Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN

PRAKTIKUM EKOTOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

Disusun Oleh:
Kelompok
Oxzha Audiba 210801121
Syaekhudin Manitis Sukma 210801141
Retno Wulansari 21080115120020
Pebriasi Sinaga 21080115120026
Hesti Renika 21080115120011
M.Fitra Miftahadi 21080115120032
M.Fayedh Nizom 21080115120008

DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehidupan mahluk hidup tergantung dari apa yang terjadi dilingkunganya.
Lingkungan yang bebas mudah dimasuki bahan-bahan yang tidak diketahui misalnya
Limbah. Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari proses peracunan atau sifat-sifat
bahan racun dan pengaruhnya terhadap mahluk hidup. Ilmu yang mempelajari mengenai
proses peracunan yang terjadi di lingkungan disebut ekotoksikologi. Ekotoksikologi
merupakan cabang ilmu dari Toksikologi. Ekotoksikologi merupakan ilmu yang
mempelajari efek dari senyawa-senyawa kimia terhadap populasi dan ekosistemnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung (DFG, 1983 dalam Rudolph, 1991). Lebih
lanjut dijelaskan oleh Nagel (1988), Rudolph & Boje (1986) dalam Rudolph (1991)
bahwa penelitian mengenai ekotoksikologi menitikberatkan pada peribahan struktur dan
fungsi ekosistem oleh senyawa kimia lingkungan, yang mengakibatkan efek yang
berbahaya bagi organism.
Wilayah perairan adalah zona bebas dimana banyak effluent yang masuk baik secara
langsung melalui pipa-pipa pembuangan atau run off dari aliran bawah tanah. Banyak
zat-zat kimia yang masuk ke sungai diantaranya adalah dari limbah-limbah industri
yang banyak memakai bahan kimia, atau limbah dari kegiatan akuakultur yang biasanya
menghasilkan limbah bahan-bahan organik. Zat-zat tersebut diatas dapat menimbulkan
efek terhadap perairan tempat pembuangan limbah tersebut. Efek yang ada dapat
mengakibatkan kualitas suatu perairan menurun atau efek terhadap organisme air yang
terpapar langsung dengan zat racun yang terlarut di perairan. Efek keracunan yang
terjadi dapat bersifat akut, sub-akut, khronis, delayed. Hal ini ditentukan oleh waktu,
lokasi organ (lokal/sistemik). Kemampuan racun untuk menimbulkan kerusakan apabila
masuk kedalam tubuh dan lokasi organ yang rentan disebut toksisitas.Toksisitas
dapat ditentukan dari beberapa faktor yaitu:
1. Spesies (jenis makhluk hidup: hewan, manusia dan tumbuhan)
2. Portal of entry, cara masuknya zat racun tersebut : kulit, pernafasan dan mulut
3. Bentuk/ sifat kimia - fisik dan lain-lain.
Aktivitas manusia sehari-hari tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahan-
bahan kimia. Salah satu bahan kimia yang paling banyak digunakan sehari-hari adalah
cairan pembersih lantai kamar mandi (wipol). Menurut SNI 06-1842-1995, pembersih
lantai berdesinfektan adalah cairan yang mengandung senyawa fenol atau tutunanya
maupun senyawa lain yang bersifat antiseptik dengan atau tanpa pewangi yang
digunakan untuk membersihkan lantai rumah tangga. Senyawa desinfektan yang
biasanya ada dalam cairan pembersih lantai adalah fenol.
Ikan merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomis penting bagi
manusia. Di samping itu, selama beberapa decade terakhir ini ikan dijadikan obyek
penelitian untuk mengetahui akumulasi dari bahan-bahan kimia di lingkungan perairan.
Ikan menjadi model standar di berbagai kawasan di dunia untuk menentukan kualitas
lingkungan dan penurunan fungsi habitatnya yang menyebabkan penurunan kuantitas
ikan di dunia.

1.2 Tujuan dan Manfaat Praktikum


Tujuan dan manfaat dari praktikum Ekotoksikologi Lingkungan adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui bahaya suatu bahan toksik yaitu karbol yang masuk ke dalam
perairan; dan
2. Mengetahui nilai LC50-96 jam dari bahan toksik yaitu karbol yang dipaparkan
ke ikan uji
Manfaat dari Praktikum Ekotoksikologi Lingkungan adalah sebagai
berkut:
1. Dapat Mengetahui bahaya suatu bahan toksik yaitu karbolr yang masuk ke
dalam perairan; dan
2. Dapat Mengetahui besarnya konsentrasi suatu bahan toksik yaitu karbol
yang masih dapat diterima oleh organisme perairan.

