hepatitis A  lahir kurang bulan, gangguan pertumbuhan janin
- Listeriosis, tuberculosis, dan sifilis  hambatan pertumbuhan janin,
- Sifilis  plasenta bertambah besar (edema) dan peradangan perivaskuler.
- Toxoplasmosis  infeksi protozoa gangguan pertumbuhan janin, dan
malaria kongenital juga mengakibatkan hal yang sama.
c. Malformasi kongenital
Sebuah penelitian >13000 bayi dengan anomaly structural berat, 22%
diantaranya mengalami hambatan pertumbuhan berat, semakin parah
malformasi semakin rentan janin mengalami KMK.
d. Kelainan kromosom
Aneuploidy kromosomal, seperti trisomy autosomal plasenta dengan
penurunan jumlah arteri yang berotot kecil di batang vili tersier.
- Trisomy 21  hambatan pertumbuhan ringan, pemendekan ukuran femur,
hypoplasia phalanx media
- Trisomy 18 dan 13  lebih pendek dari Aneuploidy kromosomal, seperti
trisomy autosomal plasenta dengan penurunan jumlah arteri yang berotot
kecil di batang vili tersier.
- Trisomy 18 dan 13  lebih pendek.

e. Sindrom Dwarf
Perempuan bertubuh kecil akan memiliki bayi yang juga kecil. Jika
perempuan memulai kehamilan dengan berat badan kurang dari 100 pon,
resiko untuk melahirkan bayi KMK meningkat 2x lipat. Dan hal tersebut
diturunkan lewat garis keturunan maternal.
2. Asimetris: Gangguan pertumbuhan janin asimetris memiliki waktu kejadian
lebih lama dibandingkan gangguan pertumbuhan janin simetris. Beberapa
organ lebih terpengaruh dibandingkan yang lain, lingkar perut adalah bagian
tubuh yang terganggu untuk pertama kali, kelainan panjang tulang paha
umumnya terpengaruhi belakangan, lingkar kepala dan diameter biparietal juga
berkurang. Faktor yang mempengaruhi adalah insufisiensi (tidak efisiennya)
plasenta yang terjadi karena gangguan kondisi ibu termasuk diantaranya
tekanan darah tinggi dan diabetes dalam kehamilan dalam kehamilan(8). Faktor-
faktor lainnya:
a. Penyakit vaskuler
b. Penyakit ginjal kronis
c. Hipoksia kronis
d. Anemia maternal
e. Abnormalitas plasenta dan tali pusat
f. Janin multipel
g. Kehamilan postterm
h. Kehamilan ekstrauteri
3. Kombinasi Simetris dan Asimetris (Intermediate):
a. Obat-obat teratogenik: Narkotika, tembakau, alkohol, beberapa
preparat antikonvulsan, antineoplastik, imunosupresan antirejeksi,
pertumbuhan terhambat mungkin berhubungan dengan ekspresi enzim
fenotipik yang memperlambat metabolisme kafein.
b. Malnutrisi berat

6. PATOFISIOLOGI
Pada kelainan sirkulasi uteroplasenta akibat dari perkembangan plasenta
yang abnormal, pasokan oksigen, masukan nutrisi dan pengeluaran hasil metabolic
menjadi abnormal. Janin menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi pada trimester akhir
sehingga timbul PJT yang asimetrik yaitu lingkar perut jauh lebih kecil dari pada
lingkar kepala. Pada keadaan yang parah mungkin akan terjadi kerusakan tingkat
seluler berupa kelainan nucleus dan mitokondria.2
Pada keadaan hipoksia, produksi radikal bebas di plasenta menjadi sangat
banyak dan antioksidan relative kurang ( misalnya : preeklamsia ) akan menjadi lebih
parah. Soothil dan kawan-kawan (1987) telah melakukan pemeriksaan gas darah pada
PJT yang parah dan menemukan asidosis dan hiperkapnia, hipoglikemi dan
eritroblastosis. Kematian pada jenis asimetris lebih parah jika dibandingkan dengan
simetris.2
Penyebab PJT simetrik adalah factor janin atau lingkungan uterus yang
kronik (diabetes, hipertensi ). Factor janin ialah kelainan genetic (aneuploidy),
umumnya trisomy 21, 13, dan 18. Secara keseluruhan PJT ternyata hanya sekitar 20
% saja yang asimetrik pada penelitian terhadap 8722 di Amerika.2

7. MANIFESTASI KLINIS
Bayi-bayi yang dilahirkan dengan PJT biasanya tampak kurus, pucat, dan berkulit
keriput. Tali pusat umumnya tampak rapuh dan layu dibanding pada bayi normal yang
tampak tebal dan kuat. PJT muncul sebagai akibat dari berhentinya pertumbuhan jaringan
atau sel. Hal ini terjadi saat janin tidak mendapatkan nutrisi dan oksigenasi yang cukup
untuk perkembangan dan pertumbuhan organ dan jaringan, atau karena infeksi. Meski
pada sejumlah janin, ukuran kecil untuk masa kehamilan bisa diakibatkan karena faktor
genetik (kedua orangtua kecil), kebanyakan kasus PJT atau Kecil Masa Kehamilan
(KMK) dikarenakan karena faktor-faktor lain. Beberapa diantaranya sbb:
PJT dapat terjadi kapanpun dalam kehamilan. PJT yang muncul sangat dini sering
berhubungan dengan kelainan kromosom dan penyakit ibu. Sementara, PJT yang muncul
terlambat (>32 minggu) biasanya berhubungan dengan problem lain. Pada kasus PJT,
pertumbuhan seluruh tubuh dan organ janin menjadi terbatas. Ketika aliran darah ke
plasenta tidak cukup, janin akan menerima hanya sejumlah kecil oksigen, ini dapat
berakibat denyut jantung janin menjadi abnormal, dan janin berisiko tinggi mengalami
kematian. Bayi-bayi yang dilahirkan dengan PJT akan mengalami keadaan berikut :
 Penurunan level oksigenasi
 Nilai APGAR rendah (suatu penilaian untuk menolong identifikasi adaptasi bayi
segera setelah lahir)
 Aspirasi mekonium (tertelannya faeces/tinja bayi pertama di dalam kandungan)
yang dapat berakibat sindrom gawat nafas
 Hipoglikemi (kadar gula rendah)
 Kesulitan mempertahankan suhu tubuh janin
 Polisitemia (kebanyakan sel darah merah)

8. MORBIDITAS DAN MORTALITAS


Pada kasus PJT bayi lahir dengan asphyxia, meconium aspiration, hipoglikemi,
hipotermi, polisitemi yang semua hal ini menyebabkan kelainan neurologi baik pada bayi
cukup bulan atau kurang bulan.
Resiko kematian pada kehamilan kurang bulan akibat PJT lebih tinggi daripada
kehamilan cukup bulan. Kematian terutama diakibatkan oleh infeksi virus, kelainan
kromosom, penyakit ibu, insufisiensi plasenta, atau akibat faktor lingkungan dan sosial
ekonomi.

9. DIAGNOSIS
diagnosis PJT dapat diketahui
1. Faktor Ibu
Ibu hamil dengan penyakit hipertensi, penyakit ginjal, kardiopulmonal dan pada
kehamilan ganda.
2. Tinggi Fundus Uteri
cara ini sangat mudah, murah, aman, dan baik untuk diagnosa pada kehamilan
kecil. Caranya dengan menggunakan pita pengukur yang di letakkan dari simpisis pubis
sampai bagian teratas fundus uteri. Bila pada pengukuran di dapat panjang fundus uteri 2
(dua) atau 3 (tiga) sentimeter di bawah ukuran normal untuk masa kehamilan itu maka
kita dapat mencurigai bahwa janin tersebut mengalami hambatan pertumbuhan.
Cara ini tidak dapat diterapkan pada kehamilan multipel, hidramnion, janin letak
lintang.
3. USG Fetomaternal
Pada USG yang diukur adalah diameter biparietal atau cephalometry angka
kebenarannya mencapai 43-100%. Bila pada USG ditemukan cephalometry yang tidak
normal maka dapat kita sebut sebagai asimetris PJT. Selain itu dengan lingkar perut kita
dapat mendeteksi apakah ada pembesaran organ intra abdomen atau tidak, khususnya
pembesaran hati.
Tetapi yang terpenting pada USG ini adalah perbandingan antara ukuran lingkar
kepala dengan lingkar perut (HC/AC) untuk mendeteksi adanya asimetris PJT.
Pada USG kita juga dapat mengetahui volume cairan amnion, oligohidramnion
biasanya sangat spesifik pada asimetris PJT dan biasanya ini menunjukkan adanya
penurunan aliran darah ke ginjal.(6)
Setiap ibu hamil memiliki patokan kenaikan berat badan. Misalnya, bagi ibu yang
memiliki berta badan normal, kenaikannya sampai usia kehamilan 9 bulan adalah antara
12,5 kg-18 kg, sedangkan bagi yang tergolong kurus, kenaikan sebaiknya antara 16 kg-20
kg. Sementara, jika Anda termasuk gemuk, maka pertambahannya antara 6 kg–11,5 kg.
Bagi ibu hamil yang tergolong obesitas, maka kenaikan bobotnya sebaiknya kurang dari
6 kg. Untuk memantau berat badan, terdapat parameter yang disebut dengan indeks
massa tubuh (IMT). Patokannya, bila :
IMT 20 – 24 = normal IMT 25 – 29 = kegemukan (overweight) IMT lebih dari 30 =
obesitas IMT kurang dari 18 = terlalu keras
Jadi, jika IMT Anda 20-24, maka kenaikan bobot tubuh selama kehamilan antara
12,5 kg-18 kg, dan seterusnya. Umumnya, kenaikan pada trimester awal sekitar 1
kg/bulan. Sedangkan, pada trimester akhir pertambahan bobot bisa sekitar 2 kg/bulan(9).
4. Doppler Velocimetry
Dengan menggunakan Doppler kita dapat mengetahui adanya bunyi end-diastolik
yang tidak normal pada arteri umbilicalis, ini menandakan bahwa adanya PJT.
5. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan gula darah, bila ada indikasi diabetes mellitus
2. Screening penyakit infeksi, waspada infeksi TORCH, Syphilis
3. Pengukuran kadar enzim transaminase, waspada Hepatitis B dan C
6. Pengukuran Cairan Amnion
Terdapat hubungan antara oligohidramnion dengan pertumbuhan janin terhambat,
juga semakin kecil kantong cairan amnion semakin besar angka kematian perinatal.
Karena semakin sedikit cairan amnion berarti kurangnya jumlah produksi urin janin
akibat hipoksia dan penurunan aliran darah ginjal.1
10. DIAGNOSIS BANDING
Janin kecil pada ibu yang ukuran tubuhnya kecil pula. Wanita yang tubuhnya
kecil secara khas akan memiliki bayi yang berukuran kecil pula. Jika wanita itu memulai
kehamilannya dengan berat badan kurang dari 100 pound (<50 kg). Resiko melahirkan
bayi yang kecil menurut usia gestasionalnya akan meningkat paling tidak dengan
sebanyak dua kali lipat (Eastman dan Jackson,1986; Simpson dkk.,1975). Pada wanita
yang kecil dengan ukuran panggul yang kecil, kelahiran bayi yang kecil dengan berat
lahir yang secara genetik dibawah berat lahir rata-rata untuk masyarakat umum, tidak
selalu merupakan kejadian yang tidak dikehendaki.
11. KOMPLIKASI PJT
PJT yang tidak segera diberi tindakan penanganan dokter dapat menyebabkan
bahaya bagi janin hingga menyebabkan kematian. Kondisi ini disebabkan karena
terjadinya kondisi asupan nutrisi dan oksigenasi yang tidak lancar pada janin. Jika
ternyata hambatan tersebut masih bisa di tangani kehamilan bisa dilanjutkan dengan
pantauan dokter, sebaliknya jika sudah tidak bisa ditangani maka dokter akan mengambil
tindakan dengan memaksa bayi untuk dilahirkan melalui operasi meski belum pada
waktunya.
Komplikasi pada PJT dapat terjadi pada janin dan ibu :
1. Janin
Antenatal : gagal nafas dan kematian janin
Intranatal : hipoksia dan asidosis
Setelah lahir :
a. Langsung:
 Asfiksia
 Hipoglikemi
 Aspirasi mekonium
 DIC
 Hipotermi
 Perdarahan pada paru
 Polisitemia
 Hiperviskositas sindrom
 Gangguan gastrointestinal
b. Tidak langsung
Pada simetris PJT keterlambatan perkembangan dimulai dari lambat dari
sejak kelahiran, sedangkan asimetris PJT dimulai sejak bayi lahir di mana
terdapat kegagalan neurologi dan intelektualitas. Tapi prognosis terburuk
ialah PJT yang disebabkan oleh infeksi kongenital dan kelainan
kromosom.
2. Ibu
 Preeklampsi
 Penyakit jantung
 Malnutrisi
12. PENATALAKSANAAN
Berbagai komplikasi bisa terjadi pada fetus atau neonatus yang menderita
hambatan pertumbuhan intrauterin maka kehamilan/persalinan berisiko menghendaki
dilakukannya beberapa prinsip dasar berikut:
1. Deteksi dini (skrining)

