4
Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi
1.Mekanisme
tumpul.
2.Beratnya cedera
ringan, GCS 9-13 termasuk cedera kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk
flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai GCSnya inimal atau
sama dengan 3.
Glasgow Coma Scale nilai ai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
3. Morfologi
I. fraktur kranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar
window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus
fasialis. Sebagai patokan umum bila terdapat fragmen tulang yang menekan ke dalam,
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak
lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada
pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk
Fraktur dasar tengkorak sering disertai dengan kebocoran CSS baik melalui
hidung (rhinorrhea) atau melalui telinga (otorrhea). Fraktur ini juga sering
menyebabkan paresis nervus fasialis yang dapat terjadi segera setelah cedera atau
timbul beberapa hari kemudian. Umunnya prognosis pemulihan paresis nervus fasialis
lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian.
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun
keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma.
Maka cedera difus dikelompokan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan
antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai
lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau
9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis
dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan
gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita
interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan
mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan
injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater
dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%
penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan sinus venosus. Namun ia juga dapat berkaitan
dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada
perdarahan epidural.
Mortalitas yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan dengan
1. SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat
tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial
2. SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang
disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola
tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens,
berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya,
gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi
terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa
hari.
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak
yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera
kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai
derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan.
Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi
tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita
dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-
gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam
keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering
menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala
disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak
cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski
bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu
menjadi pertimbangan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doengoes (2004), pemeriksaan penunjang yang biasa
dilakukan pada kasus epidural hematom yaitu sebagai berikut:
1. CT Scan : untuk mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler pergeseran otak. CT Scan merupakan pilihan primer
dalam hal mengevaluasi trauma kepala. Sebuah epidural hematom
memiliki batas yang kasar dan penampakan yang bikonveks pada CT
Scan dan MRI. Tampakan biasanya merupakan lesi bikonveks dengan
densitas tinggi yang homogen, tetapi mingkin juga tampok sebagai
ndensitas yang heterogen akibat dari pencampuran antara darah yang
menggumpal dan tidak menggumpal.
2. MRI : memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih
jelas karena mampu melakukan pencitraan dari berbagai posisi apalagi
dalam pencitraan hematom dan cedera batang otak.
3. Angiografi serebral : untuk menunjukan kelainan sirkulasi serebral
seperti pergeseran jaringan otak karena edema dan trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan gelombang patologis.
5. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan/edema), dan
adanya fragmen tulang.
6. BAER (brain auditory evoked respons) : untuk menentukan fungsi
korteks dan batang otak.
7. PET (positron emmision topography): untuk menunjukan metabolisme
otak.
8. Pungsi lumbal : untuk menduga kemungkinan perdarahan
subarachnoid.
9. AGD : untuk melihat masalah ventilasi/oksigenasi yang meningkatkan
TIK.