Anda di halaman 1dari 36

Umumnya masyarakat papua hidup dalam system kekerabatan dengan menurut garis

keturunan ayah ( Partrilinea ).Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat


berpendudukan asli papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi
oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
Beberapa contoh sistem kekerabatan yang berlaku di Papua :
Masyarakat Dani tidak mengenal konsep keluarga batin, dimana bapak, ibu dan anak
tinggal dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah dipandang
sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya.
Dalam masyarakat Dani unit rumah tersebut adalah sili.Pada dasarnya silimo / sili merupakan
komplek tempat kediaman yang terdiri dari beberapa unit bangunan beserta perangkat lainnya.
Perkampungan tradisional di Wamena dengan rumah-rumah yang dibuat berbentuk bulat
beratap ilalang dan dindingnya dibaut dari kayu tanpa jendela. Rumah seperti ini disebut Honai.
Komplek bangunan biasanya terdiri dari unsur-unsur unit bangunan yang dinamakan : rumah
laki-laki ( Honai / pilamo ), rumah perempuan ( ebe-ae / ebei ), dapur ( hunila ) dan kandang
babi ( wamdabu / wamai ).
Sistem Kemasyarakatan
Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang berbeda satu
dengan lainnya, seperti, Suku Asmat, Suku Ka moro, Suku Dani dan Suku Sentani. Mengacu
pada perbedaan tofografi dan adat istiadat. Penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok besar, masing-masing:
• Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum rumah di atas tiang (rumah
panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan;
• Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa danau dan lembah serta kaki
gunung. Umunya mata pencaharian mereka yaitu menangkap ikan, berburu dan
mengumpulkan hasil hutan;
• Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan beternak secara
sederhana.
Tiap kelompok suku mengenal sistem strata dalam masyarakat. Penduduk
diklasifikasikan berdasarkan faktor tertentu seperti keturunan dan kekayaan. Banyaknya
macam suku di Papua juga mengakibatkan munculnya beberapa falsafah masyarakat yang unik
dalam perilaku sosial mereka masing-masing.
• Suku Komoro di Kabupaten Mimika, yang membuat gendering dengan menggunakan darah.
• Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya yang gemar melakukan perang-perangan, yang dalam
bahasa Dani disebut Win. Budaya ini merupakan warisan turun-temurun dan dijadikan festival
budaya Lembah Baliem. Ada juga rumah tradisional Honai, yang di dalamnya terdapat mummy
yang diawetkan dengan ramuan tradisional. Terdapat tiga mummy di Wamena; Mummy
Aikima berusia 350 tahun, Mummy Jiwika 300 tahun, dan Mummy Pumo berusia 250 tahun.
• Suku Imeko di Kabupaten Sorong Selatan menampilkan tarian adat Imeko dengan budaya
suku Maybrat dengan tarian adat memperingati hari tertentu seperti panen tebu, memasuki
rumah baru dan lainnya.
• Suku Marin di Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi, sejenis kayu yang
dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian. Sasi ditanam 40 hari setelah hari
kematian seseorang dan akan dicabut kembali setelah 1.000 hari.

Koentjaraningrat.2004. manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.


http://www.papuaweb.org/gb/foto/yaku-kuyawagi
http://exaltedx.blogspot.com/2010/01/kebudayaan-papua-di-indonesia.html
http://indonesia-liek.blogspot.com/2011/05/budaya-papua-barat-seni-kebudayaan.html
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peranan Pancasila Sebagai Filter Kebudayaan Bangsa
Dijadikan Pancasila sebagai filter karena secara ontologi, Pancasila telah mengandung sifat
kenusantaraan yang nampak dalam Bhineka Tunggal Ika, dinamis dan terbuka, sebagai inti dan jiwa
masyarakat, dan sebagai pedoman moral. Dari kedudukannya yang serba sentral dalam seluruh
kehidupan masyarakat, Pancasila itu dapat ditegaskan sebagai asas kultural masyarakat Indonesia.
Sebagai asas Kultural ia mewadahi dan mengisi kebudayaan nasional. Ia adalah wadah sekaligus
isinya kebudayaan nasional Indonesia. Wadah mengandung arti bahwa di dalam alam Pancasila
itulah kebudayaan nasional tumbuh dan berkembang. Sebagai wadah Pancasila mempunyai
kemampuan untuk mewadahi segala macam, bentuk, sifat, hakekat (esensi) dan segala corak
kebudayaan yang tumbuh di Indonesia.
Keterbukaan sebagai salah satu sifat utama yang dimiliki Pancasila memungkinkan pula
terjadinya interaksi budaya Nusantara dengan budaya luar. Di dalam interaksinya inilah terjadi
penyerapan atas unsur-unsur kebudayaan daerah maupun asing. Namun demikian tidak semua unsur-
unsur itu diserap untuk memperkaya budaya nasional. Untuk itu butuh penyaring (filter) agar pemilihan
unsur-unsur budaya secara tepat dapat berlangsung, dengan demikian unsur-unsur yang dapat
merusak atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila tersaring dan
tidak diterima. Karena Pancasila itu sebagai landasan dan pedoman, maka ia juga sebagai
pengevaluasi dan penyeleksinya atau penyaringan (filternya). Unsur-unsur kebudayaan daerah
maupun asing yang tidak sesuai dengan moral Pancasila disingkirkan, dan sebaliknya yang sesuai dan
mampu mengembangkannya sesuai dengan jati dirinya itu perlu diterima dan didorong untuk maju.
Karena Pancasila itu sebagai alat ukuran dan saringan, maka dia berada di hulu, dipermukaan,
jadi sebagai landasan. Tetapi disamping itu Pancasila juga terbentuk dari kebudayaan dan
pembudayaan Indonesia. Dari Pancasila, dalam Pancasila, melalui Pancasila dan menuju Pancasila,
itulah hakekat dari kebudayaan nasional Indonesia. Pancasila adalah wadah isi dan tujuan kebudayaan
nasional. Artinya kebudayaan Indonesia yang terjadi itu adalah budaya Pancasila, yang secara rinci
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Budaya ini mempunyai cita-cita moral yang luhur dan etika yang tinggi sesuai dengan
pengakuan dan tanggung jawab insani (Indonesia) yang transendental.
2. Dia harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang universal serta menjunjung tinggi
keadilan dan mengikuti peradaban dunia. Sebagai hasil usaha budinya manusia, maka dia harus
memajukan dan memper-tinggi derajat kemanusiaan. Pengembangan kebudayaan nasional harus
berorientasi pada manusia dengan menempatkannya sebagai subyek dan tujuan kehidupan
masyarakat dan negara Indonesia. Manusia Indonesia diakui sebagai pribadi yang mempunyai
martabat mulia dan hak-hak asasi yang harus dijunjung tinggi. Pembangunan kebudayaan nasional
pada akhirnya harus menuju kepada pembanguna masyarakat manusiawi.
3. Budaya yang dikembangkan, baik yang berasal dari kebudayaan di daerah atau lebih-lebih
yang berasal dari luar (asing) harus dapat menjaga dan memperteguh "Persatuan dan Kesatuan
Indonesia" menjaga integrasi nasional dan menjauhkan bangsa Indonesia dari disintegrasi maupun
prilaku-prilaku yang distruktif. Dengan demikian, bagaimanapun baiknya satu aspek kebudayaan yang
ada, apabila dia tidak diterima atau belum diterima secara iklas oleh tubuh budaya bangsa Indonesia,
karena dapat mengakibatkan disintegrasi nasional, harus dihindari. Sebaliknya yang dapat menjadi
integrasi ataupun meningkatkan persatuan dan kesatuan nasional harus diterima dan didorong maju.
4. Budaya Indonesia harus berkembang ke arah pengakuan terhadap nilai-nilai demokrasi.
Sebagaimana demokrasi mengakui adanya perbedaan, maka keanekaragaman budaya yang tumbuh
di dalam masyarakat atau di daerah tertentu tetap diakui dan dipelihara keberadaannya. Ia jangan
sampai dimatikan dan dibiarkan tumbuh, yang justru harus diakui sebagai kekayaan bangsa dan perlu
didorong maju. Kebudayaan-kebudayaan setempat diharapkan dapat berkem-bang dan ikut
membentuk kebu-dayaan nasional sebagai kerangka sekaligus "soko guru" kehidupan nasional dalam
persatuan dan kesatuan.
5. Pada akhirnya budaya itu harus dapat mensejahterakan seluruh bangsa Indonesia
berdasarkan keadilan sosial, tidak hanya dalam arti jasmaniah tetapi juga bathiniah. Oleh karena itu
dalam pengembangan budaya bangsa harus selalu memperhatikan masyarakat sebagai subyek
(pelaku) pengemban dan pengembang kebudayaan. Perkembangan budaya akhirnya harus selalu
ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya dan persatuan. Budaya yang akan dikebangkan oleh bangsa Indonesia harus
selalu untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

http://ebengnurul.blogspot.co.id/2016/10/makalah-pancasila-sebagai-kebudaya.html

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Bhineka Tunggal Ika”,tepat
pada waktu yang telah ditentukan.Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Dasar-dasar pendidikan

Atas terselesaikannya makalah ini maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam penulisan
makalah ini,
2. Dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila
3. Serta, semua pihak yang turut membantu terselesaikannya makalah ini.

Karena keterbatasan pengetahuan penulis maka penulisan makalah ini jauh dari
sempurna,oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak untuk perbaikan makalah ini. Besar harapan penulis agar makalah ini
memperoleh nilai yang memuaskan, bahakan sempurna, Amiiin…!!

Surabaya, 30 Oktober 2013


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Adat Istiadat dalam Kehidupan di Masyarakat

2.2 Permasalahan yang Ditimbulkan

2.3 Mengatasi masalah yang Ditimbulkan

2.4 Pelestarian dan pengembangan adat istiadat

2.5 Pelestarian dan pengembangan adat istiadat

2.6 Tujuan dari upaya pelestarian dan pengembangan adat istiadat

2.7 Beberapa istilah dalam upaya pelestarian dan pengembangan adat istiadat

2.8 Contoh pelestarian dan pengembangan adat istiadat di suatu daerah

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki
keberagaman suku,agama,ras,budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki lebih dari 300
suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki adat istiadat yang berbeda- beda di dalam
kehidupan bermasyarakat. Ketika terjadi pertentangan antar individu atau masyarakat yang
berlatar belakang suku bangsa yang berbeda,mereka akan mengelompok menurut asal-usul
daerah dan suku. Itu menyebabkan pertentangan\ketidakseimbangan dalam suatu
negara(disintegrasi), apalagi dalam adat istiadat yang berbeda. Atas uraian-uraian tersebut
kami membahas masalah tentang “Adat Istiadat dalam Kehidupan di Masyarakat serta
cara Pengembangan maupun Pelestariannya”. Dalam hal ini kami ingin menjelaskan
tentang adat istiadat dalam kehidupan di masyarakat tersebut serta menjelaskan beberapa cara
pengembangan maupun pelestarian adat istiadat dalam suatu daerah .
.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat, yang diiringi dengan persebaran nilai-nilai baru serta ilmu pengetahuan dan
teknologi maju, menyebabkan nilai-nilai tradisi terdesak atau terdegradasi, tidak dipatuhi atau
tidak dikembangkan lagi, baik oleh pendukungnya, maupun oleh orang lain di luar komunitas
itu. Gejalan lain, ketika masyarakat pendukung tradisi patuh mendukungnya, namun ternyata
mendapat tantangan dari luar, seperti tidak adanya pengakuan dan penghormatan terhadap
tradisi lokal. Hal tersebut, tentunya akan memudahkan konflik sosial.

Agar hal itu tidak terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, maka penghayatan
terhadap nilai-nilia budaya mutlak dilakukan, karena nilai-nilai tersebut menjadi ciri identitas
masyarakat, yang berkaitan erat dengan otentisitas perilaku atau visi hidup masyarakat
pendukung budaya lokal tersebut. Pentingnya memahami ‘nilai-nilai budaya’ sebagai energi
sosial yang mendorong kreativitas dan inovasi masyarakat, akan membentuk kinerja politik,
ekonomi, penegakan hukum, pendidikan dan sosial suatu bangsa ke arah yang lebih baik.

1.2 Rumusan masalah

1.2.1 Apa saja permasalahan yang ditimbulkan dari adat istidat dalam kehidupan
di masyarakat

1.2.2 Siapa sajakah yang berperan penting dalam pelestarian pengembangan adat
istiadat
1.2.3 Mengapa Adat istiadat dan nilai social budaya berpengaruh
dalam pembangunan masyarakat dan desa

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Menjelaskan pengertian adat istiadat dalam kehidupan di masyarakat.

1.3.2 Mengetahui permasalahn yang ditimbulkan dari adat istiadat dalam kehidupan di
masyarakat

1.3.3 Mengetahui cara mengatasi masalah yang ditumbulkan dari adat istiadat dalam
kehidupan di masyarakat.

1.3.4 Memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai adat istiadat kehidupan di


masyarakat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Adat Istiadat dalam Kehidupan di Masyarakat

Adat istiadat adalah kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, pola perilaku, norma-norma dan


preferensi-preferensi yang mengatur tindakan kolektif yang diwariskan dari generasi satu ke
generasi lain (Kamus Hukum & Glosarium Otonomi Daerah/Vera Jasini Putri.-Jakarta: FNS,
2003).

Adat istiadat (custom) secara harfiah berarti praktek–praktek berdasarkan kebiasaan, baik
perorangan maupun kelompok (Machmud 2007:180). Adat istiadat adalah bentuk
konvensional perilaku orang dalam situasi–situasi tertentu, yang mencakup: metode–metode
kerja yang diterima, relasi timbal balik antara anggota dalam kehidupan setiap hari dan dalam
keluarga; tatacara diplomatik, agama dan tindakan–tindakan yang mencerminkan ciri–ciri
spesifik kehidupan suatu suku, kelas, masyarakat. Adat istiadat mempunyai kekuatan dari
suatu kebiasaan sosial dan mempengaruhi perilaku seseorang sehingga secara moral dapat
dievaluasi.

Adat adalah aturan dan perbuatan yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala
(Kamus umum bahasa Indonesia). Timbulnya adat berawal dari usaha orang-orang dalam
suatu masyarakat di daerah yang menginginkan terciptanya ketertiban di masyarakat. Adat
istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi sebagai
warisan sehingga kuat hubungan dan penyatuannya dengan pola – pola perilaku masyarakat.

Adat Istiadat adalah aneka kelaziman dalam suatu nagari yang mengikuti pasang naik dan
pasang surut situasi masyarakat. Kelaziman ini pada umumnya menyangkut pengejawatahan
unjuk rasa seni budaya masyarakat, seperti acara-acara keramaian anak nagari, seperti
pertunjukan randai, saluang, rabab, tari-tarian dan aneka kesenian yang dihubungkan dengan
upacara perhelatan perkawinan, pengangkatan penghulu maupun untuk menghormati
kedatangan tamu agung.

Jadi Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat dapat diartikan sebagai berikut :

1. Sekelompok orang yang hidup dengan tradisi dan budaya – budaya tertentu, adat
istiadat yang sudah ada sebelumnya, yang tidak terpengaruhi oleh perubahan zaman karena
mereka merasa cukup dengan kehidupan dan penghidupan yang mereka jalani secepat apapun
evolusi kebudayaan pada masa tersebut.

2. Masyarakat yang kehidupannya masih dipegang teguh oleh adat istiadat lama yang
mereka miliki. Yang dimaksud adat istiadat disini adalah adanya suatu aturan baku
mencangkup segala konsep budaya yang di dalamnya terdapat aturan terhadap tingkah laku
dan perbuatan manusia dalam menjalani kehidupan.
makalah hukum adat dan kebudayaan
HUKUM ADAT KEBUDAYAAN SEBAGAI ASAS PANCASILA BANGSA INDONESIA
MAKALAH INI DI BUAT SEBAGAI MAKALAH WAJIB MATA KULIAH ILMU SOSIAL
BUDAYA JURUSAN BAHASA DAN SAATRA ARAB FAKULTAS ADAB
Disusun oleh :
Abdul Aziz Hasan : 10110046
Priyo Wibowo : 10110040
FAKULTAS ADAB JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB UNIVERSITAS ISLAM
NEGRI SUNAN KALI JAGA YOGYAKARTA
2009
Daftar isi
Daftar isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(i)
Bab I
Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (ii)
Latar belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
Perumusan masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2
Sistematika penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..2
Metodologi penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

Bab II
Pengertian hukum adat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
Azas-azas hukum adat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
Wujud hukum addat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
Contoh wujud hukum adat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4

Bab III
Timbulnya hukum adat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .5
Sejarah terbentuknya pancasila . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .6

Bab IV
Dua unsur hukum adat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .8
Keperibadian hukum adat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .8
Korelasi pancsila dan kebudayaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

Bab V
Penutup
Undang-undang dasar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
Simpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .11

Daftar pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
Bab I
Pendahuluan
Latar belakang

Kebudayaan Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan


keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat, yang
menurut Selo Sumardjian adalah orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan, yang menduduki sebuah Negara dan biasanya
menunjukan beberapa ciri khas yang membedakan dari bangsa lain.

Dalam hal ini yang di maksud adalah rakyat yaitu sekumpulan manusia
dari dua jenis klamin yang hidup bersama sehingga merupakan masyarakat, dari
sini sudahlah sangat jelas korelasi yang terbebetuk dari ketiga asfek tersebut dan
bisa di identifikasi oleh bentuk hasilnya dari kebudayaan yang timbul dalam
kehidupan berbangsa dalam masyarakat tertentu di sebuah Negara.
Kebudayaan sifatnya bermacam-macam, akan tetapi oleh karena semuanya
adalah buah adab (keluhuran budi), maka semua kebudayaan selalu bersifat
tertib, indah berfaedah, luhur, memberi rasa damai, senang, bahagia, dan
sebagainya. Sifat kebudayaan menjadi tanda dan ukuran tentang rendah-
tingginya keadaban dari masing-masing bangsa,

Dari sini bahwa kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat itu


abstrak dan wujudnya dapat terlihat dari hasil cipta karsa rasa yang berbentuk
menjadi seni, karya, norma adat istiadat dalam konteks ini hokum adat dan
dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkritisai dari nila-
nilai social kebudayaan yang tumbuh di masyarakat bangsa.

Adapun bebrapa hasil produk kebudayaan yang terjadi di dalam


masyarakat di antaranya adalah hukum adat

Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas maka didapat rumusan masalah sebagai berikit
:
Apa itu hukum adat
Sejak kapan hukum adat timbul atau ada
Bagaimana legitimasi hukum adat di indonesia
C. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Seluruh pembahasan dalam makalah ini di bagi ke dalam 5(lima) bab. Bab
pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang dan merupakan dasar
pemikiran, perumusan masalah sebagai pemmbatas bahasan agar menjadi lebih
terarah dan fokus, kemudian sistematis pembahasan sebagai penjelas beberapa
materi bahasan dari makalah ini.Bab kedua merupakan bahasan dari perumusan
masalah bagian pertama dan bab ke tiga ,ke empat merupakan bahasan
selanjutnya dari beberapa bahasan yang telah di rumuskan.

D. metodelogi penulisan

Penyesuaian dengan judul yang akan di bahas dan materi bahan yang
tersedia spesifikasi yang kami lakukan tadak begitu mendetil ,karena dari segi
metode yang kami pakai yaitu kajian pustaka atau ( library research ).

Bab II

Pengertian hukum adat


Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena
ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Dalam berbagai
seminar, maka berkembang kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat
(living law) yang lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam
hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat,
yang menurut Satjipto Raharjo, akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum
Nasional. Penyebutan Hukum Adat untuk hukum yang tidak tertulis tidak
mengurangi peranannya dalam memberikan penyaluran dari kebiasaan,
kepentingan-kepentingan yang tidak terucapkan dalam hukum tertulis

Azas azas Hukum Adat

Hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat
Indonesia, yang bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak azas-azasnya,
yaitu:

Azas Gotong royong;

Azas fungsi sosial hak miliknya;

Azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;

Azas perwakilan dan musyawaratan dalam sistem pemerintahan

Secara mudah kita bisa menyebut bahwa yang dijadikan perbincangan


kita adalah “Masyarakat Adat”. Konteksnya juga mudah disebut, yaitu dalam
ruang keindonesiaan. Dengan sedikit tafsir, maka bisa dimaknai adanya kaitan
erat antara masyarakat adat dengan , hukum, dan segala aspek yang serba
indonesia sebagai sebuah negara yang berpemerintahan. Tetapi perlu diketahui,
bahwa seringkali kita juga menyebut istilah Masyarakat Hukum Adat, Komunitas
Adat, Masyarakat Tradisional, Indigineous People’s yang maksud dan artinya
disamakan dengan masyarakat adat. Bahkan dalam satu waktu yang sama kita
menggunakan semua istilah-istilah tersebut secara bergantian tanpa
memaksudkan adanya perbedaan arti.

C. Wujud hukum adat

Di dalam masyarakat hokum adat Nampak dalam tiga wujud, yaitu


sebagai:

a. Hukum yang tidak tertulis (“Jus non scriptum”) merupakan


bagian terbesar.

b. Hukum yang tertulis (“jus sciptum”) hanya sebagian kecil saja,


misalnya peraturan-peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan
oleh raja-aja/sultan-sultan dahulu seperti pranatan-pranatan di jawa,
peswara-titiswara di bali dan Surakarta di aceh

c. Uraian-uraian hokum secra tertulis , lazimnya uraian-uraian


ini adalah merupakan suatu hasil penelitian (research) yang dibukukan
seperti antara lain buku hasil penelitian Prof . supomo yang diberi judul
“ hokum pradata adat jawa barat” dan buku hasil penelitian Prof.
djojodigoeno/Tirtawinata yang diberi judul “hukum pradata adt jawa
tengah”

D. Contoh prakti-praktik hukum adat

Hukum adat waris daerah tapanuli menentukan bahwa seorang janda


bukanlah merupakan ahli waris bagi suaminya, oleh karena janda di anggap
sebagai orang luar (keliarga suaminya). Garis hukum semacam itu merupakan
pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu masyarakat . kemudian
hukum adat perkawinan di kalangan orang-orang kapauku di reran barat
melaang seorang laki-laki untuk mengawini seorang wanita dari clan yang sama
, yang statusnya termasuk satu generasi dengan laki-laki yang bersangkutan
peraturan semacam itu juga merupakan cerminan dari nilai-nilai kebudayaan
yang menjadi hukum adat.

Bab III

A. Timbulnya hukum adat

Adat ialah tingkah laku yang oleh dan dalam sesuatu masyarakat
(sudah,sedang akan) diadatkan. Dan adat tiu ada yang tebal , ada yang tipis dan
senantiasa menebal dan menipis . aturan-aturan tingkah laku manusia dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud tadi adalah aturan-aturan adat. Akan tetapi
dari aturan-aturan tingkah laku itu ada pula yang merupakan aturan hokum,
manakah yang “adat” dan manakah yang “hukum”?

Para warga masyarakat dalam hidupnya bersama sehari-hari memang


nyata melaksanakan aturan-aturan tingkah laku itu, dari kenyataan ini sendiri
belum nampak mana yang “adat” dan an yang “hukum” tetapi juga bahwa di
dalam masyarakat inni ada susunan badan-badan atau orang-orang tertentu
yang justru mempunyai tugas untuk menentukan, melaksanakan
mempertahankan memperlakukan aturan-aturan tingkah laku tetentu dengan
cara tertentu, disertai akibat-akibat tertentu pula. Badan-badan yang
mempunnbyai tugas demikian itu lazim disebut “yang berwajib” mereka itu
tugasnya menetapkan dan mempunyai wewenang.
“menetapkan” di sini dipakai dalm arti luas, yaitu mengadakan sendiri
maupun mengakui, di dalam maupu di luar sengketa. Dan mengikat sehingga
selanjutnya dapat menjadi pedoman hokum bagi masyarakat.

Ini tidak berarti bahwa ebelum penetapan aturan itu belum bersifat
aturan hokum. Tetapi baru saat penetapanlah aturan tingkah laku adat itu tegas
berwujud hokum yang positif, disebut “Existential moment” ( saat
adanya/lahirnya ) hukum itu. Dengan kata yang bersahaja dapat disimpulkan :
oleh yang berwajib dengan ketetapanya , apa yang adat dihukumkan, yang
dikatakkan di atas tidak berarti pula dalam hal menghukumkan itu tingkah
lakunya harus terlebih dahulu menjadi adat, kemudian dihukumkan

Dan istilah hokum adat baru dipergunakn secara resmi dalam peraturan
perundang-undangan tahun 1929.

Istilah hukum adat ini sendiri diketengahkan oleh prof. Dr. Christian
Snouck Hurgronje dalam bukunya yang sangat berharga dlam perkembangan
hukum adat, yang berjudul “De Atjehers” (orang-orang aceh) dua jilid yang
diterbitkan tahun 1893-2894.

Kemudian isitilah hukum adat ini dipaki juga oleh prof. Mr Cornelis Van
Vollenhoven dlam buku-buku karanganya, dan akhirnya pada tahun 1929
pemerintah colonial belanda mulai memakai istilah hukum adat (adatrecht)
dengan resmi dalam peraturan perundang-un dangan istilah hokum adat sendiri
ternyata di ambil dari bahasa arab yaitu al addah atau addatun yang artinya
sesuatu yang sering dilakukan terus-menerus, namun ketika dikaitkan dengan
hokum juga senada dengan salah satu qowa’id alfiqh yang berbunyai al addatu
muhhakamah selama tidak mengundang kearah kemaksiatan (sesuatu yang
negative
B. Sejarah terbentukny pancasila sebagai ideologi bangsa

Sebagai suatu ideology bangsa dan Negara Indonesia maka pancasila pada
hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran
seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideoloo-ideologi lain di dunia,
namun pancasila diangkat dari nilai-nilai hokum adat istiadat nilai-nilai
kebudayaan serta nila-nilai religious yang terdapat dalam pandangan hidup
masyarakat Indonesia bahkan pada waktu sebelum terbentuknya Negara,
dengan kata lain unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) pancasila tidak
lain diangkat dari pandangan hidup kebudayaan masyarakat Indonesia sendiri,
sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) pancasila.

Unsuer-unsur tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para


pendiri Negara, sehngga pancasila berkedudukan sebagai dasar Negara dan
ideology bangsa dan Negara Indonesia. Dengan demikian pancasila sebagai
ideology bangsa dan Negara Indonesia berakar pada pandangan hidup budaya
bangsa, dan bukanya mengngkat atau mengambil ideology dari bangsa lain.
Selain itu pancasila juga bukan hanya merupakan ide-ide atau perenungan dari
seseorang saja, ynag hanya memperjuangkan satu kelompok atau golongn
tertentu, melainkan pancasila berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa
sehingga pancasila pada hakikatnya untuk seeluruh lapisan serta unsur-insur
bangsa secara komperhensif. Oleh karena cirri khas pancasila itu maka pancasila
tiu memiliki kesesuaian dengan adt kebudayaan bangsa Indonesia.

Bab IV

A. Dua unsur hukum adat

Hukum adat memiliki dua unsur yaitu:


1. Unsur kenyataan : bahwa adat tiu dalam keadaan yang
senantiasa selalu diindahkan oleh rakyat.

2. Unsur psikologis, bahwa tedapat adanya keyakinan pada


rakyat, bahwa adat mempunyai nilai hukum.

Unsur inilah yang menimbulkan adanya kewajian hukum


(opinion yuris necessitates)

B. Bagaimana Keperibadian hukum adat ?

Hukum seperti halnya hukum dimana pun di dunia mengikuti


jiwa dari bangsa masyarakat, karena hukum itu senantiasa tumbuh
dari sesuatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup atau pandangan
hidup bangsa/masyarakatnya, yang keseluruhanya merupakan
kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu belaku.

Hukum merupakan salah satu penjelmaan dari kepribadian jiwa


dan struktur bangsanya/masyarakatnya.

F.C Von Savigny pandasar dari “Historiesche Rechtsschule”


melihat hokum itu sebagai hasil perkembangan historis dari asyarakat
tempat hukum itu berlaku, isi hokum ditetukan oleh peerkembangan
adat-istiadat rakyat di sepanjang sejarah,

Bangsa Indonesia berkepribadian pancasila, sehingga hukum


adat pun berkepribadian pancasila pula, demikian pula hukum yang
dimaksud dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman
berkepribadian sama dengan hukum adat.

C. Pancasila berakar dari kebudayaan


Kita telah mengetahui bahwa kebudayaan Indonesia adalah
kebudayaan yang berdasarkan pancasila. Itu berarti Pancasila
berkaitan erat dengan kebudayaan Indonesia dan kemudian hokum
adat adalah salah satu realisasnya, Kebudayaan juga dapat diartikan
sebagai nilai atau simbol. Kita gambarkan sebagai sebagai suatu
perusahaan. Dalam sebuah perusahaan yang sibuk, kegiatan yang
nampaknya bersifat praktis dan sehari-hari saja, misalnya, ada aspek
kebudayaannya, ada nilai dan simbolnya. Nilai terletak pada kerja
kerasnya, sedangkan simbol modernitas ialah sistem organisasi, makin
modern sistem semakin abstrak yang impersonal, berbeda dengan
manajemen perorangan atau keluarga. Begitu juga Indonesia sebagai
bangsa dan negara. Kebudayaan itulah yang memberi ciri khas
keindonesiaan. Hasil perkembangan kebudayaan dengan legitimasi
hokum adat yang tercermin dalam Pancasila.

Demokrasi Kebudayaan dalam Pancasila dapat dimengerti dari


sila "Persatuan Indonesia" yang berarti sebuah (1) pluralisme, dan (2)
teosentrisme dari semangat sila yang pertama "Ketuhanan Yang Maha
Esa". Demokrasi Kebudayaan itu harus mampu memberikan masa
depan yang lebih baik. Karena Pancasila mencerminkan kebudayaan
kita, bangsa Indonesia.

Bab V

A. Jaminan Undang-undang dasar

Bab IX

Kekuasaan dan kehakiman


Pasal 24

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakan hokum keadilan.***)

(2) Kekuasaan ehakiman diakui oleh sebuah mahkamah agung dan badan
peradilan yag berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usah, dan oleh sebuah mahkamah
konstitusi.***)

bab XII

undnag-undang Pendidikan dan kebudayaan

Pasal 32

(1) Negara menjamin kebudayaan nasional Indonesia ditengah


peradababan dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.***)

(3) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai


kekayaan budaya nasional.***)

B. Penutup

SIMPULAN

Kita telah melihat dan membaca bahwa Pancasila memang


berakar dari budaya bangsa Indonesia. Karena dari segi Pancasila
terkandung kebudayaan yang menekankan persatuan serta
sebaliknya. Tidak lupa dari segi pengertian, Pancasila merupakan lima
buah asas atau prinsip yang harus dijunjung tinggi kita sebagai bangsa
Indonesia. Sedangkan kebudayaan merupakan sarana hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat. Sehingga Pancasila tercipta berdasarkan
kebudayaan yang dijiwai oleh legitimasi hukum adat.

Kaitan di antara keduanya begitu erat sehingga timbal balik


antara Pancasila dan Kebudayaan dapat terjadi dengan signifikan
karena keduanya saling berhubungan. Pancasila berakar dari
kebudayaan dikarenakan di dalam pancasila terkandung nilai
kebudayaan. Meskipun hukum adat hanya dipandang sebagai hukum
non formal tetapi dapat kita lihat eksistensinya dalam bentuk
pancasila. Bagaimana bisa demikian? Karena unsur persatuan dapat
kita lihat di dalam pancasila, sedangkan kita sebagai negara yang
memiliki beragam macam kebudayaan, memang sepantasnya memiliki
asas persatuan yang terkandung di dalam Pancasila. Sehingga kita
sebagai insan berbudaya, harus juga berdasarkan kepada Pancasila
yang adalah ideologi bangsa kita.

C. Saran

Demikian sdikit bahasan kami dalam makalah yang kami beri


judul hokum adat sebagai produk dari kbudayaan . tentulah masih
sangat banyak kekurangan disana-sini maka kami pun berharap
bimbingan anda semua sebagai fasilitator yang adalah dosen kami,
untuk makalah yang lebih baik lagi, saran dari kami kepada dosen-
dosen untuk lbih mensinergikan kegiatan studi kita semua di
universitas ini demi mencapai kualitas yang terbaik, kami ucapkan
terima kasih atas perhatianya dan mohon dimaklumi atas segala
kekurangan dan kesalahanya.

Daptar pustaka

Ni’matul huda, “ilmu neagara”, universitas Indonesia fakultas hukum


Yogyakarta 2008.

Kaelan, 2008 “pedidikan pancasila”, paradigm Yogyakarta.

Soerjono wignjodipoero, 1995 “pengantar dan asas-asas hukm adat”, PT took


gunung agung Jakarta.

Soerjono soekanto, 1980 “pokok-pokok soaiologi hokum” cv rajawali Jakarta.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila.

http://anakciremai.blogspot.com/2008/09/makalah-ppkn-tentang-
landasan.html
MAKALAH
PANCASILA
Tentang
SISTEM HUKUM ADAT

Oleh :
PERLUHUTAN RITONGA
1513020021

Dosen Pembimbing

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1437 H / 2015 M

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT kita ucapkan karena berkat hidayah dan hinayah-Nya, penulis bisa
menyelesaikan makalah ini .
Shalawat salam penulis ucapkan kepada suri tauladan umat dan pucuk pimpinan umat sedunia yakninya
Nabi besar Muhammad SAW, yang telah memberikan sinar kecerdasan dan menenggelamkan zaman
pembodohan didunia.
Penulis sangat berterimakasih kepada Dosen pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingannya
dalam proses penyelesaian makalah “Sistem Hukum Adat” dalam Mata kuliah “ Pancasila”.
Demikianlah sepata kata yang bisa penulis uraikan, semoga dalam proses pembelajaran ini kita bisa cepat
tanggap dalam memahami mata pelajaran ini.
Padang, 16 Desember 2015

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah Hukum Adat berasal dari bahasa Arab, yakni terdiri dari kata hukum dan adat. Hukum, kata
jamaknya adalah ahkam, artinya suruhan atau ketentuan. Misalnya, dalam hukum Islam (hukum syarak) ada lima
macam suruhan (perintah) yang disebut "Al-ahkam Al-Khomsah (hukum yang lima), yaitu fardh (wajib), haram
(larangan), mauduk atau sunnah (suruhan), makruh (celaan) dan az s, mubah atau kalal (kebolehan). Sedangkan
kata adah sebagai asal kata adat berarti kebiasaan, yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Jadi Hukum Adat
adalah hukum kebiasaan. Istilah Hukum Adat yang mengandung arti sebagai aturan kebiasaan sudah larna dikenal
di Indonesia. Di masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), di Aceh Darussalam, yang memerin-tahkan
dibuatnya kitab hukum takuta alam sebagai istilah Hukum Adat sudah dipakai.
Kemudian istilah Hukum Adat ini sangat jelas disebutkan dalam kitab hukum safinatul hukkamfl takhlisil
khassan (bahtera bagi semua hakim dalam menyelesaikan semua orang yang berkesumat) yang ditulis oleh
Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin, anak Kodhi Baginda Khotib dari negeri Trussart. Atas perintah
Sultan Alauddin Johansah (1781-1795), di dalam mukadimah kitab hukum acara dikatakan bahwa dalam
pemeriksa perkara para hakim harus memperhatikan hukum syarak, Hukum Adat, serta adat dan rezam.
Hukum Adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia diturunkan Tuhan ke
muka bumi maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudiaa bermasyarakat dan bernegara. Sejak manusia itu
berkeluarga maka ia mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka. Misalnya, ayah pergi
berburu atau mencari akar-akaran untuk bahan makanan, ibu menghidupkan api untuk membakar hasil buruan
kemudian disantap bersama-sama, Prilaku kebiasaan itu berlaku terus-menerus, sehingga menjadi pembagian
kerja yang tetap.

BAB II
SISTEM HUKUM ADAT

Yang dimaksud dengan sistem hukum mencakup hal-hal sebagai berikut (Soerjono Soekanto
1980: 59) :
a. Di dalam ilmu-ilmu hukum sudah menjadi konsensus yang pragmatic, bahwa unsur-unsur tertentu
(atau elemen-elemen tertentu), merupakan hukum, sedangkan yang lain adalah tidak. Yang dianggap
sebagai hukum adalah aturan-aturan hidup yang terjadi karena perundhng-undangan, putusan-
keputusan hakim atau risprudensi, dan kebiasaan.
b. Bidang-bidang dari suatu sistem hukum, ditentukan atas dasar bermacam-macam kriteria, yang
menghasilkan dikhotomi-dikhotomi,
c. Konsistensi di dalam suatu sistem huku akan ada, apabila terjadi persesuaian atau keserasian
d. Pengertian-pengertian dasar dari suatu sistem hukum
e. Kelengkapan suatu sistem hukum, menyangkut unsur-unsur yang berpengaruh terhadap penegakan
hukum, yakni adanya hukum, penegak hukum, fasilitas dan warga masyarakat setiap unsur tersebut.
Apabila hukum dapat dikualifikasikan sebagai suatu sistem apakah hukum adat dapat
dinyatakan pula sebagai suatu sistem, Oleh karena hukum adat merupakan bagian dari hukum secara
menyeluruh, maka dapat dikatakan bahwa hukum adat merupakan suatu sistem. Menurut Soepomo,
maka (Soepomo 1977)
"Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan
berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitupun hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas
dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai
sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar akan_sistem hukum_adat, orang harus menyelami dasar-dasar
alam pikiran yang –hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Untuk mempertegas hal tersebut di atas, maka kemudian Soepomo memperbandingkan sistem
hukum adat dengan sistem hukum Barat (Soepomo, dapat diketahui bahwa ter Haar menganggap
hukum adat sebagai suatu sistem, terutama dari kata "Stelsel".

M.B. Hooker secara relatif mempunyai pendapat yang lebih tegas daripada Soepomo. Akan
tetapi di dalam hal ini, Hooker lebih banyak berbicara tentang sistem adat, walaupun maksudnya adalah
hukum adat. Hooker banyak mengambil perumusan-perumusan yang pernah diberikan oleh sarjana-
sarjana Belanda; pendapatnya adalah, sebagai berikut (M.B. Hooker 1978: 34).

Ternyata bahwa pendapat Hooker masih mengandung kelemahankelemahan, oleh karena


hanya berorientasi pada dasar-dasar sosial dan genealogis dari masyarakat (hukum adat). Mungkin
ada baiknya, untuk menerapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana disebutkan di muka,
supaya hukum adat dapat dikualifikasikan sebagai suatu sistem. Percobaan tersebut, akan melengkapi
apa yang pernah. dinyatakan oleh van Vollenhoven, ter Haar maupun Soepomo. Untuk keperluan itu,
maka sebaiknya dianalisa terlebih dahulu mengenai , proses perkembangan perilaku sehingga menjadi
sistem sosial, dalam hal ini sistem hukum adat.

A. PEAILAKU MANUSIA
Di dalam Bab I bagian A, telah disinggung mengenai perilaku, yang digambarkan sebagai suatu
totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari manusia. Salah satu unsur dari perilaku
tersebut, adalah apa yang disebut sebagai gerak sosial, yang pada hakikatnya merupakan sistem yang
mencakup suatu+hirarki pengaturan.
1. Sikap tindak atau perikelakuan ajek, yang mencakup:
a. Sikap tindak atau perikelakuan pribadi dalam bidang-bidang:
1) Kepercayaan
2) Kesusilaan
b. Sikap tindak atau perikelakuan antara pribadi dalam bidang:
1) Kesopanan
2) Hukum
2. Sikap tindak atau perikelakuan yang unik, yang mencakup:
a. sikap tindak atau perikelakuan pribadi:
1) Kepercayaan
2) Kesusilaan
b. Sikap tindak atau perikelakuan antar pribadi:
1) Kesopanan.
2) Hukum.
Dari kerangka tersebut di atas, yang penting untuk ditelaah lebih lanjut adalah, perilaku antar
pribadi, yang secara teknis biasanya disebut interaksi sosial. Mengapa terjadi interaksi sosial yang
melibatkan perilaku beberapa pihak, di mana kemudian mungkin terjadi proses saling pengaruh
mempengaruhi antara kedua belah pihak.
Hubungan dengan orang lain, yang apabila tidak terlaksana akan meng-hasilkan gangguan
atau keadaan yang tidak menyenangkan bagi pribadl: yang bersangkutan. Pada setiap manusia, ada
tiga kebutuhan interpersonal, yang mencakup kebutuhan akan inklusi, kontrol dan afeksi. Kebutuhan
akan inklusi merupakan suatu kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan hubungan yang
memuaskan degan pihak lain. Kebutuhan akan kontrol adalah suatu kebutuhan untuk mengadakan dan
mempertahankan hubungan dengan pihak lain, untuk memperoleh pengawasan atau kekuasaan.
Kemudian, kebutuhan akan afeksi adalah segala kebutuhan untuk mengadakan serta
mempertahankan hubungan dengan pihak lain, untuk memperoleh clan memberikan cinta, kasih
sayang, serta afeksi.
Walaupun kebutuhan-kebutuhan interpersonal tersebut di atas, menghasilkan perilaku yang
beraneka ragam coraknya, akan tetapi manusia pada dasarnya mempunyai hasrat untuk hidup teratur.
Akan tetapi, rnengenai keteraturan yang menjadi hasratnya itu. Apabila keadaan tersebut dibiarkan,
maka` akan tiimbul ketidakaturan, oleh karena masingrnasing akan berpegang pada pandangannya
mengenai keteraturan tersebut, sesuai dengan kepentingan masing-masin.
Kaidah atau norma yang menjadi pedoman hubungan antar pribadi, dibedakan antara kaidah
atau norma kesopanan dengan hukum. Kaidah kesopanan berututan untuk mencapai kedamaian.
Dalam hal ini perlu dibedakan antara kaidah kesopanan dengan "adat", sebagai berikut (Purnadi
Purbacaraka & Soerjono Soekanto.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa perilaku manusia berkembang dari dasar-dasar
tertentu, di mana kaidah atau norma sebenarnya merupakan suatu abstraksi dari perilaku (yang pada
akhirnya menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku manusia). Urut-urutan atau tahap-tahap yang
dilalui secara logis, lihat halaman berikut
1. Manusia senantiasa berinteraksi atau melakukan hubungan interpersonal, oleh karena kebutuhan akan
inklusi, kontrol dan afeksi. Pengalaman berinteraksi tersebut menghasilkan:
2. Sistem nilai, yaitu konsepsi abstrak mengenai apa yang buruk clan apa yang baik. Sistem nilai
berpengaruh pada:
3. Pola berpikir manusia yang kemudian membentuk:
4. Sikap manusia, yakni kecendenangan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap manusia, benda atau
keadaan tertentu. Sikap kemudian menghasilkan:
5. Perilaku, yang kemudian menjadi pola perilaku, yang apabila diabstraksikan, menjadi:
6. Norma atau kaidah yang merupakan patokan tentang perilaku yang pantas. Norma ini kemudian
mengajak interaksi antar manusia atau hubungan interpersonal.
B. DARI IERILAKU KE-NUKUM ADAT
Sebagamana dinyatakan di atas, maka manusia senantiasa mengadakan intcraksi atau
hubungan interpersonal. Proses interaksi yang terus-mene'us menimbulkan pola-pola tertentu yang
disebut "cara” atau "usage', yakni (G.A. Theodorson& A.G. Theodorson 1979: 454)i U
"A uniPrm or customary way of behaving within a social group."
Cara tersebut merupakan suatu bentuk tertentu di dalam perilaku manusia yang lebih menonjol
di dalam hubungan interpersonal (Soerjono Soekarto 1979: 19). Tentang hal ini, walaupun dengan
bahasa yang berbeda, H;zairin pernah menjelaskannya di dalam pidato pelantikan , sebagai guru besar
Hukum Adat dan Hukum Islam pada Universitas Indonesia, yang berjudul "Kesusilaan dan Hukum"
(tanggal 13 September 1952).
Oleh Hazairin dinyatakan, bahwa kebersihan ro.hani tersebut merupakan kesusilan
perseorangan, yang sebenarnya merupakan dasar dari, cara atau "usage". Cara tersebut merupakan
suatu pengungkapan dari kesusilaan perseorangan, yang tidak mustahil berbeda-beda untuk masing-
masing individu atau pribadi. Akan tetapi di dalam perkembangan selanjutnya, cara-cara yang
diterapkan mungkin menimbulkan kebiasaan atau "folkways", yakni (G.A. Theodorson & A.G.
Theodorson ': 1979:159)
merupakan keteraturan diterima sebagai kaidah maka kebiasaan tersebut meningkat daya
mengikatnya, sehingga menjadi tata kelakuan yang ciri-ciri pokoknya adalah, sebagai berikut (Soerjono
Soekanto 1979: 20)
1. Merupakan sarana untuk mengawasi perikelakuan warga masyarakat.
2. Tata kelakuan merupakan kaidah yang memerintahkan atau sebagai patokan yang membatasi aspek
sepak terjang warga masyarakat.
3. Tata kelakuan mengindentifikasikan pribadi dengan kelompoknya.
4. Tata kelakuan merupakan salah satu sarana untuk mempertahankan solidaritas masyarakat.
Sebagai perbandingan dengan kebiasaan, maka "mores" dikatakan juga, merupakan (G.A.
Theodorson & A.G. Theodorson 1979: 265):
Tata kelakuan yang kekal serta kuat dengan perilaku warga ma-; syarakat, meningkat kekuatan
mengikatnya menjadi adat istiadat atau "custom". Custom tersebut biasanya diberi bermacam-macam
arti, dan penggunaannya dikaitkan pada (Duncan Mitchell 1977: 50)
"The routine acts of daily life; the rules implicit in routine; the cultural patterns discernible in repetitive
acts; and the distinctive nature of the whole culture."
Baik kebiasaan, tata kelakuan maupun adat istiadat, merupakan perilaku yang bersumber pada
kesusilaan kemasyarakatan atau kesusilaan umum. Menurut Hazairin dalam pidato pengukuhannya,
maka kesusilaan kemasvarakatan adalah kesusilaan umum.
Menurut M. Nasroen, maka "adat" Minangkabau merupakan suatu sistem pandangan hidup
yang kekal, segar serta aktual, oleh karena didasarkan pada (M. Nasroen 1957):
1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada nilai positif, teladan baik serta
keadaan yang berkembang.
2. Kebersamaan dalam arti, seseorang untuk kepentingan bersama.
Menurut sistem adat Minangkabau maka adat sebenarnya dibagi empat, yakni (M. Nasroen
1957: 55):
1. Adat nan sabana adat, ialah sesuatu yang seharusnya menurut alur dan patut, seharusnya menurut
agama, menurut perikemanusiaan, menurut tempat dan menurut masa.
2. Adat nan teradat... adalah berciasarkan kenyataan terdapatnya perbedaan-perbedaan dalam keadaan,
umpamanya keadaan sesuatu negeri dengan negeri yang lain.
3. Adat nan diadatkan adalah sesuatunya yang didasarkan atas mupakat ini harus pula berdasarkan alur
dan patut.
4. Adat istiadat".
Adat istiadat tersebut, menurut pendapat tertentu, adalah "segala peninggalan-peninggalan
kebiasaan-kebiasaan yang buruk seperti mengadu jago, mabuk.(Chairul Anwar 1967:56). Di dalam
penelitian yang pernah diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas (pada tahun 1977 - 1978),
dinyatakan antara lain, sebagai berikut (halaman 36):
"Pada umumnya adat itu dibagi atas 4 bagian, yaitu:
1. Adat yang sebenar adat. Ini adalah merupakan undang-undang alam. Di mana dan kapan pun dia akan
tetap sama, antara lain adat air membasahi, adat api membakar dan sebagainya.
2. Adat istiadat. Ini adalah peraturan pedoman hidup di seluruh daerah ini yang diperturunnaikkan selama
ini, waris yang dijawek, wek, pusako nan ditolong, artinya diterima oleh generasi yang sekarang dari
generasi yang dahulu, supaya dapat kokoh berdirinya.
Maksud dari penjelasan di atas mengenai adat, adalah untuk mendapatkan suatu gambaran
yang diambil dari kenyataan di Indonesia, untuk dimasukkan ke dalam kerangka perkembangan dari
perilaku hingga menjadi hukum adat, yang pendekatannya bersifat sosiologis. Bagaimanakah
perkembangan selanjutnya, sehingga adat- (istiadat) menjadi hukum adat.
Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengqruh yang kuat dalam masyarakat kekuatan
mengikatnya tergantung pada masyarakat (atau, J bagian masyarakat) yang mendukung adat istiadat
tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya (Soekanto dan Soerjono
Soekanto 1979: 14, 15). Secara teoretis akademis sudah timbul kesulitan untuk membedakan antara
adat istiadat dengan hukum adat; apalagi di dalam praktiknya, di mana kedua gejala sosial tersebut
berkaitan dengan eratnya (Soekanto 1955: 2). Kenyataan di beberapa daerah di Indonesia
menunjukkan, bahwa adat dan hukum adat dipergunakan oleh warga masyarakat secara bersamaan
von Benda Beckmann yang pernah mengadakan penelitian terhadap masyarakat Minangkabau di
Sumatera Barat menyatakan, sebagai berikut (Franz: von Benda-Beckmann 1979: 118):
Apa yang dijelaskan oleh von Benda-Beckmann memang benar, clan mungkin juga berlaku di daerah-
daerah lainnya di Indonesia. Namun demikian, pembedaan antara adat dengan hukum adat masih
tetap ; diperlukan, walaupun dari segi teoretis, oleh karena (Soekanto dan Soerjono)
Yang dimaksudkan dengan keputusan hukum ("rechtsbeslissing"), adalah sebagai berikut:
'
"Semua perilaku dalam pergaulan hidup yang didasarkan pada dan terdorong oleh pandangan hukum,
yang dapat diketahui dari anggapan tentang kewajiban pribadi serta pribadi-pribadi lainnya, merupakan
keputusan hukum. Keputusan hukum dalam artian ini adalah, keputusan untuk melangsungkan
perkawinan, penguasaan atas harta waris, mengadakan perjanjian-perjanjian,.pembayaran,
pelepasan, pemberian izin, pemberian keputusan, pengeluaran undang-undang.
1. Apabila para warga masyarakat berperilaku yang ternyata didasarkan pada keyakinan bahwa
masyarakat menghendakinya clan dapatmemaksakan hal itu apabila dilalaikan, maka hal itu dapat
dinamakan keputusan hukum dari warga-warga masyarakat.
2. Tidak ada suatu alasan untuk menyebut hal lain sebagai hukum, kecuali keputusan-keputusan yang
mengandung hukum, dari pejabatpejabat hukum yang telah diangkat.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa keputusan yang diambil oleh penguasa kepala
adat dan hakim, haruslah dilihat sebagai, suatu kaidah hukum individual yang menyimpulkan kaidah
hukum' umum yang berlaku bagi kasus-kasus yang sama. Mereka yang berwenang untuk memberikan
keputusan harus sadar akan tanggung jawabnya turut membentuk hukum, clan memperhatikan
keputusan-keputusan sebelumnya dari mereka yang berwena, ngpula. (Purnadi Pur: bacaraka clan
Soeriono Soekanto 1979: 94)
C. SISTEM PENGENDALIAN SOSIAL
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka manusia mempunyai 1, hasrat yang kuat untuk hidup
teratur. Akan tetapi, setiap manusia mempunyai pendirian masing-masing mengenai apa ,yang
dinamakan teratur, sehingga diperlukan suatu pedoman. Pedoman atau patokan tersebut adalah
norma atau kaidah, yang merupakan suatu pandangan menilai mengenai perilaku manusia. Kalau
sudah terdapat normanorma atau kaidah-kaidah, maka diperlukan suatu mekanisme untuk
menegakkannya. Artinya, agar kaidah-kaidah tersebut dipatuhi oleh orang banyak. Salah satu
mekanismenya adalah, apa yang dinamakan sistem pengendalian sosial.
Menurut sosiologi, maka biasanya diadakan pembedaan antara bermacam-macam tipe
pengendalian sosial. Tipe-tipenya merupakan dikhotomi-dikhotomi, sebagai berikut (Roucek& Warren
1962: 165, 291):
1. Formal sosial control dan informal social control. Yang pertama menunjuk pada tata cara yang dibentuk
oleh badan-badan resmi, tata cara mana dapat dipaksa akan berlakunya. Pada yang kedua, daya
berlakunya senantiasa tergantung pada kenyataan apakah warga masyarakat mengakuinya atau tidak
(serta menyukainya atau tidak).
2. Primary group control dan secondary group control. Primary group control lazimnya diterapkan di dalam
kelompok-kelompok kecil (yaitu kelompok utama atau "primary group") yang anggota-anggotanya
saling kenal mengenal. Kelompok tersebut biasanya mempunyai pengaruh yang besar terhadap
anggota-anggotanya. Pada kelompok sekunder, pengendalian sosial dilakukan melalui peraturan-
peraturan formal.
3. Regulative social control dan suggestive social control. Regulative social control lebih menekankan
pada perintah-perintah atau larangan-larangan sugestive social control lebih menekankan pada cara-
cara yang persuasif koperatif.
4. External control dan internal dari luar diri manusia sebagai pribadi, misalnya, yang datangnya dari
masyarakat atau kelompok. Internal control datangnya dari diri pribadi, yakni usaha untuk mengekang
atau mengendalikan diri sendiri.
5. Passive social control dan active social control (Edwin M. Lemert 1967: 21), yang penjelasannya
adalah, sebagai berikut:
Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh seseorang, terhadap pribadi lainnya. Kecuali itu,
maka seseorang dapat pula melaksanakannya terhadap suatu kelompok. Tidak jarang terjadi, bahwa
suatu kelompok mclakukan pengendalian sosial terhadap kelompok lainnya, atau terhadap pribadi
tertentu. Pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau positif dan represif atau negatif. Pada
pengendalian sosial yang bersifat preventif, maka tujuan utamanya adalah untuk mencegah terjadinya
penyimpangan-penyimpangan atau penyelewengan-penyelewengan. Pengendalian. sosial yang
represif lebih bertujuan untuk mengembalikan atau memulihkan keadaan yang dianggap baik oleh
masyarakat, dengan antara lain menerapkan sanksi-sanksi negatif.
Pengendalian sosial, secara sosiologis merupakan suatu variabel kuantitatif. Artinya, kuantitas
pengendalian sosial di satti tempat, mungkin berbeda dengan kuantitas pengendalian sosial di lain
tempat. Misalnya, pengendalian sosial dalam suatu keluarga batih tertentu, mungkin lebih hcsar
daripada di dalam suatu organisasi sosial tertentu. Demikian pula pcngendalian sosial di suatu unit
birokrasi tertentu, mungkin lebih kecil daripada pengendalian sosial pada unit birokrasi di tempat
lainnya. Kuanlitas pengendalian sosial juga mungkin berbeda sehubungan dengan jangka waktu
tertentu. Dengan disajikan di atas; untuk lebih mengetahui arti hipotesa tersebut, maka Black
merumuskan suatu hipotesa sebagaimana disajikan di atas; untuk lebih mengetahui arti hipotesa
tersebut, akan disajikan penjelasan dari Black yang disertai contoh-contoh yang berasal dari luar
Indonesia, akan tetapi tidak ada salahnya untuk juga mcnerapkannya di Indonesia dengan syarat-
syarat tertentu.
Nader dan Metzger, misalnya, pernah mengadakan penelitian terhadap daerah pedesaan
Mexico, di mana antara lain dikemukakan, bahwa pcngendalian sosial keluarga di suatu masyarakat
setempat ("community"), berbeda dengan masyarakat setempat lainnya. Hat itulah yang mcnyebabkan,
bahwa perselisihan-perselisihan mengenai perkawinan jarang dibawa ke pengadilan. Mengenai hal ini
Nader dan Metzger, menjelaskannya sebagai berikut (Laura Nader& Duane Metzger 1963: 589)
Pada masyarakat Amerika Serikat yang modern, perselisihan antara keluarga, lebih kurang
diajukan ke pengadilan apabila dibandingkan dengan jenis-jenis perselisihan lainnya. Polisi, misalnya,
lebih banyak menerima laporan mengenai kejahatan yang terjadi di luar keluarga. Apabila diterima pula
laporan semacam itu, maka ada kecenderungan bahwa laporan tersebut datang dari orang luar,
sedangkan keluarga yang ber- ' sangkutan cenderung untuk tidak mengakuinya baik secara lisan
maupun secara tertulis, sehingga tidak terjadi penindakan-penindakan.
Keadaan-keadaan lain dapat dijumpai di Taiwan, misalnya, di mana pengendalian oleh
keluarga (luas) semakin berpudar. Hat itu terutama disebabkan, karena terjadi perubahan-perubahan
dalam hubungan-hubungan, ekonomi (terutama yang mengenai pemilikan tanah) di daerah pedesaan.
Dengan demikian, maka para petani cenderung untuk pergi ke lembaga-lembaga hukum yang dibentuk
atas dasar peraturan perundang-undangan.
Tentang Minangkabau, P.E. de Josselin de Jong pernah menyatakan, hahwa terdapat
kecendetungan, keluarga-keluarga batih mempunyai rumah tangga sendiri (yang berdiri sendiri).
Selanjutnya dikatakan, bahwa (RE. de Josselin de Jong 1960: 120).
Pernah diadakan penelitian oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas ;' pada tahun 1977.
Hasilnya adalah antara lain, sebagai berikut (FakultasHukum Universitas Andalas 1978; 60, 61):
1. Oleh karena tertinggalnya ninik-mamak di bidang pendidikan formal, dibandingkan dengan apa yang
telah dicapai oleh anak kemenakan dewasa ini, maka pengaruh ninik-mamak terhadap, anak-
kemenakan menjadi berkurang.
2. Dalam rangka terjadinya perubahan sosial, khusus dalam strukr ,: tur keluarga, di mana kedudukan
ayah semakin menonjol pengaruh ninik-mamak pun semakin berkurang dalam kaumnya.
3. Meskipun pengaruh mamak terhadap kemenakan semakin mundur, akibat menonjolnya ayah dalam
keluarga, namun kedudukan ninik-mamak dalam kaum dan suku tetap penting, karena adanya "kaum"
dan "suku" masih merupakan kenyataan dalam masyarakat Minangkabau.
4. Selama masih utuhnya "kaum" dan "suku" sebagai organisasi kemasyarakatan, selama itu pula
peranan ninik-mamak penting dalam prosedur penyelesaian sengketa secara damai di Nagarinagari.
5. Pengikut-pengikut ninik-mamak dalam setiap kegiatan pembangunan maupun pelaksanaan tugas-
tugas pemerintah, akan memperlancar jalannya pelaksanaan pembangunan maupun, pekerjaan-
pekerjaan lainnya di Nagari."
Kiranya perlu juga disajikan suatu contoh dari Jepang, yakni dari auatu "buraku" atau desa
tradisional yang masih tetap hidup di dalam proses modernisasi yang begitu pesatnya di Jepang
(Robert J. Smith: 1961). Contoh yang akan disajikan sangat erat hubungannya dengan "ostracism",
yakni (Henry Pratt Fairchild 1976:210,211):
Dengan demikian, maka peranan hukum sebagai sarana pengendalian sosial, kurang apabila
dibandingkan dengan ostracism, khususnya buraku sebagaimana dijelaskan di muka. Suatu masalah
lain yang perlu pula untuk dibahas; adalah masalah stigmatisasi. Stigmatisasi terjadi, kalau perbuatan-
perbuatan tertentu yang menyimpang, dengan sengaja ditonjolkan keburukannya. Artinya, kedudukan
dan peranan seseorang yang mel'akukan penyimpangan tersebut diperlakukan sedemikian rupa,
sehingga dia kehilangan identitas sosialnya. (Soerjono Soekanto 1981: 158). Dengan demikian
dapatlah dikatakan, bahwa stigmatisasi merupakan (Edwin M. Lemert 1967:42)
"Risk taking" ini memang merupakan suatu jalan keluar, untuk mengatasi kemelut yang dialami
oleh seseorang, yang terutama disebabkan terjadinya konflik di dalam dirinya. Konflik di dalam dirinya
timbul, oleh karena tidak ada pegangan pada kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang pada suatu waktu
sedang berlaku. Kemungkinan semacam ini dapat terjadi, apabila misalnya, ada halangan untuk
melakukan perkawinan, sehingga ditempuh jalan dengan kawin lari. Sudah tentu bahwa proses
stigmatisasi akan terjadi, apabila perbuatan tersebut dianggap merusak keseimbangan kosmis, oleh
karena sebagaimana pernah dinyatakan oleh Soeporno, maka (Soepomo 1977:11)
Artinya adalah, semakin hormat kedudukan seseorang, semakin besar pula kuantita
hukumnya. Misalnya, seorang bekas narapidana sangat besar kemungkinannya tidak akan melaporkan
tindakan sesama bekas narapidana, kepada polisi. Demikian juga halnya dengan para penjudi, pelacur,
kelompok homoseksual, dan seterusnya. Penodongan terhadap seorang pemabuk, misalnya, lebih
kurang seriusnya daripada penodongan terhadap warga masyarakat yang lebih terhormat. Menurut La
Fave, maka (Wayne R. IaFace 1965: 124)
Hipotesa tersebut di atas berasumsi, bahwa semakin kurang kehormatan seseorang (dalam
arti kedudukannya dalam masyarakat), semakin banyak hukum yang mengaturnya. Artinya, interaksi
antara orang-orang yang kurang terhormat kedudukannya lebih banyak terikat oleh hukum daripada
dalam proses interaksi antara orang-orang yang lebih terhormat. Apabila terjadi sengketa antara pihak
yang terhormat dengan yang kurang terhormat, maka ada kecenderungan bahwa akibatnya positif bagi
yang terhormat kedudukannya. Untuk lebih jelasnya, dikutipkan apa yang ditulis oleh Black, sebagai
berikut (Donald Black 1976: 114):
Hipotesa tersebut di atas secara asumtif juga berlaku di Indonesia, terutama utama apabila
ditekankan soal kedudukan yang terhormat tersebut. Hal ' ini dapat dikaitkan dengan apa yang disebut
"shame culture" yang teruta- , ma menjadi dasar mentalitas priyayi. Intinya adalah sebagai berikut
''(Koentjaraningrat 1969: 40)
Apa yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat tersebut di atas, sebenarnya juga pernah
dikemukakan oleh Hazairin di dalam konteks yang berada. Di dalam pidato pengangkatan sebagai guru
besar di Universitas Indonesia, Hazairin menyatakan sebagai berikut:
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa peranan hukum adat (dan hukum tertulis) di
dalam pengendalian sosial, sangatlah tergantung pada persepsi warga masyarakat mengenai hukum
dan juga penegak hukumnya. Kecuali dari itu, apabila dalam konteks-konteks sosial tertentu, ternyata
sarana pengendalian sosial lainnya lebih efektif, maka peranan hukum berkuranp.
D. MASYARAKAT HUKUM ADAT
Sebagaimana telah dikemukakan' di dalam Bab I, maka suatu masyarakat merupakan suatu
bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup
lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang menjadi
wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok
sosial.
Dengan mengutip pendapat van Vollenhoven yang dikemukakan pada pidatonya tertanggal 2
Oktober 1901, maka Soepomo menyatakan (Soepomo 1977-49). Hal-hal yang dijelaskan di dalam
bagian A, B, clan C dari Bab II ini, tidak akan mungkin terjadi apabila tidak ada masyarakat (hukum
adat). Oleh karena itu dianggap penting, untuk juga memberikan sajian mengenai masalah tersebut.
Maksudnya bukanlah untuk mengulangi apa yang pernah disajikan di dalam buku-buku hukum adat
lainnya, akan tetapi untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada. Dengan demikian
diharapkan, bahwa para peminat hukum adat akan memperoleh pengetahuan yang lebih lengkap lagi.
Penelitian atau hasil karya lainnya. Di dalam bukunya yang berjudul "Beginselen en Stelsel van
het Adatrecht", ter Haar merumuskan masyarakat hukum adat, sebagai (B ter Haar Bzn 1950. A
Hazairin memberikan suatu uraian yang relatif panjang mengenai masyarakat hukum adat, sebagai
berikut (Hazairin 1970: 44)
"Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di
Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan
kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berclasarkan hak
bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya... Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal,
matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas
pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan
perburuan binatang liar, pertambangan clan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak
clan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri; komunal, di mana gotong royong, tolong menolong,
serasa clan semalu mempunyai peranan yang besar."
Apabila setiap masyarakat hukum adat tersebut ditelaah secara seksama maka masing-
masing mempunyai dasar dan bentuknya. Menurut. Soepomo, maka masyarakat-masyarakat hokum
adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golonpn menurut dnsar susunannya, yaitu yang berdasarkan
pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah (territorial kemudian hal
itu ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut di atas (Soepomo 1977:
51)
1. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah
di dalam lingkungannya yang bersifat Staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi
clan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil, Di daerah-daerah yang bersifat
otonom (streek clan locaje rechtsge meenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang
bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan
akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
2. Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen clan
Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun clan marga di
Palembang clan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Apabila pembicaraan dibatasi pada masyarakat hukum adat genealogis dan teritorial maka
menurut Soepomo ada lima jenis masyarakat hukum adat semacam itu, dengan kemungkinan-
kemungkinan sebagai berikut (Soepomo 1977: 55, 56, 57):
1. Suaru daerah atau kampung yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh hanya satu bagian golongan
(clandeel). ada golongan lain yang tinggal di dalam daerah itu. Daerah atau kampung-kampung yang
berdekatan juga dipakai sebagai tempat tinggal oleh hanya satu bagian clan.
2. Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut: Bagianbagian clan (marga) masing-masing
mempunyai daerah sendiri, akan tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta
yang didirikan oleh marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi
anggota badan persekutuan huta di daerah itu.
3. Jenis ketiga dari susunan rakyat yang bersifat genealogis-teritorial, ialah yang kita dapati di Sumba
Tengah clan Sumba Timur. Di situ terdapat suatu clan yang mula-mula mendiami suatu daerah yang
tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan itu kemudian berpindah kepada clan lain,
yang masuk ke daerah tersebut clan merebut kekuasaan pemerintah.
4. Jenis keempat dari susunan rakyat yang bersifat genealogisteritorial kita dapati di beberapa nagari di
Minangkabau dan dibeberapa marga (dorp) di Bengkulu.
5. Jenis yang kelima dari susunan rakyat yang bersifat genealogis- ' territorial adalah terdapat di nagari-
nagari lain di Minangkabau ~ clan pada dusun di daerah Rejang (Bengkulen), di mana dalarn satu
nagari atau dusun berdiam beberapa bagian clan, yang satu sama lain tidak bertalian famili.
Suatu contoh masyarakat hukum adat yang diambil berdasar data , primer, adalah masyarakat
hukum adat yang Oijumpai di daerah Lampung. Orang-orang Lampung ("Lampung" berasal' dari kata
"lampung" yang berarti mengambang di air) menurut cerita-cerita orang-orang tua, berasal dari daerah
Segala Berak Pagaruyung yang terletak di dataran Belalau, di kaki Bukit Pesagi di sebelah selatan
danau Ranau, Krui. Diceriterakan bahwa pada waktu itu berdiam beberapa clan (kebuayan) di daerah
tersebut. Oleh sebab beberapa alasan tertentu, mereka kemudian menyebar dan merantau segenap
penjuru daerah yang sekarang dinamakan Lampung, di ujung pulau Sumatera yang lua.mya hampir
sama dengan r daerah Jawa Tengah. Dalam penyebaran mereka, orang-orang Lampung Sistem
Hukum Adat mendirikan wilayah-wilayah kediaman yang bersifat sementara yang dipimpin oleh kepala-
kepala rakyat yang diberi gelar Ratu. Dapat
Kadang-kadang, sebuah tiyuh didiami oleh dua, sampai sepuluh suku. Suku-suku tersebut
masing-masing mencakup beberapa canki yang merupakan keluarga besar, sedangkan canki
terbentuk dari beberapa nuwo (yang merupakan keluarga batih). Nuwo, canki maupun suku, dapat
mempunyai tanah yang dikerjakan yang dinamakan umbul atau umbulan, tanah mana dikerjakan
secara kolektif (tanah yang dikerjakan secara perorangan disebut "umo") Mula-mula umbul atau
umbulan bersifat semi permanen, akan tetapi mungkin pula menjadi suatu tempat usaha permanen,
sehingga tempat-tempat kediaman di sekitarnya, sesuai dengan patokan menurut hukum adat
setempat, dapat diresmikan meniadi canki, suku dan selaniutnya.
Kepala adat yang merupakan kepala dari masyarakat hukumnya, dinamakan Penyimbang,
pengertian mana mempunyai dua arti yakni pertama artinya adalah "pengganti" untuk menunjuk pada
kepenyimbangan sebagai suatu kedudukan, dan kedua berarti sebagai "yang menimbang" untuk
menunjuk pada kepenyimbangan sebagai suatu peranan. Kepe. nyimbangan seseorang diwariskan;
putera sulung keluargalah yang mempunyai hak tunggal untuk menjadi penyimbang, sebagai pengganti
ayah nya (kecuali apabila terjadi hal-hal yang tidak memungkinkan yang bersangkutan menjadi
penyimbang karena sakit, perilaku yang buruk, dan seterusnya).
macam penyimbangan:
1. Penyimbang pangkat, yakni penyimbang yang telah membentuk pepadon beserta keturunannya
(hanya pria). Apabila penyimbang tersebut mengepalai sebuah marga, namanya adalah penyimbang
marga, lalu seterusnya ada kepala tiyuh dan kepala suku.
2. Penyimbang adat, yang merupakan keturunan daripada para pendiri marga, tiyuh dan suku.
Daerah Lampung didiami oleh beberapa suku, yang penyebarannya adalah sebagai berikut (Taher
Tjindarbumi tanpa tahun: 5 dan seterusnya):
1. Di sepanjang pesisir Lampung, tinggallah orang-orang Peminggir, yaitu penduduk yang mendiami
pesisir Telukbetung dan sekitarnya, Kalianda dan sekitarnya, serta pesisir Semangka dan sekitarnya.
Marga-marga yang terletak di dalam lingkungan ini dinamakan Marga-marga Peminggir, berbeda
dengan orang-orang Lampung yang berdiam di bagian Barat yang lazimnya dinamakan oang-orang
Lampung Pepadon
Marga liantaran, Marga Ketibung (diakui sejak tahun 1928). Marga-marga tersebut di atas
termasuk wilayah Kalianda atau Ketibang. Selanjutnya di daerah Telukbetung terdapat marga-marga ,
sebagai berikut:
a. Marga Telukbetung,
b. Marga Ratai,
c. Marga Punduh,
d. Marga Pedada, dan
e. Marga Sabumenanga.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi pemakalah dapat menyimpulkan : Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu
peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran.
Begitupun hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia,
yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum Barat. Untuk dapat sadar
akan_sistem hukum_adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang –hidup di dalam
masyarakat Indonesia.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini penulis buat, jika terdapat kesalahan dari pembuatan makalah ini, pemakalah
mengharapkan kritikan, saran serta tambahan dari pembaca terutama dari dosen pembimbing untuk perbaikan
makalah ini, untuk menjadi makalah ini lebih baik lagi. Karena pemakalah menyadari bahwa tidak adanya
kekurangan dalam pembuatan makalah ini, karena sempurna itu hanya mutlak miliki Allah SWT.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Simpulan
1. Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat dapat
mengahsilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan. Kebudayaan juga dapat dikatakan sebagai
adat istiadat, ciri khas yang sudah melekat dalam dirimasyarakat setempat.
2. Akar budaya Indonesia adalah semua nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan dan nilai-
nilai religi yang mendasari terbentuknya suatu cita-cita negara. Akar kebudayaan yang
menyatukan ragam budaya di Indonesia adalah gotong royong.
3. Ideologi bangsa Indonesia adalah pancasila yang memuat segala aturan kehidupan
masyarakatnya dan merupakan dasar tertinggi negara.
4. Akar budaya Indonesia adalah dari segi adat istiadat, kebudayaan dan agama,akan tetapi akar
budaya yang secara umum dapat menyatukan segala macam budaya Indonesia adalah gotong
royong. Akar budaya Indonesia merupakan dasar untuk terbentuknya sebuah ideologi bangsa
dan dapat memperkokoh ideologi tersebut. Ideologi bangsa Indonesia tidak hanya sebuah
rumusan tanpa adanya sebab yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Jadi, kebudayaan
merupakan aspek ter[enting untuk terbentuknya sebuah ideoogi bangsa Indonesia dan
mengkokohkannya.

http://silviavird.blogspot.co.id/2013/04/akar-budaya-sebagai-poros-
ideologi.html

Anda mungkin juga menyukai