Rinitis Alergi (MIRA)
Rinitis Alergi (MIRA)
Ringan Sedang-Berat
tidur normal Satu atau lebih gejala
aktivitas sehari-hari, saat olah tidur terganggu
raga dan santai normal aktivitas sehari-hari, saat olah
bekerja dan sekolah normal raga dan santai terganggu
tidak ada keluhan yang masalah dalam sekolah dan
mengganggu bekerja
ada keluhan yang mengganggu
3. Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,
misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang,
rerumputan, serta jamur.
b. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan
kacang-kacangan.
c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,
misalnya penisilin dan sengatan lebah.
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasanBerbagai pemicu
yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang
kuat atau merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang
tinggi.
4. Manifestasi Klinik
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari,
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air
mata (lakrimasi).
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa
bersin, mata atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung
tersumbat.
Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal,
conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi.
Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian
tengah.
Yang paling umum terjadi adalah:
a. Kongesti nasal
b. Secret hidung yang jernih serta encer
c. Bersin- bersin
d. Rasa gatal pada hidung
e. Sering terdapat rasa gatal pada tenggorok dan palatum mole
f. Timbul batuk kering atau suara parau
g. Sakit kepala, nyeri didaerah paranasal
h. Epistaksis dapat juga menyertai rhinitis alergi
5. Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan
alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit
dan atau sel dendrit. Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji ( antigen
presenting cell/sel APC), dan berada di mukosa saluran pernafasan.
Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh
sel-sel APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida
imunogenik. Fragmen pendek peptida ini bergabung dengan MHC-II yang
berada pada permukaan sel APC. Komplek peptida-MHC-II ini akan
dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama Helper-T cells (TH0).
Apabila sel TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek
peptida-MHC-II tersebut, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul
tesebut.
Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1
akan mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara
lain IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya
pada permukaan limfosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B.
Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE.
Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan
dan ditangkap eleh reseptor IgE pada permukaan sel mastosit atau sel
basofil. Maka akan terjadi degranulasi sel mastosit dengan akibat
terlepasnya mediator alergis.Mediator yang terlepas terutama histamin.
Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet mengalami
hipersekresi, sehingga hidung beringus. Efek lainnya berupa gatal hidung,
bersin-bersin, vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah
dengan akibat pembengkakan mukosa sehingga terjadi gejala sumbatan
hidung.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan
reaksi alergi fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20
menit pasca paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian.
Sepanjang RAFC mastosit juga melepas molekul-molekul kemotaktik
yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan
NCEA (neutrophil chemotactic factor of anaphylatic). Kedua molekul
tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ
sasaran.
Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi
fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas
RAFL adalah terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi
yangberakumulasi di jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8
jam. Sel yang paling konstan bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa
hidung dan menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca
paparan adalah eosinofil.
PATHWAY
Allergen
Jaringan mukosa
4. Membantu menurunkan
4. Kolaborasi pemberian spasme bronkus dengan
mukolitik, ekspektoran mobilisasi secret.
b. Nyeri akut b/d respons alergi d/d pasien mengatakan sakit kepala,
pasien mengatakan gatal pada hidungnya, pasien mengatakan bersin-
bersin, odema mukosa hidung,epistaksis, nyeri di daerah paranasal.
Tujuan : nyeri pasien berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
- pasien mengatakan nyerinya berkurang
- Pasien tidak meringis lagi
- Tanda –tanda vital normal
Tindakan perawatan Rasional
1. Tentukan karakteristik nyeri, 1. nyeri merupakan pengalaman
misal : tajam, ditusuk, subjektif dan harus dijelaskan
konstan oleh pasien. Identifikasi
karakteristik nyeri dan faktor
yang berhubungan merupakan
suatu hal yang amat penting
untuk memilih intervensi yang
cocok dan untuk mengevaluasi
keefektifan terapi yang
diberikan
c. Gangguan rasa nyaman b/d odema pada mukosa hidung d/d pasien
mengatakan bersin-bersin, rasa gatal,secret hidung jernih,
Tujuan : pasien menunjukkan tanda-tanda kearah perbaikan
kenyamanan