Pendahuluan
Hipokalemia merupakan masalah klinis yang umum terjadi. Asupan yang menurun,
translokasi yang meningkat ke dalam sel, atau loss melalui urine (atau saluran GI atau
keringat) memicu terjadinya hipokalemia. Ginjal bertanggung jawab terhadap homoeostasis
jangka panjang potassium. Lokasi nefron utama dimana sekresi K diatur adalah duktus
kolektikus kortikal, terutama melalui efek aldosteron. Aldosteron berinteraksi dengan
reseptor mineralokortikoid untuk meningkatkan reabsorbsi sodium dan ekskresi potassium.
Kondisi apapun yang menyebabkan peningkatan aktivitas renal potassium channel
menimbulkan terjadinya hipokalemia (contohnya aldosteronisme primer atau Liddle
syndrome). Sebagai tambahan, peningkatan aldosteron dapat meyebabkan alkalosis metabolik
dengan meningkatkan reabsorpsi bikarbonat pada collecting duct. Pada pasien dengan
hipokalemi hipertensif, pengukuran renin, aldosteron, dan kortisol membantu dalam
mendiagnosis banding (1).
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus penderita dengan hipokalemia berulang yang
dicurigai akibat hiperaldosteronisme primer dengan diagnosis banding Liddle syndrome.
Kasus
Pasien wanita, 37 tahun, suku Bali, datang ke poliklinik Nefrologi RSUP Sanglah
dengan keluhan lemas. Keluhan dirasakan sejak 1 minggu SMRS, memberat sejak pagi
sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Lemas membuat pasien sulit untuk melakukan
aktivitas, namun masih dapat melakukan aktivitas ringan. Keluhan muntah dan BAB cair
disangkal oleh pasien. Sesak napas, batuk, dan panas disangkal. Pasien dapat makan dan
minum dengan baik.
Dari riwayat penyakit dahulu, pasien sempat dirawat di RSUP Sanglah dengan
keluhan yang sama pada bulan Desember 2016, dengan diagnosis hipokalemia ec. Susp
1
2
Primary Hyperaldosteronism dd/Liddle Syndrome. Pasien biasanya rutin meminum KSR 3x1
tablet, namun sejak 10 hari tidak meminumnya dan hanya diet tinggi kalium. Pasien diketahui
menderita hipertensi sejak Maret 2015. Pada bulan Juni 2016 pasien melakukan pengecekan
lab didapat kalium 2,1. Pada bulan Desember 2016, pasien berobat ke RSUP Sanglah dan
dilakukan pemeriksaan lab dan didapat kalium 2,2 dan disarankan opname.
Riwayat keluarga pasien tidak ada didapatkan anggota keluarga dengan hipertensi,
gangguan ginjal, atau pun dengan penyakit yang sama.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah 150/110 mmHg, nadi 80 kali/menit (regular,
isi cukup), pernafasan 20 kali/menit, dan temperatur 36,3°C. Pemeriksaan status lokalis pada
regio leher tidak didapatkan adanya pembesaran dari kelenjar tiroid, dan pada pemeriksaan
fisik lainnya didapatkan dalam batas normal pula.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar kalium 2,5 mmol/L; pH darah 7,44;
pCO2 38,8; pO2 108,6; BE 1,4; dan HCO3 25,8. Pemeriksaan kalium urine 24 jam 66,03
mmol/24 jam. Pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi liver dan urinalisis pada pasien ini
didapatkan dalam batas normal. Berdasarkan riwayat pemeriksaan sebelumnya, pasien telah
menjalani pemeriksaan fungsi hormon tiroid pada Desember 2016, dan didapatkan dalam
batas normal.
Berdasarkan data-data tersebut pasien didiagnosis awal dengan hipokalemia ec. Susp
Primary Hyperaldosteronism dd/Liddle Syndrome. Terapi awal yang diberikan pada pasien
ini adalah drip KCl 50 meq dalam NaCl 0,9%.
Pada hari ke-3 perawatan didapatkan hasil kalium 3,4. Pasien kemudian
diperbolehkan pulang, diberikan terapi berupa KSR 3x1 tablet, spironolakton 1x25 mg, dan
ramipril 1x5 mg dengan edukasi untuk mengkonsumsi diet tinggi kalium, terutama buah-
buahan. Beberapa hari setelah pulang, pasien melakukan pengecekan darah kembali dan
didapat hasil kalium 2,5.
