Anda di halaman 1dari 37

AKUNTANSI MANAJEMEN

LANJUTAN
“Penggunaan Sistem Manajemen Biaya
Untuk Pengambilan Keputusan Strategik-
Produk.”

Dosen Pengampu :

Dr.Drs.H. Mukhzarudfa. M. S

Disusun Oleh Kelompok 5:

Frezia Prima Deza (P2C317009)


Jullani (P2C317031)
Magrika Medani Graha (P2C13012)
Martha Yurdila Janur (P2C17013)
Novita Eka Paradina (P2C317017)

MAGISTER ILMU AKUNTANSI


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS JAMBI
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ilmiah tentang Penggunaan Sistem Manajemen Biaya Untuk Pengambilan
Keputusan Strategik-Produk.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Semoga makalah ini memberi manfaat khususnya bagi teman-teman yang


mempelajari mata kuliah Akuntansi Manajemen Lanjutan.

Jambi, Februari 2018

Penyusun

i
Statement of Authorship

Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah terlampir
dengan keterangan:

Judul Makalah : Penggunaan Sistem Manajemen Biaya Untuk


Pengambilan Keputusan Strategik-Produk
Mata Kuliah : Akuntansi Manajemen Lanjutan
Dosen : Dr.Drs.H. Mukhzarudfa. M. Si

Adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang
kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya. Materi ini tidak/belum pernah
disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah pada mata ajaran lain kecuali kami
menyatakan dengan jelas bahwa kami menggunakannya. Kami memahami bahwa tugas
yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan
mendeteksi adanya plagiarisme.

Jambi, Februari 2018

Frezia Prima Deza Magrika Medani Graha Martha Yurdila Janur

P2C317009 P2C317012 P2C317013

Novita Eka Paradina Jullani

P2C317017 P2C317031

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................ii
STATEMENT OF AUTHORSHIP..............................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 3
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Analisis Profitabilitas Produk ................................................................... 4
2.1.1 Productive eficiency ......................................................................... 4
2.1.2 Partial productivity measurement .................................................... 4
2.1.3 Total productivity measurement ....................................................... 6
2.1.4 Measurement changes in activity and process eficiency .................. 8
2.1.5 Konsep harga pokok penuh (full costing) ......................................... 9
2.1.6 Konsep harga pokok variabel (variabel costing).............................. 11
2.2. Life Cycle Costing System ......................................................................... 14
2.2.1 Target costing……………………………………………………....19
2.2.2 Customer orientation ....................................................................... 20
2.2.3 The target costing process ............................................................... 20
2.2.4 Kaizen costing………………………………………………………25
2.2.5 Alat biaya lainnya…………………………………………………...27
2.2.6 Biaya lingkungan, salvage dan pelepasan........................................ 29
PENUTUP ....................................................................................................... .31
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ .31
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... .33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakekatnya suatu perusahaan yang didirikan mempunyai harapan dan


tujuan bahwa di kemudian hari akan mengalami perkembangan yang pesat di
dalam lingkungan usaha dari perusahaan tersebut dan menginginkan adanya
profitabilitas yang tinggi. Harapan tersebut dapat tercapai apabila manajemen
perusahaan selalu berusaha agar nilai keluaran lebih tinggi dari nilai masukan
yang dikorbankan untuk menghasilkan keluaran tersebut, atau dengan kata lain
biaya yang dikorbankan lebih rendah dengan hasil yang lebih tinggi. Dengan
demikian perusahaan dapat menghasilkan laba sesuai yang diinginkan. Dengan
laba usaha tersebut, perusahaan akan memiliki kemampuan untuk berkembang
dan tetap mampu mempertahankan eksistensinya sebagai suatu sistem dimasa
yang akan datang.
Seperti layaknya manusia, produk-produk ini juga memiliki siklus hidup.
Produk yang lama akan semakin tergusur dengan permintaan konsumen yang
menginginkan hal yang baru. Semakin modern barang, semakin meningkatkan
penjualan pada saat launching. Oleh karena itu, setiap perusahaan perlu
mengetahui tahapan siklus hidup produk yang berbeda-beda dan memahami
bahwa semua produk yang mereka jual memiliki batasan umur. Mayoritas dari
mereka (perusahaan) akan berinvestasi dalam pengembangan produk baru dalam
rangka memastikan bahwa bisnis mereka terus tumbuh.
Hampir semua produk yang diproduksi memiliki jangka waktu hidup yang
terbatas, dan selama hidup itu produk akan melewati 4 tahap siklus hidup produk;
perkenalan, pertumbuhan, kedewasaan dan penurunan. Dan dalam setiap tahap ini
produsen menghadapi tantangan yang berbeda. Manajemen siklus hidup produk
adalah bentuk penerapan dari strategi yang berbeda untuk membantu memenuhi
tantangan ini dan memastikan bahwa, apa pun tahap siklus produk yang akan
dilalui, produsen dapat memaksimalkan penjualan dan profit produk mereka.
Agar dapat memanajemen siklus hidup produk secara efektif, organisasi harus
memiliki fokus yang kuat pada :

Pengembangan : Sebelum produk dapat memulai siklus hidupnya, perlu adanya


pengembangan. Penelitian dan pengembangan produk baru merupakan salah satu
tahapan yang paling penting dan mungkin menjadi proses yang paling memakan
waktu dan biaya guna memastikan bahwa produk tersebut sukses.

1
Keuangan : produsen biasanya akan membutuhkan dana yang signifikan untuk
melaunching produk baru dan mempertahankannya melalui tahap perkenalan.
Tapi investasi lebih lanjut pada tahap pertumbuhan dan kedewasaan sudah bisa
dibiayai dari keuntungan penjualan. Pada tahap penurunan, investasi tambahan
mungkin diperlukan untuk menyesuaikan proses manufaktur atau pindah ke
market baru. Sepanjang siklus hidup produk, perusahaan perlu
mempertimbangkan cara yang paling tepat untuk membiayai cost mereka untuk
memaksimalkan potensi profit.

Pemasaran : selama hidup produk, perusahaan perlu menyesuaikan pemasaran


dan kegiatan promosi tergantung pada tahapan siklus produk mana yang sedang
dilalui. Pasar terus berkembang dan sikap konsumen terhadap produk juga ikut
berubah. Jadi cara memasarkan dan promosi pada saat melaunching produk baru
haruslah unik atau berbeda. Tujuannya adalah untuk menjaga pangsa pasar pada
tahap kedewasaan nanti.

Manufaktur : Biaya pembuatan produk dapat terus berubah selama siklus


hidupnya. Di awal, proses baru dan biaya peralatan rata-rata memang tinggi,
terutama kalau melihat volume penjualan yang masih rendah. Ketika pasar
berkembang dan produksi meningkat, biaya akan mulai turun (kalau perusahaan
bisa menemukan metode produksi yang lebih efisien dan murah, cost bisa
semakin ringan). Perusahaan juga perlu mencari cara untuk mengurangi biaya
selama proses manufaktur agar dapat fokus untuk menciptakan lebih banyak
penjualan dan laba.

Informasi : Entah itu berupa data tentang market potensial yang cocok untuk
produk baru, feedback tentang campaign pemasaran untuk melihat mana yang
lebih efektif, atau memonitoring pertumbuhan dan penurunan pasar, informasi
sangatlah penting untuk mensukseskan semua produk.

Produsen yang efisien dalam mengelola produk mereka sepanjang kurva siklus
hidup produk biasanya adalah mereka yang telah mengembangkan sistem
informasi paling efektif. Kebanyakan, produsen menerima kenyataan bahwa
produk mereka memiliki hidup yang terbatas. Meskipun tidak terlalu banyak yang
bisa mereka lakukan untuk mengubah itu, dengan berfokus pada area bisnis yang
telah disebutkan pada bagian atas, manajemen siklus hidup produk membantu
produsen untuk memastikan bahwa produk mereka akan sukses, walaupun semua
perlu proses dan waktu yang panjang.

2
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis profitabilitas produk ?
2. Menjelaskan life cycle costing system

1.3 Tujuan Masalah


Maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam Makalah ini adalah:
1. Mengetahui bagaiman analisis profitabilitas produk
2. Mengetahui life cycle costing system

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Analisis Profitabilitas Produk


2.1.1. Productive Eficiency

Menurut Hansen, Mowen, Gua (2009 : 534) produktivitas berkaitan dengan


menghasilkan output secara efisien, dan secara khusus menangani hubungan
output dan input yang digunakan untuk menghasilkan output. Biasanya,
kombinasi atau campuran masukan yang berbeda dapat digunakan untuk
menghasilkan tingkat keluaran tertentu. Total efisiensi produktif adalah titik di
mana dua kondisi terpenuhi:

(1) untuk campuran input yang akan menghasilkan output tertentu, tidak ada
lagi input yang digunakan daripada yang diperlukan untuk menghasilkan
output. Kondisi pertama didorong oleh hubungan teknis dan, oleh karena itu,
disebut sebagai efisiensi teknis. Melihat aktivitas sebagai masukan, kondisi
pertama mengharuskan penghapusan semua aktivitas non-nilai tambah dan
mengharuskan kegiatan bernilai tambah dilakukan dengan jumlah minimal
yang dibutuhkan untuk menghasilkan output yang diberikan.
(2) mengingat campuran yang memenuhi kondisi pertama, campuran yang
paling murah dipilih. Kondisi kedua didorong oleh hubungan harga input
relatif dan oleh karena itu, disebut sebagai efisiensi alokatif. Harga input
menentukan proporsi relatif masing-masing input yang harus digunakan.
Penyimpangan dari proporsi tetap ini menciptakan inefisiensi alokasi.

Program peningkatan produktivitas melibatkan bergerak menuju keadaan


efisiensi produktif total. Perbaikan teknis dalam produktivitas dapat dicapai
dengan menggunakan lebih sedikit input untuk menghasilkan output yang sama,
dengan menghasilkan lebih banyak output dengan menggunakan input yang sama,
atau dengan menghasilkan lebih banyak output dengan input yang relatif lebih
sedikit.