1.3 Waktu dan Tempat


Praktikum Ekotoksikologi dilaksanakan pada tanggal 20 April 2017
sampai 03 Mei 2017, di Jl. Banjarsari Gg Gayamsari No.15, Tembalang, Kota
Semarang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Sumatera (Puntius Tetrazona)


2.1.1 Klasifikasi Ikan Sumatera
Ikan sumatra (Puntius tetrazona) adalah sejenis ikan kecil
anggota suku Cyprinidae anak-suku Cyprininae. Nama tersebut adalah nama
perdagangannya sebagai ikan hias. Dalam bahasa Inggris, ikan ini dikenal
sebagai sumatra barb atau tiger barb.
Klasifikasi ikan sumatra sebagai berikut :
Fillum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Subkelas : Actinopterygii
Ordo : Cypriniformes
Famili : Cyprinidae
Genus : Puntius
Spesies : Puntius tetrazona

2.1.2 Morfologi Ikan Sumatera


Morfologi Ikan Sumatra yang berukuran kecil, dengan panjang total (beserta
ekor) mencapai 70 mm. Tubuh berwarna kekuningan dengan empat pita tegak berwarna
gelap, pita yang pertama melewati mata dan yang terakhir pada pangkal ekor. Gurat sisi
tak sempurna, 22-25 buah dengan hanya 8-9 sisik terdepan yang berpori. Batang ekor
dikelilingi 12 sisik. Tinggi tubuh sekitar setengah kali panjang standar (tanpa ekor).
Sekitar mulutnya, sirip perut dan ekor berwarna kemerahan. Sirip punggung dan sirip
dubur berwarna hitam, namun warna hitam pada sirip punggung dibatasi oleh garis
merah. Ikan Sumatra memiliki bentuk tubuh memanjang pipih ke samping. Pada
tubuhnya yang berwarna kuning terdapat empat buah garis berwarna hitam kebiruan
memotong badannya. Keempat garis tersebut berjejer satu buah di bagian kepala
melewati mata dan tutup insang, dua buah di bagian badan, dan satu buah lagi di
pangkal ekor (Atom, 2009). Adapun morfologi dari ikan Sumatera dapat dilihat pada
Gambar 2.1
Gambar 2.1 Ikan sumatra (Puntius tetrazona)

2.1.3 Habitat dan Penyebaran


Ikan sumatra secara alami menyebar di Semenanjung Malaya (termasuk di
wilayah Thailand), Sumatra dan Kalimantan. Di samping itu, ada pula laporan-laporan
temuan dari wilayah lain di Asia Tenggara yang sukar dikonfirmasi, apakah ikan-ikan
tersebut memang asli setempat atau ikan lepasan yang telah beradaptasi.
Ikan ini sering didapati pada sungai-sungai dangkal berarus sedang, yang jernih
atau keruh. Ikan sumatra menyukai pH antara 6.0–8.0, kesadahan air antara 5–19 dGH,
dan kisaran temperatur air antara 20–26 °C. Ikan sumatra juga didapati di rawa-rawa,
yang mengindikasikan bahwa ikan ini memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap
perubahan kualitas air. Rata-rata lama hidup ikan sumatra adalah sekitar 6 tahun
(Sunarna, 2010)
Axelrod et al. (1983) mengemukakan bahwa proses pemijahan pada ikan
Sumatra dapat dipercepat apabila media pemijahan memiliki kesadahan yang lebih
rendah daripada media pemeliharaan. Pemijahan ikan Sumatra berlangsung pada pagi
hari di tanaman-tanaman air. Telur yang dipijahkan bersifat adhesif atau menempel
pada substrat. Ikan Sumatra mampu menghasilkan telur 300 butir setiap kali memijah.
Setiap kali induk Sumatra memijah, mampu mengahasilkan telur sebanyak 300 – 1000
butir. Telur ikan Sumatra berdiameter 1.18 + 0.05 (Wikipedia, 2008).