3
Pembahasan
Insiden gangguan kalium sangat tergantung pada populasi pasien. Sebesar kurang dari
1% dewasa dengan fungsi ginjal yang normal yang tidak mendapat obat-obatan berkembang
menjadi hipokalemia atau hiperkalemia. Diet tinggi sodium dan rendah potassium dapat
memicu terjadinya deplesi potassium. Sehingga identifikasi hipokalemia atau hiperkalemia
harus meliputi apakah ada penyakit dasar atau individu tersebut mengkonsumsi obat-obat
yang mempengaruhi kalium. Sebagai contoh, hipokalemia dapat timbul pada sebagian pasien
yang meminum diuretik dan sering terjadi pada pasien dengan hiperaldosteronisme primer
atau sekunder (2).
Manifestasi Klinis
Defisiensi potassium dapat mengubah rasio potassium ekstraseluler terhadap
intraselular sehingga mengubah resting membrane potential yang dapat mengganggu fungsi
normal pada hampir setiap sel dalam tubuh (2).
a. Kardiovaskular
Studi epidemiologi menghubungkan hipokalemia dan diet rendah potassium
dengan meningkatnya prevalensi hipertensi. defisiensi potassium meningkatkan tekanan
darah melalui mekanisme multipel, termasuk menstimulasi retensi sodium dan
menyebabkan ekspansi volume intravascular, dan dengan mensensitisasi pembuluh darah
terhadap vasokonstriktor endogen. Hipokalemia meningkatkan risiko aritmia ventrikular
b. Hormonal
4
Etiologi
a. Redistribusi
Karena kurang dari 2% potassium tubuh total berada dalam kompartemen
extracellular fluid, shift sejumlah kecil potassium dari kompartemen ekstraseluler ke
intraselular menimbulkan hipokalemia. Banyak hormon, khususnya insulin, aldosteron,
dan β2-adrenergic agonists, menstimulasi uptake potassium transselular (2).
Penyebab yang jarang namun penting adalah hypokalemic periodic paralysis.
Pada kondisi ini, serangan ditandai oleh paralisis flaccid atau kelemahan otot yang berat
yang terjadi secara tipikal pada malam hari atau dini hari, atau setelah makan makanan
kaya karbohidrat, dan bertahan selama 6-24 jam (2).
b. Nonrenal Potassium Loss
5
berat. Pada hiperplasia adrenal kongenital, terjadi sintesis adrenal persisten dari 11-
deoxycorticosterone, sebuah mineralokortikoid yang poten (2).
Defisiensi magnesium menghambat retensi potassium renal dan menyebabkan
ekskresi potassium renal yang tinggi walaupun pada kondisi hipokalemia. Ini terjadi lebih
sering sebagai komplikasi dari penggunaan diuretik jangka panjang dan juga akibat
aminoglycoside- and cisplatin-induced renal toxicity. Defisiensi magnesium harus
dicurigai jika penggantian potassium tidak mengkoreksi hipokalemia (2).
Defek transport potassium renal intrinsik yang menimbulkan hipokalemia jarang
terjadi. Bartter syndrome ditandai oleh hipokalemia, menurunnya tekanan darah,
hiperreninemia, alkalosis metabolik, dan hiperkalsiuria. Pasien dengan Bartter syndrome
secara tipikal timbul manifestasi klinis pada usia muda yang meliputi deplesi volume
yang berat dan growth retardation. Bartter syndrome diakibatkan oleh abnormalitas
genetik pada protein yang terlibat pada transport sodium dan potassium pada thick
ascending limb of the loop of Henle. Gitelman syndrome sama dengan Bartter syndrome,
kecuali pasien memiliki hipokalsiuria dan manifestasi klinis lebih ringan dan biasanya
terdiagnosis di kemudian hari. Gitelman syndrome dihasilkan akibat abnormalitas genetik
pada protein yang terlibat pada distal convoluted tubule sodium and potassium transport.
Jika dicurigai adanya Bartter atau Gitelman syndrome, sangat penting untuk
mengevaluasi penggunaan diuretik karena thiazide dan loop diuretic memberikan fenotip
klinis yang sama seperti Bartter dan Gitelman syndrome. Liddle syndrome ditandai oleh
hipertensi yang berat, hipokalemia, dan kadar rennin dan aldosteron yang tersupresi.
Liddle syndrome merupakan gangguan autosomal dominan yang ditandai oleh defek
struktural pada subunit apical amiloride-sensitive sodium channel (ENaC) yang
menimbulkan unregulasi reabsorpsi sodium dengan peningkatan sekresi potassium.