Deteksi dini kasus-kasus berisiko tinggi akan hambatan pertumbuhan intrauterin


perlu dikerjakan karena akan memberi cukup waktu untuk merencanakan dan
melakukan suatu intervensi yang diperlukan atau membuat rencana kerja sebelum
terjadi kerusakan pada janin. Perlu perhatian yang serius pada pasien hamil risiko
tinggi seperti hipertensi, ibu perokok atau peminat alkohol atau narkoba, keadaan
gizi jelek karena malnutrisi, ibu dengan penambahan berat badan yang minimal
dalam kehamilan, pernah melahirkan bayi dengan hambatan pertumbuhan
intrauterine atau kelainan kongenital, diabetes, anemia.1

2. Menghilangkan faktor penyebab

Gizi wanita hamil lebih bergantung kepada jumlah kalori yang masuk dari
pada komponen kalori itu sendiri. Wanita hamil perlu mengkonsumsi 300
kalori lebih banyak dari pada yang dikonsumsinya sebelum hamil dengan
kandungan protein 1,5 gram/kg per hari. Dengan demikian penambahan berat
badan dalam kehamilan pada keadaan normal bila dicapai 12 sampai 16 kg.
Kurang gizi, merokok, alkohol, dan penyalahgunaan obat-obatan dan sebagainya
perlu diatasi terutama dalam masa hamil.1

3. Meningkatkan aliran darah ke uterus

Pada keadaan sistem vaskular berdilatasi maksimal jumlah darah yang mengalir
kedalam uterus berbanding langsung dengan tekanan darah maternal. Semua
pekerjaan fisik yang berat akan mengurangi jumlah darah yang mengalir ke dalam
uterus sehingga memberatkan keadaan janin yang telah menderita hambatan
pertumbuhan intrauterin. Oleh karena itu semua pekerjaan fisik dilarang pada
kehamilan dengan hambatan pertumbuhan intrauterin. 1

4. Melakukan fetal surveillance antepartum

Sebelum melaksanakan program fetal surveilllance yang intensif perlu


diperhatikan bahwa janin tidak dalam keadaan cacat kongenital misalnya trisomi
yang sering bersama dengan hambatan pertumbuhan intaruterin simetris yang
berat. Jika diduga ada keadaan yang demikian lebih dahulu perlu dilakukan
pemeriksaan kariotip janin untuk konfirmasi. Cairan ketuban (diperoleh melalui
amniosintesis) atau darah tali pusat (diperoleh melalui kordosintesis) dapat
dipakai untuk pemeriksaan kariotip janin. Program surveillance antepartum
sudah boleh dimulai pada usia kehamilan 24 minggu bila diagnosis hambatan
pertumbuhan intrauterin telah ditegakkan. Beberapa uji penilaian yang perlu
dikerjakan sampai kehamilan diterminasi adalah uji tanpa beban untuk memonitor
reaktivitas jantung janin (2x seminggu), pengurangan volume cairan ketuban dan
hambatan pertumbuhan kepala dengan memantau pertumbuhan DBF dengan
ultrasonografi setiap minggu. Disamping itu bila perlu dilakukan penilaian
kesehatan janin melalui pemeriksaan-pemeriksaan profil biofisik, Doppler
velocymetri aliran darah arteri umbilikalis, dan pemeriksaan gas darah janin.1

5. Uji tanpa beban

Telah disepakati bahwa hasil uji tanpa beban yang menghasilkan akselerasi 15
beat per menit atau lebih yang berlangsung paling tidak selama 15 detik sebanyak
2 kali atau lebih dalam tempo 20 menit pengamatan dianggap normal atau disebut
rekaman yang reaktif. Jika pada uji tanpa beban yang dilakukan setiap minggu
tidak terdapat rekaman yang reaktif, maka langkah berikut adalah melakukan uji
beban kontraksi. 1
6. Uji beban kontraksi

Uji beban kontraksi dibuat untuk mendeteksi kekurangan suplai oksigen


uteroplasenta yang sampai ke fetus selama uterus berkontraksi. Menurut Poseiro
dkk bila kontraksi uterus menyebabkan kenaikan tekanan intrauterin melebihi 30
mmHg, tekanan di dalam miometrium akan melebihi tekanan di dalam
arteri dan darah yang mengandung oksigen tidak lagi bisa masuk ke dalam
ruang intervillus. Untuk menimbulkan kontraksi uterus yang cukup kuat sehingga
terjadi efek tersebut diatas dan memenuhi syarat untuk uji beban kontraksi
(Contraction Stress Test atau CST) dapat diperoleh dengan beberapa cara seperti :
a. Merangsang puting susu ibu (disebut Nipple Stimulation Test atau NST)
b. Memberi infus larutan encer oksitosin (disebut Oxytocin Challenge Test
atau OCT)
c. Dalam masa partus dimana telah ada his spontan. Pada OCT pasien diberi
infus larutan encer oksitosin (10 unit oksitosin dalam 1000 ml cairan
penghantar seperti larutan Ringer Laktat).
Dengan demikian setiap 2 tetes larutan mengandung 1 ml oksitosin. Dimulai
dengan kecepatan 1 sampai 2 mU (2 sampai 4 tetes) per menit yang secara
bertahap tiap 15 menit dinaikkan sampai terdapat tiga his dalam 10 menit.
Bila pada rekaman terdapat

deselerasi lambat yang persisten berarti janin dalam keadaan hipoksia akibat
dari insufisiensi fungsi plasenta. Uji beban kontraksi memakan waktu
yang lama dan mempunyai pengaruh yang memberatkan hipoksia pada janin.
Kedua hal ini tidak terdapat pada uji tanpa beban. 1

7. Terminasi kehamilan lebih awal

Bila semua hasil pemeriksaan fetal surveillance normal terminasi kehamilan


yang optimal dilakukan pada usia kehamilan 38 minggu. Jika serviks matang
dilakukan induksi partus. Sebaliknya bila hasil fetal surveillance menjadi
abnormal dalam masa pemantauan sebelum mencapai usia kehamilan 38
minggu, kematangan paru janin perlu dipastikan dengan pemeriksaan rasio
lesitin/sfingomielin air ketuban. Bila ternyata paru-paru janin telah matang
(rasio L/S= 2 atau lebih) terminasi kehamilan dilakukan bila terdapat: 1

a. Uji beban kontraksi positif


b. Oligohidramion
c. BPD tidak bertambah lagi yang berarti otak janin berisiko tinggi
mengalami disfungsi.

8. Monitoring Antepartum
Setelah ditetapkan tidak ada kelainan janin, perlu dipertimbangkan
bila janin akan dilahirkan. Bagi situasi di Indonesia, saat yang tepat ialah
bergantung pada arus darah arteri umbilical dan usia gestasi. Arteri
umbilikalis dan usia gestasi. Arteri umbilikalis yang tidak memiliki arus
diastolic (absent diastolic flow) bahkan adanya arus terbalik (reverse flow)
akan mempunyai prognosis buruk berupa kematian janin dalam < 1 minggu.
Usia optimal untuk melahirkan bayi ialah 33-34 minggu dengan
pertimbangan sudah dilakukan pematangan paru. Pemeriksaan kardiotokograi
akan membantu diagnosis adanya hipoksia janin lanjut berupa deselerasi
lambat denyut jantung. Skor fungsi dinamik janin plasenta yaitu upaya
mengukur peran PJT pada profil biofasik akan membantu menentukan
saatnya terminasi kehamilan.2,6
Penggunaan stimulasi akustik penting untuk meningkatkan
sensitivitas, mengingat terdapat positif palsu pada janin yang tidur. Dengan
stimulasi, janin terpaksa dibangunkan sehingga terhindar dari gambaran non
reaktif. Skor maksimum ialah 10 dimana dianggap janin masih baik. Dengan
demikian, bila hasil penilaian ditemukan < 6, maka dapat dicurigai adanya
asidosis (sensitivitas 80%, spesifisitas 89%), sehingga sebaiknya dipilih
melahirkan dengan seksio sesarea. Sebaliknya bila ditemukan nilai yang ≥ 6
maka perlu dipertimbangkan melahirkan bayi dengan induksi. Akibat
oligohidramnion, mungkin terjadi kompresi tali pusat atau sudah terjadi
insufisiensi plasenta (deselerasi lambat) sehingga dapat membahayakan janin
mengalami asidosis. Dalam hal itu sebaiknya dipertimbangkan seksio sesarea.
Pemeriksaan gas darah tali pusat sangat dianjurkan untuk membantu
manajemen pascakelahiran.2,6
Pengobatan dengan kalsium bloker, betamimetik, dan hormone
ternyata tidak mempunyai dasar dan bukti yang bermakna.2,6
Jika pertumbuhan janin menjadi datar (plateau) dan ICA menurun,
atau tonus bayi atau gerakan janin menghilang, maka lakukan surveilans lebih
intensif 2-3 kali per minggu, atau rawat inap dan buat rencana persalinan.
Pemeriksaan Doppler abnormal (ED flow absent atau reserved) merupakan
tanda untuk melakukan intervensi segera, mungkin terminasi kehamilan. 3
Jika kehamilan <34 minggu, berikan kortikosteroid untuk ibu. Jika
kehamilan cukup ( >37 minggu ), monitor ketat ibu dan janin, dan diskusikan
untuk di terminasi kehamilan. Tempat persalinan pada kasus IUGR harus
mempunyai fasilitas yang memadai, termasuk Sp.OG, Sp.A dan
perinatologis, Sp.An, dan akses untuk melakukan SC.3,5
Di daerah terpencil, petugas kesehatan harus menentukan apakah
pasien harus dilakukan terminasi kehamilan atau dirujuk. 3
Aspirin dosis rendah direkomendasikan pada wanita dengan
insufisiensi plasenta sebelumnya, termasuk IUGR dan preeklamsi. Harus
dimulai saat usia kehamilan 12-16 minggu, dilanjutkan sampai 36 minggu.3,5
Aspirin dosis rendah direkomendasikan pada wanita dengan 2 atau
lebih factor risiko termasuk hipertensi gestasional, obesitas, usia > 40 tahun,
riwayat ART (assisted repro tech), pregestasional DM, kehamilan multiple,
riwayat solusio plasenta, riwayat infark plasenta. Dimulai antara usia 12-16
minggu, dilanjutkan sampai 36 minggu.3,5