2.1.4 Siklus Reproduksi (Oogenesis)


Tahap awal reproduksi adalah proses perkembangan gonad, dimana sebagian
besar dari proses ini terdiri dari aktifitas-aktifitas metabolisme. Pada tahap
perkembangan awal sel telur, oogonia terlihat masih sangat kecil, kemudian secara
bertahap oogonia memperbanyak diri melalui pembelahan secara mitosis. Tranformasi
oogonia menjadi oosit primer pada tahap pertumbuhan kedua yang ditandai dengan
kemunculan kromosom. Pada perkembangan selanjutnya oosit membentuk lapisan
chorion, lapisan granulosa dan lapisan teka. Perkembangan gonad pada ikan terdiri dari
2 tahap, yaitu vitellogenesis dan pematangan gonad. Telur akan terus berkembang dan
bertambah besar selama proses vitellogenesis.
Perkembangan gonad ikan diawali dari adanya rangsangan lingkungan yang
diterima oleh reseptor otak (hipothalamus). Kemudian hipotalamus melepaskan GnRH
yang ditujukan terhadap kelenjar pituitari untuk mengsekresikan hormon gonadotropin
(GTH). GTH terbawa oleh aliran darah menuju ke gonad. Gambar 2 dibawah ini
merupakan mengenai skema perkembangan oosit yang telah dikemukakan oleh
Nagahama et al. (1995).

Gambar 2. Skema perkembangan oosit (Nagahama et al,1995)

Gonadotropin disekresikan oleh hipofisa pada awal vitelogenesis dikenal dengan


GTH I. Hormon ini terbawa aliran darah menuju gonad. Menurut Nagahama (1995),
proses pematangan gonad juga dipengaruhi aktifitas beberapa hormon. Proses
steroidogenesis dimulai dengan pemecahan cholesterol menjadi pregnenolon.
Pregnenolon diubah menjadi progesterone dengan aktifitas dari enzyme 3β-
hidroxysteroid dehidrogenase (3β-HSD). Kemudian progesteron ini diubah menjadi
17α-hidroxyprogesteron oleh enzyme 17β-hidroxylase. Selama proses vitelogenin
berlangsung, 17α- hidroxyprogesteron diubah menjadi androstenedion dengan bantuan
C17-C20 lyase. Androstenedion kemudian diubah menjadi testoteron. Sintesis
testoteron ini dibantu oleh enzyme 17α-hydroxysteroid dehidrogenase (17α-HSD).
Proses perubahan kolesterol menjadi testoteron terjadi di dalam lapisan teka pada folikel
oosit. Selanjutnya testoteron yang dihasilkan di dalam lapisan teka ini masuk ke dalam
lapisan granulosa.
Di dalam lapisan granulosa testoteron dikonversi menjadi estradiol-17β oleh
enzim aromatase, sehingga selama proses vitelogenesis berlangsung terjadi peningkatan
konsentrasi estradiol-17β di dalam darah tubuh ikan. Dengan adanya peningkatan
konsentrasi estradiol-17β, menyebabkan hati mengsintesa vitellogenin yang merupakan
bakal kuning telur. Vitelogenin yang berada dalam aliran darah diakumulasikan di
gonad kemudian diserap oleh oosit. Akibat adanya penyerapan vitellogenin ke dalam
oosit menyebabkan ukuran oosit semakin berkembang dan membesar. Proses
penyerapan vitellogenin akan terhenti apabila telah mencapai ukuran maksimum.
Setelah vitellogenesis terhenti, telur berada pada fase dorman yang menunggu sinyal
lingkungan berikutnya untuk memulai tahap pematangan pada oosit hingga ovulasi.
Pada waktu terjadinya pematangan oosit, sinyal lingkungan yang diterima oleh
sistem saraf pusat lalu diteruskan ke hipothalamus. Dengan adanya sinyal dari sistem
saraf pusat pada hipothalamus, hipothalamus mengsekresikan GnRH yang ditujukan
terhadap pituitari. Kemudian pituitary mengsekresikan GTH II ke dalam aliran darah.
GTH II bekerja pada lapisan teka oosit. Dengan adanya GTH II pada lapisan teka,
lapisan teka akan mengsisntesis 17α- hydroxyprogesteron yang akan disebarkan ke
dalam lapisan granulose pada folikel oosit. Di dalam lapisan ini, 17α-
hydroxyprogesteron diubah menjadi 17α,20β-dihydroxy-4-pregnen-3-one (17α,20β-P)
dengan bantuan enzyme 20β- hydroxysteroid dehydrogenase (20β-HSD). Hormon
17α,20β-P berperan sebagai 6 Maturation Inducing Hormon (MIS) di ikan pada
umumnya (Nagahama, 1995). Selanjutnya steroid pemicu pematangan akan merangsang
pembentukan Maturation Promoting Factor (MPF) yang akan mendorong inti ke pinggir
dekat dengan mikrofil kemudian melebur. Menurut Yaron (1995) dalam Zairin (2003)
setelah inti melebur (Germinal Vesicle Break Down, GVBD), lapisan folicle akan pecah
dan telur akan dikeluarkan menuju rongga ovari atau lebih dikenal dengan istilah
ovulasi. Setelah telur mengalami ovulasi, telur sudah siap dibuahi oleh sperma karena
telah mencapai kematangan secara fisiologis (Zairin, 2003).

