Anda di halaman 1dari 10

Case Based Discussion

SEORANG PENDERITA DENGAN HIPOKALEMIA YANG DICURIGAI AKIBAT


HIPERALDOSTERONISME PRIMER DENGAN DIAGNOSIS BANDING LIDDLE
SYNDROME

Nadia Pramita Dewi, Ida Bagus Mahendra, Raka Widiana


Divisi Ginjal-Hipertensi, Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Hipokalemia merupakan masalah klinis yang umum terjadi. Asupan yang menurun,
translokasi yang meningkat ke dalam sel, atau loss melalui urine (atau saluran GI atau
keringat) memicu terjadinya hipokalemia. Ginjal bertanggung jawab terhadap homoeostasis
jangka panjang potassium. Lokasi nefron utama dimana sekresi K diatur adalah duktus
kolektikus kortikal, terutama melalui efek aldosteron. Aldosteron berinteraksi dengan
reseptor mineralokortikoid untuk meningkatkan reabsorbsi sodium dan ekskresi potassium.
Kondisi apapun yang menyebabkan peningkatan aktivitas renal potassium channel
menimbulkan terjadinya hipokalemia (contohnya aldosteronisme primer atau Liddle
syndrome). Sebagai tambahan, peningkatan aldosteron dapat meyebabkan alkalosis metabolik
dengan meningkatkan reabsorpsi bikarbonat pada collecting duct. Pada pasien dengan
hipokalemi hipertensif, pengukuran renin, aldosteron, dan kortisol membantu dalam
mendiagnosis banding (1).
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus penderita dengan hipokalemia berulang yang
dicurigai akibat hiperaldosteronisme primer dengan diagnosis banding Liddle syndrome.

Kasus
Pasien wanita, 37 tahun, suku Bali, datang ke poliklinik Nefrologi RSUP Sanglah
dengan keluhan lemas. Keluhan dirasakan sejak 1 minggu SMRS, memberat sejak pagi
sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Lemas membuat pasien sulit untuk melakukan
aktivitas, namun masih dapat melakukan aktivitas ringan. Keluhan muntah dan BAB cair
disangkal oleh pasien. Sesak napas, batuk, dan panas disangkal. Pasien dapat makan dan
minum dengan baik.
Dari riwayat penyakit dahulu, pasien sempat dirawat di RSUP Sanglah dengan
keluhan yang sama pada bulan Desember 2016, dengan diagnosis hipokalemia ec. Susp

1
2

Primary Hyperaldosteronism dd/Liddle Syndrome. Pasien biasanya rutin meminum KSR 3x1
tablet, namun sejak 10 hari tidak meminumnya dan hanya diet tinggi kalium. Pasien diketahui
menderita hipertensi sejak Maret 2015. Pada bulan Juni 2016 pasien melakukan pengecekan
lab didapat kalium 2,1. Pada bulan Desember 2016, pasien berobat ke RSUP Sanglah dan
dilakukan pemeriksaan lab dan didapat kalium 2,2 dan disarankan opname.
Riwayat keluarga pasien tidak ada didapatkan anggota keluarga dengan hipertensi,
gangguan ginjal, atau pun dengan penyakit yang sama.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah 150/110 mmHg, nadi 80 kali/menit (regular,
isi cukup), pernafasan 20 kali/menit, dan temperatur 36,3°C. Pemeriksaan status lokalis pada
regio leher tidak didapatkan adanya pembesaran dari kelenjar tiroid, dan pada pemeriksaan
fisik lainnya didapatkan dalam batas normal pula.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar kalium 2,5 mmol/L; pH darah 7,44;
pCO2 38,8; pO2 108,6; BE 1,4; dan HCO3 25,8. Pemeriksaan kalium urine 24 jam 66,03
mmol/24 jam. Pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi liver dan urinalisis pada pasien ini
didapatkan dalam batas normal. Berdasarkan riwayat pemeriksaan sebelumnya, pasien telah
menjalani pemeriksaan fungsi hormon tiroid pada Desember 2016, dan didapatkan dalam
batas normal.
Berdasarkan data-data tersebut pasien didiagnosis awal dengan hipokalemia ec. Susp
Primary Hyperaldosteronism dd/Liddle Syndrome. Terapi awal yang diberikan pada pasien
ini adalah drip KCl 50 meq dalam NaCl 0,9%.
Pada hari ke-3 perawatan didapatkan hasil kalium 3,4. Pasien kemudian
diperbolehkan pulang, diberikan terapi berupa KSR 3x1 tablet, spironolakton 1x25 mg, dan
ramipril 1x5 mg dengan edukasi untuk mengkonsumsi diet tinggi kalium, terutama buah-
buahan. Beberapa hari setelah pulang, pasien melakukan pengecekan darah kembali dan
didapat hasil kalium 2,5.
3

