Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka merupakan merupakan teori dasar yang akan dijadikan


dasar dari pengambilan dan penentuan metodologi aspek yang akan dikaji. Bab ini
berisi teori tentang pengertian Urban Heat Island (UHI), teori kota sebagai pusat
kegiatan masyarakat, teori pertumbuhan kota dan dampak pembangunan terhadap
kenaikan suhu udara serta bagaimana penggunaan metode Urban Heat Island (UHI)
dalam mendeteksi suhu permukaan.

2.1 Kota Sebagai Pusat Kegiatan

Kota sebagai pusat kegiatan merupakan tempat dimana pemusatan fasilitas


dan kebutuhan masyarakat dipenuhi. Kota sebagai pusat pertumbuhan memiliki
banyak kawasan permukiman sebagai tempat tinggal masyarakat didalam nya. Kota
cenderung memiliki tingkat pembangunan yang tinggi, hal ini dikarenakan masyarakat
yang tinggal di kawasan perkotaan bekerja di bidang non agraris. Pola penggunaan
lahan di kawasan perkotaan sendiri pun didominasi oleh lahan terbangun. Hanya
sebagian kecil lahan kota yang tidak terbangun. Umum nya lahan tidak terbangun
tesebut digunakan sebagai ruang terbuka hijau, hutan kota ataupun sebagai kawasan
resapan air kota tersebut.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No.4 tahun 1980, kota adalah
suatu kawasan yang memiliki batas administrasi wilayah seperti kotamadya dan kota
administratif. Kota juga merupakan suatu lingkungan kehidupan yang memiliki ciri non
agraris. Sedangkan menurut Ditjen Cipta Karya, kota adalah pemukiman yang
memiliki penduduk relatif besar, berkepadatan tinggi, luas areal terbatas dan pada
umum nya bersifat non agraris. Kota juga merupakan sekelompok orang
bertempatinggal dalam suatu wilayah geografis tertentu dengan pola hubungan
rasional, ekonomis dan individualis. Serta dalam UU No.22 tahun 1999 Tentang
Otonomi Daerah menjelaskan bahwa kota adalah kawasan yang memiliki kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

9
10

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1986 tentang Batas –
batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia, ciri – ciri kota dapat dilihat dari aspek sosial
dan ekonomi. Jika dilihat dari aspek fisik maka wilayah kota memiliki ciri – ciri sebagai
berikut :

 Tempat pemukiman penduduk yang merupakan suatu kesatuan


dengan luas, jumlah bangunan, kepadatan bangunan yang relatif lebih
tingi dibandingkan wilayah sekitar nya.
 Proporsi bangunan permanen lebih besar diwilayah kota dibandingkan
wilayah – wilayah sekitar nya.
 Memiliki lebih banyak bangunan fasilitas sosial ekonomi (sekolah,
pasar, toko, kantor pemerintahan dan lain sebagai nya).

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 Tahun 1987 tentang


Pedoman Penyusunan Rencana Kota pun menjelaskan bahwa kota adalah
permukiman dan kegiatan penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur
dalam peraturan peraturan perundangan serta permukiman yang telah memiliki ciri
kehidupan kehidupan perkotaan. Sedangkan perkotaan sendiri merupakan satuan
kumpulan pusat – pusat permukiman yang berperan di dalam suatu wilayah
pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa.

Umum nya penduduk kota bersifat individualis tidak seperti di kawasan


pedesaan. Hal ini diakibatkan karena tingkat kesibukan kota yang tinggi sehingga para
penduduk kota sibuk dengan kegiatan nya masing – masing. Kota sendiri pun menjadi
dayatarik bagi penduduk di sekitar nya, hal ini akan mengakibatkan urbanisasi dari
desa ke kota. Urbanisasi ini umum nya diakibatkan oleh penduduk kawasan sekitar
kota yang mencari pekerjaan di kawasan perkotaan. Hal ini lah yang menyebabkan
lonjakan jumlah penduduk kawasan perkotaan.

Ada nya urbanisasi pun mendorong suatu kota untuk berkembang sehingga
tingkat pembangunan di kawasan perkotaan akan semakin tinggi. Perpindahan
penduduk dari desa ke kota ini pun yang membuat suatu kota menjadi semakin padat.
Dengan tinggi nya jumlah penduduk maka sudah tentu dibutuhkan banyak nya lahan
permukiman di kawasan perkotaan. Sehingga persentase lahan terbangun di
11

kawasan perkotaan di kawasan perkotaan akan semakin tinggi dibandingkan dengan


kawasan pedesaan.

Maka dengan beragam aktivitas yang ada didalam nya kota merupakan pusat
dari kegiatan yang bersifat non agraris dan tempat dimana manusia dapat memenuhi
kebutuhan hidup nya. Dengan tingkat pembangunan yang pesat maka dapat
dipastikan bahwa kota menjadi dayatarik masyarakat di sekitar nya untuk tinggl disana
sehingga akan menimbulkan tingkat kepadatan yang tinggi.

2.2 Pengertian Urban Heat Island (UHI)

Urban Heat Island (UHI) atau dalam Bahasa Indonesia pulau panas perkotaan,
adalah suatu fenomena dimana suatu kawasan metropolitan lebih panas
dibandingkan dengan kawasan pedesaan di sekitar nya. Fenomena Urban Heat
Island (UHI) ini pertamakali dijelaskan dan diselidiki oleh Luke Howard di London pada
tahun 1810-an. Howard melakukan sebuah penelitian mengenai perubahan iklim dan
suhu di kawasan Kota London.

Secara umum UHI mengacu pada peningkatan suhu udara di suatu lokasi,
tetapi UHI juga dapat berpengaruh pada material yang ada di dasar nya sehingga
menyerap panas dan memantulkan panas yang dihasilkan dari cahaya matahari. UHI
secara tidak langsung menyebabkan perubahan iklim di suatu wilayah karena
menyebabkan perubahan atmosfer dan permukaan di daerah urban.

Fenomena UHI sendiri menjadi salah satu penyebab timbul nya pemanasan
global. Meski tidak berpengaruh langsung dan tidak memiliki dampak yang besar
karena kawasan perkotaan hanyalah sebagian kecil dari seluruh permukaan bumi.
Meski begitu jika tidak diperhatikan dan terus di biarkan maka kota – kota lain yang
menyumbang udara panas juga akan menyebar dan hawa panas akan semakin
menyebar dari kota – kota lain nya.

Fenomena UHI sangat berpengaruh terhadap kegiatan manusia di perkotaan.


Semakin tinggi aktivitas manusia di perkotaan maka semakin tinggi pula kenaikan
suhu yang akan dihasilkan. Karena semakin tinggi tingkat kebutuhan manusia maka
pembangunan pun akan semakin tinggi. Karena material yang digunakan dalam
membangun gedung dan jalan dapat menyerap panas dan memantulkan nya. Hal ini
12

sangat tidak menguntungkan karena udara di daerah perkotaan akan menyimpan


panas yang semakin tinggi dan akan berpengaruh terhadap kenyamanan dan
kesehatan masyarakat di dalam nya.

Menurut Voogt (2002) fenomena UHI merupakan gambaran dari peningkatan


suhu kota pada urban cover layer (UCL) atau lapisan dibawah gedung dan tajuk
vegetasi dibandingkan wilayah pedesaan. Pada siang hari kawasan tersebut akan
menyerap panas yang dihasilkan dari sinar matahari dan pada malam hari panas yang
diserap akan dikeluarkan, hal ini menyebabkan udara panas di perkotaan akan tetap
terasa baik siang maupun malam hari. Dinamakan Urban Heat Island (UHI)
dikarenakan bila digambarkan secara spasial bentuk isotherm seperti sebuah pulau
dengan suhu tinggu di kawasan utama perkotaan (urban) dibandingkan kawasan
pedesaan sekitar nya (rural).

Gambar 2.1
Fenomena UHI saat malam dan siang hari, suhu udara (garis tebal), suhu permukaan
(garis putus – putus)

Sumber : Voogt (2002)


13

Gambar 2.2
Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isotherm

Sumber :Voogt (2002)

Istilah UHI digunakan karena pola isotherm yang membentuk seperti pulau
dan besar nya pola tergantung dari berapa besar wilayah yang ter urbanisasi. Pola
ini membentuk gradien suhu yang terbentuk dari daerah ruang terbuka hijau seperti
taman kota, badan air dan seberapa banyak luas lahan yang terbangun. Besar nya
Urban Heat Island atau intensitas panas di perkotaan diukur berdasarkan perbedaan
suhu di daerah rural dan suhu tinggi di daerah urban (Voogt 2002).
Intensitas atau besaran UHI umum nya terlihat pada malam hari, dimana suhu
urban akan lebih tinggi dibandingkan suhu rural. Wilayah urban akan cenderung
mempertahan kan suhu kota dibandingkan wilayah suburban. Ketika siang hari saat
matahari terbit, suhu rural akan menyamai suhu urban. Hal ini disebabkan karena
wilayah urban memiliki bangunan tinggi yang akan menimbulkan bayangan (urban
canopy) dan karena polusi yang ditimbulkan di daerah perkotaan maka snar matahari
akan lebih terhambat pada saat pagi hari. Pada lintang rendah, efek ini dapat
memproduksi urban cool island dimana suhu rural akan lebih panas dibandingkan
suhu urban (Hermawan Erwin, Voogt 2002). Topografi daerah, iklim dan musim juga
akan mempengaruhi urban heat island pada wilayah lokal tersebut (oke 1997).
14

2.3 Tutupan Lahan

Tutupan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia di dalam nya,


sedangkan tutupan lahan adalah perwujudan fisik dari lahan yang berupa objek –
objek yang menutupi lahan di suatu kawasan. Tutupan lahan dapat menggambarkan
informasi mengenai fenomena alam yang terjadi di permukaan bumi (Liang, 2008).
Data tutupan lahan juga dapat digunakan untuk mempelajari mengenai perubahan
iklim.

Klasifikasi tutupan lahan dan klasifikasi penggunaan lahan adalah


pengelompokan dari berbagai jenis tutupan lahan atau penggunaan lahan dalam
suatu kesamaan sesuai sistem tertentu. Klasifikasi tutupan lahan dan klasifikasi
penggunaan lahan ini digunakan sebagai pedoman untuk pembuatan peta tutupan
lahan maupun peta penggunaan lahan. USGS (United States Geological Survey)
telah mengklasifikasikan tutupan dan penggunaan lahan sebagai berikut :

Tabel 2.1
Klasifikasi Tutupan Lahan
Tingkat I Tingkat II
1 Perkotaan atau Lahan 1.1 Permukiman
Terbangun 1.2 Perdagangan dan jasa
1.3 Transportasi, komunikasi dan sarana
umum

1.4 Industri dan kompleks komersil


1.5 Kompleks industri dan perdagangan
1.6 Kota campuran atau lahan terbangun
1.7 Lahan perkotaan atau lahan terbangun lain
nya.
2 Lahan Pertanian 2.1 Tanaman musiman dan padang rumput
2.2 Lahan buah – buahan, bibit dan tanaman
hias

2.3 Kawasan penggembalaan khusus


2.4 Lahan pertanian lain nya
3 Lahan Peternakan 3.1 Lahan tanam / rumput
3.2 Lahan peternakan semak dan belukar
15

Tingkat I Tingkat II
3.3 Lahan peternakan camouran
4 Lahan Hutan 4.1 Lahan hutan gugur dan musiman
4.2 Lahan hutan yang selalu hijau
4.3 Lahan hutan campuran
5 Air 5.1 Sungai dan kanal
5.2 Danau
5.3 Waduk
5.4 Teluk dan muara
6 Lahan Basah 6.1 Lahan hutan basah
6.2 Lahan basah bukan hutan
7 Lahan Gundul 7.1 Dataran garam kering
7.2 Gisik
7.3 Daerah berpasir selain gisik
7.4 Batuan singkap gundul
7.5 Tambang terbuka, pertambangan dan
tambang kecil
7.6 Daerah peralihan
7.7 Daerah gundul campuran
8 Padang Lumut 8.1 Padang lumut dan semak belukar
8.2 Rerumputan lumut
8.3 Padang lumut tanah gundul
8.4 Padang lumut basah
8.5 Padang lumut campuran
9 Es atau Salju Abadi 9.1 Kawasan salju abadi
9.2 Glaiser
Sumber : USGS.GOV, 1992

2.4 Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan merupakan perubahan


suatu kegiatan yang ada diatas suatu lahan dan mempengaruhi fisik lahan tersebut.
Salah satu dampak dari perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol adalah
berkurang nya fungsi produktivitas biologis dan keberagaman kehidupan ekosistem
yang terdapat diatas lahan tersebut. Secara umum perubahan penggunaan lahan
dapat diartikan sebagai konversi lahan menjadi lahan perkebunan dan peternakan,
perluasan fungsi lahan pertanian, penggundulan hutan, penanaman kembali fungsi
lahan hutan, penggantian tanaman dan perluasan lahan perkotaan (urban sprawl).
16

Maka konsep pengelolaan secara berkelanjutan terhadap sumber daya alam perlu
diperhatikan sebagai upaya dalam penyediaan sumber daya alam untuk masa
mendatang. Upaya ini dilakukan dengan cara mengenali dan mengadaptasi
ketergantungan dan keterbatasan kondisi biofisik yang dapat diperbaharui atau
tergantikan (Everdendilek dan Doygun, 2000).

Alihfungsi lahan sendiri pada dasarnya merupakan hal yang tidak dapat
dihindari dalam pelaksanaan pembangunan (Lisdiyono, 2004). Pertumbuhan yang
pesat serta terus meningkat nya kebutuhan akan lahan sedangkan ketersediaan lahan
sangat terbatas sering kali menimbulkan benturan kepentingan atas penggunaan
lahan. Sehingga terjadi ketidaksesuaian antara penggunaan lahan dengan rencana
peruntukannya (Khadiyanto, 2005). Lahan sendiri tidak dapat bertambah kecuali
dengan adanya kegiatan reklamasi (Sujarto, 1985 dalam Untoro, 2006).

Keterbatasan lahan perkotaan senditri menyebabkan kota berkembang secara


fisik ke arah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota merupakan wilayah yang banyak
mengalami perubahan penggunaan lahan. Terutama pada lahan pertanian yang
berubah fungsi menjadi lahan non pertanian yang disebabkan oleh perluasan lahan
kota di dekatnya (Rahayu, 2009).

2.4 Dampak Pembangunan Terhadap Suhu Di Sekitarnya

Padatnya penduduk di suatu perkotaan merangsang kota tersebut untuk


melakukan pembangunan. Tingkat pembangunan yang tinggi dengan sendiri nya
mengubah vegetasi yang ada di kota tersebut. Sebagian besar lahan perkotaan yang
digunakan untuk lahan terbangun mengurangi vegetasi yang ada di kawasan
perkotaan. Hal ini menyebabkan penurunan produksi oksigen yang pada dasar nya
dapat meredam panas.

Tingginya pembangunan di kota besar menyebabkan pemanasan global dan


perubahan iklim secara lokal dan ada nya kenaikan suhu udara. Pembangunan
gedung – gedung yang tinggi akan mempengaruhi sirkulasi udara. Hal ini akan
menyebabkan angin yang bergerak naik keatas membawa partikel – partikel debu,
asap, polutan dan lain sebagai nya untuk naik ke permukaan. Pembangunan gedung
yang memantulkan panas matahari akan menimbulkan kenaikan suhu di kawasan
sekitar nya.
17

Kota – kota besar umum nya menjadi penyebab terjadi nya kenaikan bahan
polutan ke atmosfer. Bangunan – bangunan yang ada di perkotaan akan menyerap
radiasi gelombang pendek dari matahari dan radiasi gelombang panjang bumi
sehingga meningkatkan pemanasan. Hal ini mengakibatkan kenaikan suhu kota
seiring dengan perkembangan suatu kota. Menurut Fukui Y (2003), pembangunan
kota dapat menaikan suhu lokal sebanding dengan laju pembangunan kota tersebut.

2.6 Physiologically Equivalent Temperature (PET)

Physiologically Equivalent Temperature adalah tingkat kenyamanan manusia


berada di suatu lingkungan dengan suhu tertentu. PET adalah indeks universal yang
digunakan untuk mengukur kondisi termal fisiologis secara signifikan (Matzakaris dan
Mayer, 1996). Indeks ini dibuat untuk menentukan indeks kenyamanan termal pada
kondisi lingkungan sederhana maupun kompleks berdasarkan faktor iklim. PET
memiliki keunggulan dengan tolak ukur 0C yang lebih mudah dipahami dalam
perencanaan kota maupun regional (Matzarakis dan Mayer,1999). Sederhana nya
PET ini merupakan tolak ukur tingkat kenyamanan dan toleransi yang dapat diterima
tubuh dan psikologi manusia dalam keadaan suhu tertentu. Berikut ini adalah tabel
klasifikasi mengenai PET.

Tabel 2.2
Klasifikasi PET
PET (0C) Persepsi Termal Tekanan Fisiologi

4 Sangat dingin Dingin yang ekstrem

8 Dingin Dingin yang kuat

13 Sejuk Dingin yang sedang

18 Agak sejuk Agak dingin

23 Nyaman Tidak ada tekanan termal

29 Agak hangat Agak panas

35 Hangat Panas yang sedang

41 Sangat panas Panas yang kuat

Sumber : Matzarakis dan Mayer, 1996


18

2.7 Dasar Pengolahan Citra

2.7.1 Pengertian Citra Digital


Secara umum, citra digital merupakan pemrosesan gambar 2 dimensi
menggunakan komputer. Dalam konteks yang lebih luas, pengolahan citra digital
merupakan pemrosesan setiap data 2 dimensi. Citra digital merupakan larik yang
memiliki nilai – nilai nyata yang diinterpretasikan dengan deretan bit tertentu.

Citra dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) berukuran M baris dan N kolom,
dengan x dan y merupakan kordinat spasial, dan amplitudo f dalam titik kordinat (x,y)
merupakan intensitas dari citra pada titik tersebut. Apabila nilai x, y dan nilai amplitudo
f secara keseluruhan berhingga dan bernilai diskrit maka dapat dikatakan bahwa citra
tersebut adalah citra digital.

2.7.2 Pembentukan Citra Digital

Pembentukan citra digital dilalui dengan beberapa tahapan, yaitu akuisisi citra,
sampling dan kuantisasi.

2.7.2.1 Akuisisi citra

Proses akuisisi citra merupakan proses pemetaan suatu pandangan menjadi


citra kontinu dengan sensor. Ada bebrapa sensor untuk melakukan akuisisi citra, yaitu
sensor tunggal (single sensor), sensor garis (sensor strip) dan sensor larik (sensor
array).

A. Sensor Tunggal (Singgle Sensor)


Sensor tunggal yang paling familiar merupakan photodiode. Photodiode
terbentuk dari silikon yang memiliki tegangan keluaran yang sebanding
dengan cahaya. Dalam pembentukan citra dua dimensi dengan sensor ini,
perlu ada proses pemindahan relative pada setiap sumbu x dan y antar sensor
dan objek.
B. Sensor Garis (Sensor Strip)
Sensor garis merupakan sensor yang melakukan pencitraan satu arah. Sensor
ini berupa deretan sensor yang disatukan dalam satu baris sehingga dapat
melakukan akuisisi sumbu x secara bersamaan. Untuk mengakuisisi citra
19

secara keseluruhan maka sensor digerakana searah sumbu y. sensor ini


sering dijumpai dalam mesin scanner.
C. Sensor Larik (Sensor Array)
Sensor larik seringkali ditemukan pada kamera digital. Sensor larik yang
terdapat pada kamera digital desebut sensor CCD dengan ukuran sensor rata
– rata 4.000 x 4.000 elemen. Sensor ini akan menangkap setiap pentulan
cahaya yang dipantulkan dari objek dan akan diproyeksikan ke dalam bidang
citra. Secara bersamaan sensor larik akan menghasilkan keluaran yang setara
dengan integral cahaya yang diterima oleh setiap sensor.

2.7.2.2 Sampling

Sampling merupakan proses yang dilakukan setelah citra kontinu terbentuk.


Proses sampling ini merupakan proses digitasi pada kordinat x, y. seperti yang telah
disebutkan, hasil dari sensor masih berupa citra kontinu yang merupakan fungsi
kontinu f(x,y). Fungsi tersebut merupakan sinyal kontinu dalam nilai x, y dan juga
memiliki amplitudo yang tinggi. Nilai x dan y yang kontinu akan diubah menjadi bentuk
diskrit.

2.7.2.3 Kuantisasi

Proses kuantisasi merupakan proses perubahan nilai amplitudo kontinu


menjadi nilai baru yang berupa nilai diskrit. Nilai amplitudo yang dikuantisasi
merupakan nilai – nilai pada koordinat diskrit hasil proses sampling. Sinyal kontinu
yang telah dikuantisasi selanjutnya akan memiliki nilai dari 1- 8 sesuai dengan level
digtalnya.

2.8 Studi Terdahulu

Ilham Guntara dalam publikasi ilmiah nya yang berjudul “Analisis Urban Heat
Island Untuk Pengendalian Pemanasan Global di Kota Yogyakarta Menggunakan
Citra Penginderaan Jauh” membahas mengenai bagaimana analisis urban heat island
ini diterapkan sebagai alat analisis untuk mengendalikan pemanasan yang berada di
Kota Yogyakarta. Analisis ini menggunakan citra penginderaan jauh melalui
pemrosesan dengan menurunkan data Land Surface Temperature (LST). Observasi
lapangan pun dilakukan dengan metode purposive sampling terhadap faktor fisik yang
20

mempengaruhi UHI. Penelitian ini menunjukan data UHI dalam periode tiga tahun
(2013-2015) di Kota Yogyakarta. Hasil nya menunjukan nilau suhu tertinggi berada
pada lahan terbangun dengan kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang kurang baik.
Pengendalian pemanasan global pun dilakukan pada area yang memiliki UHI tinggi,
dengan peluasan RTH, penerapan bangunan ramah lingkungan, pengadaan
transportasi publik dan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi

Heni Masruroh dalam jurnal nya yang berjudul “Hubungan Ruang Terbuka
Hijau dengan Suhu dan Kelembaban dalam Kajian Iklim Mikro Kota Malang”
membahas mengenai apakah terdapat hubungan antara kondisi Ruang Terbuka Hijau
(RTH) terhadap suhu dan penurunan kelembaban udara. Hasil nya menunjukan
bahwa keberadaan RTH mampu mengendalikan suhu Kota Malang karena dengan
nada nya tumbuhan hijau di kawasan perkotaan dapat meredam panas dan
menghasilkan oksigen yang bersifat dingin. Maka diperlukan nya pengelolaan RTH
secara serius untuk mengurangi peningkatan suhu di Kota Malang.

Laras Turisilowati yang berasal dari Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan
Iklim LAPAN, dalam jurnal nya yang berjudul ”Urban Heat Island dan Kontribusinya
Pada Perubahan Iklim dan Hubungan nya Dengan Perubahan Lahan” membahas
alasan nya mengapa Urban Heat Island disinyalir menjadi penyebab meningkat nya
temperatur permukaan maupun temperatur udara dalam beberapa tahun terakhir.
Penelitian mengenai UHI di beberapa kota di Indonesia dengan menggunakan citra
satelit menunjukan ada nya perubahan temperatur yang merupakan salah satu
indikasi ada nya perubahan iklim. Hal ini ada hubungan nya dengan perubahan lahan
yang terjadi akibat ada nya urbanisasi.

Anda mungkin juga menyukai