Anda di halaman 1dari 10

a. Apa saja jenis-jenis trauma kepala?

4
Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi

klasifikasi yaitu berdasarkan:

1.Mekanisme

 Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-

motor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.

 Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya

penetrasi selaput dura menentukan cedera apakah cedera tembus atau

tumpul.

2.Beratnya cedera

GCS digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan

dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.

Penderita dengan GCS 14-15 diklasifikasikan ke dalam cedera kepala

ringan, GCS 9-13 termasuk cedera kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk

cedera kepala berat. Koma didefinisikan bila penderita tidak mampu

melaksanakan perintah, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat

membuka mata. Penderita yang mampu membuka kedua mata secara

spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total

sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya

flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai GCSnya inimal atau

sama dengan 3.
Glasgow Coma Scale nilai ai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

3. Morfologi

I. fraktur kranium

Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat

berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar

tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone

window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar

tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih

rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis

retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus

fasialis. Sebagai patokan umum bila terdapat fragmen tulang yang menekan ke dalam,

lebih dari tebal tulang kalvaria, biasanya memerlukan tindakan pembedahan.

Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan

antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak

merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga

mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi,

lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih

banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko

hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada

pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma

intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang

tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk

dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.

Fraktur dasar tengkorak sering disertai dengan kebocoran CSS baik melalui

hidung (rhinorrhea) atau melalui telinga (otorrhea). Fraktur ini juga sering

menyebabkan paresis nervus fasialis yang dapat terjadi segera setelah cedera atau

timbul beberapa hari kemudian. Umunnya prognosis pemulihan paresis nervus fasialis

lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian.

II. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua

bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,

hematoma subdural dan kontusio (atau hematoma intraserebral). Pasien pada

kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun

keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma.

Maka cedera difus dikelompokan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan

cedera aksonal difus.


a. Hematoma Epidural

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial

antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai

lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan

sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap

berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus.

Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio

parietal-oksipital atau fossa posterior.

Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau

9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis

dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan

gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita

pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum

pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid

interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba

meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah

dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu

homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan

mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan

corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan

injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).

b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater

dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%

penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena

bridging antara korteks serebral dan sinus venosus. Namun ia juga dapat berkaitan

dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau

tidak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan

kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada

perdarahan epidural.

Mortalitas yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan dengan

tindakan pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan medikamentosa yang agresif.

Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.

1. SDH Akut

Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat

tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial

hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan

tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.

2. SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang

disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola

tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens,

berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya,

gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini

semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens .

c. Kontusi dan hematoma intraserebral.

Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak

hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi

terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk

serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral

traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan

kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa

hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan

(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak

yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak

tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi

perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya

(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung

pada lokasi dan luas perdarahan.


d. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera

akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera

kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak

terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai

derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan.

Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi

tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera

komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde

dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).

Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau

hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan

lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita

dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya

kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-

gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana

pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam

keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering

menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam

keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala

disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga

akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak

mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan.

Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan

cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski

bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu

menjadi pertimbangan.

a. Apa saja syarat untuk membuat visum et repertum? 4

Pasal 133 KUHAP menyebutkan:



(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Yang
berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu
sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu
penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik
tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan
dan jiwa manusia. Oleh karena VeR adalah keterangan ahli mengenai pidana
yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri
sipil tidak berwenang meminta VeR, karena mereka hanya mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-
masing (Pasal 7(2) KUHAP.
Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana
Pasal 216 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi
sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa
untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan
guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

a. Bagaimana mekanisme abnormalitas:


i. Regio orbita tampak hematom? 4

Trauma benda tumpulpecahnya pembuluh darah kapiler di lokasi


traumaterkumpulnya komponen darah lengkap (leukosit eritrosit
trombosit dan plasma) di interstitialProses Inflamasi pada daerah
memarpergerakan makrofag untuk memfagosit komponen darah hasil
metabolisme hemoglobin menghasilkan hemosiderin, biliverdin &
hematoidinperubahan warna kulit menjadi biru kehitaman. 


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doengoes (2004), pemeriksaan penunjang yang biasa
dilakukan pada kasus epidural hematom yaitu sebagai berikut:
1. CT Scan : untuk mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler pergeseran otak. CT Scan merupakan pilihan primer
dalam hal mengevaluasi trauma kepala. Sebuah epidural hematom
memiliki batas yang kasar dan penampakan yang bikonveks pada CT
Scan dan MRI. Tampakan biasanya merupakan lesi bikonveks dengan
densitas tinggi yang homogen, tetapi mingkin juga tampok sebagai
ndensitas yang heterogen akibat dari pencampuran antara darah yang
menggumpal dan tidak menggumpal.
2. MRI : memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih
jelas karena mampu melakukan pencitraan dari berbagai posisi apalagi
dalam pencitraan hematom dan cedera batang otak.
3. Angiografi serebral : untuk menunjukan kelainan sirkulasi serebral
seperti pergeseran jaringan otak karena edema dan trauma.
4. EEG : untuk memperlihatkan gelombang patologis.
5. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan/edema), dan
adanya fragmen tulang.
6. BAER (brain auditory evoked respons) : untuk menentukan fungsi
korteks dan batang otak.
7. PET (positron emmision topography): untuk menunjukan metabolisme
otak.
8. Pungsi lumbal : untuk menduga kemungkinan perdarahan
subarachnoid.
9. AGD : untuk melihat masalah ventilasi/oksigenasi yang meningkatkan
TIK.

Anda mungkin juga menyukai