2.1.2. Partial Productivity Measurement

Pengukuran produktivitas adalah penilaian kuantitatif terhadap perubahan


produktivitas. Tujuannya untuk menilai apakah efisiensi produktif meningkat atau
menurun. Pengukuran produktivitas bisa jadi aktual atau prospektif. Pengukuran
produktivitas aktual memungkinkan manajer untuk menilai, memantau, dan

4
mengendalikan perubahan. Pengukuran prospektif adalah forwardlooking, dan ini
merupakan masukan untuk pengambilan keputusan strategis. Secara khusus,
pengukuran prospektif memungkinkan para manajer untuk membandingkan
manfaat relatif dari kombinasi masukan yang berbeda, memilih masukan dan
campuran masukan yang memberikan keuntungan terbesar. Langkah-langkah
produktivitas dapat dikembangkan untuk setiap masukan secara terpisah atau
untuk semua masukan secara bersama-sama. Mengukur produktivitas untuk satu
input pada suatu waktu disebut pengukuran produktivitas parsial. (Hansen,
Mowen, Gua, 2009: 534)

1. Partial Productivity Measurement Defined.

Produktivitas dari satu input biasanya diukur dengan menghitung rasio output
terhadap input sebagai berikut:

Rasio Produktivitas = Output / Input

Karena produktivitas hanya satu input yang diukur, ukuran tersebut disebut
ukuran produktivitas parsial. Jika output dan input diukur dalam jumlah fisik,
maka kita memiliki ukuran produktivitas operasional. Jika output atau input
dinyatakan dalam dolar, maka kita memiliki ukuran produktivitas finansial.

2. Partial Measures and Measuring Changes in Productivity Efficiency.

Rasio produktivitas tenaga kerja, rasio tersebut memberikan sedikit informasi


tentang efisiensi produktif atau apakah perusahaan tersebut mengalami
peningkatan atau penurunan produktivitas. Namun, mungkin membuat pernyataan
tentang meningkatkan atau menurunkan efisiensi produktivitas dengan mengukur
perubahan produktivitas. Untuk melakukannya, ukuran produktivitas aktual saat
ini dibandingkan dengan ukuran produktivitas periode sebelumnya. Periode
sebelumnya disebut sebagai periode dasar dan berfungsi untuk menetapkan
patokan atau standar untuk mengukur perubahan dalam efisiensi produktif.
Periode sebelumnya bisa menjadi periode yang diinginkan. Bisa jadi, misalnya,
menjadi tahun sebelumnya, minggu sebelumnya, atau bahkan periode dimana
batch produk terakhir diproduksi. Untuk evaluasi strategis, periode dasar biasanya
dipilih sebagai tahun sebelumnya. Untuk pengendalian operasional, periode dasar
cenderung mendekati periode berjalan-seperti batch produk sebelumnya atau
minggu sebelumnya.

3. Advantages of Partial Measures.

5
Tindakan parsial memungkinkan manajer untuk fokus pada penggunaan
masukan tertentu. Langkah-langkah parsial operasi memiliki keuntungan karena
mudah ditafsirkan oleh semua orang di dalam organisasi. Akibatnya, tindakan
operasional parsial mudah digunakan untuk menilai kinerja produktivitas personil
operasi. Buruh, misalnya, dapat berhubungan dengan unit yang diproduksi per
jam atau unit yang diproduksi per pon bahan. Dengan demikian, tindakan
operasional parsial memberikan umpan balik bahwa personil operasi dapat
berhubungan dan memahami - tindakan yang berhubungan dengan masukan
spesifik yang mereka kendalikan. Selanjutnya, untuk pengendalian operasional,
standar kinerja seringkali sangat singkat dijalankan. Sebagai contoh, standar dapat
menjadi rasio produktivitas dari batch barang sebelumnya. Dengan menggunakan
standar ini, tren produktivitas dalam tahun itu sendiri dapat dilacak. (Hansen,
Mowen, Gua, 2009 : 537).

4. Disadvantages of Partial Measures.

Tindakan parsial, yang digunakan dalam isolasi, bisa menyesatkan. Penurunan


produktivitas satu input mungkin diperlukan untuk meningkatkan produktivitas
orang lain. Seperti trade-off diinginkan jika biaya keseluruhan menurun, namun
efeknya akan terlewatkan dengan menggunakan ukuran parsial. Misalnya,
mengubah sebuah proses sehingga buruh langsung membutuhkan sedikit waktu
untuk merakit produk dapat meningkatkan skrap dan limbah sembari
meninggalkan total output tidak berubah. Produktivitas tenaga kerja meningkat,
namun penggunaan bahan yang produktif telah menurun. Jika kenaikan biaya
limbah dan skrap melebihi penghematan penurunan tenaga kerja, maka
produktivitas secara keseluruhan telah menurun.
Dua kesimpulan penting dapat diambil dari contoh ini. Pertama, kemungkinan
adanya trade-off mengamanatkan total ukuran produktivitas untuk menilai
manfaat keputusan produktivitas. Kedua, karena kemungkinan terjadinya trade-
off, ukuran total produktivitas harus menilai konsekuensi keuangan agregat dan,
oleh karena itu, harus merupakan ukuran finansial. (Hansen, Mowen, Guan, 2009
:537).

2.1.3. Total Productivity Measurement.

Mengukur produktivitas untuk semua input sekaligus disebut pengukuran


produktivitas total. Dalam prakteknya, mungkin tidak diperlukan untuk mengukur
pengaruh semua masukan. Banyak perusahaan mengukur produktivitas hanya
faktor-faktor yang dianggap sebagai indikator kinerja dan kesuksesan organisasi

6
yang relevan. Jadi, secara praktis, pengukuran produktivitas total dapat
didefinisikan sebagai fokus pada sejumlah masukan terbatas, yang, secara total,
menunjukkan keberhasilan organisasi. Dua pendekatan yang umum digunakan
adalah pengukuran profil dan pengukuran produktivitas terkait laba. (Hansen,
Mowen, Gua, 2009 :537).

1. Profile Productivity Measurement.

Memproduksi produk melibatkan banyak masukan penting seperti tenaga


kerja, bahan, modal, dan energi. Pengukuran profil memberikan serangkaian atau
vektor tindakan operasional parsial yang terpisah dan berbeda. Profil dapat
dibandingkan dari waktu ke waktu untuk memberikan informasi tentang
perubahan produktivitas.

2. Profit-Linked Productivity Measurement.

Menilai dampak perubahan produktivitas terhadap keuntungan saat ini adalah


salah satu cara untuk menghargai perubahan produktivitas. Keuntungan berubah
dari periode dasar ke periode sekarang. Beberapa dari perubahan laba itu
disebabkan oleh perubahan produktivitas. Mengukur jumlah perubahan
keuntungan yang diakibatkan oleh perubahan produktivitas didefinisikan sebagai
pengukuran produktivitas hasil-laba. Menghubungkan perubahan produktivitas
dengan keuntungan dijelaskan oleh peraturan berikut:

Profit-Lingkage Rule. Untuk periode sekarang, hitunglah biaya input yang


akan digunakan jika tidak ada perubahan produktivitas dan bandingkan biaya ini
dengan biaya input yang sebenarnya digunakan. Perbedaan biaya adalah jumlah
keuntungan yang berubah karena perubahan produktivitas.

Untuk menerapkan aturan keterkaitan, masukan yang akan digunakan untuk


periode berjalan tanpa adanya perubahan produktivitas harus dihitung. Anggaplah
PQ mewakili input input yang netral terhadap produktivitas ini. Untuk
menentukan kuantitas netralitas produktivitas untuk input tertentu, bagilah
keluaran periode sekarang dengan rasio produktivitas periode dasar input:

PQ = Rasio arus periode / rasio produktivitas periode-akhir

3. Price-Recovery Component.

7
The profit – linked measure menghitung jumlah perubahan keuntungan dari
periode dasar ke periode saat ini yang disebabkan oleh perubahan produktivitas.
Umumnya, ini tidak akan sama dengan total perubahan keuntungan antara kedua
periode tersebut. Perbedaan antara total perubahan laba dan perubahan
produktivitas yang terkait dengan laba disebut komponen pemulihan harga.
Komponen ini adalah perubahan pendapatan dikurangi perubahan biaya input,
dengan asumsi tidak ada perubahan produktivitas. Oleh karena itu, mengukur
kemampuan perubahan pendapatan untuk menutupi perubahan biaya input,
dengan asumsi tidak ada perubahan produktivitas.

2.1.4. Measurement Changes in Activity and Process Eficiency.

Sistem akuntansi tanggung jawab berbasis aktivitas berfokus pada


peningkatan efisiensi proses dan aktivitas. Seperti yang baru saja kita lihat, adalah
mungkin untuk mengukur nilai perubahan dalam efisiensi produktif dengan
menganalisis perubahan dalam hubungan input dan output dari waktu ke waktu.
Meskipun analisis dilakukan untuk produk yang diproduksi dan dijual, konsep
yang sama dapat diterapkan pada semua jenis output. Kegiatan, misalnya,
mengkonsumsi input seperti tenaga kerja, bahan, dan energi, dan menghasilkan
keluaran seperti jam inspeksi atau jumlah setup. Dengan demikian, dimungkinkan
untuk mengukur perubahan dalam aktivitas efisiensi produktif. Mengukur
perubahan dalam efisiensi aktivitas dapat menjadi bagian penting dari sistem
manajemen berbasis aktivitas. Analisis produktivitas kerja merupakan pendekatan
yang secara langsung mengukur perubahan dalam aktivitas produktifitas.
Demikian pula, sebuah proses menghasilkan output, dan juga memungkinkan
untuk mengukur produktivitas proses. Padahal, karena proses adalah kumpulan
kegiatan dengan tujuan bersama, perubahan produktivitas kegiatan harus
mempengaruhi produktivitas proses. Proses analisis produktivitas mengukur
perubahan dalam produktivitas proses. (Hansen, Mowen, Gue 2009 : 534)

1. Activity Productivity Analysis.

Suatu aktivitas dapat dipandang sebagai entitas yang mengubah input menjadi
sebuah output. Masukan adalah sumber daya yang dikonsumsi oleh suatu
kegiatan. Ingat bahwa sumber daya adalah elemen ekonomi yang memungkinkan
aktivitas dilakukan. Dengan demikian, pada dasarnya, sumber daya adalah input
atau faktor produksi yang digunakan oleh suatu kegiatan untuk menciptakan
outputnya. Masukan atau sumber daya ini identik dalam konsep dengan faktor-
faktor yang digunakan untuk menghasilkan produk: bahan, tenaga kerja, modal,
energi, dan sebagainya. Dengan demikian, kunci untuk analisis produktivitas kerja

8
adalah menentukan keluaran aktivitas dan ukuran keluaran aktivitas yang sesuai.
Setelah ukuran output teridentifikasi, maka analisis produktivitas profil dan profit-
linked dimungkinkan.