Liddle syndrome disebabkan oleh mutasi yang meningkatkan ekspresi dan aktivitas
collecting duct ENaC, menimbulkan reabsorpsi sodium berlebihan, ekskresi potassium,
ekspansi volume, dan hipertensi (1,2,3).
Aldosteronisme Primer
Hipertensi mineralokortikoid merupakan penyebab hipertensi yang secara potensial
reversibel, yang ditandai oleh trias hipertensi, alkalosis metabolik, dan hipokalemia.
Aldosteronisme primer adalah bentuk yang paling umum dari hipertensi mineralokortikoid.
Prevalensinya meningkat dengan derajat keparahan hipertensi, dari 2% pada pasien dengan
7
hipertensiderajat 1 hingga 20% di antara hipertensi resisten. Dua subtipe mayor adalah
bilateral adrenal hyperplasia dan adenoma adrenal (1,4).
Skrining aldosteronisme primer merupakan suatu topik yang menantang. Tidak semua
pasien dengan aldosteronisme primer timbul hipokalemia. Petunjuk yang mengarahkan
perlunya skrining: 1) hipertensi dan hipokalemia persisten yang tidak dapat dijelaskan; 2)
hipertensi berat; 3) pasien dengan hipertensi yang sulit terkontrol, membutuhkan 3 atau lebih
obat; 4) hipertensi yang muncul pada usia muda (<20 tahun); 5) jika dipertimbangkan
evaluasi untuk hipertensi sekunder (1).
Sel kelenjar adrenal yang mengalarni hiperplasia atau adenoma menghasilkan hormon
aldosteron secara berlebihan. Peningkatan kadar serum aldosteron akan merangsang
penambahan jumlah saluran natrium yang terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari
duktus kolektikus bagian korteks ginjai. Akibat penambahan jumlah ini, reabsorbsi natrium
mengalami peningkatan. Absorbsi natrium juga membawa air sehingga tubuh menjadi
cenderung hipervolemia (5).
Sejalan dengan ini, lumen duktus kolektikus ini berubah menjadi bermuatan lebih
negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kalium dari sel duktus kolektikus masuk ke dalam
lumen tubuli melalui saluran kalium. Akibat peningkatan ekskresi kalium di urine, terjadi
kadar kalium darah yang berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu oleh
peningkatan aliran cairan menuju tubulus distal. Hal ini mengakibatkan tubuh kekurangan
kalium dan timbul gejala seperti lemas (5).
Hipokalemia yang terjadi akan merangsang peningkatan ekskresi ion H di tubulus
proksimal melalui pompa NH3+ sehingga reabsorbsi bikarbonat meningkat di tubulus
proksimal dan kemudian terjadi alkalosis metabolic. Hipokalemia bersama dengan
hiperaldosteron juga akan merangsang pompa H-K-ATPase di tubulus distal yang
mengakibatkan peningkatan ekskresi ion H, selanjutnya akan memelihara keadaan alkalosis
metabolic pada pasien ini (5).
Kadar renin plasma pada pasien ini sangat rendah. Hipervolemia yang terjadi akibat
reabsorbsi natrium dan air yang meningkat akan menekan produksi renin sehingga kadar
renin plasma tertekan. Hal ini berbeda dengan hiperaldosteronisme sekunder dimana terjadi
peningkatan kadar renin maupun aldosteron darah. Hiperaldosteronisme sekunder didapatkan
pada hipertensi renovaskular atau pemberian diuretik pada pasien hipertensi. Hipertensi yang
terjadi pada pasien hiperaldosteronisme primer sebagian besar disebabkan oleh hipervolemia
yang menetap (5).
8
Daftar Pustaka
1. Choi KB. Hypertensive Hypokalemic Disorders. Electrolyte & Blod Pressure. 2007; 5:
34–41.
2. Weiner ID, Linas SL, Wingo CS. Disorders of Potassium Metabolism. In: Johnson RJ,
Feehally J, Floege J. Comprehensive Clinical Nephrology 5 th ed. Philadelphia: Elsevier;
2015. pp 111-118.
3. Lim S. Approach to Hypokalemia. Acta Med Indones J Intern Med. 2007; 39(1):56-64.
10
7. Lin SH, Yang SS, Chau T. A Practical Approach to Genetic Hypokalemia. Electrolyte
Blood Press. 2010;8:38-50.
8. Warnock DG. Liddle Syndrome: Genetics and Mechanism of Na + Channel Defects. Rare
Kidney Disease. 2001; 136: 1-10.