2.1.5 Pakan dan Kebiasaan Makan


Ikan sumatra termasuk ikan omnivora atau pemakan apa saja walaupun pakan
hidup lebih disukai. Sebagai ikan sungai maka pakannya adalah organisme dasar
perairan seperti cacing rambut (Tubifex sp). Cacing rambut merupakan salah satu pakan
yang baik karna mengandung pigmen yang dapat memperindah warna sumatra atau
larva insekta dasar seperti cacing darah (Chironomus sp.) dan pellet dengan kandungan
protein 30%.

2.2 Tinjauan Umum Bahan Toksik


Bahan toksik yang digunakan dalam percobaan ini yaitu cairan pembersih kamar
mandi atau karbol dengan merk “Wipol”. Kekuatan disinfektan ini ditentukan dengan
nilai koefisien fenol Wipol yaitu sebesar 0,75. Artinya Wipol memiliki aktivitas
germisidal 0,75 kali dari aktivitas germisidal fenol. Wipol diketahui mengandung bahan
aktif berupa pine oil 2,5 % yang merupakan zat pengurang tegangan permukaan atau
zat pembasah terutama digunakan untuk membersihkan permukaan benda. Pine oil juga
bersifat resisten terhadap Staphylococcus aureus. Selain itu karbol juga mengandung
camper, NaOH, dan arpus yaitu residu dari hasil penyulingan minyak pinus.

2.3 Analisa Probit


Analisis probit adalah jenis regresi digunakan untuk menganalisis variabel
respon binomial. Analisa probit dapat dilakukan dengan menggunakan table,
perhitungan manual, maupun dengan menggunakan software EPA Probit Analysis.
Pengukuran toksisitas (daya racun) dari suatu jenis bahan pencemar dapat
dilakukan dengan menetapkan nilai LC50 dari bahan pencemar tersebut terhadap hewan
percobaan dengan melakukan analisa probit. Analisa probit adalah suatu metode
pengujian yang umum dipergunakan untuk menilai toksisitas dari suatu bahan
pencemar, yang diukur dari lethal concentration, yang diartikan sebagai berapa
miligram bahan pencemar untuk setiap kilogram hewan uji yang dapat mengakibatkan
kematian sebanyak 50 % dari populasinya. Meskipun analisa probit merupakan teknik
parametrik yang biasa dipakai untuk menangani data toksisitas, simpangan nyata dari
model log probit dapat terjadi, sebagai contoh, pada saat data tidak tersebar normal
(Buikema et al, 1982).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Materi
Materi yang digunakan dalam praktikum Ekotoksikologi dan Kesehatan
Lingkungan adalah Ikan Sumatra (Puntius tetrazona) untuk dihitung nilai LC50-96 jam
terhadap bahan toksik (pembersih lantai). Untuk menunjang praktikum Ekotoksikologi
Perairan maka dibutuhkan alat dan bahan sebagai berikut :
a) Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ekotoksikologi antara lain:
1. 6 buah botol 1500 ml
2. 1 buah saringan ikan
3. 1 buah gelas ukur
4. 1 buah sendok takar
5. 2 buah aerator dengan selang yang dicabang
6. Alat tulis
7. Kertas Label
b) Bahan
1. 30 ekor ikan (30 ekor untuk uji pendahuluan, 30 ekor untuk uji
sesungguhnya)
2. Karbol
3. Air

