Anda di halaman 1dari 8

Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Mantan Presiden Keempat Indonesia ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari
pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan
pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil
Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR
2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih
dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada
anak kiai.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam
komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri
Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar
pesantren. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi
Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren
Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur
kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan
Belanda. Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.
Dia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.

Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk
memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan
mobil. Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas,
tetapi bukan karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk
meneruskan pendidikan. Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di
Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan
pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).

Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan
pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan
Majalah Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk
belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan
pikirannya. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa
menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.

Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden,
tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke
Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971. Gus Dur kembali ke Jakarta dan
bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
(LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat.

LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya
dan sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Saat inilah dia memprihatinkan
kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan dan
kemiskinan pesantren yang ia lihat. Dia kemudian batal belajar luar negeri dan lebih memilih
mengembangkan pesantren. Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis
untuk Tempo dan Kompas. Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai
komentator sosial.

Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan
seminar, sehingga dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang. Pada 1974, Gus Dur mendapat
pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun kemudian,
Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada 1977, dia
bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam,
dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi. Ia lalu diminta
berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima setelah
kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga
memilih pindah dari Jombang ke Jakarta.

Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif
1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai
Islam termasuk NU.

Reformasi NU
NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu
menghidupkan kembali NU. Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua
NU Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur
menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak konstitusionil. Gus Dur mengimbau Idham tidak
mundur. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh
MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Dari Juni
1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk
menyiapkan respon NU terhadap isu ini.

Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk
lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU
fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan
sebagai ketua PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk
memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya.

Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila
bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah. Pada 1987, dia
mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan
umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar. Ia menjadi anggota MPR dari Golkar.
Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah, diantaranya proyek Waduk
Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia. Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah
dan Suharto.

Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan
berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah
sekular. Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah
Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI,
berusaha menarik simpati Muslim.

Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik
hati intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie. Pada 1991,
beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena dianggap sektarian
dan hanya membuat Soeharto kian kuat. Bahkan pada 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan
membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas
religius dan sosial. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk
merayakan ulang tahun NU ke-66 dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta
anggota NU.

Soeharto menghalangi acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota
NU begitu tiba di Jakarta. Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa
NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Menjelang
Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali ini
Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko, berkampanye
melawan terpilihnya kembali Gus Dur.

Ketika musyawarahnasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat ABRI, selain usaha menyuap
anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU priode berikutnya.
Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Megawati yang popularitasnya tinggi berencana tetap menekan Soeharto. Gus Dur
menasehati Megawati untuk berhati-hati, tapi Megawati mengacuhkannya sampai dia harus membayar
mahal ketika pada Juli 1996 markasnya diambilalih pendukung Ketua PDI dukungan pemerintah,
Soerjadi.

Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur
sebagai ketua NU. Desember tahun itu juga dia bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Juli 1997 merupakan awal krisis moneter dimana Soeharto
mulai kehilangan kendali atas situasi itu. Gus Dur didorong melakukan gerakan reformasi dengan
Megawati dan Amien, namun terkena stroke pada Januari 1998. Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama
delapan pemimpin komunitas Muslim, dipanggil Soeharto yang memberikan konsep Komite Reformasi
usulannya. Gus Dur dan delapan orang itu menolak bergabung dengan Komite Reformasi.

Amien, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak menyukai pandangan moderat Gus
Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian mundur pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie
menjadi presiden menggantikan Soeharto. Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah lahirnya partai
politik baru, dan pada Juni 1998, komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Baru
pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai politik adalah satu-satunya cara
untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Partai itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada
7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya

Pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada
20 Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid terpilih
sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Semasa pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen
Sosial serta menjadi pemimpin pertama yang memberikan Aceh referendum untuk menentukan
otonomi dan bukan kemerdekaan seperti di Timor Timur. Pada 30 Desember 1999, Gus Dur
mengunjungi Jayapura dan berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia
mendorong penggunaan nama Papua.

Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM.
Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-
Leninisme dicabut. Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara
dia juga menjadi tokoh pertama yang mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang
sosial-politik. Muncul dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate,
yang kemudian menjatuhkannya.

Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur
opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Pada 23
Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati
Soekarnoputri. Pada Pemilu April 2004, PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Wahid
sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak
memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan
pasangan Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres
putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur golput.

Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama Try Sutrisno,
Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, terutama dalam soal pencabutan subsidi BBM.

Kehidupan pribadi
Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada,
Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny aktif
berpolitik di PKB dan saat ini adalah Direktur The Wahid Institute.

Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta,
pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang
dideritanya sejak lama. Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin. Seminggu sebelum
dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan perjalanan di Jawa
Timur.

Penghargaan Gusdur
Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk
kategori kepemimpinan sosial. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh
Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004. Pada 11
Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang
Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam
memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi
di Indonesia.

Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di
bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM.
Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena
Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. Dia juga memperoleh penghargaan
dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman
Wahid Chair of Islamic Study.

Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai
lebaga pendidikan, yaitu:

 Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)


 Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
 Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
 Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
 Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok,
Thailand (2000)
 Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
 Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan
Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
 Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
 Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
 Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
Biografi Megawati Soekarno Putri
Bernama Lengkap Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau akrab di sapa Megawati
Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau
adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati
adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati.
Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan
dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.

Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama
pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan
bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria
bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya
bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil
Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan
suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi
menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.

Pendidikan Megawati Soekarno Putri


Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya,
dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua
Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi
jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam
dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan
politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru
pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah
seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.

Terjun Ke Dunia Politik


Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan
keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya.
Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak
bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi
anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta
Pusat.

Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati
tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun
memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih
banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang
silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang
Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini
sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.

Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan
berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono
menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di
Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono,
kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI.
Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI
di Jakarta.

Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan
berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI.
Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada
tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena
Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan
dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai
simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau
surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.

Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor
DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok
Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak
menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan.
Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari
masyarakat luas.

Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan
Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi
sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu
1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan.
Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu
1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega
pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada
SU-MPR 1999, Mega kalah.

Terpilih Menjadi Presiden RI


Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya
memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua
tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati
duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi
presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali
mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun,
beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono
yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6.

Karir :

 Presiden Ke-5 RI (2001 – 2004)


 Wakil Presiden RI (1999- 2001)
 Anggota DPR/MPR RI (1999)
 Anggota DPR/MPR RI (1987-1992)
 Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, April 2000 - Sekarang

Perjalanan karir

 Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonsia (Bandung), (1965)


 Anggota DPR-RI, (1993)
 Anggota Fraksi PDI Komisi IV
 Ketua DPC PDI Jakarta Pusat, Anggota FPDI DPR-RI, (1987-1997)
 Ketua Umum PDI versi
 Munas Kemang (1993-sekarang) PDI yang dipimpinnya berganti nama menjadi PDI
Perjuangan pada 1999-sekarang
 Wakil Presiden RI, (Oktober 1999-23 Juli 2001)
 Presiden RI ke-5, (23 Juli 2001-2004)

Perjalanan pendidikan

 SD Perguruan Cikini Jakarta, (1954-1959)


 SLTP Perguruan Cikini Jakarta, (1960-1962)
 SLTA Perguruan Cikini Jakarta, (1963-1965)
 Fakultas Pertanian UNPAD Bandung (1965-1967), (tidak selesai)
 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972), (tidak selesai)

Anda mungkin juga menyukai