2. Process Productivity Analysis.

Proses didefinisikan oleh aktivitas dengan tujuan yang sama. Tujuan umum
biasanya didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh proses. Keluaran
proses menghabiskan aktivitas proses, yang pada gilirannya memakan sumber
daya (tenaga kerja, bahan, dll.). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
produktivitas proses didefinisikan oleh dua komponen: (1) perubahan dalam
efisiensi kegiatan yang mengkonsumsi sumber daya dan (2) perubahan efisiensi
konsumsi keluaran proses kegiatan.

3. Process Productivity Model.

Perubahan produktivitas total proses hanyalah jumlah dari dua komponen:


Efisiensi sumber daya + Aktivitas efisiensi keluaran. Pendekatan ini memiliki
keuntungan untuk memungkinkan aktivitas bernilai tambah dan non-nilai tambah
dipertimbangkan secara simultan. Jumlah kedua komponen tersebut harus
mengungkapkan efek perubahan yang benar pada kedua jenis kegiatan. Selain itu,
dimungkinkan untuk mengevaluasi pengaruh pada produktivitas proses akibat
trade-off antara aktivitas yang membentuk proses. Proses perbaikan atau inovasi
berarti menemukan cara baru untuk menghasilkan output proses. Hal ini dilakukan
dengan menggunakan seleksi aktivitas, pengurangan aktivitas, eliminasi aktivitas,
dan aktivitas sharing. Efeknya adalah mengubah campuran dan jumlah aktivitas
yang menentukan prosesnya. Proses analisis produktivitas menawarkan cara untuk
mengukur efek ekonomi aktual dan aktual dari perbaikan proses atau inovasi.

Analisis kemampuan menghasilkan laba dapat diterapkan pada jenis produk.


Analisis ini ditujukan untuk mendeteksi penyebab timbulnya laba atau rugi yang
dihasilkan oleh setiap jenis produk dalam periode akuntansi tertentu (Mulyadi,
2001 : 58).
Dalam menganalisis profitabilitas setiap jenis produk dapat digunakan dua
konsep biaya (Supriyono, 1993 : 215-216), diantaranya adalah sebagai berikut :
2.1.5. Konsep harga pokok penuh (full costing)

Pada konsep ini setiap pusat laba dihitung besarnya laba bersih dengan
mempertemukan penghasilan setiap pusat laba dikurangi semua biaya pada pusat

9
laba yang bersangkutan baik biaya tetap maupun biaya variabel. Langkah-langkah
yang ditempuh dalam menggunakan konsep ini adalah :

a. Menggolongkan penghasilan penjualan ke dalam setiap pusat laba yang


akan dianalisa.
b. Menggolongkan harga pokok penjualan untuk setiap pusat laba.
c. Menghitung laba kotor atas penjualan setiap pusat laba.
d. Mengalokasikan biaya pemasaran setiap fungsi pada setiap pusat laba.
e. Menghitung laba bersih sebelum diperhitungkan biaya administrasi dan
umum untuk setiap pusat laba.
f. Memperhitungkan biaya administrasi dan umum.
g. Menghitung laba bersih setiap pusat laba.

Dalam metode full costing, biaya overhead pabrik baik yang tetap maupun
variable dibebankan kepada produk yang diproduksi atas dasar biaya overhead
pabrik yang sesungguhnya. Oleh karena itu, biaya overhead pabrik tetap akan
melekat pada harga pokok persediaan produk dalam proses dan persediaan produk
jadi yang belum terjual, dan baru dianggap sebagai biaya apabila produk jadi
tersebut dijual.
Karena biaya overhead pabrik dibebankan kepada produk atas dasar tarif yang
ditetapkan dimuka pada kapasitas normal, maka jika dalam satu periode biaya
overhead pabrik sesungguhnya berbeda dengan yang dibebankan tersebut, akan
terjadi pembebanan biaya overhead pabrik lebih atau kurang. Metode full costing
menunda pembebanan biaya overhead pabrik tetap sampai produk terjual, jadi
masih dianggap aktiva. Jenis-jenis biaya dalam metode full costing diantaranya :
a. Biaya produksi, meliputi biaya dalam rangka pengolahan bahan baku
sampai dengan menjadi produk selesai siap jual. Biaya produksi meliputi
biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik.
b. Biaya non produksi, meliputi semua biaya bukan dalam rangka
pengolahan produk. Biaya ini meliputi biaya pemasaran, biaya
administrasi, dan biaya keuangan. Biaya pemasaran ditambah biaya
administrasi dan umum disebut dengan biaya komersial. Pada pendekatan
fungsional, semua biaya non produksi adalah biaya periode.

Keunggulan dan kelemahan harga pokok penuh (full costing)

1. Keunggulan harga pokok penuh (full costing).

10
a. Biaya overhead pabrik baik yang variable maupun tetap, dibebankan
kepada produk atas dasar tariff yang ditentukan dimuka pada kapasitas
normal atau atas dasar biaya overhead yang sesungguhnya.
b. Selisih biaya overhead pabrik akan timbul apabila biaya oeverhead pabrik
yang dibebankan berbeda dengan biaya overhead pabrik yang
sesungguhnya terjadi.
c. Jika semua produk yang diolah dalam periode tersebut belum laku dijual,
maka pembebanan biaya overhead pabrik lebih atau kurang tersebut
digunakan untuk mengurangi atau menambah harga pokok yang masih
dalam persediaan (baik produk dalam proses maupun produk jadi).
d. Merode ini akan menunda pembebanan biaya oeverhead pabrik tetap
sebagai biaya sampai saat produk yang bersangkutan dijual.

2. Kelemahan harga pokok penuh (full costing)

a. Dengan menggunakan metode full costing masalah penentuan harga


nampaknya sederhana saja. Yang harus dikerjakan adalah
memperhitungkan biaya-biaya produksi per unit, memutuskan berapa laba
yang diinginkan dan menentukan harga jual.
b. Pada dasarnya metode full costing mengasumsikan bahwa konsumen
membutuhkan barang sebanyak yang diperkirakan dan bersedia membayar
berapakah harga jual yang ditetapkan. Padahal dalam kenyataan nya
konsumen memiliki pilihan. Jika harga jual ditentukan terlalu tinggi, maka
mereka dapat membeli dari pesaing atau bahkan tidak sama sekali.
Beberapa manager percaya bahwa metode full costing dalam penentuan
harga jual lebih aman. Namun metode full costing hanya aman sepanjang
konsumen bersedia membeli barang seperti yang telah diperkirakan.

2.1.6. Konsep harga pokok variabel (variable costing)

Penggunaan konsep ini didorong oleh pemilihan alternative didalam


pengambilan keputusan dengan jalan menyajikan besarnya batas kontribusi
(contribution margin) setiap pusat laba untuk dapat menutup biaya tetap dan
menghasilkan laba. Langkah-langkah yang ditempuh dalam menggunakan konsep
ini adalah :

a. Menggolongkan penghasilan penjualan ke dalan setiap pusat laba yang


akan dianalisa.

11
b. Menggolongkan harga pokok penjualan variabel untuk setiap pusat laba.
c. Menghitung batas kontribusi kotor untuk setiap pusat laba.
d. Mengalokasikan biaya pemasaran variabel dari setiap fungsi ke dalam
setiap pusat laba.
e. Menghitung batas kontribusi (bersih) untuk setiap pusat laba.
f. Memperhitungkan biaya tetap langsung yang dapat diidentifikasikan
kepada setiap pusat biaya.
g. Menghitung laba bersih setiap pusat biaya sebelum dipertemukan dengan
biaya tetap tidak langsung dan biaya administrasi dan umum.
h. Memperhitungkan biaya tetap tidak langsung dan biaya administrasi dan
umum
i. Menghitung laba bersih.

Dalam pendekatan ini biaya-biaya yang diperhitungkan sebagai harga pokok


adalah biaya produksi variabel yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga
kerja langsung, dan biaya overhead pabrik variabel. Biaya-biaya produksi tetap
dikelompokkan sebagai biaya periodic bersama-sama dengan biaya non produksi.
Pendekatan variable costing dikenal sebagai contribution approach yang
merupakan suatu format laporan laba rugi yang mengelompokkan biaya
berdasarkan perilaku biaya dimana biaya-biaya dipisahkan menurut kategori biaya
variabel dan biaya tetap dan tidak dipisahkan menurut fungsi-fungsi produksi,
adminstrasi dan penjualan.

Keunggulan dan kelemahan konsep harga pokok variable (variabel costing)

1. Keunggulan harga pokok variabel (variable costing)


a. Alat perencana operasi
Rencana operasi atau rencana anggaran meliputi semua aspek operasi
dimasa yang akan dating yang dirancang untuk mencapai sasaran laba
yang telah ditetapkan. Dengan variable costing lebih mudah menghimpun
data untuk perencanaan laba yang telah ditetapkan. Tersedianya data
tentang biaya variable dan margin kontribusi memungkinkan manajemen

12
untuk mengambil keputusan secara cepat mengenai persoalan-persoalan
biaya yang dihadapi setiap hari.
b. Penetapan harga jual
Harga jual produk yang ditetapkan oleh suatu perusahaan, tentunya harga
jual yang dapat bersaing dipasaran. Penentuan harga jual bukan lah hal
yang mudah dilakukan. Harga jual yang terlalu tinggi dapat menyebab kan
perusahaan kalah dalam persaingan, sedangkan harga jual yang terlalu
rendah dapat berakibat tidak tercapainya tujuan perusahaan yaitu
tercapainya laba pada tingkat yang dikehendaki. Dengan variable costing
penentapan harga jual dapat lebih mudah dilakukan. Konsep margin
kontriusi memudahkan perusahaan untuk menentukan harga jual yang
dapat menutup biaya-biaya tetap seperti biaya gaji, biaya sewa, pajak dan
lain sebagainya.
c. Penentuan titik impas atau peluang produk.
Bila margin konstribusi dan biaya tetap diketahui ada cara perhitungan
yang sederhana untuk menentukan suatu keadaan perusahaan tidak
mengalami laba juga tidak mengalami rugi. Istilah keadaan yang demikian
dikenal dengan peluang pokok atau impas atau break even.
d. Alat pengendalian manajemen.
Laporan-laporan yang didaftarkan pada variable costing adalah jauh lebih
efektif daripada full costing untuk pengendalian manajemen. Hal ini
disebabkan oleh karena laporan-laporan tersebut dapat dihubungkan secara
lebih langsung dengan sasaran laba atau anggaran dalam periode yang
bersangkutan.

2. Kelemahan harga pokok variabel (variable costing).


a. Kesulitan dalam pemisahan biaya tetap dan biaya variable.
Untuk dapat diterapkan variable costing, biaya semi variable harus
dipisahkan kedalam biaya tetap dan biaya variable. Secara teoritis memang
tidak sulit namun dalam prakteknya tidak sepenuhnya bisa diterapkan.
b. Tidak dapat diterima untuk laporan extern.

13
Dalam prinsip akuntansi Indonesia 1984 (Ikatan Akuntansi Indonesia)
disebutkan bahwa “harga pokok barang yang diproduksi meliputi semua
biaya bahan baku langsung yang dipakai, upah langsung serta biaya
produksi tidak langsung, dengan memperhitungkan saldo awal dan saldo
akhir barang dalam pengolahan”. Hal ini berarti bahwa untuk perhitungan
dan pelaporan biaya produksi didasarkan pada konsep full costing.

2.2 Life Cycle Costing System


Life cycle costing adalah suatu metode untuk mengidentifikasikan dan
memonitor biaya-biaya atas suatu produk berdasarkan siklus hidupnya. Siklus
hidup meliputi semua tahapan mulai dari perencanaan produk dan pembelian
bahan baku hingga pengiriman dan pelayanan atas produk jadi. (Blocher, Stout
dan Cokins, 2010 : 12-13).

Tahapan-tahapan life cycle costing (Blocher, Stout dan Cokins, 2010 : 12-13)
mencakup :
1. Penelitian dan pengembangan.
2. Desain produk, mencakup membuat prototype (bentuk dasar), target
pembiayaan, dan pengujian.
3. Memproduksi, pemeriksaan, pengemasan dan pengangkutan ke gudang.
4. Memasarkan, mempromosikan dan distribusi.
5. Penjualan dan pelayanan.

Life cycle costing memberikan perspektif jangka panjang karena


mempertimbangkan semua biaya selama umur produk atau jasa. Apabila
diklasifikasikan dengan lebih signifikan makan total biaya selama siklus hidup
suatu produk dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Biaya hulu (upstream cost), terdiri atas riset dan pengembangan, desin
yang membuat prototype, pengujian teknis dan pengembangan kualitas.
2. Biaya produksi, teridri atas pembelian, biaya produksi langsung, biaya
produksi tidak langsung.
3. Biaya hilir (downstream cost), terdiri atas pemasaran dan distribusi
pengemasan, pengangkutan.

The Cost Life Cycle Product


desain

produksi
ngan
Pengemba
Riset &

&distribusi
Pemasaran

pelanggan
pada
Pelayanan

14
Biaya Hulu (Upstream Cost) Biaya Hilir (Downstream Cost)

Life Cycle Costing

1. Biaya Hulu (Upstream Cost)


a. Desain
Karena manajer mempertimbangkan biaya hulu dan hilir, pengambilan
keputusan pada tahap desain merupakan sesuatu yang penting. Meskipun biaya
yang terjadi pada tahap desain mungkin hanya merupakan presentase yang kecil
dari total selama biaya siklus hidup, keputusan pada tahap desain membuat
perudahaan berkomitmen pada rencana produksi, pemasaran dan layanan yang
ada.
Oleh karena itu, biaya desain mempengaruhi sebagian besar lainnya yang
dikeluarkan selama siklus produk tersebut. Faktor – faktor penentu keberhasilan
pada tahap desain adalah sebagai berikut :

 Mempercepat waktu peluncuran ke pasar


 Menurunkan biaya layanan/perbaikan yang diharapkan
 Mempermudah produksi
 Merencanakan dan mendesain proses

Ada empat metode desain yang umum sebagai berikut :


 Rekayasa Teknik Dasar
Merupakan teknik dimana desainer produk bekerja secara terpisah dari fungsi
pemasaran dan produksi untuk mengembangkandesain dengan rencana dan
spesifikasi khusus.
 Pembuatan Prototipe
Merupakan mode dimana model – model fungsional dikembangkan dan di uji
coba oleh para teknisi dan pemakaian yang dipilih untuk percobaan.
 Templating
Merupakan metode desain produk yang ada pada saat ini ditambahkan atau
dikurangi agar sesuai dengan spesifikasi produk baru yang diharapkan.
 Rekayasa Simultan
Merupakan perkembangan penting baru yang merupakan pengganti pendekatan
rekayasa dasar, sebaliknya rekayasa simultan merupakan pendekatan yang
terintegrasi, dimana proses desain/teknis dilakukan selama siklus hidup biaya oleh
tim –tim lintas fungsi.

15
b. Pengujian
Proses dan materi pengujian yang dipilih biasanya dilakukan dengan
menerapkan dengan teknik-tenik ekperimental secara formal dan sekaligus
dijadikan landasan untuk tahap perencanaan berikutnya yang lebih mendetail,
yang nantinya akan diuji. Pada tahap pelaksanaan masih akan dilakukan pengujian
lebih lanjut, sampai dihasilkan produk yang benar-benar optimal hingga dapat
dianggap selesai.

c. Pengembangan Kualitas
Dalam zaman quality assurance, konsep kualitas mengalami perluasan, dari
konsep yang sempit, hanya terbatas pada tahap produksi, ke tahap desain dan
koordinasi dengan departemen jasa (seperti perencanaan dan pengendalian
produksi, pergudangan). Dalam zaman ini pula diperkenalkan konsep total quality
control (TQC) oleh armand Feigenbaum pada tahun 1956. Menurut Feigenbaum,
kualitas produk tidak hanya ditentukan oleh pekerjaan manufaktur, namun lebih
luas dari itu, keterlibatan pemasok, desain dan pengembangan produk, dan kerja
tim antar fungsi.

2. Biaya Produksi

Biaya produksi meliputi semua biaya yang berhubungan dengan fungsi


produksi yaitu semua biaya dalam rangka pengolahan bahan baku menjadi produk
selesai yang siap untuk dijual. Biaya produksi dapat digolongkan ke dalam tiga
kelompok yaitu :

a. Biaya Bahan Baku


Bahan baku adalah berbagai macam bahan yang diolah menjadi produk selesai
dan pemakaiannya dapat diidentifikasikan secara langsung, atau diikuti jejaknya,
atau merupakan bagian dari produk tertentu. Biaya bahan baku adalah harga
perolehan berbagai macam bahan baku yang dipakai di dalam kegiatan
pengolahan produk.

b. Biaya Tenaga kerja Langsung


Tenaga kerja langsung adalah tenaga kerja yang jasanya dapat
diidentifikasikan atau diikuti jejak manfaatnya pada produk tertentu. Biaya tenaga
kerja langsung adalah balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada tenaga
kerja langsung dan jejaknya manfaatnya dapat diidentifikasikan pada produk
tertentu.

16
c. Biaya Overhead Pabrik
Biaya overhead pabrik adalah biaya produksi selain biaya bahan baku dan
biaya tenaga kerja langsung, contohnya seprti biaya reparasi dan pemeliharaan
aktiva tetap pabrik.
 Biaya Produksi Langsung
Biaya langsung, berkaitan dengan obyek biaya tertentu dan dapat ditelusuri ke
obyek biaya tersebut dengan cara yang layak secara ekonomi (efektif-biaya).
Contoh; biaya kaleng atau botol untuk produk teh botol.
 Biaya Produksi Tak Langsung
Berkaitan dengan obyek biaya tertentu namun tidak dapat ditelusuri ke obyek
biaya tersebut dengan cara yang layak secara ekonomi (efektif-biaya).
Contoh; biaya gaji supervisor

3. Biaya Hilir (Downstream Cost)

 Biaya pemasaran
Biaya Pemasaran adalah meliputi semua dalam melaksanakan kegiatan pemasaran
atau kegiatan untuk menjual barang dan jasa perusahaan kepada para pembeli
sampai dengan pengumpulan piutang menjadi kas. Sesuai dengan fungsi
pemasaran, biaya pemasaran digolongkan menjadi :
1). Biaya untuk menimbulkan pesanan, contohnya seperti biaya promosi dll.
2). Biaya untuk melayani pesanan, diantaranya :
 Biaya fungsi penggudangan dan penyimpanan produk selesai
 Biaya fungsi pengepakan dan pengiriman
 Biaya fungsi pemberian kredit dan penagihan piutang
 Biaya fungsi administrasi penjualan.

 Biaya Promosi
Biaya promosi merupakan sejumlah dana yang dikucurkan perusahaan ke dalam
promosi untuk meningkatkan penjualan. Biaya Promosi dapat dikategorikan
sebagai biaya langsung apabila terkait langsung dengan suatu produk atau proyek.
Tetapi apabila Biaya Promosi ini bersifat umum untuk seluruh kegiatan
perusahaan, ia dapat dikategorikan sebagai biaya operasi.

 Biaya Layanan Konsumen


Biaya Layanan konsumen adalah sekumpulan biaya yang dikeluarkan untuk
mengevaluasi, mendapatkan, dan menggunakan produk atau jasa tersebut.

Adapun pengelompokkan elemen biaya dalam life cycle costing dibagi


menjadi empat bagian utama, yaitu :

17
1. Non-recuring cost, meliputi biaya planning, designing, dan testing yang
terjadi pada tahap pengembangan suatu produk.
2. Manufacturing cost, meliputi biaya bahan, biaya tenaga kerja langsung ,
serta biaya overhead pabrik yang terjadi selama proses pembuatan produk.
3. Logistic cost, meliputi biaya iklan, biaya distribusi yang terjadi selama
proses pembuatan produk.
4. Customer’s post purchase cost meliputi biaya purna jual, garansi dan
maintenance (perawatan) yang terjadi setelah produk ada di konsumen.

Ada 3 tujuan dari penggunaan life cycle costing system (Kaplan, Anthony,
1998 : 236) adalah :
1. Life cycle costing membantu untuk mengembangkan pemahaman atas
kesadaran biaya yang dihubungkan atas suatu produk dengan maksud
untuk mengidentifikasi laba yang akan diperoleh selama siklus hidup
produk. Tahapan-tahapan ini akan mencover seluruh biaya didalam
tahapan pengembangan dan pengrestorasian. Life cycle costing juga
digunakan untuk mengidentifikasi produk yang tidak lagi menguntungkan,
ketika biaya restorasi di pabrik menjadi proses evaluasi produk.
2. Karena pertimbangan cakupan biaya yang luas, life cycle costing akan
mengidentifikasikan konsekuensi biaya lingkungan produk dan akan
mendorong tindakan untuk mengurangi atau mengeliminasi biaya-biaya
tersebut.
3. Life cycle costing membantu untuk mengidentifikasi biaya perencanaan
dan restorasi selama siklus hidup produk serta tahapan proses desain.
Dengan maksud untuk mengontrol dan mengawasi biaya didalam setiap
tahapannya. Secara umum life cycle costing menyediakan penekanan
akuntansi atas biaya suatu produk untuk memolong management untuk
pegambilang keputusan didalam memahami kosenkuensi biaya yang akan
muncul didalam pembuatan suatu produk.

Adapun batasan-batasan didalam penerapan system life cycle costing (CMA Text
Book, 2014 : 88) adalah :
1. Ketika life cycle costing digunakan untuk memperluas biaya dari aktiva tetap
berdasarkan siklus hidup suatu produk, asumsi yang dapat dibuat bahwa
aktiva tetap akan menjadi produktif di tahun sesudahnya ketika mereka
diperbarui. Ini akan menjadi asumsi yang tidak akurat karena bagian-bagian
dari perlengkpan pada akhirnya dapat berjalan lamban, sehingga
menghasilkan output dan profut yang rendah untuk mencapai akhir siklus
hidupnya.
2. Estimasi yang akurat dari biaya operasional dan pemeliharaan untuk suatu
produk selama seluruh siklus hidupnya menjadi sangat sulit.

18
3. Peningkatan biaya atas siklus hidup produk perlu untuk dipertimbangkan.
4. Life cycle costing memerlukan waktu dan sumber yang luas sehingga
pengeluaran biaya dapat lebih banyak daripada keuntungan.

2.2.1. Target Costing

Kalkulasi biaya target (target costing) adalah suatu metode penentuan biaya
produk atau jasa berdasarkan harga (harga target) dimana pelanggan bersedia
membayarnya. Ini juga sering disebut sebagai kalkulasi biaya berdasarkan harga
(price-driven costing). Menurut metode ini, perusahaan menetapkan biaya produk
yang dianggap sesuai dengan keadaan pasar, menentukan laba yang diinginkan,
baru kemudian menentukan harga jual produk tersebut kepada masyarakat.

Kebanyakan perusahaaan Amerika, dan hampir semua perusahaan Eropa,


menetapkan harga produk baru sebagai penjumlahan dari biaya dan laba yang
diinginkan. Logikanya adalah bahwa perusahaan harus menghasilkan pendapatan
yang cukup untuk menutup semua biaya dan menghasilkan laba. Menurut Peter
Drucker, “hal ini benar tetapi tidak relevan : pelanggan tidak melihat hal itu
sebagai pekerjaan mereka untuk menjamin pabrikan mendapatkan laba. Satu-
satunya cara yang baik menetapkan harga adalah mengetahui berapa yang ingin
dibayar oleh pasar. Kalkulasi biaya target merupakan metode pengerjaan terbalik
dari harga untuk menentukan biaya. Departemen pemasaran menetapkan
karakteristik dan harga produk yang paling dapat diterima pelanggan, yang
selanjutnya adalah tugas teknisi perusahaan untuk mendesain serta
mengembangkan produk sedemikian rupa sehingga biaya dan laba dapat ditutupi
oleh harga.
Perbedaan antara harga jual produk / jasa yang diperlukan untuk mencapai
pangsa pasar (market share) tertentu dengan laba persatuan yang diharapkan
disebut dengan target costing, Jika target cost dibawah cost produk yang sekarang
dapat dicapai, maka manajemen harus merencanakan program pengurangan biaya
untuk menurukan biaya yang sekarang dikonsumsi untuk menghasilkan produk ke
target cost. Kemajuan yang dicapai dari program pengurangan biaya tersebut
diukur dengan membandingkan biaya yang sesungguhnya dengan target cost.

19
2.2.2. Customer Orientation (Orientasi Pelanggan)

Orientasi pelanggan dapat dinyatakan melalui luasnya monitoring atas


komitmen karyawan terhadap pelanggan atau pengembangkan strategi bersaing
yang di dasarkan pada pemahaman atas kebutuhan serta pemahaman manajemen
atas bagaimana bisnis dapat menciptakan customer value. Orientasi pelanggan
menghasilkan sebuah logika yang lain yaitu sebagai hasil dari intensitas
penggarapan kebijakan yang berorientasi pasar, perusahaan memiliki peluang
untuk dapat membentuk persepsi pelanggan atas nilai-nilai yang dibangunnya dan
nilai nilai yang dirasakan itu akan menghasilkan nilai kepuasan pelanggan
(customer satisfaction).
Kepuasan konsumen, merupakan perasaan di mana produk telah sesuai atau
melebihi harapan konsumen. Menjaga kepuasan konsumen lama merupakan
sesuatu yang sangat penting seperti halnya menarik orang baru yang relatif tidak
mahal. Perusahaan yang memiliki reputasi dalam memberikan kepuasan yang
tinggi kepada konsumen, selalu melakukan sesuatu yang berbeda dibandingkan
para pesaingnya. Manajemen puncak dan seluruh karyawan harus memahami
hubungan antara pekerjaan mereka dengan upaya upaya untuk memberikan
kepuasan kepada konsumennya. Mengacu pada pendapat dapat dijelaskan bahwa
orientasi pelanggan merupakan respon perusahaan dalam upaya memahami dan
mengenali dengan baik mengenai kebutuhan dan keinginan pelanggannya dengan
cara menyajikan value yang terbaik serta memberikan kepuasaan bagi pelanggan,
sehingga mendorong upaya inovasi yang selaras dengan kebutuhan pelanggan
serta memacu pertumbuhan penjualan menjadi lebih baik.

2.2.3. The Target Costing Process

a. Karakteristik Target Costing

Beberapa karakteristik target costing adalah sebagai berikut. Pertama, proses


pengurangan biaya menggunakan target cost dimulai dari riset pasar yang
memiliki dua tujuan yaitu memahami kebutuhan konsumen dan melakukan riset
harga kompetitif produk yang ada di pasar (berapa harga yang mau dibayar oleh
konsumen atau harga produk yang sama milik kompetitor). Proses awal ini
seringkali disebut dengan market driven costing.
Karakteristik kedua dari sistem target costing adalah penentuan awal
target profit margin selama perencanaan produk produk masa depan. Target profit
total untuk produk di masa depan dapat berasal dari rencana laba jangka
menengah dan data tersebut dapat diperoleh dari data bisnis strategi selama 3-5
tahun. Target profit masa depan dapat dikonversi menjadi target profit perunit
produk. Karakteristik ketiga dari target costing adalah bahwa target biaya diatur
pada awal proses pengembangan produk baru, sebelum desain dan pengembangan

20
benar-benar mulai. Keputusan tingkat yang sesuai dari target biaya untuk produk
baru memerlukan beberapa pertimbangan.
Karekteristik keempat yaitu target cost dibagi menjadi target cost untuk
fungsi-fungsi, perakitan, bagian, supplier dan desainer. Dalam karakteristik ini ada
dua metode alokasi yaitu alokasi berorientasi fungsi dan alokasi berorientasi
komponen. Karakteristik kelima yaitu implementasi target cost membutuhkan
kerjasama lintas departemen/fungsi. Perusahaan yang menggunakan target costing
harus merangsang kerjasama multidisiplin dari individu-individu yang berbeda
untuk bekerja sama. Kerjasama multidisipliner sangat penting, karena
pengurangan biaya yang berhasil harus menyeimbangkan semua pengembangan
produk baru tujuan seperti biaya, kualitas dan masalah fungsionalitas.
Karakteristik keenam yaitu adanya informasi biaya yang rinci untuk
mendukung proses pengurangan biaya. Untuk melihat dampak dari desain pada
biaya dan memantau proses pengurangan biaya maka desainer harus
memperkirakan biaya produk untuk masa depan selama proses pengembangan.
Desainer membutuhkan informasi biaya yang rinci setiap saat tidak hanya dalam
tahap pengembangan produk baru. Desainer harus selalu memperkirakan produksi
terus menerus sehingga memerlukan informasi biaya yang rinci. Karakteristik ke
tujuh yaitu target costing melibatkan perbadingan drifting cost dari produk masa
depat dengan target cost dalam tahap berbeda di pengembangan produk baru.
Dalam setiap bisnis mengikuti urutan proses yang formal, dalam hal ini biaya
selalu diestimasi dalam tahap tertentu dalam proses. Drifting cost adalah biaya
yang diestimasi berdasarkan produk yang sedang berjalan. Karakteristik terakhir
yaitu target cost tidak dapat ditingkatkan. Karakteristik ini diterapkan dengan
disiplin oleh perusahaan di Jepang. Tiga hal yang menyebabkan target cost tidak
bisa ditingkatkan yaitu kapanpun biaya meningkat selama proses pengembangan
produk baru maka harus ada penurunan biaya di tahap yang lain dengan
penjumlahan total yang sama. Kedua, mengeluarkan produk dengan biaya diatas
target tidak diperbolehkan, hanya produk yang mampu mendatangkan keuntungan
yang dilempar ke pasar. Ketiga, proses produksi dikelola dengan teliti untuk
memastikan bahwa target cost tercapai.

b. Process Target Costing

Dalam proses target costing cost analysis dan rekayasa nilai (value
engineering) sangat penting dalam melakukan pengurangan biaya. Melalui cost
analysis perusahaan melakukan beberapa aktivitas yaitu :
1. Mengembangkan daftar komponen dan mengidentifikasi fungsi produk.
Melalui aktivitas ini maka dapat diidentifikasi komponen dan fungsi mana
dari produk yang dibutuhkan untuk memuaskan pelanggan dan biaya apa
saja yang muncul akibat komponen dan fungsi produk tersebut.

21
2. Merinci biaya fungsional. Setiap komponen dan bagian dari produk
memiliki fungsi spesifik. Melalui aktivitas ini dapat diestimasi biaya yang
dikeluarkan.
3. Menentukan urutan relatif (ranking) dari kebutuhan pelanggan. Pada
tahapan ini dapat dibuat survey konsumen mengenai bagian mana yang
paling dibutuhkan/diminati pelanggan.
4. Menghubungkan bentuk dengan fungsinya. Karena setiap komponen
memiliki fungsi dari produk dan merupakan parameter desain kunci, pada
tahap ini menghubungkan ranking pelanggan yang menyatakan komponen
mana yang sesuai dengan permintaan pelanggan. Quality Function
Deployment Matrix biasanya digunakan pada tahap ini. Dalam matrix ini
terdapat informasi susunan secara sistematis tentang bentuk, fungsi, dan
evaluasi yang berkenaan dengan persaingan. Matrix ini merupakan alat
yang sangat berguna untuk target costing karena menonjolkan hubungan
antara kompetisi yang terjadi, keperluan konsumen, dan parameter desain.
5. Mengembangkan ranking fungsional secara relatif. Fungsi dari sebuah
produk sangat penting bagi konsumen sehingga dalam proses ini
perusahaan membagi persentase kontribusi dari setiap komponen untuk
kebutuhan konsumen.
Terdapat dua aktivitas dalam value engineering yaitu mengindentifikasi
komponen untuk mengurangi biaya dan menghasilkan ide pengurangan biaya.
Value engineering (rekayasa nilai) digunakan dalam target costing untuk
menganalisis fungsi-fungsi produk berdasarkan preferensi konsumen pada biaya
yang tertendah tanpa mengurangi kualitas, keamanan, kemampuan didaur ulang,
kegunaan, kemampuan, keawetan, dan keandalan produk. Value engineering
memiliki dua aktivitas yaitu mengidentifikasi komponen-komponen untuk
pengurangan biaya dan menghasilkan ide-ide untuk pengurangan biaya.
Berdasarkan kualitasnya klasifikasi produk dibagi dua kelompok, yaitu :
1. Produk yang fungsionalnya relative mudah ditambah/dikurangi merupakan
kelompok produk yang sering berubah model (dapat dikatakan mengikuti
trend dan sangat digemari oleh konsumen), contoh mobil, asesoris,
elektronik, handphone. Karena cepat sekali berubah maka life cycle
produk ini pendek sehingga produsen dituntut untuk dapat memiliki
inovasi dan kreativitas. Value engineering yang dibutuhkan untuk produk
ini adalah analisis fungsional yaitu melalui pengkajian kinerja dan biaya
dari masing-masing fungsi produk. Proses benchmarking dapat dijalankan
dalam proses ini.
2. Kelompok produk yang fungsionalitasnya relatif stabil contohnya adalah
alat-alat kedokteran, peralatan pabrik, konstruksi. Jika perusahaan
bergerak dalam industri ini maka mereka harus menghasilkan produk yang

22
memiliki fungsional sebaik mungkin. Value engineering yang digunakan
adalah analisis desain.

c. Asumsi/kelemahan/kelebihan Target Costing

Menurut Atkinson (2007) target costing memiliki beberapa kelemahan yaitu:


1. Kurangnya pemahaman konsep target costing. Karena target costing
pertama kali ditemukan di Jepang, maka ketika dibawa keluar Jepang tidak
semua pengguna memahami dengan baik konsep target costing. Akibatnya
banyak senior manajemen yang menolak ide ini.
2. Implementasi yang kurang dalam konsep teamwork. Pengurangan biaya
yang dilakukan dalam sebuah unit kerja seringkali tidak dilakukan di unit
kerja yang lain. Sebagai contoh ketika departemen produksi berhasil
mengelola biaya sehingga berhasil melakukan pengurangan biaya, namun
departemen lain misalya administrasi, pemasaran, dan distribusi malah
memboroskan biaya. Sehingga perusahaan yang akan mengadopsi target
costing harus mengadaptasi tingkat kerjasama tim, kepercayaan, dan
kerjasama agar target costing dapat sukses.
3. Penyebab karyawan terlalu lelah. Karyawan di banyak perusahaan Jepang
yang menerapkan target costing mengalami kelelahan yang luar biasa
karena adanya tekanan untuk memenuhi target biaya.
4. Waktu pengembangan yang terlalu lama. Walaupun biaya target terpenuhi
namun waktu pengembangan akan meningkat karena adanya pengulangan
dalam siklus value engineer untuk menurunkan biaya, sehingga produk
dapat terlambat sampai ke pasar
Target costing memungkinkan perusahaan untuk mengurangi biaya selama
desain daripada mereduksi biaya setelah proses desain. Target costing
memastikan profitabilitas dalam jangka pendek dan panjang, karena produk yang
dihasilkan memiliki margin rendah atau tidak menguntungkan selama
pengembangan produk baru dapat dengan cepat jatuh. Tim desain dalam target
costing berfokus pada pelanggan utama dan kesediaan mereka untuk membayar
fitur produk. Penggunaan target costing juga memaksa manajemen untuk
menentukan kualitas, fitur dan masalah waktu awal dalam proses dan untuk
menyeimbangkan biaya dan fitur terhadap kesediaan pelanggan untuk membayar.

d. Target Costing dalam Praktek

Cooper dan Slagmulder (1999) meneliti praktek penerapan target costing di


beberapa perusahaan besar di Jepang yaitu Isuzu Motor, Olympus Optical
Company Ltd., Komatsu Ltd., Nissan Motor Corporation, Sony Corporation, dan

23
Topeon Corporation. Perusahaan kamera Olympus dalam menetapkan harga
jualnya ternyata tidak hanya menggunakan harga pesaing namun mereka juga
menggunakan produk lain untuk melakukan set up harga misalnya produk CD
maupun barang elektronik lainnya. Berbeda dengan Topcon yang menggunakan
harga berdasarkan produk milik competitor. Nissan dalam menentukan target
profit di masa depan mempertimbangkan informasi mengenai pelanggan bauran
produk (Cooper, 1994 dalam Evaraeret, 2006). Perusahaan-perusahaan ini berhasil
menerapkan target costing berdasarkan ciri khas perusahaan mereka masing-
masing. Mereka menemukan bahwa keefektifan target costing adalah pada
disiplin.
Dekker dan Amidt melakukan survey target costing di Jepang dan melaporkan
bahwa 61 persen dari perusahaan manufaktur yang diteliti digunakan target
costing. Mereka juga. melakukan survei serupa di Belanda dan menemukan
tingkat adopsi 59 persen. Namun, responden memberikan berbagai nama dan
deskripsi untuk praktek target costing, menunjuk ke banyak perbedaan antara
sistem mereka dan definisi target costing (Dekker andSmidt, 2003 di Evaraeret
dkk, 2006).
Penelitian Kroll (1997) menunjukkan bahwa target costing digunakan oeh 800
persen perusahaan Jepang yang bergerak dalam perakitan. Boer dan Etlite (1999)
menyatakan bahwa 100 persen perusahaan mobil Jepang sudah menggunakan
target costing. Sedangkan di Amerika hanya 40 persen yang menggunakan target
costing (Pierce, 2002)
Daimler Benz menggunakan target costing pada tahun 1990an ketika
mengembangkan mobil sportnya. Perusahaan melakukan wawancara dan analisis
pasar dalam menentukan harga jualnya. Perusahaan menentukan return per mobil
berdasarkan harga jual yang ditargetkan dikurangna dengan target cost. Sebagai
bagian dari target costing, perusahaan menggunakan benchmarking dalam
prosesnya untuk meningkatkan performa mobilnya. Tujuan yang ingin dicapai
yaitu meningkatkan produktivitas, kompetisi, dan kualitas serta penurunan biaya
produksi (Albright and Lam, 2006). Perusahaan Montclair Paper Mill, sebuah
perusahaan di Amerika menerapkan target costing pada departemen yang
memproduksi kertas. Hasil yang diperoleh selama menggunakan target costing
disimpulkan bahwa target costing merupakan alat yang sangat proaktif dalam
mengurangi biaya di perusahaan yang menggunakan standard costing yang tidak
efisien. Walaupun pada awalnya manajemen Montclair sama sekali tidak
mempunyai ide untuk menerapkan target costing namun pada akhirnya mereka
melihat keunggulan target costing (Shank dan Fisher, 1999).
ITT automotive menggunakan target costing untuk mempertahankan profit
dan meningkatkan market share selama masa kompetisi yang tinggi dalam dunia
otomotif. Walaupun prosesnya sulit dan sumberdaya yang ahal dibutuhkan untuk

24
memiliki target costing yang efekti, namun ITT automotive menemukan bahwa
investasi sangat penting untuk mencapai tujuan perusahaan. Target costing
memiliki filosofi bottom-up dan orientasi tim. Target costing adalah metode yang
terstruktur dalam menetapkan dan mencapai tujuan. Supaya target costing
berhasil, maka penetapan tim lintas fungsional tidak cukup. Yang lebih penting
yaitu komitmen top manajemen dalam proses target costing. Senior manajer harus
mengalokasikan sumberdaya yang dibutuhkan dan harus memberdayakan tim
yang terdiri dari lintas fungsional dalam mengambil keputusan (Smelgze dan
Rolf, 1996).

2.2.4. Kaizen Costing

Kaizen berasal dari kata KAI artinya perbaikan dan ZEN artinya baik. Kaizen
diartikan sebagai perbaikan terus menerus (continous improvement). Ciri kunci
manajemen kaizen antara lain lebih memperhatikan proses dan bukan hasil,
manajmen fungsional-silang dan menggunakan lingkaran kualitas dan perlatan
lain untuk mendukung peningkatan yang terus menerus.
Menurut Supriyono (1993), pengertian kaizen costing yaitu: “Kaizen costing
adalah perbaikan secara terus-menerus yang didukung proses pengurangan biaya
dalam tahap pemanufakturan produk yang sudah ada.” Perusahaan yang
menerapkan kaizen costing dengan melakukan perubahan secara bertahap dan
berkesinambungan, biasa disebut dengan continuous improvemen.

a. Tujuan Kaizen

1. Pemeliharaan, kegiatan pemeliharaan teknonogi, sistem manajemen, dan


standar operasional yang ada sekaligus menjaga standar tersebut melalui
pelatihan serta disiplin dengan tujuan agar semua karyawan dapat
mematuhi prosedur pengoperasian standar (Standard Operating Procedure
- SOP) yang telah ditetapkan.
2. Perbaikan, kegiatan yang diarahkan pada meningkatkan standar yang ada.

b. Sasaran Kaizen

Karena konsumen tidak mau menanggung biaya-biaya yang tidak perlu


tersebut. Sasaran akhir kaizen adalah tercapainya Kualitas, Biaya, Distribusi
(Quality, Cost, Delivery-- QCD). Pada praktiknya kaizen menempatkan kualitas
pada prioritas tertinggi. Kaizen mengajarkan bahwa perusahaan tidak akan
mampu bersaing jika kualitas produk dan pelayanannya tidak memadai, sehingga
komitmen manajemen terhadap kualitas sangat dijunjung tinggi. Kualitas yang
dimaksud dalam QCD bukan sekedar kualitas produk melainkan termasuk
kualitas proses yang ditempuh dalam menghasilkan produknya.

25
c. Manfaat Teori Kaizen

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam penerapan Teori Kaizen dapat
berupa :
1. Setiap orang akan mampu menemukan masalah dengan cepat.
2. Setiap orang akan memberikan perhatian dan penekanan pada tahap
perencanaan.
3. Mendukung cara berfikir yang berorientasi proses.
4. Setiap orang berkonsentrasi pada masalah-masalah yang lebih penting dan
mendesak untuk diselesaikan.
5. Setiap orang akan berpartisipasi dalam membangun sistem yang baru

d. Prinsip Kaizen

Kaizen mengandung sepuluh prinsip:

1. Berfokus kepada pelanggan Fokus utama kaizen adalah kualitas produk,


tetapi tujuan terpenting kaizen adalah kepuasana pelanggan. Segala
sesuatu /aktifitas yang tidak menambah nilai produk atau meningkatkan
kepuasan pelanggan merupakan pengeluaran biaya yang tidak perlu.
2. Mengadakan Peningkatan Terus Menerus Dalam kaizen, suatu
keberhasilan bukanlah hasil akhir tetapi merupakan awal untuk melangkah
ke tahap
3. berikutnya karena suatu keberhasilan merupakan factor dalam
meningkatkan semangat untuk mencapai keberhasilan yang lain.
4. Mengakui Masalah Secara Terbuka Membangun budaya yang tidak saling
menyalahkan, sehingga para karyawan dalam perusahaan kaizen dapat
mengakui kesalahan secara terbuka, dengan sadar menunjukan kelemahan
dari prosesnya dan meminta bantuan jika tidak mampu
mengatasinya.Keterbukaan tersebut merupakan suatu kekuatan yang bisa
mengendalikan dan mengatasi berbagai masalah dengan cepat serta
meningkatkan kesempatan-kesempatan perbaikan.
5. Mempromosikan Keterbukaan Ilmu pengetahuan bagi kaizen adalah untuk
saling dibagikan dan hubungan-hubungan komunikasi yang
mendukungnya merupakan sumber efisiensi.
6. Menciptakan Tim Kerja Dalam Kaizen, Tim adalah fondasi yang
membentuk struktur organisasi. Melalui keikutsertaan para karyawan
dalam tim, perusahaan mendapatkan keuntungan dari karyawannya.
Kerjasama tim ini dapat menanamkan rasa saling memiliki,
tanggungjawab kolektif, dan berorientasi pada perusahaan serta dapat
memperkuat keterbukaan, saling berbagi dan komunikasi.
7. Memanajemen Proyek Melalui Tim Fungsional-silang Proyek perusahaan
kaizen direncanakan dan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya
antar-departemen atau fungsional-silang serta sumber daya yang berasal
dari luar perusahaan. Hal itu dilakukan untuk mengurangi biaya,

26
mengontrol pemborosan sampai tingkat tertentu serta memuaskan
pelanggan.
8. Memelihara Proses Hubungan yang Benar Perusahaan jepang melakukan
segala sesuatu yang mampu mereka lakukan supaya terpelihara
keharmonisan dalam hubungan antar-manusia terutama para staff, manajer
dan para pemimpin tim. Hubungan tersebut dapat menumbuhkan loyalitas
dan komitmen dari karyawan.
9. Mengembangkan Disiplin Pribadi Disiplin pribadi di tempat kerja
merupakan sifat alamiah orang Jepang
10. Memberikan Informasi pada Semua Karyawan Berbagi informasi
merupakan hal yang sangat penting dalam perusahaan Kaizen. Dengan
memberikan informasi yang penting pada setiap orang maka tantangan
perusahaan berubah menjadi tantangan pribadi. Informasi ini juga
merupakan langkah penting untuk menciptakan budaya berdasarkan
pengetahuan.
11. Memberikan Wewenang Kepada Setiap Karyawan Dalam pelaksanaan
kaizen, setiap karyawan diberikan wewenang untuk melakukan perubahan
kearah yang lebih baik dengan kata lain melibatkan peran karyawan dalam
melakukan peningkatan.

e. Penerapan Kaizen

Dalam menerapkan Kaizen, para pemimpin perusahaan atau organisasi di


negara Jepang berpegang pada dua prinsip, antara lain : Memerlukan proses atau
cara kerja yang baik untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan proses atau
cara kerja demikian, kita bisa bekerja lebih cekatan (bukan bekerja lebih berat).
Untuk mendapatkan proses yang baik, para pemimpin perusahaan perlu
mengetahui sumber masalah-masalah, kemudian meminta ide/gagasan/solusi dari
semua karyawannya. Bagaimanapun juga, merekalah yang menjalani pekerjaan
sehari- hari/dekat dengan pekerjaannya. Biasanya, solusi terbaik adalah solusi
yang paling sederhana, logis, dan mudah dilaksanakan.
Memilih gagasan-gagasan yang sekiranya bisa atau memungkinkan untuk
dilaksanakan kemudian menrapkannya dan bersabar menunggu hasilnya.
Ternyata, satu perbaikan kecil yang dilakukan dalam perusahaan atau organisasi
akan dapat menghasilkan dampak yang besar, dimana waktu dan uang dapat
dihemat. Para karyawan pun semakin bersemangat kerja, karena mereka melihat
ide-ide mereka diterima dan dilaksanakan oleh perusahaan.

2.2.5. Alat Biaya Lainnya.

1. Cost Of Quality

Biaya kualitas (costs of quality) merupakan biaya yang terjadi atau mungkin
akan terjadi karena adanya kualitas yang rendah. Berdasarkan definisi tersebut
maka biaya kualitas dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu biaya kualitas
yang berkaitan dengan aktivitas pengendalian (control activity) dan biaya yang

27
berkaitan dengan aktivitas kegagalan (failure activity). Aktivitas pengendalian
dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas. Sedangkan aktivitas
kegagalan terjadi karena adanya kegagalan dalam menjalankan aktivitas atau
adanya produk yang berkualitas rendah. Pemahaman biaya kualitas akan
membantu perusahaan dalam menganalisis dan meningkatkan kesesuaian kualitas
produk yang akan berguna dalam mengembangkan layanan dan brand image
produk. Hal tersebut sangat penting bagi pencapaian tujuan untuk menjadi
perusahaan yang berhasil.
Ada dua kelompok biaya kualitas yaitu biaya pengendalian dan biaya
kegagalan. Kedua kelompok tersebut dapat dipecah lagi dalam empat
subkelompok biaya, yaitu :
1. Biaya pencegahan ( prevention cost) adalah biaya yang terjadi karena
adanya usaha untuk mencegah terjadinya kegagalan dalam menjalankan
aktivitas jasa dan/atau produk yang berkualitas rendah. Pada umumnya,
peningkatan biaya pencegahan diharapkan akan menghasilkan penurunan
biaya kegagalan.
2. Biaya penilaian (appraisal cost) adalah biaya yang terjadi karena
dilakukannya penentuan apakah produk dan/atau jasa yang dihasilkan
telah sesuai dengan permintaan atau kebutuhan konsumen.
3. Biaya kegagalan internal (internal failure cost) adalah biaya yang terjadi
pada saat produk dan/atau jasa yang dihasilkan tidak sesuai dengan
permintaan atau kebutuhan konsumen. Ketidaksesuaian ini terdeteksi pada
saat produk masih berada di pihak perusahaan atau sebelum dikirimkan ke
pihak luar perusahaan.
4. Biaya kegagalan eksternal (external failure cost) adalah biaya yang terjadi
pada saat produk dan/atau jasa yang dihasilkan tidak sesuai dengan
permintaan atau kebutuhan konsumen dan diketahui setelah produk berada
di luar perusahaan atau sudah di tangan konsumen.

2. Taguchi Cost

Metode ini mengasumsikan bahwa setiap penyimpangan dari target kualitas


akan menyebabkan biaya kualitas terembunyi dan kenaikan biaya kualitas
merupakan pengkuadratan setiap penyimpangan dari nilai target. Pandangan
dalam metode taguchi ini berbeda dengan pandangan tradisional yang
mengizinkan adanya total dengan metode taguchi dapat diformulasi sebagai
berikut :

L(y) = k(y-T)2

Keterangan:

28
K = konstanta proporsional yang tergantung pada struktur biaya kegagalan
eksternal perusahaan. Symbol k merupakan nilai yang diestimasi dan
dihitung dengan membagi nilai biaya tersetimasi dengan pangkat
penyimpangan dari nilai target dihitung denagan cara: k = c ÷d2

c = kerugian pada limit terendah atau tertinggi

d = jarak limit dari nilai target

y = nilai actual karakteristik kualitas

T = nilai target karakteristik kualitas

L = kerugian akibat kualitas (biaya kegagalan eksternal total)

Adanya ketiadaan metode yang dapat digunakan untuk mengukur secara


akurat biaya kualitas tersembunyi sehingga cara terbaik untuk menentukan
besaran biaya ini adalah dengan menggunakan pendekatan estimasi. Estimasi
biaya kualitas tersembunyi dilakukan untuk menghitung biaya kegagalan eksternal
total. Beberapa pendekatan estimasi yang lazim digunakan adalah metode
multiplier, metode riset pasar, dan metode taguchi quality loss function.

2.2.6. Biaya Lingkungan, Salvage dan Pelepasan.

Menurut Kaplan, Atkinson (1998 : 238) Organisasi telah mengalami kenaikan


biaya lingkungan yang pesat. Contohnya seperti ini normal bagi organisasi di
industri kimia untuk menghabiskan lebih dari $ 1 miliar per tahun untuk biaya
lingkungan. Besarnya pengeluaran ini membuat organisasi berpikir secara
sistematis tentang pengendalian biaya-biaya ini. Penekanan telah berubah dari
menerima biaya lingkungan sebagai bagian yang tak terelakkan dalam melakukan
bisnis dengan biaya yang berkaitan dengan bisnis sehingga dengan manajemen
yang tepat, dapat dikurangi. Sebagai bagian dari proses pengelolaan biaya
lingkungan ini, organisasi mulai mengembangkan catatan biaya rinci yang
mengaitkan biaya lingkungan dengan kegiatan dan pada akhirnya produk untuk
mengidentifikasi proses dan produk yang menciptakan biaya lingkungan ini.
Organisasi menghadapi biaya yang berkaitan dengan lingkungan selama dan
setelah fase pembuatan produk. Biaya pembuangan limbah adalah organisasi
biaya lingkungan yang paling umum terjadi selama tahap pembuatan produk.
Biaya ini merupakan bagian dari siklus hidup produk, atau cradleto-grave, biaya.
Ada dua komponen dari biaya pembengkakan ini: biaya yang berkaitan dengan
penutupan atau penghentian fasilitas manufaktur (misalnya, mematikan tambang
atau reaktor nuklir) dan biaya untuk membuang produk, yang kemudian disebut
take- biaya balik. Efek dari mengenali dan menghitung biaya lingkungan adalah:
1. Memberikan gambaran profitabilitas produk yang akurat (saat ini
sebagian besar organisasi hanya mengenakan biaya ini ke biaya
perusahaan sehingga menutupi sifat dan sumber dari biaya ini)

29
2. Fokus perhatian pada pengembangan produk yang memiliki biaya
dekomisioning dan pengambilan kembali yang lebih rendah (dengan
mengidentifikasi besaran biaya ini)
3. Meningkatkan upaya untuk mendaur ulang atau memproduksi
kembali limbah produk yang ada

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konsep analisa profitabilitas produk merupakan salah satu hal terpenting.


Adapun tujuan mengetahui informasi tersebut adalah untuk digunakan didalam
proses perencanaan, pengendalian dan pembuatan keputusan. Secara umum
konsep analisa profitabilitas produk digolongkan kedalam 2, yaitu konsep harga
pokok penuh (full costing) dan konsep harga pokok variabel (variable costing).
Konsep harga pokok penuh (full costing) adalah sebuah metode dimana
semua biaya yang timbul untuk memproduksi suatu barang ataupun jasa
dibebankan secara penuh ke dalam harga jual dari produk/jasa tersebut.
Sedangkan untuk penentuan harga pokok variabel (variable costing) merupakan
metode penentuan harga pokok yang membebankan unsure biaya produksi yang
bersifat variable saja.
Perbedaan full costing dan variable costing yang paling mendasar yaitu :
1. Pada metode full costing, biaya overhead baru akan dilaporkan ke laporan
laba rugi perusahaan hanya jika produk sudah terjual.
2. Pada metode variable costing, biaya overhead akan tetap dilaporkan pada
laporan laba rugi periode perusahaan terlepas apakah produk tersebut
sudah laku atau belum dipasaran. Biaya overhead ini akan mengurangi pos
pendapatan perusahaan.

Life cycle costing merupakan teknik manajemen yang digunakan untuk


mengidentifikasi dan memonitor biaya produk selama siklus hidupnya. Total biaya
selama siklus hidup dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Biaya hulu, terdiri dari riset dan pengembangan, desain yang membuat prototype,
pengujian, teknis, dan pengembangan kualitas.
2. Biaya produksi, terdiri dari pembelian, biaya produksi langsung, biaya produksi
tidak langsung.
3. Biaya hilir, terdiri dari pemasaran dan distribusi pengemasan, pengangkutan,
contoh, promosi.

Manfaat analisis Life Cycle Cost adalah :


 Untuk meningkatkan kesadaran biaya.
 Seluruh biaya hidup evaluasi. LCC memungkinkan evaluasi pilihan
bersaing berdasarkan seluruh biaya hidup.

31
 Memaksimalkan pendapatan. Memahami prosedur untuk menerapkan LCC
termasuk pengembangan Biaya Siklus Hidup model untuk berbagai
aplikasi.
 Memahami latar belakang teoritis nilai waktu uang dan analisis risiko serta
dampaknya terhadap proses pengambilan keputusan.
Ribuan produk baru mulai dijual setiap tahun, dan produsen
menginvestasikan banyak waktu, tenaga dan uang dalam mencoba untuk
memastikan bahwa setiap produk baru yang mereka meluncurkan akan sukses.
Menciptakan produk yang menguntungkan bukan hanya tentang berhasil melewati
semua tahapan dalam mengembangkan produk baru, tetapi juga tentang
memanajemen produk setelah diluncurkan sama masa hidup produk tersebut.
Product life cycle ini melibatkan berbagai pemasaran dan strategi produksi, semua
diarahkan dari kurva product life cycle yang walaupun lama prosesnya tapi dapat
menciptakan profit dengan sesegera mungkin

32
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, A.A., Robert S. Kaplan (1998). 3th Edition. Advance Management


Accounting. New Jersey : Prentice-Hall, Inc
Albright dan Lam 2006. Managerial Accounting and Continuous Improvement
Initiatives: A Retrospective and Framework. Journal of Managerial Issues
vol XVIII number 2 Summer, pg 157
Atkinson and Kaplan. 2007. Management Accounting. Pearson International
Edition.
Blocher, Stout, Cokins (2010). 5th Edition. Cost Management (A Strategy
Emphasis). Mc Graw-Hill/Irwin.
CMA Textbook – Hock International (2014). Part 1. Vol 2. Page 88
Cooper dan Slagmulder 1999. Develop Profitable New Products with Target
Costing. Sloan Management Review; Summer 1999; 40, 4; ABI/INFORM
Global, pg. 23
Hansen, Mowen, Gua (2009). 6th Edition. Cost Management (Accounting &
Control). South-Western Cengage Learning.
Mulyadi, (2001). Edisi 3. Akuntansi Manajemen, Konsep, Manfaat, dan
Rekayasa. Universitas Gajah Mada.
Supriyono, (1993). Edisi 1. Akuntansi Manajemen 1, Konsep Dasar Akuntansi
Manajemen Dan Proses Perencanaan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Schmelze, George dan Rolf, Gejer. 1996. Target Costing at ITT Automotive.
Management Accounting, December, 78, 6, pg 26
Shank, K. John and Fisher, Joseph. 1999. Case Study: Target Costing as a
Strategic Tool. Sloan Management Review, Fall, 41, pg 73
Kroll, KM. 1997. On target, Improving Profitability Through Target Coting.
Industry Week, 246 (11), pg 14
Pierce, B. 2002. Target Cost Management: Comprehensive Benchmarking for a
Competitive Market. Accountancy Ireland, 34(2), pg 30

33

Anda mungkin juga menyukai