3.2 Metode Praktikum


Sebelum melakukan uji pendahuluan dan uji sesungguhnya, lakukan tahap
pemeliharaan dan tahap aklimatisi. Tahap pemeliharaan dilakukan selama 2 hari untuk
membiarkan ikan beradaptasi dengan lingkungan baru. Pada tahap ini ikan diberi makan
sehari sekali. Setelah tahap pemeliharaan, ikan uji menjalani tahap aklimatisi selama 1
hari, yaitu ikan uji dibiarkan tidak makan untuk membersihkan perutnya.
a) Uji Pendahuluan
Dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi batas ambang atas dan
ambang bawah. Berikut adalah langkah-langkahnya:
1. Memasukkan air sebanyak 500 ml pada masing-masing wadah yang
sudah dibersihkan sebelumnya;
2. Memasang selang yang sudah dihubungkan dengan aerator;
3. Mencampurkan Wipol dengan konsentrasi berturut-turut 0,1 ml, 0,5 ml,
1 ml, 1,5 ml, dan 2 ml. Dan 1 Wadah control tanpa pemberian toksik.
4. Memasukkan ikan uji dengan kepadatan 5 ekor ikan dalam satu wadah
uji;dan
5. Melakukan pengamatan mortalitas ikan setelah 8 jam hingga 48 jam.
b) Uji Sesungguhnya
Uji ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi dimana ikan uji mati
50% selama jangka waktu 96 jam. Berikut adalah langkah-langkahnya:
1. Memberi air pada aquarium yang sudah dibersihkan sebelumnya;
2. Melakukan perhitungan menggunakan rumus untuk mencari konsentrasi
pembersih lantai sebenarnya dengan menggunakan persamaan rumus :

𝐍 𝐚
𝐋𝐨𝐠 = 𝐤 (𝐋𝐨𝐠 )
𝐧 𝐧
𝐚 𝐛 𝐜 𝐝 𝐞
= = = =
𝐧 𝐚 𝐛 𝐜 𝐝

Dimana: N = konsentrasi ambang atas


n = konsentrasi ambang bawah

3. Mencampurkan Wipol dengan konsentrasi berturut-turut 0,1 ml, 0,5 ml, 1


ml, 1,5 ml, dan 2 ml. Dan 1 Wadah control tanpa pemberian toksik.
4. Memasukkan ikan uji ke dalam akuarium dengan kepadatan 10 ekor
setiap akuarium;
5. Melakukan pengamatan pergerakan dan tingkah laku ikan tiap 8 jam
hingga 96 jam.

3.3 Analisa data


Pada praktikum Ekotoksikologi ini dilakukan analisis data untuk mengolah data
yang sudah didapat dari uji di atas. Dalam praktikum ini, dalam melakukan analisa
probit digunakan software EPA Probit Analysis untuk menentukan nilai LC50-96 jam.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
a. Uji Pendahuluan
Tabel 4.1 Hasil Uji Pendahuluan
Jam Ke - Prosentase
Konsentrasi
8 16 24 32 40 48 (%)
0 ml 0 0 0 0 0 0 0
0,1 ml 0 0 0 0 1 0 20
0,5 ml 0 0 1 1 0 0 40
1 ml 1 2 2 0 0 0 100
1,5 ml 3 2 0 0 0 0 100
2 ml 5 0 0 0 0 0 100

Dari hasil tes pendahuluan di dapatkan range konsentrasi untuk tes


sesungguhnya adalah 0,1-1 ml. Dilakukan 5 perlakuan, untuk mendapatkan
konsentrasi untuk uji sesungguhnya melalui perhitungan di bawah ini :

𝑵 𝒂
𝒍𝒐𝒈 = 𝒌 (𝒍𝒐𝒈 )
𝒏 𝒏
Keterangan :
N = Konsentrasi ambang atas
n = Konsentrasi ambang bawah
K = Jumlah konsentrasi yang di uji

𝒂 𝒃 𝒄 𝒅 𝒆 𝑵
=𝒂=𝒃= =𝒅=
𝒏 𝒄 𝒆

1 𝑎
log = 𝑘 (log )
0,1 0,1

1 𝑎
log = 5 (log )
0,1 0,1
𝑎
4 = 5 (log )
0,1

𝑎
4 = 5 (log )
0,1

4 = 5 (log 𝑎 − log 0,1)