Pemeriksaan tambahan
Pasien dengan IUGR, skrining maternal untuk mencari etiologic
infeksi dapat dipertimbangkan. Saat ditegakkan diagnosis IUGR lakukan
surveilans. Lakukan USG serial setiap 2 minggu dan lakukan doppler a.
umbilikalis. Bias lakukan juga pemeriksaan doppler MCA ( middle cerebral
artery ), v. umbilikalis.
9. Monitoring intrapartum

Dalam persalinan perlu dilakukan pemantauan terus menerus sebab fetus


dengan hambatan pertumbuhan intrauterin mudah menjadi hipoksia dalam
masa ini. Oligohidramnion bisa menyebabkan tali pusat terjepit sehingga
rekaman jantung janin menunjukkan deselerasi variabel. Keadaan ini diatasi
dengan memberi infus kedalam rongga amnion (amnioinfusion). Pemantauan
dilakukan dengan kardiotokografi kalau bisa dengan rekaman internal pada
mana elektroda dipasang pada kulit kepala janin setelah ketuban
pecah/dipecahkan dan kalau perlu diperiksa pH janin dengan pengambilan
sampel darah pada kulit kepala. Bila pH darah janin < 7,2 segera
lakukan resusitasi intrauterin kemudian disusul terminasi kehamilan dengan
bedah. Resusitasi intrauterin dilakukan dengan cara ibu diberi infus (hidrasi
maternal) merebahkan dirinya kesamping kiri, bokong ditinggikan sehingga
bagian terdepan lebih tinggi, berikan oksigen kecepatan 6 I/menit, dan
his dihilangkan dengan memberi tokolitik misalnya terbutalin 0,25 mg
subkutan.1

Tatalaksana hipoglikemia ibu


Menurut PERKENI (2006) pedoman tatalaksana hipoglikemi
- Target gula darah puasa yaitu 120 mg/dl
- Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (IV)  1 flash (25 cc) dex 40%
(10gr Dex) dapat meningkatkan kadar glukosa ±25-30 mg/dl
- Hipoglikemia ringan :
1. Berikan 150-200 ml the manis / jus buah atau 6-10 butir
permen / 2-3 sendok the sirup atau madu
2. Bila gejala tidak berkurang dalam 15 menit  ulangi
pemberiannya (tak dianjurkan pemberian makanan tinggi
kalori  coklat, kue, donat, ice cream, cake)
- Hipoglikemia berat :
1. Tergantung tingkat kesadaran Pasien
2. Bila Pasien tak sadar  jangan berikan makanan atau
minuman  aspirasi
Pilihan terapi hipoglikemi
 Glukosa oral
 Glukosa intravena
 Glucagon 1 mg (SC/IM)
 Thiamine 100 mg (IV/IM)  pada Pasien alcoholic (Wernicke
encephalopathy)
 Monitoring
Penatalaksanaan pada Neonatus
Penanganan bayi harus dilakukan seoptimal mungkin, harus dikelola sejak
dilahirkan. Persiapan resusitasi neonatus harus dilakukan dengan baik.
Evaluasi segera setelah lahir, meliputi: penghitungan nilai APGAR,
pemeriksaan keadaan umum bayi, pemeriksaan fisik untuk melihat adanya
cacat bawaan, pemeriksaan plasenta, pemeriksaan kadar glukosa, pemeriksaan
hematokrit tali pusat, pengawasan lanjut.9,10
Masalah yang mungkin timbul pada bayi adalah perubahan
morfologi/fisiologi akibat gangguan pertumbuhan intrauterin, makrosomia,
cacat bawaan; gangguan metabolik seperti hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia, hiperbilirubinemia; gangguan hematologik seperti
polisitemia atau hiperviskositas darah; serta gangguan pernafasan dan kelainan
jantung bawaan. 9,10
1. Hipoglikemia
Dikatakan hipoglikemia bila kadar gula darah <40 mg/dl (<2,6 mmol/L) baik
pada bayi aterm atau preterm.9
Bila hipoglikemia asimptomatik, pemberian makanan sedini mungkin, bila
dua kali pemberian makan dini ( interval 2 jam) tidak berhasil maka
diberikan IVFD dekstrose 10%.10
Bila hipoglikemia simptomatik, berikan dekstrose 10% dengan dosis inisial 2
cc/kgBB diboluskan selama 5 menit (8-10 mg/kgBB/menit) dilanjutkan
IVFD dekstrose 10% (jumlah cairan sesuai umur dan berat badan). Monitor
kadar gula darah setiap 2 jam dalam 6 jam pertama, selanjutnya setiap 4 jam.
Bila 2 kali pemeriksaan kadar gula darah stabil tidak perlu dimonitor lagi.
Bila kadar gula darah normal tidak tercapai dalam 4 jam (masih <40 mg/dl),
maka diberi dekstrose 12,5% melalui jalur intravena perifer, bahkan bisa
ditingkatkan untuk pemberian dekstrose 15% melalui jalur intravena sentral.
Bila dalam 4 jam belum tercapai kadar gula darah normal, maka ditambahkan
hidrokortison 5 mg/kgBB dalam cairan infus setiap 12 jam atau prednison 2
mg/kgBB dibagi 3 dosis9,10

2. Hipokalsemia
Hipokalsemia dengan kejang harus diobati dengan larutan kalsium glukonat
10% sebanyak 1 ml/kgBB intravena, kadar kalsium dipantau setiap 12 jam
dan selama pemantauan diperhatikan adanya bradikardia, aritmia jantung dan
ekstravasasi cairan dari alat infus karena dapat menyebabkan nekrosis
kulit. 9,10
3. Hipomagnesemia
Dapat dikoreksi dengan larutan magnesium sulfat 50% sebanyak 1,2
ml/kgBB/hari intramuskuler dalam dibagi dalam 2-3 dosis. 9
4. Pengobatan terhadap Kelainan Hematologis
Pada keadaan hiperbilirubinemia, dilakukan pemantauan terhadap kadar
bilirubun serum dengan seksama sejak bayi mulai kuning, bila perlu
diberikan terapi sinar atau transfusi tukar. Pada polisitemia, apabila kadar
hematokrit darah vena 60-70% tanpa gejala, diberikan tambahan minum
sebanyak 20-40 ml/kgBB/hari. Kadar hematokrit diperiksa setiap 6-12 jam,
sampai nilainya dibawah 65%. Bila kadar Hematokrit >70% dan timbul
gejala, harus dilakukan transfusi tukar parsial dengan plasma beku segar. 9,10

13. PENCEGAHAN
Beberapa penyebab dari PJT tidak dapat dicegah. Bagaimanapun juga, faktor
seperti diet, istirahat, dan olahraga rutin dapat dikontrol. Untuk mencegah komplikasi
yang serius selama kehamilan, sebaiknya seorang ibu hamil mengikuti nasihat dari
dokternya; makan makanan yang bergizi tinggi; tidak merokok, minum alkohol dan
menggunakan narkotik; mengurangi stress; berolahraga teratur; serta istirahat dan tidur
yang cukup. Suplementasi dari protein, vitamin, mineral, serta minyak ikan juga baik
dikonsumsi. Selain itu pencegahan dari anemia serta pencegahan dan tatalaksana dari
penyakit kronik pada ibu maupun infeksi yang terjadi harus baik.
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk mencegah PJT pada janin untuk setiap ibu
hamil sebagai berikut :
1. Usahakan hidup sehat
Konsumsilah makanan bergizi seimbang. Untuk kuantitas, makanlah
seperti biasa ditambah ekstra 300 kalori/hari.
2. Hindari stress selama kehamilan
Stress merupakan salah satu faktor pencetus hipertensi.
3. Hindari makanan obat-obatan yang tidak dianjurkan selama kehamilan Setiap akan
mengkonsumsi obat, pastikan sepengetahuan/resep dokter kandungan.
4. Olah raga teratur
Olah raga (senam hamil) dapat membuat tubuh bugar, dan mampu memberi
keseimbangan oksigenasi, maupun berat badan.
5. Hindari alkohol, rokok, dan narkoba
6. Periksakan kehamilan secara rutin
Pada saat kehamilan, pemeriksaan rutin sangat penting dilakukan agar kondisi ibu
dan janin dapat selalu terpantau. Termasuk, jika ada kondisi PJT, dapat diketahui sedini
mungkin. Setiap ibu hamil dianjurkan melakukan pemeriksaan setiap 4 minggu sampai
dengan usia kehamilan 28 minggu. Kemudian, dari minggu ke 28-36, pemeriksaan
dilakukan setidaknya setiap 2 minggu sekali. Selanjutnya, lakukan pemeriksaan setiap 1
minggu sampai dengan usia kelahiran atau 40 minggu. Semakin besar usia kehamilan,
semakin mungkin pula terjadi hambatan atau gangguan. Jadi, pemeriksaan harus
dilakukan lebih sering seiring dengan bertambahnya usia kehamilan.
14. PROGNOSIS
Kasus PJT yang sangat parah dapat berakibat janin lahir mati (stillbirth) atau jika
bertahan hidup dapat memiliki efek buruk jangka panjang dalam masa kanak-kanak
nantinya. Kasus-kasus PJT dapat muncul, sekalipun Sang ibu dalam kondisi sehat,
meskipun, faktor-faktor kekurangan nutrisi dan perokok adalah yang paling sering.
Menghindari cara hidup berisiko tinggi, makan makanan bergizi, dan lakukan kontrol
kehamilan (prenatal care) secara teratur dapat menekan risiko munculnya PJT.

Daftar Pustaka :

1. Cunninghan FG, Gant NF, Leveno KJ, et al, Obstetri Williams Vol 1/Edisi 21. EGC.
Jakarta. 2005.

2. Alkalay A, IUGR. http://pdfcontact.com/ebook/pengertian_iugr.html 2008.

3. Chatelain F, 2010. Children Born With IUGR. Diunduh tanggal 17 februari 2015 dari
situs www.sav.sk/journals/endo/full/er0100f.pdf.

4. Harper T, 2008. Fetal Growth Restriction. Diakses tanggal 17 Februari 2015 dari situs
www.emedicine.com

5. Wikjosastro H, Ilmu Kandungan Edisi ke 2 Cetakan ke 4. YBB-SP. Jakarta. 2005.

6. JamesWD, 2009. IUGR.diakses tanggal 16 Februari dari situs


www.freedownloadbooks.net/-IUGR-pdf.

7. Sasongko W, 2009. Pertumbuhan Janin Terhambat. Diakses tanggal 16 Februari 2015


dari situs www.botefilia.com

8. Sharoon C, 2010. Intrauterine Growth Restriction. Diakses tanggal 16 Februari 2015


dari situs www.imagingpathways.health.wa.gov.au /includes/pdf/ iugr.pdf-

9. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. A Lange clinical manual neonatologi:
management, procedures, on call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-5. USA: 2004.

10. Levene MI, Tudehope DI, Sinha S. Essential neonatal medicine. Edisi ke-4.
Massachusetts: Blackwel: 2008.
18. Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan

Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil

1. Definisi
Anemia adalah kehamilan dengan kondisi ibu dengan kadar hemoglobin
dibawah 11% pada trimester 1 dan 3 atau kadar <10,5% pada trimester 2. Nilai
batas tersebut perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil terjadi karena
hemodilusi, terutama pada trimester ke 2.
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah,
yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi
transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang
menurun.
Pada kehamilan anemia kekurangan besi akan timbul jika keperluan besi
(kira-kira 1000mg pada kehamilan tunggal) tidak dapat dipenuhi dari cadangan
besi dan dari besi yang dapat diabsorpsi dari traktus gastrointestinal.
Volume darah bertambah cepat pada kehamilan trimester 2 sehingga
kekurangan besi seringkali terlihat pada turunnya kadar hemoglobin. Meskipun
bertambahnya volume darah tidak begitu banyak pada trimester 3, tetapi
keperluan akan besi tetap banyak karena penambahan HB ibu terus berlangsung
dan lebih banyak besi yang diangkut melalui plasenta ke neonatus.
Pada kehamilan, kehilangan zat besi akibat pengalihan besi maternal ke
janin untuk eritropoeisis, kehilangan zat darah saat persalinan, dan laktasi yang
jumlah keseluruhannya mencapai 900mg atau setara 2 liter darah. Oleh karena
sebagian besar perempuan mengawali kehamilan dengan cadangan besi yang
rendah, maka kebutuhan tambahan ini berakibat pada anemia defisiensi besi.

2. Epidemiologi
1. Frekuensi ibu hamil dengan anemia cukup tinggi di Indonesia yaitu 63,5%,
sedangkan di amerika hanya 6%. Kekurangan gizi dan perhatian yang kurang
terhadap ibu hamil merupakan predisposisi anemia defesiensi pada ibu hamil
di Indonesia.
2. Menurut WHO, 40% kematian ibu di Negara berkembang berkaitan dengan
anemia dalam kehamilan.
3. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh anemia defesiensi besi
dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi.
4. Defeisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi yang paling sering ditemukan
baik di negara maju maupun negara berkembang. Risikonya meningkat pada
kehamilan dan berkaitan dengan asupan besi yang tidak adekuat dibandingkan
kebutuhan pertumbuhan janin yang cepat.

3. Etiologi
Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan
perdarahan akut bahkan tidak jarang keduannya saling berinteraksi. Penyebab
anemia pada umumnya adalah sebagai berikut:
a. Kurang gizi (malnutrisi)
b. Kurang zat besi dalam diit
c. Malabsorpsi
d. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dan lain-lain
e. Penyakit-penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dan lain-
lain

Anemia defisiensi besi pada kehamilan disebabkan oleh :


a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
b.Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.
c.Kurangnya zat besi dalam makanan.
d.Kebutuhan zat besi meningkat.

4. Patofisiologi
Zat besi merupakan zat penting untuk organisme hidup karena berfungsi pada
berbagai proses metabolisme, termasuk transport osigen, sintesis DNA , dan
transport elektron.
Perubahan hermatologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang semakin meningkat terhadap plasenta dan pertumbuhan
payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester II kehamilan
dan maksimum terjadi pada bulan ke-9 dan meningkat sekitar 1000 ml, menurun
sedikit menjelang atern serta kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi
yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasma, yang menyebabkan
peningkatan sekresi aldesteron.
Selama kehamilan kebutuhan tubuh akan zat besi meningkat sekitar 800-1000
mg untuk mencukupi kebutuhan seperti terjadi peningkatan sel darah merah
membutuhkan 300-400 mg zat besi dan mencapai puncak pada usia kehamilan 32
minggu, janin membutuhkan zat besi sekitar 100-200 mg dan sekitar 190 mg
terbuang selama melahirkan. Dengan demikian jika cadangan zat besi sebelum
kehamilan berkurang maka pada saat hamil pasien dengan mudah mengalami
kekurangan zat besi.
Gangguan pencernaan dan absorbs zat besi bisa menyebabkan seseorang
mengalami anemia defisiensi besi. Walaupun cadangan zat besi didalam tubuh
mencukupi dan asupan nutrisi dan zat besi yang adikuat tetapi bila pasien
mengalami gangguan pencernaan maka zat besi tersebut tidak bisa diabsorbsi dan
dipergunakan oleh tubuh.
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi dari gangguan keseimbangan
zat besi yang negatif, jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak mencukupi kebutuhan
tubuh. Pertama-tama untuk mengatasi keseimbanganyang negatif ini tubuh
menggunakan Universitas Sumatera Utara cadangan besi dalam jaringan
cadangan. Pada saat cadangan besi itu habis barulah terlihat tanda dan gejala
anemia defisiensi besi.
Berkembangnya anemia dapat melalui empat tingkatan yang masing-masing
berkaitan dengan ketidaknormalan indikator hematologis tertentu.
1. Tingkatan pertama disebut dengan kurang besi laten yaitu suatu keadaan
dimana banyaknya cadangan besi yang berkurang dibawah normal namun
besi didalam sel darah merah dari jaringan tetap masih normal.
2. Tingkatan kedua disebut anemia kurang besi dini yaitu penurunan besi
cadangan terus berlangsung sampai atau hampir habis tetapi besi didalam
sel darah merah dan jaringan belum berkurang.
3. Tingkatan ketiga disebut dengan anemia kurang besi lanjut yaitu besi
didalam sel darah merah sudah mengalami penurunan namun besi dan
jaringan belum berkurang.
4. Tingkatan keempat disebut dengan kurang besi dalam jaringan yaitu besi
dalam jaringan sudah berkurang atau tidak ada sama sekali.
5. Gejala klinis
Gejala berupa :
- Lemah dan cepat lelah ketika beraktivitas
- Kram pada kaki ketika menaiki tangga
- Craving ice misalnya sayuran dingin untuk di hisap dan di kunyah
- Intoleransi dingin
- Penurunan resistensi terhadap infeksi
- lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang,
- telinga berdenging
- nafsu makan menurun, malaise, konsentrasi hilang
- keluhan mual muntah lebih hebat
Pemeriksaan fisik :
- konjungtiva anemis, lidah luka, jaringan di bawah kuku tampak pucat,
pembesaran kelenjar limpa.
Gejala khas :
- koilonychias, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, atrofi mukosa
gaster sehingga menimbulkan akhloridia dan pica.
6. Penatalaksanaan
- Lakukan pemeriksaan hapusan darah tepi terlebih dahulu
- Bila pemeriksaan hapusan darah tepi tidak tersedia, maka berikan
suplementasi tablet besi dan asam folat (60 mg besi elemental dan 250 µg
asam folat) diberikan 3x sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan,
lanjutkan pemberian tablet sampai 42 hari pasca salin. Apabila setelah 90 hari
pemberian tablet besi dan asam folat kadar Hb tidak meningkat, rujuk pasien.
- Bila hasil hapusan darah tepi menunjukkan mikrositik hipokrom : cek kadar
ferritin. Kadar ferritin < 15ng/ml berikan terapi dosis setara 180 mg besi
elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal lakukan pemeriksaan SI dan
TIBC.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2013. Buku Saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar
dan rujukan. Kementerian kesehatan RI : Jakarta
2. Fatimah, Hadju et al. 2011. Pola konsumsi dan kadar hemoglobin pada ibu hamildi
kabupaten maros Sulawesi selatan. Makalah kesehatan vol. 15 (1):31-36 : Jakarta
3. Rigby, Fidelma. 2016. Anemuia and Trombocytopenia in Pregancy. Emedicine.
Medscape.com.
19. Persalinan Preterm

1. Definisi
Diagnosis persalinan preterm dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari
37 minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang
dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain
mengatakan persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan
20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). (1,2)
2. Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab persalinan preterm multifaktorial dan
sesuai dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah: 1,2,3,4
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal,
baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau janin), dan
8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I, penyalahgunaan
obat, merokok, atau konsumsi alkohol).

Tabel 2.1 Etiologi dan alur persalinan preterm yang diakui secara umum9
3. Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi persalinan preterm kurang dapat dipahami, namun terdapat
banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan preterm, dan pengetahuan
terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya
persalinan preterm.1 Namun sayangnya upaya untuk menilai faktor risiko tersebut
tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari persalinan preterm terjadi pada wanita
yang tidak memiliki faktor risiko yang jelas. 1,2,3,4
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya persalinan preterm:
Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop electrosurgical
excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.

Faktor risiko minor


1. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu
2. Riwayat pielonefritis
3. Merokok lebih dari 10 batang perhari
4. Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua
5. Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.

Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau dua
atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.1,2,3,4
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan adalah
tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status sosioekonomi yang
rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya (seperti infeksi
maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa, kehamilan yang diperoleh melalui
bantuan medikasi, terlambat atau tidak melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah
penting dalam pencegahan persalinan preterm adalah bagaimana mengidentifikasi faktor
risiko dan kemudian memberikan asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat
mengurangi risiko tambahan. 1,2,3,4
4. Patogenesis
Penyebab persalinan preterm multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama
lain. Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada persalinan preterm: 1,2,3,4
- Aktivasi aksis hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu: stres
Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang
mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan mengakibatkan
akitivasi prematur hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin
diakui sebagai faktor risiko penting untuk persalinan preterm. Beberapa penelitian telah
menemukan 50% hingga 100% kenaikan angka kelahiran preterm berhubungan dengan
stres pada ibu, dan biasanya merupakan gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan,
kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan proses perilaku (seperti
depresi) telah dikaitkan dengan persalinan preterm terkait stres. Namun, proses yang
paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran preterm ialah neuroendokrin,
yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini dimediasi oleh
corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta. 1,2,3,4
- Infeksi dan inflamasi
Patogenesis dari persalinan preterm masih belum dimengerti dengan benar.8
Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam
persalinan preterm.1,8 Meskipun demikian, patogenesis infeksi hingga menyebabkan
persalinan preterm pun hingga kini belum jelas benar, namun diduga berkaitan dengan
sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh
banyak mikroorganisme. 1,2,3,4
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi
infeksi intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria
asimptomatik, dan periodontitis ibu.11 Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada
rongga amnion adalah genital Mycoplasma spp, dan Ureaplasma urealyticum. Beberapa
mikroorganisme yang umum pada saluran genitalia bawah, seperti Streptococcus
agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion sebelum selaput amnion pecah. Rongga
amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya bakteri yang jumlahnya cukup signifikan
pada membran amnion diduga melalui mekanisme sebagai berikut: 2,3,4
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.

Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah
penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks. 2,3,4 Hal ini dapat ditunjukkan oleh
suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika
flora normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida
digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau
Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini,
persalinan preterm, dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih
dari 5,0. 1,2,3,4

Gambar 2.3 Jalur masuknya kuman penyebab infeksi8


- Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)
Perdarahan desidua dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskular dari
plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah dini. Lesi
plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35% dari wanita dengan
ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini dapat
dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri spiralis,
atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang
menghubungkan lesi vaskular dengan persalinan preterm ialah iskemi uteroplasenta.
Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan peran
utama. 2,3,4

- Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)


Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai
persalinan preterm yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan
makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu oleh
tekhnologi (assisted reproduction technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan
fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari persalinan
preterm di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari
semua kelahiran hidup, tetapi 17% dari semua kehamilan multipel; 53% neonatus hasil
dari ART pada tahun 2003 merupakan anak kembar. Mekanisme dari distensi uterus yang
berlebihan hingga menyebabkan persalinan preterm masih belum jelas. Namun diketahui,
peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein gap junction, seperti connexin-43
(CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya yang berhubungan dengan
kontraksi, seperti reseptor oksitosin. 2,3,4,5
- Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada
trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks
berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup
luas, termasuk persalinan preterm. Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi di
antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa
adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu:
(1) kelainan bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari
serviks akibat prosedur operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP)
atau conization; (4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.5
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko persalinan preterm juga
meningkat pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko persalinan preterm pada
wanita yang merokok sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia
dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak
diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan vasokonstriktor yang
kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta menurunnya aliran darah
uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya pertumbuhan janin dan
persalinan preterm.3,4,5
- Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami Persalinan Preterm
Cara utama untuk mengurangi risiko persalinan preterm dapat dilakukan sejak
awal, sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang
berisiko, untuk diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap persalinan
preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat
segera dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan antenatal,
padahal sebenarnya pemeriksaan tersebut mempunyai manfaat yang cukup besar dalam
meramalkan terjadinya persalinan preterm. Bila dijumpai seviks pendek (< 1 cm) disertai
dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks matang/inkompetensi serviks, maka
pasien tersebut mempunyai risiko terjadinya persalinan preterm 3-4 kali.1,2,3,4
Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita
yang berisiko mengalami persalinan preterm: 1,2,3,4
- Skoring risiko
Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh Creasly
dkk. Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam faktor risiko,
antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta penyulit kehamilan
yang dihadapi saat ini. Wanita dengan skor 10 atau lebih dianggap berisiko tinggi
mengalami persalinan preterm.1,4 Meskipun Creasy dkk. serta Covington dkk.
melaporkan bahwa dengan metode skoring yang disertai program pencegahan dengan
penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik.12 Pada prakteknya, penerapan metode ini
belum terbukti berguna. Dan karena metode ini sangat bergantung dengan riwayat
obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak sesuai untuk nulipara. Oleh karena itu,
metode ini tidak menawarkan keuntungan lebih dari penilaian klinis lainnya, dan tidak
dapat direkomendasikan.1
- Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring
Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada wanita
yang berisiko mengalami persalinan preterm. Metode ini melibatkan pencatatan
telematika dari kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor kontraksi yang
diikatkan disekitar abdomen, dan dihubungkan dengan sebuah perekam elektronik kecil
yang dipasang dipinggang, kemudian hasil aktivitas uterus akan dihantarkan ke beberapa
monitor senter. Dari hasil pemantauan tersebut, para praktisi kesehatan akan memberikan
saran serta dukungan setiap harinya terhadap pasien tersebut melalui telepon. 1,2,3,4
Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan aktivitas
uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah persalinan preterm, baik pada
wanita yang berisiko rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan
metode ini akan meningkatkan kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang dianjurkan
serta menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap terapi obat tokolisis profilaktik
pada wanita hamil.1,4 Selain itu metode ini membutuhkan biaya yang cukup besar dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, metode ini tidak direkomendasikan pada praktek klinis
rutin.4
- Estriol saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan konsentrasi
estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian
mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan peranan aksis hipotalamo-
pitutari-adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan peningkatan produksi estriol dari
plasenta pada saat dimulainya persalinan. Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi
prematur dari aksis HPA pada persalinan preterm akan meningkatkan kadar estriol pada
serum dan saliva ibu, dan ini dapat menjadi perediktor dimulainya persalinan preterm.
Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol akan dimulai sejak 3 minggu sebelum
dimulainya persalinan pada wanita yang mengalami persalinan preterm atau aterm.
Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam serum ibu, dan estriol
saliva digunakan untuk menilai risiko persalinan preterm dengan atau tanpa gejala. 1,2,3,4
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif dalam
memprediksi persalinan preterm dibandingkan metode skoring risiko. Namun, tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat positif
palsu yang sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan kehamilan karena
intervensi yang tidak perlu. Tingkat estriol saliva dapat diukur secara akurat dengan
menggunakan radioimmunoassay. Heine dkk. menunjukan bahwa tingkat estriol saliva
positif satu (≥ 2,1 ng/ml) dapat memprediksikan suatu peningkatan risiko persalinan
preterm 3-4 kali lipat pada wanita dengan resiko rendah maupun tinggi. Jika dua kali
secara berturut-turut hasil tes positif, ini menunjukan peningkatan akurasi prediksi yang
signifikan, tetapi masih memiliki sedikit penurunan sensitivitas. Tes estriol saliva
menunjukan beberapa keunggulan yaitu merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel
saliva yang mudah didapatkan, dan dapat memberikan hasil positif beberapa minggu
sebelum dimulainya persalinan. Namun, adanya variasi diurnal dari tingkat estriol saliva
ibu, serta pemberian betametason untuk produksi surfaktan yang dapat menekan tingkat
estriol saliva ibu, dapat mempersulit interpretasi hasil.4 Masih dibutuhkan penelitian lebih
lanjut mengenai intervensi dan pengobatan yang potensial pada wanita dengan
peningkatan kadar estriol saliva yang tinggi, sebelum penggunaannya direkomendasikan
secara luas pada populasi obtetrik.1,2,3,4
- Skrining bacterial vaginosis (BV)
Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan persalinan preterm spontan,
ketuban pecah dini, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion. Platz-
Christense dkk. (1993) telah memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis bakterialis
dapat mencetuskan persalinan preterm dengan suatu mekanisme yang serupa dengan jalur
jaringan sitokin yang diusulkan untuk bakteri cairan amnion. Banyak penelitian klinis
secara konsisten menemukan bahwa wanita dengan vaginosis bakterialis pada
kehamilannya, memiliki risiko mengalami persalinan preterm yang meningkat 2 kali
lipat.1 Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakan jika memenuhi 3 dari 4 kriteria berikut
ini:
1. pH vagina > 4,5
2. adanya “clue cells” (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada pewarnaan
gram
3. adanya duh vagina homogen
4. bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.
Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita hamil yang
ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi dengan riwayat
persalinan preterm sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat mencegah
persalinan preterm pada sebagian dari wanita. Namun, meta-analisis terbaru menunjukan
banyak perbedaan diantara 6 penelitian mengenai hal ini, sehingga membatasi penarikan
kesimpulan yang pasti.1 Telah banyak hasil yang tidak meyakinkan dan tidak
memberikan manfaat dari skrining vaginosis bakterialis yang bertujuan untuk
memprediksi persalinan preterm, terutama pada kelompok risiko rendah.2,4,5
- Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)
Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk molekul
yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas, fibroblast, sel
endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam konsentrasi tinggi di darah ibu
dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan peranan pada adhesi antarsel dalam
kaitannya terhadap implantasi serta dalam mempertahankan adhesi plasenta ke desidua.
Fibronektin janin diukur dengan menggunakan enzyme linked immunosorbent assay.
Normalnya, fibronektin janin terdeteksi pada sekret serviks sampai usia kehamilan 16-20
minggu. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau
lebih dianggap sebagai hasil positif dan mengindikasikan risiko persalinan preterm. 1,2
Lockwood dkk. (1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin pada
sekret servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi suatu pertanda adanya
ancaman persalinan preterm.12 Berdasarkan teori, peningkatan kadar fibronektin janin
pada vagina, serviks dan cairan amnion memberikan indikasi adanya gangguan pada
hubungan antara korion dan desidua. 3,4,5
Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada kehamilan
normal aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya memperlihatkan remodeling
stroma serviks sebelum persalinan. Cox dkk. (1996) menemukan bahwa dilatasi serviks
lebih bermakna untuk mendeteksi fibronektin daripada untuk meramalkan kelahiran
preterm.12 Namun demikan, banyak penelitian telah menunjukan adanya peningkatan
risiko persalinan preterm, jika fFN positif pada sekret serviks setelah usia kehamilan 24
minggu, dan sebaliknya terdapat penurunan risiko jika didapatkan fFN negatif.2
Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi persalinan preterm dalam
1 dan 2 minggu kemudian ialah 89%, sedangkan untuk memprediksi persalinan preterm
dalam 3 minggu kemudian ialah 92%. Sensitivitas dari tes ini, dalam memprediksi
dimulainya persalinan preterm dalam 1 minggu dan 3 minggu kemudian, masing-masing
ialah 71% dan 59%.2
Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi peripartum
dapat merangsang pelepasan fibronektin janin. Serupa dengan hal tersebut, Jackson dkk.
(1996) memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro menghasilkan fibronektin
janin bila dirangsang oleh produk-produk radang yang dicurigai mengawali persalinan
preterm akibat infeksi.2
- Pengukuran panjang serviks
Serviks memerankan peranan ganda pada kehamilan. Serviks mempertahankan isi
uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine sampai persalinan, dan
serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari isi uterus untuk melintasinya
selama proses persalinan. Kompetensi serviks tergantung pada kesatuan antara anatomi
dan komposisi biokimia dari serviks. Salah satu indikator dini dari inkompetensi serviks
atau dimulainya persalinan ialah terjadinya pemendekan dari serviks. Perhatian terhadap
penilaian panjang serviks menggunakan ultrasonografi sebagai prediktor persalinan
preterm muncul setelah Iams dkk. (1996) menentukan distribusi normal dari panjang
serviks setelah umur kehamilan 22 minggu. Hal ini kemudian diterima secara luas, bahwa
panjang serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat
meningkatkan risiko persalinan preterm. Suatu penelitian prospektif yang melibatkan
2.915 wanita yang dievaluasi menggunakan ultrasonografi pada serviks secara serial
menunjukan suatu risiko relatif terhadap persalinan preterm ialah 9.57, 13.88, dan 24,94
untuk panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22 mm, < 13 mm, pada usia kehamilan
28 minggu. Hasil dari beberapa penelitian yang menggunakan penilaian panjang serviks
sebagai prediktor persalinan preterm tidak selalu dapat dipercaya.terdapat variasi yang
luas pada nilai prediksinya. Sebuah tinjauan terhadap 35 penelitian yang melibatkan
penilaian panjang serviks menunjukan variasi yang sangat luas dalam sensitivitas (68-
100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu hingga saat ini tidak ada bukti kuat
yang mendukung penggunaan penilaian panjang serviks dengan menggunakan USG pada
usia kehamilan 24-28 minggu dalam memprediksi persalinan preterm sebagai
pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada kehamilan dengan risiko tinggi atau
dalam kombinasi dengan test fFN.2
- Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks
Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret vaginoserviks
pada wanita yang berisiko tinggi mengalami persalinan preterm mungkin bermanfaat.
Suatu penelitian yang menilai risiko terulangnya persalinan preterm spontan pada wanita
yang memiliki riwayat persalinan preterm sebelumnya melaporkan, risiko sebesar 65%
jika panjang serviks kurang dari 25 mm dan fFN positif. Namun, jika fFN negatif, risiko
persalinan preterm hanya sebesar 25%. Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah,
risiko terulangnya persalinan preterm pada wanita dengan panjang serviks > 35 mm dan
fFN negatif, hanya sebesar 7%. Oleh karena itu, kombinasi penilaian panjang serviks
dengan menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat membantu memprediksi terulangnya
persalinan preterm pada wanita risiko tinggi.4
Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam memprediksi
risiko terulangnya persalinan preterm4
Risiko terulangnya persalinan preterm
Panjang serviks
fFN positif fFN negatif
< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%
> 35 mm 25% 7%

5. Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan preterm.
Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan
sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat
menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai
kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit sama
sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam penegakan diagnosis
persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm mempunyai
aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang mengarahkan ke
diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu. 1,2,4
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm,
yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8
menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah
terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika. 1,2,4

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The American
Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis persalinan
preterm ialah sebagai berikut: 1,2,4
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan
kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

6. Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan persalinan preterm ialah,
apakah ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai
kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun
ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion,
persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital. 1,2,4

Bila proses persalinan preterm masih tetap berlangsung atau mengancam, meski
telah dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis
kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau berapa
persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma gawat
nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan bayi
preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan rencana
perawatan intensif neonatus.

Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm dan/atau


menunjukan tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk
meningkatkan neonatal outcomes. 1,2,3,4
Manajemen persalinan preterm tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:
1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat bilamana
selaput ketuban sudah pecah.
2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan makin
perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ > 2000
gram, atau kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan ≥34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,
mengingat prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas
perawatan neonatus yang memadai.
4. Penyebab/komplikasi persalinan preterm.
5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah: 3
1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.

- Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak ada
yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila
dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan serviks pada kehamilan
preterm. 3

Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah: 1,2,3,4


1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan paru
janin
3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap
4. Optimalisasi personil.

Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:


1. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8
jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya diperlukan
20 mg. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang.Dan dosis
perawatan 3x10 mg.
2. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat
digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4
kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 µg/menit,
subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam
(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia,
hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru.
3. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara bolus
selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang
digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun
janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi
pernafasan (pada ibu dan bayi).
4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat
menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs)
yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan
penghambat COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular
pada janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada indometasin.
Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

Untuk menghambat proses persalinan preterm, selain tokolisis, pasien juga perlu
membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.
Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine
terbukti tidak baik, seperti:
a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien stabil dan
kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.2

- Akselerasi pematangan fungsi paru


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru
janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah perdarahan
intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya
menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan
kurang dari 35 minggu dan lebih dari 23 minggu.1,2,3,4
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini
tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal
kortikosteroid ialah: 1,2,3,4
1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing hormone
400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat
meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol
merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.
1,2,3,4,6

Rasio Lesitin-sfngomielin
Pemeriksaan untuk menentukan rasio lesitin-sfngomielin ini merupakan
pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk memprediksikan maturitas paru-paru
janin, dan dianggap sebagai “gold standart method”. Pemeriksaan ini mempunyai
beberapa hal yang kurang menguntungkan, yaitu memerlukan banyak waktu dalam
proses pemeriksaannya, disamping itu pengukuran rasio lesitin-sfingomielin ini
memerlukan laboratorium yang monitornya dengan baik karena variasi kecil dalam
teknik dapat sangat mempengaruhi keakuratan hasilnya. 6
Borer dan dkk, yang pertama kali memperkenalkan pengukuran rasio lesitin-
sfingomielin ini. Selanjutnya banyak penelitian dilakukan untuk mengevaluasi berbagai
teknik pemeriksaan ini. 6
Metode Gluck dkk dimulai dengan melakukan sentrifugasi terhadap cairan
amnion yang akan diperiksa dengan 5.400 rpm selama 5 sampai 10 menit, kemudian
dilakukan ekstraksi fosfolipid dengan chloroform, presipitasi dalam asetor dingin,
resuspensi dalam chloroform separation dengan thin-layer chromatography (TLC), dan
pengukuran rasio lesitin-sfingomeilin dengan menggunakan densitometry atau dilakukan
pewarnaan dengan bromothymol blue dilanjutkan dengan planimetry. Apabila analisis
tersebut tidak cepat dilakukan, spesimen hendaknya dimasukan dalam lemari pendingin.
Metode ini juga dipakai oleh Donald dkk dan Aubrey dkk dalam penelitian-penelitiannya.
6

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengukur rasio lesitin sfingomielin


dengan menggunakan berbagai modifikasi dalam prosedur pemeriksaannya. Modifikasi
yang paling sering adalah menghilangkan langkah pemeriksaan presitasi dalam aseton
dingin. Gluck dkk menyatakan bahwa prespitasi dengan aseton akan memisahkan
fosfolipid permukaa-aktif dari yang bukan permukaan aktif, tetapi peneliti-peneliti lain
tidak menemukan pemisahan fosfolipid dalam dua fraksi tersebut. Penelitian dengan
menggunakan metode tanpa presipitasi aseton dilaporkan oleh Tuimala serta Morison dkk
yang menyatakan prediktabilitas rasio lesitin sfngomielin pada level 1,5/1dan 2/1. 6
Sebelum kehamilan 34 minggu, lesitin dan sfingomielin terdapat didalam cairan
amnion dengan konsentrasi yang sama. Pada sekitar usia kehamilan 34 minggu,
konsentrasi relative lesitin terhadap sfingomielin mulai naik. 6
Gluck dkk, pada tahun 1971, melaporkan bahwa untuk kehamilan yang tidak
diketahui umurnya tetapi tanpa komplikasi apaun, resiko terjadinya sindroma gawat
napas pada bayi baru lahir sangat kecil kalau konsentrasi lesitin di dalam cairan amnion
sedikitnya dua kali konsentrasi sfingomielin, sementara itu ada resiko yang semakin
tinggi untuk terjadinya sindroma gawat napas kalau rasio lesitin-sfingomielin di bawah 2.
hal ini segera dikonfirmasikan oleh peneliti lain. Pada tahun 1975, Harvey dkk
menggabungkan 25 laporan yang rasio lesitin-sfingomielin diukur dengan teknik yang
sama pada cairan amnion yang dikumpulkan dalam 72 jam setelah kelahiran. Bila rasio
lesitin-sfingomielin lebih besar dari 2, resiko terjadi sindroma gawat napas ditemukan
kecil sekali, kecuali bila ibu menderita diabetes. Kalau rasio lesitin-sfingomielin antara
1,5 sampai 2, maka sindroma gawat napas ditemukan pada 40% kasus, dan kalau
dibawah 1,5 ditemukan pada 73% kasus. Meskipun 73 bayi mengalami sindroma gawat
napas kalau rasio lesitin-sfingomielin dibawah 1,5 tetapi yang terbukti fatal hanya pada
14%. 6
- Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang tepat
dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum. Antibiotika
hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada
kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama
3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat
menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-
amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun
anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu
dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila tidak
ada kontra indikasi, diberi tokolisis. 1,2,3,4,5
- Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti:
apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada
berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk
melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis
yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin presentasi kepala maka
diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan forseps
terutama pada bayi < 35 minggu. 1,2,3,4
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan
merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.7
Indikasi seksio sesarea: 1,2,3,4
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah, oligohidramnion,
dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).

7. Komplikasi
Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
sehingga mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Sedangkan
bagi bayi, persalinan preterm menyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta
menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas jangka
pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan
intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-pulmoner, sepsis,
dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang meliputi retardasi
mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan, hilangnya
pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang
kurang baik. 1,2,3,4
8. Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan persalinan preterm dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
- Pencegahan primer
Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk mencegah
dan mengurangi risiko. Berikut beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai
pencegahan primer:
Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan
1. Memberikan pendidikan: kepada semua wanita usia reproduksi diberikan
pendidikan mengenai faktor-faktor risiko dari persalinan preterm. Sehingga
faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti pengambilan keputusan
mengenai prosedur invasif (kuretase uterus dan biopsi endometrium), kehamilan
yang dibantu oleh teknologi, dan merokok dapat dihindari.
2. Kebijakan publik: terdapat kebijakan yang diterapkan oleh suatu pemerintahan
dalam melindungi wanita yang sedang hamil, seperti menerapkan waktu cuti
minimal 14 minggu pada wanita hamil yang bekerja, memberikan izin bagi wanita
yang berkerja untuk menghadiri asuhan prenatal, menghindarkan wanita hamil
dari jam kerja malam, serta perlindungan wanita hamil terhadap bahaya
lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan kehamilan
disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen nutrisi, hingga selama
kehamilan untuk mengurangi risiko masalah kehamilan. Berdasarkan penelitian,
morbiditas respiratori menurun pada bayi yang dilahirkan oleh wanita yang
mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan, mengingat
adanya hubungan antara merokok dengan persalinan preterm.
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang melakukan
asuhan prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian persalinan preterm yang
lebih rendah dibanding mereka yang melakukan asuhan prenatal tidak memadai,
atau yang tidak melakukan asuhan prenatal.
6. Melakukan perawatan periodontal. Risiko kelahiran preterm berhubungan dengan
keparahan penyakit periodontal, dan risiko meningkat ketika penyakit periodontal
berkembang selama kehamilan, tetapi dasar mengenai hubungan ini masih belum
jelas. Peningkatan risiko persalinan preterm ini dapat disebabkan oleh penyebaran
secara hematogen dari mikroba pathogen rongga mulut ke organ genital, atau
lebih mungkin karena respon inflamasi terhadap mikroba pada rongga mulut dan
traktus genitalis.
7. Melakukan skrining wanita risiko rendah. Skrining dan terapi bakteriuria
asimptomatik telah dilaporkan menurunkan tingkat persalinan preterm. Namun,
skrining dan protokol terapi yang optimum dalam mencegah persalinan preterm
masih belum jelas benar. Pencegahan persalinan preterm sebagian besar
didasarkan pada riwayat persalinan preterm sebelumnya dan adanya faktor risiko
kehamilan seperti kehamilan multipel dan perdarahan, tetapi lebih dari 50%
persalinan preterm terjadi pada kehamilan tanpa faktor risiko yang jelas. Sebagian
besar faktor risiko yang didasarkan pada riwayat persalinan sebelumnya ini,
memiliki sensitivitas yang rendah dalam memprediksi persalinan preterm.
Namun, Goldenberg dkk melaporkan bahwa jumlah dan usia persalinan preterm
sebelumnya, merupakan faktor risiko persalinan preterm yang kuat, begitu juga
dengan adanya fibronektin janin pada cairan servikovaginal, panjang serviks, dan
vaginosis bacterial, juga merupakan faktor risiko persalinan preterm spontan yang
kuat.

- Pencegahan sekunder
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko pada wanita yang
diketahui memiliki faktor risiko persalinan preterm. Sehingga dilakukan pada wanita
yang terbukti memiliki risiko persalinan preterm berdasarkan riwayat persalinan
(misalnya, persalinan preterm sebelumnya atau adanya anomali uterus) atau adanya risiko
kehamilan saat ini (misalnya kehamilan multipel atau perdarahan). Pencegahan ini
memerlukan identifikasi dan penurunan faktor risiko, yang keduanya terbukti sulit
dilakukan.
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder
diantaranya ialah:
1. Pencegahan sekunder sebelum konsepsi: koreksi anomali duktus Mullerian,
pemberian progesteron profilaksis, mengontrol penyakit-penyakit seperti diabetes,
seizures, asma atau hipertensi.
2. Pencegahan sekunder setelah konsepsi:
a. Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan kerja, dan menurunkan
aktivitas seksual, sering disarankan untuk menurunkan kemungkinan persalinan
preterm)
b. Pemberian suplemen nutrisi (omega-3 polyunsaturated fatty acids dianggap dapat
menurunkan konsentrasi proinflammasi sitokin)
c. Peningkatan perawatan bagi wanita yang berisiko (asuhan prenatal yang intensif,
meliputi dukungan sosial, kunjungan ke rumah, serta pendidikan pada wanita
hamil)
d. Terapi antibiotik (masih kontroversial, memberikan antibiotik pada wanita yang
mengalami persalinan preterm sebelumnya dengan dugaan dikarenakan bakterial
vaginosis)
e. Pemberian progesteron (progesteron dianggap sebagai antagonis oksitosin,
sehingga menyebabkan relaksasi otot, selain itu progesteron memelihara integritas
serviks, dan memiliki efek antiinflamasi).

- Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang umum dilakukan. Dimulai
setelah proses persalinan terjadi, dengan tujuan untuk mencegah kelahiran preterm atau
meningkatkan outcome dari bayi preterm. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan
sebagai pencegahan tersier diantaranya ialah pengiriman ibu dengan persalinan preterm
ke rumah sakit yang dilengkapi perawatan bayi preterm dalam sistem regionalisasi, yang
memberikan pelatihan dan pengembangan keterampilan dan perawatan fasilitas,
pemberian terapi tokolisis, kortikosteroid antenatal, antibiotik dan persalinan preterm atas
indikasi pada waktu yang tepat.
Daftar Pustaka :

1. Prawirohardjo S. Persalinan Preterm in “ILMU KEBIDANAN”. 4th ed, P.T Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008. Chap. 51: 667-76.
nd
2. Cunningham FG et al : Preterm Labor in “ Williams Obstetrics” , 22 ed,
McGraw-Hill, 2005

3. Rompas J. Pengelolaan Persalinan Prematur. Updated on October 12th 2011.


Available at:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/145_11PersalinanPreterm.pdf/145_11Persal
inanPreterm.html.
4. Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya Jakarta. Persalinan Preterm In “Bagian
Obstetri Ginekologi”. Chapter 25: 311-20.

5. DeCherney AH. Nathan L : Late Pregancy Complication in Current Obstetrics


and Gynecologic Diagnosis and Treatment , McGraw Hill Companies, 2003

6. O’brien WF, Cefalo RC. Clinical applicability of amniotic fluid tests for fetal
pulmonic maturity. Am J Obstet Gynecol 1980; 136; 135-144.
19. Bayi Post Matur

1. Definisi
Persalinan postmatur adalah persalinan dari kehamilan yang melewati 294 hari
atau42 minggu. Diagnosa usia kehamilan didapatkan dengan perhitungn usia kehamilan
denganrumus Naegele atau dengan penghitungan tinggi fundus uteri ( Kapita Selekta
Kedokteran jilid 1 ).
2. Etiologi
Etiologi belum diketahui secara pasti namun faktor yang dikemukaan adalah
 Masalah ibu

1. Teori Progesteron, yaitu kadar progesteron tidak cepat turun walaupun


kehamilan telah cukup bulan sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin
berkurang (Rustam, 1998).
2. Servik belum matang dan kecemasan ibu : pada kehamilan lewat waktu ,
otot rahim tidak sensitif terhadap rangsangan, karena ketegangan
psikologis atau kelainan pada rahim (Manuaba, 1998).
3. Teori oksitosin : pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang
kurang pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor
penyebab kehamilan postterm
4. Faktor hereditas : bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm
saat melahirkan anak perempuan , maka besar kemungkinan anak
perempuannya akan mengalami kehamilan postterm
5. Insufisiensi plasenta

 Masalah bayi

1. Kelainan pertumbuhan janin : tekanan ganglion servikalis akan


membangkitkan kontraksi uterus. Pada keaadaan dimana tidak ada tekana
pada fleksus ini, seperti kelainan letak , tali pusat pendek dan bagian
bawah masih tinggi semuanya diduga penyebab terjadinya kehamilan post
term

3. Petofisiologi

4. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala tidak terlalu dirasakan, hanya dilihat dari tuanya kehamilan.
Biasanya terjadi pada masyarakat di pedesaan yang lupa akan hari pertama haid terakhir.
Bila tanggal hari pertama haid terakhir di catat dan diketahui wanita hamil, diagnosis
tidak sukar, namun bila wanita hamil lupa atau tidak tahu, hal ini akan sukar memastikan
diagnosis. Pada pemeriksaan USG dilakukan untuk memeriksa ukuran diameter
biparietal, gerakan janin dan jumlah air ketuban (Muchtar, 1998). Gerakan janin jarang (
secara subjektif kurang dari 7x / 20 menit atau secara objektif kurang dari 10x / menit
Menurut Achdiat (2004), umur kehamilan melewati 294 hari/ genap 42 minggu
palpasi bagian – bagian janin lebih jelas karena berkurangnya air ketuban. Kemungkinan
dijumpai abnormalitas detak jantung janin, dengan pemeriksaan auskultasi maupun
kardiotokografi (KTG). Air ketuban berkurang dengan atau tanpa pengapuran
(klasifikasi) plasenta diketahui dengan pemeriksaan USG.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yaitu USG untuk menilai usia kehamilan,
oligohidramnion, derajat maturitas plasenta. KTG untuk menilai ada atau tidaknya gawat
janin. Penilaian warna air ketuban dengan amnioskopi atau amniotomi (tes tanpa tekanan
dinilai apakah reaktif atau tidak ada dan tes tekanan oksitosin). Pemeriksaan sitologi
vagina dengan indeks kariopiknotik.
Menurut Mochtar (1998), pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan,
seperti pemeriksaan berat badan ibu, diikuti kapan berkurangnya berat badan, lingkaran
perut dan jumlah air ketuban. Pemeriksaan yang dilakukan seperti:
a) Bila wanita hamil tidak tahu atau lupa dengan haid terakhir setelah persalinan
yang lalu, dan ibu menjadi hamil maka ibu harus memeriksakan kehamilannya
dengan teratur, dapat diikuti dengan tinggi fundus uteri, mulainya gerakan janin
dan besarnya janin dapat membantu diagnosis.
b) Pemeriksaan Ultrasonografi dilakukan untuk memeriksa ukuran
diameter biparietal, gerakan janin dan jumlah air ketuban.
c) Pemeriksaan berat badan ibu, dengan memantau kenaikan berat badan setiap kali
periksa, terjadi penurunan atau kenaikan berat badan ibu.
d) Pemeriksaan Amnioskopi dilakukan untuk melihat derajat kekeruhan air ketuban
menurut warnanya yaitu bila keruh dan kehitaman berarti air ketuban bercampur
mekonium dan bisa mengakibatkan gawat janin (Prawirohardjo, 2005).

6. Tanda Bayi Postmatur


Tanda postterm dapat di bagi dalam 3 stadium (Sarwono Prawirohardjo) :
 Stadium I
Kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa
kulit kering, rapuh dan mudah mengelupas.
 Stadium II
Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) pada kulit
 Stadium III
Terdapat pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat
7. Penatalaksanaan
Pengelolaan kehamilan lewat waktu diawali dari umur kehamilan 41 minggu
disebabkan meningkatnya pengaruh buruk pada keadaan perinatal setelah umur
kehamilan 40 minggu dan meningkatnya insiden janin besar.
Pengelolaan persalinan :
 Bila sudah dipastikan umur kehamilan 41 minggu, pengelolaan tergantung dari
derajat kematangan serviks.
 Bila serviks matang (skor bishob > 5) dilakukan induksi persalinan asal tidak ada
janin besar. Jika janin > 4000 gram dilakukan secetio saesaria.
 Pemantauan intra partum dengan menggunakan KTG dan kehadiran dokter
spesialis anak, apalagi bila ditemukan mekonium mutlak diperlukan.
 NST dan penilaian volume kantong amnion. Bila keduanya normal, kehamilan
dibiarkan berlanjut dan penilaian janin dilanjutkan seminggu 2 kali.
 Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes dnegan kontraksi
(CST) harus dilakukan.
 Hasil CST positif janin perlu dilahirkan. CST begatif kehamilan dibiarkan
berlangsung dan penilaian dilakukan 3 hari lagi kemudian.
 Keadaan serviks (ekor bishop) harus dinilai ulang setiap kunjungan pasien dan
kehamilan harus diakhiri bila serviks matang.
 Kehamilan lewat waktu dengankomplikasi seperti DM, Preeklamsia, kehamilan
harus diakhiri tanpa harus memandang keadaan serviks.
 Pengelolaan Intrapartum
o Pasien tidur miring sebelah kiri
o Pergunakan pemantauan elektronik jantung janin
o Berikan oksigen bila ditemukan keadaan jantung yang abnormal
o Perhatikan jalannya persalinan
o Segera setelah lahir bayi harus segera diperiksa terhadap kemungkinan
hipolikemi, hipovolemi, hipotermi dan polisitemi.
8. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada kehamilan serotinus yaitu:
a) Komplikasi pada Ibu

Komplikasi yang terjadi pada ibu dapat menyebabkan partus lama, inersia uteri,
atonia uteri dan perdarahan postpartum.
b) Komplikasi pada Janin

Komplikasi yang terjadi pada bayi seperti berat badan janin bertambah besar,
tetap atau berkurang, serta dapat terjadi kematian janin dalam kandungan

Daftar Pustaka :

1. Kapita Selekta Jilid I edisi 4 Revisi 2016

2. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo 2014


20. Ketuban Pecah Dini

1. Definisi.
Pengertian KPD menurut WHO yaitu Rupture of the membranes before the onset of
labour. Hacker (2001) mendefinisikan KPD sebagai amnioreksis sebelum permulaan
persalinan pada setiap tahap kehamilan. Sedangkan Mochtar (1998) mengatakan bahwa
KPD adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang
dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. Hakimi (2003) mendefinisikan KPD
sebagai ketuban yang pecah spontan 1 jam atau lebih sebelum dimulainya
persalinan.Sedangkan menurut Yulaikah (2009) ketuban pecah dini adalah pecahnya
ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan setelah ditunggu satu jam belum terdapat
tanda persalinan. Waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi rahim disebut
ketuban pecah dini (periode laten). Kondisi ini merupakan penyebab persalinan
premature dengan segala komplikasinya
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila
pembukaan pada primi kurang dari 3 dan pada multipara kurang dari 5cm.
Ada juga yang disebut ketuban pecah dini preterm yakni ketuban pecah saat usia
kehamilan belum masa aterm atau kehamilan dibawah 38 – 42 minggu. Arti klinis
ketuban pecah dini :
1. Bila bagian terendah janin masih belum masuk pintu atas panggul maka
kemungkinan terjadinya prolapsus tali pusat atau kompresi tali pusat menjadi
besar
2. Peristiwa KPD yang terjadi pada primigravida hamil aterm dengan bagian
terendah yang masih belum masuk pintu atas panggul sering kali merupakan
tanda adanya gangguan keseimbangan foto pelvik.
3. KPD sering diikuti dengan adanya tanda – tanda persalinan sehingga dapat
memicu terjadinya persalinan preterm.
4. Peristiwa KPD yang berlangsung lebih dari 24 jam (prolonged rupture of
membrane) seringkali disertai dengan infeksi intrauterin.
5. Peristiwa KPD dapat menyebabkan oligohidramnion dan dalam jangka panjang
kejadian ini akan dapat menyebabkan hilangnya fungsi amnion bagi pertumbuhan
dan perkembangan janin.

2. Epidemiologi
Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya selaput
ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yangterjadi dalam kolagen matriks
ekstra seluler amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua
bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan
membran pereduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang
merangsang aktivitas “matrix degrading enzym”
Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm dan pada
kehamilan midtrester. Frekuensi terjadinya sekitar 8%, 1 – 3 %, dan kurang dari 1 %.
Secara umum insidensi KPD terjadi sekitar 7 – 12 % (Chan, 2006). Insidensi KPD kira –
kira 12 % dari semua kehamilan (Mochtar, 1998), sedangkan menurut Rahmawati 2011
insidensi KPD adalah sekitar 6 – 9 % dari semua kehamilan.
3. Etiologi
Penyebab KPD menurut Manuaba 2009 dan Morgan 2009 meliputi :
1. Serviks inkopeten menyebabkan dinding ketuban yang paling bawah
mendapatkan tekanan yang semakin tinggi.
2. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, dan kelainan genetik)
3. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban seperti infeksi genitalia dan
meningkatnya enzim proteolitik. Masa interval sejak ketuban pecah sampai
terjadinya kontraksi disebut fase laten. Makin panjang fase laten makin tinggi
kemungkinan infeksi. Makin muda usia kehamilan, makin sulit upaya
pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin dan komplikasi ketuban
pecah dini meningkat.
4. Multipara, grandemultipara, pada kehamilan yang terlalu sering akan
mempengaruhi proses embriogenesis sehingga selaput ketuban yang terbentuk
akan lebih tipis dan yang akan menyebabkan selaput ketuban pecah sebelum
tanda – tanda inpartu.
5. Overdistensi uterus pada hidramnion, kehamilan ganda, dan sevalopelvik
disproporsi. Hidramnion atau sering disebut polihidramnion adalah banyaknya air
ketuban melebihi 2000 cc. Hidramnion dapat terjadi pada kasus anensefalus,
atresia esophagus, gemeli, dan ibu yang mengalami diabetes melitus gestasional.
Ibu dengan diabetes melitus gestasional akan melahirkan bayi dengan berat badan
berlebihan pada semua usia kehamilan sehingga kadar cairan amnion juga akan
berlebih. Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih
sehingga kemungkinan terjadinya hidramnion bertambah 10 kali lebih besar.
6. Kelainan letak yaitu letak lintang.
7. Penduluran abdomen (perut gantung)
8. Usia ibu yang lebih tua
9. Riwayat KPD sebelumnya
10. Merokok selama kehamilan