Gambar 1. Foto pasien

Pembahasan
Insiden gangguan kalium sangat tergantung pada populasi pasien. Sebesar kurang dari
1% dewasa dengan fungsi ginjal yang normal yang tidak mendapat obat-obatan berkembang
menjadi hipokalemia atau hiperkalemia. Diet tinggi sodium dan rendah potassium dapat
memicu terjadinya deplesi potassium. Sehingga identifikasi hipokalemia atau hiperkalemia
harus meliputi apakah ada penyakit dasar atau individu tersebut mengkonsumsi obat-obat
yang mempengaruhi kalium. Sebagai contoh, hipokalemia dapat timbul pada sebagian pasien
yang meminum diuretik dan sering terjadi pada pasien dengan hiperaldosteronisme primer
atau sekunder (2).

Manifestasi Klinis
Defisiensi potassium dapat mengubah rasio potassium ekstraseluler terhadap
intraselular sehingga mengubah resting membrane potential yang dapat mengganggu fungsi
normal pada hampir setiap sel dalam tubuh (2).
a. Kardiovaskular
Studi epidemiologi menghubungkan hipokalemia dan diet rendah potassium
dengan meningkatnya prevalensi hipertensi. defisiensi potassium meningkatkan tekanan
darah melalui mekanisme multipel, termasuk menstimulasi retensi sodium dan
menyebabkan ekspansi volume intravascular, dan dengan mensensitisasi pembuluh darah
terhadap vasokonstriktor endogen. Hipokalemia meningkatkan risiko aritmia ventrikular
b. Hormonal
4

Hipokalemia mengganggu pelepasan insulin dan memicu terjadinya resistensi


insulin. Resistensi insulin yang biasanya terjadi dengan terapi diuretik thiazide
disebabkan oleh disfungsi endotelial yang dimediasi oleh thiazide-induced hypokalemia
and hyperuricemia.
c. Otot
Hipokalemia menghiperpolarisasi sel-sel otot skeletal sehingga mengganggu
kontraksi otot. Hipokalemia juga menurunkan aliran darah otot skeletal dengan
mengganggu pelepasan nitrit oksida lokal. Efek ini dapat mempredisposisi pasien menjadi
rhabdomyolisis selama olahraga yang berat.
d. Ginjal
Hipokalemia menimbulkan beberapa gangguan penting pada fungsi ginjal.
Menurunnya aliran darah medular dan meningkatnya resistensi vaskular ginjal dapat
mempredisposisi terjadinya hipertensi, tubulointerstitial and cystic changes, perubahan
keseimbangan asam basa, dan gangguan mekanisme konsentrasi ginjal.
Alkalosis metabolik adalah konsekuensi deplesi potassium yang biasa terjadi dan
diakibatkan oleh peningkatan renal net acid excretion yang disebabkan oleh
meningkatnya ekskresi ammonia ginjal. Sebaliknya, alkalosis metabolik dapat
meningkatkan ekskresi potassium renal dan menyebabkan deplesi potassium.
Hipokalemia yang berat dapat menimbulkan kelemahan otot-otot respirasi dan timbulnya
asidosis respiratorik.

Etiologi
a. Redistribusi
Karena kurang dari 2% potassium tubuh total berada dalam kompartemen
extracellular fluid, shift sejumlah kecil potassium dari kompartemen ekstraseluler ke
intraselular menimbulkan hipokalemia. Banyak hormon, khususnya insulin, aldosteron,
dan β2-adrenergic agonists, menstimulasi uptake potassium transselular (2).
Penyebab yang jarang namun penting adalah hypokalemic periodic paralysis.
Pada kondisi ini, serangan ditandai oleh paralisis flaccid atau kelemahan otot yang berat
yang terjadi secara tipikal pada malam hari atau dini hari, atau setelah makan makanan
kaya karbohidrat, dan bertahan selama 6-24 jam (2).
b. Nonrenal Potassium Loss
5

Kulit dan saluran GI mengekskresikan sejumlah kecil potassium pada keadaan


normal. Terkadang, keringat yang berlebihan atau diare kronik menimbulkan potassium
loss dan menimbulkan hipokalemia. Muntah dan nasogastric suction juga menyebabkan
kehilangan potassium. Alkalosis metabolik dan deplesi volume intravaskular yang terjadi
bersamaan mengakibatkan hiperaldosteronisme yang dapat meningkatkan urinary
potassium loss dan berkontribusi untuk terjadinya hipokalemia (2).
c. Renal Potassium Loss
Penyebab paling sering hipokalemia adalah renal potassium loss, yang
dakibatkan oleh obat-obatan, produksi hormon endogen, atau yang lebih jarang defek
renal intrinsik (2).
Thiazide dan loop diuretics meningkatkan ekskresi potassium urine. Diuretik
thiazide menyebabkan lebih banyak urinary potassium loss dibandingkan loop diuretic.
Antibiotik tertentu meningkatkan urinary potassium excretion. Beberapa analog
penicillin, seperti piperacillin/ tazobactam, meningkatkan distal tubular delivery dari
non-reabsorbable anion, yang mengharuskan adanya kation seperti potassium sehingga
meningkatkan ekskresi potassium urine. Agen antifungal amphotericin B secara langsung
meningkatkan sekresi potassium duktus kolektikus. Aminoglikosida menyebabkan
hipokalemia dengan atau tanpa nefrotoksisitas. Mekanismenya belum dimengerti
sepenuhnya, tapi berhubungan dengan deplesi magnesium. Beberapa produk herbal
seperti licorice tea, licorice root, dan gan cao mengandung glycyrrhizic dan
glycyrrhetinic acids yang memiliki mineralocorticoid-like effects (2).
Hormon endogen merupakan penyebab penting hipokalemia. Aldosteron adalah
hormon paling penting yang meregulasi homeostasis potassium tubuh total. Aldosteron
menyebabkan hipokalemia dengan menstimulasi uptake potassium ke sel dan
menstimulasi ekskresi potassium renal. Hiperaldosteron primer adalah penyebab umum
hipokalemia (2).
Defek genetik yang menyebabkan produksi aldosteron berlebihan sering dilihat
sebagai penyebab renal potassium wasting. Glucocorticoid-remediable aldosteronism
(GRA) adalah kondisi dimana corticotropin (ACTH)–regulated promoter dihubungkan
dengan gen untuk aldosterone synthase (rate-limiting enzyme untuk sintesis aldosteron).
Sebagai hasilnya, ekspresi aldosterone synthase diregulasi oleh ACTH, menimbulkan
ekspresi aldosterone synthase yang berlebihan dan timbulnya hiperaldosteronisme yang
6

berat. Pada hiperplasia adrenal kongenital, terjadi sintesis adrenal persisten dari 11-
deoxycorticosterone, sebuah mineralokortikoid yang poten (2).
Defisiensi magnesium menghambat retensi potassium renal dan menyebabkan
ekskresi potassium renal yang tinggi walaupun pada kondisi hipokalemia. Ini terjadi lebih
sering sebagai komplikasi dari penggunaan diuretik jangka panjang dan juga akibat
aminoglycoside- and cisplatin-induced renal toxicity. Defisiensi magnesium harus
dicurigai jika penggantian potassium tidak mengkoreksi hipokalemia (2).
Defek transport potassium renal intrinsik yang menimbulkan hipokalemia jarang
terjadi. Bartter syndrome ditandai oleh hipokalemia, menurunnya tekanan darah,
hiperreninemia, alkalosis metabolik, dan hiperkalsiuria. Pasien dengan Bartter syndrome
secara tipikal timbul manifestasi klinis pada usia muda yang meliputi deplesi volume
yang berat dan growth retardation. Bartter syndrome diakibatkan oleh abnormalitas
genetik pada protein yang terlibat pada transport sodium dan potassium pada thick
ascending limb of the loop of Henle. Gitelman syndrome sama dengan Bartter syndrome,
kecuali pasien memiliki hipokalsiuria dan manifestasi klinis lebih ringan dan biasanya
terdiagnosis di kemudian hari. Gitelman syndrome dihasilkan akibat abnormalitas genetik
pada protein yang terlibat pada distal convoluted tubule sodium and potassium transport.
Jika dicurigai adanya Bartter atau Gitelman syndrome, sangat penting untuk
mengevaluasi penggunaan diuretik karena thiazide dan loop diuretic memberikan fenotip
klinis yang sama seperti Bartter dan Gitelman syndrome. Liddle syndrome ditandai oleh
hipertensi yang berat, hipokalemia, dan kadar rennin dan aldosteron yang tersupresi.
Liddle syndrome merupakan gangguan autosomal dominan yang ditandai oleh defek
struktural pada subunit apical amiloride-sensitive sodium channel (ENaC) yang
menimbulkan unregulasi reabsorpsi sodium dengan peningkatan sekresi potassium.
Liddle syndrome disebabkan oleh mutasi yang meningkatkan ekspresi dan aktivitas
collecting duct ENaC, menimbulkan reabsorpsi sodium berlebihan, ekskresi potassium,
ekspansi volume, dan hipertensi (1,2,3).

Aldosteronisme Primer
Hipertensi mineralokortikoid merupakan penyebab hipertensi yang secara potensial
reversibel, yang ditandai oleh trias hipertensi, alkalosis metabolik, dan hipokalemia.
Aldosteronisme primer adalah bentuk yang paling umum dari hipertensi mineralokortikoid.
Prevalensinya meningkat dengan derajat keparahan hipertensi, dari 2% pada pasien dengan
7

hipertensiderajat 1 hingga 20% di antara hipertensi resisten. Dua subtipe mayor adalah
bilateral adrenal hyperplasia dan adenoma adrenal (1,4).
Skrining aldosteronisme primer merupakan suatu topik yang menantang. Tidak semua
pasien dengan aldosteronisme primer timbul hipokalemia. Petunjuk yang mengarahkan
perlunya skrining: 1) hipertensi dan hipokalemia persisten yang tidak dapat dijelaskan; 2)
hipertensi berat; 3) pasien dengan hipertensi yang sulit terkontrol, membutuhkan 3 atau lebih
obat; 4) hipertensi yang muncul pada usia muda (<20 tahun); 5) jika dipertimbangkan
evaluasi untuk hipertensi sekunder (1).
Sel kelenjar adrenal yang mengalarni hiperplasia atau adenoma menghasilkan hormon
aldosteron secara berlebihan. Peningkatan kadar serum aldosteron akan merangsang
penambahan jumlah saluran natrium yang terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari
duktus kolektikus bagian korteks ginjai. Akibat penambahan jumlah ini, reabsorbsi natrium
mengalami peningkatan. Absorbsi natrium juga membawa air sehingga tubuh menjadi
cenderung hipervolemia (5).
Sejalan dengan ini, lumen duktus kolektikus ini berubah menjadi bermuatan lebih
negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kalium dari sel duktus kolektikus masuk ke dalam
lumen tubuli melalui saluran kalium. Akibat peningkatan ekskresi kalium di urine, terjadi
kadar kalium darah yang berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu oleh
peningkatan aliran cairan menuju tubulus distal. Hal ini mengakibatkan tubuh kekurangan
kalium dan timbul gejala seperti lemas (5).
Hipokalemia yang terjadi akan merangsang peningkatan ekskresi ion H di tubulus
proksimal melalui pompa NH3+ sehingga reabsorbsi bikarbonat meningkat di tubulus
proksimal dan kemudian terjadi alkalosis metabolic. Hipokalemia bersama dengan
hiperaldosteron juga akan merangsang pompa H-K-ATPase di tubulus distal yang
mengakibatkan peningkatan ekskresi ion H, selanjutnya akan memelihara keadaan alkalosis
metabolic pada pasien ini (5).
Kadar renin plasma pada pasien ini sangat rendah. Hipervolemia yang terjadi akibat
reabsorbsi natrium dan air yang meningkat akan menekan produksi renin sehingga kadar
renin plasma tertekan. Hal ini berbeda dengan hiperaldosteronisme sekunder dimana terjadi
peningkatan kadar renin maupun aldosteron darah. Hiperaldosteronisme sekunder didapatkan
pada hipertensi renovaskular atau pemberian diuretik pada pasien hipertensi. Hipertensi yang
terjadi pada pasien hiperaldosteronisme primer sebagian besar disebabkan oleh hipervolemia
yang menetap (5).
8

Bila dicurigai adanya hiperaldosteronisme primer maka dilakukan pemerisaan serum


aldosteron dan Plasma renin activity (PRA) secara bersamaan. Rasio antara kadar aldosteron
dalam plasma (ng/dl) dengan kadar renin dalam plasma (ng/ml per jam) yang disebut sebagai
rasio aldosteron renin (aldosteron renin ratio=ARR) memiliki nilai diagnostic yang
bermakna. Nilai ARR>100 dianggap sebagai nilai diagnostik yang sangat bermakna untuk
terdapatnya hiperaldosteronisme. Penghitungan ARR sangat tergantung pada nilai PRA.
Kombinasi aldosteron plasma 20 ng/dl dan ARR>30 memiliki spesifitas dan sensitivitas 90%
untuk mendeteksi hiperaldosteronisme (5).
Peningkatan serum aldosteron dan ARR saja tidak berarti didapatkan
hiperaldosteronisme primer. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk menunjukkan adanya sekresi
kelenjar adrenal yang berlebihan. Untuk itu dilakukan tes supresi kelenjar aldosteron dengan
memberikan garam NaCl. Terdapat dua cara melakukan tes supresi yaitu secara oral dan
pemberian NaCl isotonis. Pada tes supresi oral diberikan diet 5 g NaCl peroral dengan
pemberian selama 3 hari. Setelah hari ketiga dilakukan pengumpulan urine selama 24 jam
untuk mengukur kadar natrium, kalium, dan aldosteron dalam urin. Kadar natrium dalam urin
harus lebih dari 200 meq yang menandakan diet tinggi natrium yang diberikan telah cukup
adekuat. Kadar aldosteron urin lebih dari 14 µgr/24 jam atau 39 nmol/24 jam sesuai dengan
hiperaldosteronisme primer. Tes supresi kedua yaitu dengan pemberian 2 liter NaCl isotonis
dalam waktu 4 jam dengan posisi pasien tidur terlentang. Bila kadar aldosteron plasma >10
ng/dl atau >277 pmol/L, sesuai dengan adanya hiperaldosteronisme primer (5).
Diagnostik lain adalah dengan terdapatnya peningkatan ekskresi kalium dalam urin 24
jam (>30 meq/L). Syarat pemeriksaan ini adalah pasien tidak boleh dalam keadaan
hipovolemia atau dalam keadaan diet rendah natrium (kadar natrium urin <50 meq/24 jam).
Pada pemeriksaan analisis gas darah didapat alkalosis metabolik yang disebabkan
peningkatan reabsorbsi bikarbonat di tubulus proksimal karena peningkatan kadar aldosteron
(5).
Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan darah, serum kalium, dan kadar serum
aldosteron. Pemberian spironolakton 12,5-25 mg biasanya sudah cukup efektif
mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kadar kalium plasma. Selain terapi
farmakologi perlu dikurangi asupan garam, olahraga, menormlakan berat badan dan
menghindari konsumsi alkohol (5).
9

Liddle Syndrome (Pseudohyperaldosteronism)


Liddle syndrome adalah sindrom hipertensi dan berbagai derajat alkalosis metabolik
hipokalemia dominan autosomal. Pasien menyerupai pasien dengan hiperaldosteronisme
primer, tetapi kadar hormon mineralkortikoid tidak meningkat. Renin dan aldosteron
tersupresi, dan tidak berespon terhadap spironolakton atau eplerenone. Namun, triamterene
dan amiloride yang merupakan aldosterone-independent inhibitors of distal Na+ transport,
mengkoreksi hipertensi, renal K+ loss, dan hipokalemia (6).
Liddle syndrome dihubungkan dengan mutasi subunit β atau γ dari duktus kolektikus
ENaC. Mutasi ini menimbulkan pemotongan cytoplasmic C-terminal tail dari subunit yang
terkena. Reabsorbsi sodium duktus kolektikus tergantung densitas channel yang ada pada
membrane sel apikal. Densitas channel diatur oleh removal ENaC dari sel membran,
ubiquitination, dan degradasi. Pada Liddle syndrome, protein ENaC yang bermutasi tidak
dapat dikenali oleh NEDD4, sebuah ubiquitin ligase protein, sehingga channel tetap berada
dalam sel membran dalam waktu yang lama. Aksi ini menimbulkan peningkatan reabsorbsi
sodium, hipertensi, dan alkalosis hipokalemi (6,7).
Liddle syndrome adalah kelainan hipertensi yang jarang pada anak remaja yang
berhubungan dengan alkalosis metabolik hypokalemia dan kadar serum renin dan aldosteron
darah yang rendah. Kondisi ini harus dibedakan dengan hiperaldosteronisme primer,
mineralocorticoid excess, dan glucocorticoid-remediable aldosteronism (6).
Terapi terdiri dari restriksi Na+ dan suplemen K+. Triamterene secara langsung
menghambat Na+ channels apikal, menghasilkan peningkatan Na+ urine dan penurunan
ekskresi K+ dan resolusi hipertensi. Amiloride biasanya menormalkan tekanan darah dan
kadar K+. Bagaimanapun juga, sebagian besar pasien dengan Liddle syndrome berlanjut
memiliki pertumbuhan yang terhambat. Karena kelainan patogenik tidak terkoreksi dengan
pertambahan usia, terapi seumur hidup diperlukan (6,8).

Daftar Pustaka

1. Choi KB. Hypertensive Hypokalemic Disorders. Electrolyte & Blod Pressure. 2007; 5:
34–41.
2. Weiner ID, Linas SL, Wingo CS. Disorders of Potassium Metabolism. In: Johnson RJ,
Feehally J, Floege J. Comprehensive Clinical Nephrology 5 th ed. Philadelphia: Elsevier;
2015. pp 111-118.

3. Lim S. Approach to Hypokalemia. Acta Med Indones J Intern Med. 2007; 39(1):56-64.
10

4. Gupta V. Mineralocorticoid hypertension. Indian J Endocrinol Metab. 2011.15(1):S298-


S312.
5. Nainggolan G. Hiperaldosteronisme Primer. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th.
Ed. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. p. 2203-05.
6. Gross P, Heduschka P. Inherited Disorders of Sodium and Water Handling. In: Johnson
RJ, Feehally J, Floege J. Comprehensive Clinical Nephrology 5 th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2015. pp 582-585.

7. Lin SH, Yang SS, Chau T. A Practical Approach to Genetic Hypokalemia. Electrolyte
Blood Press. 2010;8:38-50.
8. Warnock DG. Liddle Syndrome: Genetics and Mechanism of Na + Channel Defects. Rare
Kidney Disease. 2001; 136: 1-10.

Anda mungkin juga menyukai