4 = 5 log 𝑎 − 5 log 0,1

5 log 𝑎 = −1
−1
log 𝑎 =
5
log 𝑎 = −0,2 ------ a = 0,63 ≈ 0,6

setelah diketahui nilai a maka nilai b,c,d,dan e dapat kita cari sesuai
perhitungan di bawah ini
𝑎 𝑏 0,6 𝑏
= = b = 3,6
𝑛 𝑎 0,1 0,6

𝑎 𝑐 0,6 𝑐
=𝑏 = 3,6 c = 21,6
𝑛 0,1

𝑎 𝑑 0,6 𝑑
= = 21,6 d = 129,6
𝑛 𝑐 0,1

𝑎 𝑒 0,6 𝑒
=𝑑 = 129,6 e = 777,6
𝑛 0,1

dari perhitungan di atas maka di dapatkan konsentrasi untuk Uji


Sesungguhnya, yaitu:
a = 0,6
b = 3,6
c = 21,6
d = 129,6
e = 777,6
4.2 Pembahasan
a. Uji Pendahuluan
Percobaan ini menggunakan 6 buah wadah berisi masing-masing
500 ml air dengan konsentrasi karbol yang berbeda-beda. Sedangkan
masing-masing wadah ini diisi dengan 5 ekor ikan. Sementara itu, pada
perlakuan kontrol ikan dalam keadaan normal, baik proses metabolisme
maupun respirasinya. Untuk perlakuan ini ikan yang digunakan sebagai
ikan uji tidak mendapat tambahan bahan toksik.
Berdasarkan hasil praktikum pada uji pendahuluan dengan
pemberian karbol dalam berbagai konsentrasi pada Ikan Sumatra (Puntius
tetrazona) dapat diketahui pengaruh penggunaan toksik ini pada kehidupan
ikan yang dapat dilihat dari tingkat kematian atau mortalitas ikan.
Konsentrasi yang digunakan pada uji pendahuluan adalah 0,1 ml; 0,5 ml; 1
ml; 1,5 ml; 2 ml. Ikan uji mati seratus persen selama 24 jam terdapat pada
konsentrasi 1 ml. Dapat disimpulkan bahwa ambang atas (LC0-24jam) dari
bahan toksik pembersih lantai adalah 1 mg/l dan ambang bawah (LC0-96jam)
dari bahan toksik pembersih lantai adalah 0,1 mg/l dimana dalam jangka
waktu 40 jam tidak ada ikan uji yang mati dalam konsentrasi tersebut.
Dengan didapatkannya konsentrasi ambang atas (N) dan konsentrasi
ambang bawah (n) tersebut, maka kita dapat melakukan perhitungan
konsentrasi untuk uji sesungguhnya.
Berdasarkan uji pendahuluan ini, kita dapat mengetahui bahwa
karbol dapat bersifat lethal dan sublethal terhadap ikan. Pada konsentrasi
sublethal karbol yang juga termasuk golongan pembersih lantai kamar
mandi akan merusak jaringan epithelium insang dimana rusaknya jaringan
epithelium tersebut dapat mengganggu kerja insang yang pada akhirnya
dapat mengakibatkan kematian pada hewan uji.