1. Inkompetensia serviks
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot
leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka
ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin yang semakin
besar. Serviks smemiliki suatu kelainan anatomi yang nyata, yang bisa disebabkan
laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu kelainan congenital pada
serviks sehingga memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan
mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti
dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi.2

2. Peninggian tekanan inta uterin


Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya :
a. Trauma : hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
b. Gemelli
Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada
kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini
terjadikarena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung
(selaput ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang
menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah.6

3. Makrosomia
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan makrosomia
menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi dan menyebabkan
tekanan pada intra uterin bertambah sehingga menekan selaput ketuban, manyebabkan
selaput ketuban menjadi teregang, tipis, dan kekuatan membrane menjadi berkurang,
menimbulkan selaput ketuban mudah pecah.6

4. Hidramnion
Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000 mL. uterus dapat
mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak. Hidramnion kronis adalah
peningaktan jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur. Hidramnion akut,
volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami distensi nyata dalam
waktu beberapa hari saja.2

5. Kelainan letak
Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu
atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.2

6. Penyakit infeksi
.Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun ascenden dari vagina
atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. Penelitian
menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama ketuban pecah dini.Membrana
khorioamniotik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh
persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah
disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik.Infeksi merupakan faktor yang cukup
berperan pada persalinan preterm denganketuban pecah dini. Grup B streptococcus
mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis.3

4. Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus
dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi
perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena
seluruh selaput ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degenerasi
ekstraseluelr matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen
menyebabkan aktivasi kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah.
Dua belas hari setelah ovum dibuahi , terrbentuk suatu celah yang dikelilingi
amnion primitif yang terbentuk dekat embryonic plate. Celah tersebut melebar dan
amnion disekelilingnya menyatu dengan mula-mula dengan body stalk kemudian dengan
korion yang akhirnya menbentuk kantung amnion yang berisi cairan amnion. Cairan
amnion , normalnya berwarna putih , agak keruh serta mempunyai bau yang khas agak
amis dan manis. Cairan ini mempunyai berat jenis 1,008 yang seiring dengan tuannya
kehamilan akan menurun dari 1,025 menjadi 1,010. Asal dari cairan amnion belum
diketahui dengan pasti , dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Diduga cairan
ini berasal dari lapisan amnion sementara teori lain menyebutkan berasal dari
plasenta.Dalam satu jam didapatkan perputaran cairan lebih kurang 500 ml
Amnion atau selaput ketuban merupakan membran internal yang membungkus
janin dan cairan ketuban. Selaput ini licin, tipis, dan transparan. Selaput amnion melekat
erat pada korion (sekalipun dapat dikupas dengan mudah). Selaput ini menutupi
permukaan fetal pada plasenta sampai pada insertio tali pusat dan kemudian berlanjut
sebagai pembungkus tali pusat yang tegak lurus hingga umbilikus janin. Sedangkan
korion merupakan membran eksternal berwarna putih dan terbentuk dari vili – vili sel
telur yang berhubungan dengan desidua kapsularis. Selaput ini berlanjut dengan tepi
plasenta dan melekat pada lapisan uterus.
Dalam keadaan normal jumlah cairan amnion pada kehamilan cukup bulan sekitar
1000 – 1500 cc, keadaan jernih agak keruh, steril, bau khas, agak manis, terdiri dari 98%
- 99% air, 1- 2 % garam anorganik dan bahan organik (protein terutama albumin),
runtuhan rambut lanugo, verniks kaseosa, dan sel – sel epitel dan sirkulasi sekitar
500cc/jam
Minggu gestasi Janin Plasenta Cairan amnion Persen Cairan
16 100 100 200 50
28 1000 200 1000 45
36 2500 400 900 24
40 3300 500 800 17

Fungsi cairan amnion


1. Proteksi : Melindungi janin terhadap trauma dari luar
2. Mobilisasi : Memungkinkan ruang gerak bagi bayi
3. Hemostatis : Menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam basa (Ph)
4. Mekanik : Menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruang intrauteri
5. Pada persalinan, membersihkan atau melicinkan jalan lahir dengan cairan steril
sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir

Mekanisme KPD menurut Manuaba 2009 antara lain :


1. Terjadinya premature serviks.
2. Membran terkait dengan pembukaan terjadi
a. Devaskularisasi
b. Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan adanya infeksi yang
mencegah enzim proteolitik dan enzim kolagenase.
5. Patogenesis
Penelitian terbaru mengatakan KPD terjadi karena meningkatnya apoptosis dari
komponen sel dari membran fetal dan juga peningkatan dari enzim protease tertentu.
Kekuatan membran fetal adalah dari matriks ekstraselular amnion. Kolagen interstitial
terutama tipe I dan tipe III yang dihasilan dari sel mesenkim juga penting dalam
mempertahankan kekuatan membran fetal.
Matriks metalloprotease (MMP) adalah kumpulan proteinase yang terlibat dalam
remodeling tissue dan degenerasi kolagen. MMP – 2, MMP – 3, dan MMP – 9 ditemukan
dengan konsentrasi tinggi pada kehamilan dengan ketuban pecah dini. Aktivasi protease
ini diregulasi oleh tissue inhibitor of matrix metalloprotease (TIMPs). TIMPs ini pula
rendah dalam cairan amnion pada wanita dengan ketuban pecah dini. Peningkatan enzim
protease dan penurunan inhibitor mendukung bahwa enzim ini mempengaruhi kekuatan
membran fetal.
Selain itu terdapat teori yang mengatakan meningkatnya marker – marker
apoptosis dimembran fetal pada ketuban pecah dini berbanding dengan membran pada
kehamilan normal. Banyak penelitian yang mengatakan aktivasi aktivitas degenerasi
kolagen dan kematian sel yang membawa kelemahan pada dinding membran fetal.
6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang kala cairan seperti
urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah
dari vaginanya atau mengeluarkan cairan banyak dari jalan lahir.
2. Inspeksi
Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru
pecah, dan jumlah airnya masih banyak, pemeriksaan ini akan makin jelas.
3. Pemeriksaan Inspekulo
Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena pemeriksaan dalam
seperti vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi, cairan yang keluar dari
vagina perlu diperiksa : warna, bau, dan PH nya, yang dinilai adalah
 Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan perdarahan dari serviks.
Dilihat juga prolapsus tali pusat atau ekstremitas janin. Bau dari amnion yang
khas juga harus diperhatikan.
 Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung diangnosis
KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien untuk batuk untuk
memudahkan melihat pooling
 Cairan amnion di konfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test. Kertas
lakmus akan berubah menjadi biru jika PH 6 – 6,5. Sekret vagina ibu
memiliki PH 4 – 5, dengan kerta nitrazin ini tidak terjadi perubahan warna.
Kertas nitrazin ini dapat memberikan positif palsu jika tersamarkan dengan
darah, semen atau vaginisis trichomiasis.
4. Mikroskopis (tes pakis). Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih samar dapat
dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang diambil dari forniks
posterior. Cairan diswab dan dikeringkan diatas
gelas objek dan dilihat dengan mikroskop.
Gambaran “ferning” menandakan cairan amnion

5. Dilakukan juga kultur dari swab untuk


chlamydia, gonnorhea, dan stretococcus group B

7. Pemeriksaan Lab
1. Pemeriksaan alpha – fetoprotein (AFP), konsentrasinya tinggi didalam cairan
amnion tetapi tidak dicairan semen dan urin
2. Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisa
3. Tes pakis
4. Tes lakmus

Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum
uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban sedikit (Oligohidramnion atau
anhidramnion). Oligohidramnion ditambah dengan hasil anamnesis dapat membantu
diagnosis tetapi bukan untuk menegakkan diagnosis rupturnya membran fetal. Selain itu
dinilai amniotic fluid index (AFI), presentasi janin, berat janin, dan usia janin.
8. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4x500mg atau eritromisin bila
tidak tahan dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500mg selama 7 hari). Jika
umur kehamilan kurang dari 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar. Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negatif berikan dexametason, observasi tanda – tanda infeksi, dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada usia kehamilan 37 minggu. Jika usia
kehamilan 32 – 37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik
(salbutamol), deksametason, dan induksi setelah 24 jam. Jika usia kehamilan 32 –
37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda – tanda
infeksi (suhu, leukosit, tanda – tanda infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32
– 37 minggu berikan steroid untuk kematangan paru janin, dan bila
memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomietin tiap minggu. Dosis
betametason 12mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg
setiap 6 jam selama 4 kali.
2. Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitoksin. Bila gagal seksio sesarea.
Bila tanda – tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan terminasi persalinan.
Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan pelviks, kemudian induksi. Jika tidak
berhasil lakukan seksio sesarea. Bila skor pelviks > 5 lakukan induksi persalinan
9. Komplikasi
Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten
tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah
ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu persalinan dalam 24 jam.Pada
kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.7

Infeksi
Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Dini.Pada ibu terjadi
korioamnionitis.Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia, omfalitis.Umumnya
terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi.Pada Ketuban Pecah Dini prematur,
infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada Ketuban
Pecah Dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.7
 Komplikasi Ibu:
- Endometritis
- Penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia)
- Sepsis (daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat banyak)
- Syok septik sampai kematian ibu.
 Komplikasi Janin
- Asfiksia janin
- Sepsis perinatal sampai kematian janin.

Gambar.Infeksi intrauterin progresif pasca ketuban pecah dini pada kehamilan prematur

Hipoksia dan Asfiksia


Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat
hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin
dan oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.7

Sindrom Deformitas Janin


Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kelainan disebabkan oelh kompresi muka dan anggota badan janin serta
hipoplasi pulmonary.7
Gambar. Deformitas Janin
10. Pencegahan
Pada pasien perokok, diskusikan tentang pengaruh merokok selama kehamilan
usaha untuk menghentikan, motivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama
hamil, anjurkan pasangan agar menghentikan koitus pada trimester akhir.
11.Prognosis

Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada :

 Usia kehamilan
 Adanya infeksi / sepsis
 Factor resiko / penyebab
 Ketepatan Diagnosis awal dan penatalaksanaan

Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat kehamilan, lebih
sedikit bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun, umumnya bayi yang lahir antara 34 dan
37 minggu mempunyai komplikasi yang tidak serius dari kelahiran premature.

Daftar Pustaka :

1. Soewarto S. Ketuban Pecah Dini. Dalam Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan.


Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Bayi Baru Lahir. Edisi
Keempat. Cetakan Kedua. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2009. hal 677-82.
2. Manuaba.I.B.G. Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan
Obstetri Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal : 221 – 225.
3. Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G.(eds) Pengantar
Kuliah Obstertri. Bab 6: Komplikasi Umum Pada Kehamilan. Ketuban Pecah
Dini. Cetakan Pertama. Jakarta. Penerbit EGC. 2007. Pp 456-60.
4. Nili F., Ansaari A.A.S. Neonatal Complications Of Premature Rupture Of
Membranes. Acta Medica Iranica. [Online] 2003. Vol 41. No.3. Diunduh dari
http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/59.pdf.
5. Cunningham Gary F, Leveno J Kenneth , Bloom L Steven , Hauth C John , III
Gilstrap Larry , Wenstrom D Katharine . Williams Obstetrics Edisi 22.2005 .
6. Saifudin, Abdul B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
7. Saifuddin, Abdul B 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai