Anda di halaman 1dari 4

GEDUNG pusat telepon militer Belanda di pangkal Jalan Teuku Umar, Kota Banda

Aceh bukan sebatas memiliki arsitektur unik.


Tapi memiliki sejarah panjang, karena konon inilah sentra telepon pertama yang
dibangun pemerintah kolonial di Hindia Belanda (Indonesia sekarang).
Menurut sejarah pusat telepon ini dibangun tahun 1903, setelah Belanda berhasil
menguasai Istana Kerajaan Aceh.
Angka 1903 juga tertera di bagian atas dinding luar bangunan, tepat di atas pintu
masuk atau dekat ventilasi jendela, yang diyakini merujuk pada tahun bangunan ini
dibuat.
Dalam literatur sejarah disebutkan Belanda mengeluarkan maklumat perang terhadap
Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873.
Dalam agresi pertama, Belanda kalah telak karena dalam pertempuran di Masjid Raya
Baiturrahman, pemimpin perangnya, Major Jenderal JHR Kohler tewas ditangan
pasukan Aceh.
Mereka kemudian melancarkan agresi kedua dengan kekuatan lebih besar, dan
berhasil merebut Masjid Baiturrahman serta Darul Dunia atau komplek Istana Kerajaan
Aceh Darussalam.
Mereka kemudian menjadikan Koetaradja (nama Banda Aceh masa penjajahan
Belanda-red) sebagai pusat pemerintahannya. Dibangunlah pusat teleponnya di area
komplek istana Kerajaan Aceh yang sudah mereka kuasai.
Gedung ini sentra telepon pertama yang dibangun Pemerintah Belanda di wilayah
Hindia Belanda. Sejak adanya pusat telepon ini, komunikasi jarak jauh Belanda yang
semula mengandalkan telegraf beralih ke telepon.
Jaringan teleponnya tembus ke berbagai daerah sasaran pengerahan pasukan
Belanda. Mulai dari Ulee Lheu, Sabang, Lamno, Meulaboh, Seulimum, Sigli, Bireun,
Takengon, Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi, Peurlak, Kuala Simpang hingga beberapa
kota di Sumatera Utara seperti Medan, Tanjung Pura, Rantau Prapat, Berastagi dan
Asahan.
Dalam lembaran Telefoogids complex Koetaradja alias buku petunjuk telepon yang
diterbitkan Belanda pada 20 April 1933, disebutkan, tarif percakapan telepon antar kota
dihitung berdasarkan tiga menit percakapan.
Sentral telepon ini sangat membantu Gubernur Militer Hindia Belanda dalam
berkomunikasi dan menghadapi serangan pasukan Aceh di berbagai daerah kala itu.
Dalam buku Banda Aceh Heritage; Jalur Jejak Budaya dan Tsunami, Kamal A. Arif dan
Salmawaty menulis, “adakalanya gubernur mencabut kabel telepon karena seringnya
mendapat kabar serangan dari pejuang Aceh terhadap pasukannya di lapangan.”
Setelah Belanda angkat kaki dari Aceh, Jepang kemudian masuk dan memanfaatkan
sentral telepon ini sebagai sarana komunikasinya.
Selepas Indonesia merdeka, bangunan ini juga tak terlantar karena sempat dijadikan
kantor telepon Kodam I Iskandar Muda.
Pernah juga dimanfaatkan sebagai kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
Aceh, kemudian kantor redaksi surat kabar Atjeh Post, sebelum dijadikan Kantor PSSI
Aceh.
Gedung bekas sentra telepon Belanda ini sekarang menjadi situs cagar budaya di
Banda Aceh. Di bawah pengawasan langsung Balai Pelestarian Cagar Budaya.[]
Sumber: okezone.com
Editor: IRMANSYAH D GUCI

 Berita Terkait
 Komentar\
 \
 Terletak di pangkal Jalan Teuku Umar, Kota Banda Aceh, bangunan
berasitektur Eropa ini berdiri kokoh di antara rimbun pohon trembesi.
Bangunan dua lantai ini merupakan pusat telepon militer Belanda pada
masa perang melawan Aceh, yang kini dijadikan salah satu cagar budaya.

 Sentral telepon ini dibangun di area Keraton atau Istana Kerajaan Aceh
Darussalam, ketika Belanda menduduki Koeataradja (Banda Aceh-red)
dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan militer. Belanda
menyebutnya Kantor Telepon Koetaradja.

 Menurut sejarah sentral telepon militer ini dibangun tahun 1903, atau
pada era kepemimpinan Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903).
Angka 1903 juga tertera di bagian atas bangunan dekat ventilasi jendela
yang diyakini sebagai tahun gedung ini dibangun. Sejak ini dibangun,
Belanda yang semula menggunakan telegraf dalam komunikasi jarak jauh
beralih memakai telepon.

 Pusat telepon ini merupakan yang pertama kali dibangun kolonial di


Hindia Belanda (Indonesia), agar mereka mudah berkomunikasi dalam
perang. Jaringan teleponnya menembus berbagai kota seperti Ulee Lheu,
Sabang, Lamno, Meulaboh, Seulimum, Sigli, Bireun, Takengon,
Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi, Peurlak, Kuala Simpang hingga beberapa
kota di Sumatera Utara seperti Medan, Tanjung Pura, Rantau Prapat,
Berastagi dan Asahan.

 Dalam lembaran Telefoogids complex Koetaradja atau buku petunjuk


telepon yang diterbitkan Belanda pada 20 April 1933, disebutkan, tarif
percakapan telepon antar kota dihitung berdasarkan tiga menit
percakapan.

 Sentral telepon ini sangat membantu Gubernur Militer Belanda dalam


berkomunikasi dan menghadapi serangan pejuang Aceh. Dalam buku
Banda Aceh Heritage disebutkan, adakalanya gubernur mencabut kabel
telepon karena seringnya mendapat kabar serangan dari pejuang Aceh
terhadap pasukannya di lapangan.

 Bangunan persegi delapan ini kental unsur kolonial dipadu nilai arsitektur
tropis. Ini jelas terlihat dari pintu, bagian dinding dan jendelanya yang
berukuran besar berjalusi. Bagian atasnya setengah lingkaran. Lantai satu
bangunan ini seluruhnya terbuat dari beton, sedangkan lantai duanya semi
permanen.

 Setelah Belanda angkat kaki karena gagal menaklukkan Aceh, Jepang


masuk. Sentral telepon ini tetap digunakan. Selepas Indonesia merdeka,
bangunan ini sempat dijadikan kantor telepon Kodam I Iskandar Muda.

 Bangunan yang berada di antara Taman Putroe Phang, Gunongan,


Kerkhof dan Taman Sari ini pernah juga dijadikan sebagai kantor Komite
Olahraga Nasional Indonesia (KONI), dan kantor redaksi surat kabar
Atjeh Post, sebelum dijadikan Kantor PSSI Aceh.

 Gedung ini sekarang dijadikan salah satu situs sejarah dan wisata yang
berada di bawah pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya. Anda
tertarik melihatnya? [Salman Mardira]

Anda mungkin juga menyukai