b. Kendala
Dalam praktikum ini, terdapat beberapa kendala yang pada
akhirnya mengakibatkan hambatan pada percobaan uji sesungguhnya.
Dimana terdapat kondsisi abnormal pada objek penelitian, kondisi tersebut
mengakibatkan kematian secara menyeluruh ketika dilakukannya pre-
kondisi sebelum uji sesungguhnya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kondisi abnormal tersebut,
diantaranya efisiensi alat aerator, kemudian faktor kontaminasi wadah, dan
juga waktu serta anggaran biaya.
Saat transisi praktikum dari uji pendahuluan menuju uji
sesungguhnya, tidak dilakukan pergantian wadah. Wadah yang dipakai
sebelumnya hanya dilakukan pencucian, dengan pembersih atau sering
disebut juga dengan pencuci peralatan makan. Terdapat indikasi, bahwa
kandungan toksik tidak dapat tersingkirkan langsung oleh zat pencuci yang
ada, selain itu adanya zat toksik yang melekat pada aerator, sehingga hal ini
menyebabkan kandungan toksik tersebar secara langsung pada saat
perlakuan pre-kondisi uji sesungguhnya.
Kedua adalah efisiensi aerator sendiri, aerator yang telah
digunakan akan mengalami kekenduran pada instalasi selang penghantar
oksigen. Kekenduran ditambah pula dengan tidak adanya keran pengatur
tekanan pada selang, yang menyebabkan turunnya tekanan dan jumlah
oksigen yang terpompa. Mengakibatkan minimnya suplai oksigen yang
dialirkan saat pre-kondisi uji sesungguhnya.
Terakhir adalah anggaran biaya dan waktu pengerjaan,
Kurangnya ketersediaan alat maupun mesin pendukung pada laboratorium,
mendorong praktikan untuk menyediakan keperluannya sendiri ditambah
lagi dengan biaya pembelian objek praktikum serta instalasi. Biaya
praktium sendiri sejatinya bukan suatu tanggungan yang memberatkan,
namun waktu pengerjaan merupakan tantangan yang menarik untuk
dihadapi. Rincian waktu pengerjaan adalah sebagai berikut:
Hari Ke 1-2 : Pendiskusian tahapan praktikum
Hari Ke 3-4 : Pembelian, Perakitan, dan Uji coba alat
Hari Ke 5-7 : Pre-kondisi Uji Pendahuluan
Hari Ke 8-10 : Perlakuan Uji Pendahuluan
Hari Ke 11 : Pencucuian dan Persiapan Uji Sesungguhnya
Hari Ke 12-13 : Pre-kondisi Uji Sesungguhnya
Hari Ke 14 : Pembuatan Laporan
Dari agenda tersebut, untuk uji sesungguhnya tidak dimungkinkan
untuk dilakukan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dari Praktikum Ekotoksikologi ini adalah ikan
mengalami kematian 100% pada 24 jam terdapat pada konsentrasi 1 ml toksik untuk
setiap kadar air 500 ml. Selain itu pada praktikum ini terjadi kendala pada pre-kondisi
uji sesungguhnya yaitu efisiensi alat aerator, kemudian faktor kontaminasi wadah, dan
juga waktu serta anggaran biaya.
5.2. Saran
Saran yang diberikan untuk praktikum ekotoksikologi ini adalah hendaknya ikan
serta bahan toksik yang digunakan lebih bervariasi sehingga hasil antar kelompok dapat
dibandingkan. Kemudian saat melakukan praktikum hendaknya pengamatan terhadap
ikan dilakukan dalam interval waktu yang sesering mungkin agar didapatkan tingkat
mortalitas yang lebih akurat. Selain itu perlu dipertimbangkan pula aspek ketersiapan
alat dan efisiensinya untuk mencegah kondisi abnormal pada saat praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Atom. 2009. Budidaya ikan sumatra. (http://iniikanku.blogspot.com/). Diakses pada


tanggal 3 Mei 2017 pukul 19.00 WIB.
Aldridge, W.N. 1980. The Need to Understand Mechanism. Dalam H.R. Witschi (Ed.),
The Scientific Basis of Toxicity Assessment. Elsevier/North Holland Biomedical
Press. Amsterdam.
Axelrod, H. R., C. Emmens, W. Burges, N. Pronek, G. Axelrod. 1983. Exotic Tropical
Fishes (Expanded Edition). T.F.H. Publications, Inc. 211 West Sylvania
Aveneu, Neptune City. 1302p.
Buikema, Jr., A.L., Niederlehner, B.R., dan Cairns, Jr.,J. 1982. Biological monitoring.
Bagian IV - Toxicity testing. Water Res.
Nagahama, Yoshitaka., Michiyasu Yoshikuni, Masakane Yamashita, Toshinobu
Takumoto, and Yoshinao Katsu. 1995. Regulation of Oocyte Growth and
Maturation in Fish. Vol. 30. Academic Press, Inc. P: 103 – 245.
Sunarma, A. 2010. Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius
hypopthalmus). Sukabumi: BBPBAT
Wikipedia. 2008. Tiger barb. http://wikipedia.com. Tanggal 27 Desember 2008. Diakses
pada tanggal 03 Mei pukul 19.00 WIB.
Zairin, M. Jr. 2003. Endokrinologi dan Perannya bagi Masa Depan Perikanan Indonesia.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi dan Endokrinologi Hewan Air,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai