PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seks bebas merupakan hubungan yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan. Menurut Desmita (2005)
mengemukakan berbagai bentuk tingkah laku seksual, seperti berkencan
intim, bercumbu, sampai melakukan kontak seksual. Bentuk-bentuk
perilaku seks bebas yaitu: Petting adalah upaya untuk membangkitkan
dorongan seksual antara jenis kelamin dengan tanpa melakukan tindakan
intercourse. Oral –genital seks adalah aktivitas menikmati organ seksual
melalui mulut. Tipe hubungan seksual model oral-genital ini merupakan
alternative aktifitas seksual yang dianggap aman oleh remaja masa kini.
Sexual intercourse adalah aktivitas melakukan senggama. (CHRONIKA,
2011)
Pengalaman Homoseksual adalah pengalaman intim dengan sesama
jenis. Menurut Sarwono (2002) beberapa bentuk perilaku seks bebas, yaitu:
Kissing, Saling bersentuhan antara dua bibir manusia atau pasangan yang
didorong oleh hasrat seksual. Necking, Bercumbu tidak sampai pada
menempelkan alat kelamin, biasanya dilakukan dengan berpelukan,
memegang payudara, atau melakukan oral seks pada alat kelamin tetapi
belum bersenggama. Petting, Bercumbu sampai menempelkan alat kelamin,
yaitu dengan menggesek-gesekkan alat kelamin dengan pasangan namun
belum bersenggama. Intercourse, Mengadakan hubungan kelamin atau
bersetubuh diluar pernikahan. (CHRONIKA, 2011)
Perilaku seksual tidak hanya berhubungan seksual melainkan segala
tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenisnya
maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bermacam-
macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan,
bercumbu dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang
dalam khayalan atau diri sendiri. (Muhamad Hamka, 2010)
1
2
juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi dan
hampir100 juta terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS). Secara global,
40% dari semua kasus infeksi HIV terjadi pada kaum muda dan perkiraan
terakhir menunjukkan bahwa setiap harinya ada 7000 remaja terinfeksi HIV.
Risiko ini berpengaruh terhadap berbagai faktor yang saling berhubungan
yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual dan
pengaruh media massa maupun gaya hidup yang popular. Selama ini remaja
umumnya telah menempatkan media massa sebagai sumber informasi
seksual yang lebih penting dibandingkan orang tua dan teman sebaya,
karena media massa memberikan gambaran yang lebih baik mengenai
keinginan dan kebutuhan seksualitas remaja (Pujiningtyas, 2014)
Hasil Statistics by Family Safe Media menyatakan bahwa terdapat
4,2 juta situs internet porno, dimana setiap harinya terdapat 68 juta
permintaan mencari materi pornografi melalui mesin pencari (search
engine) internet dan setiap harinya rata-rata setiap pengguna internet
menerima atau mengirim 4,5 e-mail porno. Survei yang dilakukan oleh
Yayasan Kita dan Buah Hati di Jabodetabek (2005) dengan 1.705 responden
remaja memperoleh hasil bahwa lebih dari 80% anak usia 9-12 tahun telah
mengakses materi pornografi melalui situssitus internet Sebagian besar
responden merupakan pelajar yang sedang mencari bahan pelajaran untuk
memenuhi tugas sekolahnya. (Euis Supriati, 2009)
kecenderungan pelanggaran seksual yang dilakukan remaja semakin
meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual
melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih (video cassette,
foto copy, satelit, VCD, telepon genggam, internet dan lain-lain) menjadi
tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu, ingin
mencoba dan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa
khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui
masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya. Adapaun Santrock,
menyatakan bahwa remaja yang terpapar media pornografi secara terus
menerus semakin besar hasrat seksualnya. (Indrijati, 2017)
3