Anda di halaman 1dari 3

BPJS dan Negara Kesejahteraan

Journal Apr 1, 2014

Pada tahun 1791, Thomas Paine pernah menulis pentingnya intervensi Negara untuk
mengatasi permasalahan kemiskinan, kriminalitas dan pengangguran (Pierson dan
Castles 2000). Namun, baru setelah Perang Dunia kedualah istilah Negara
Kesejahteraan menjadi bahasa ‘keseharian’ di Negara-negara Eropa dan Amerika Utara.
Pada konteks tersebut konsep Negara Kesejahteraan menjadi bingkai kebijakan sosial
dan implementasinya. Secara definisi Negara Kesejahteraan dapat dikatakan sebagai
“upaya sistematis oleh negara untuk mengambil alih tanggung jawab penyediaan,
pelayanan dan solusi berbagai permasalahan dan rasa aman bagi seluruh warga
Negara.”

Tahun 1942 merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi perkembangan konsep
Negara Kesejahteraan. Pada tahun itu, pemerintah Inggris menerima Beveridge Report
yang isinya berbagai masukan untuk mengatasi ‘five giant social evils’yang meliputi
kurangnya pengetahuan/pendidikan, penyakit, pengangguran, perumahan kumuh dan
kemiskinan. Semenjak itu, berbagai Negara di Eropa dan Amerika Serikat menelurkan
program-program seperti pelayanan kesehatan yang komprehensif, pendidikan bagi
seluruh warga Negara yang terjangkau dan berkualitas, perumahan yang layak
atau public housing untuk menampung masyarakat kelas bawah, program
penanggulangan kemiskinan dan perluasan lapangan kerja. Bila dipilah lebih lanjut,
konsep negara kesejahteraan pun beragam implementasinya. Tidak semuanya bersedia
berkontribusi secara maksimal dalam penanganan masalah karena sangat bergantung
dari fungsi yang dipilih apakah sebagai first resort (universal) atau last resort (residual)
yang hanya bersedia membantu kaum miskin dan marjinal yang tidak dapat
mendukung dirinya sendiri.

Sejak tanggal 1 Januari 2014, Pemerintah Republik Indonesia telah resmi


melaksanakan Badan penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang Kesehatan.
Berikutnya, pada bulan Juli 2015 BPJS bidang Ketenagakerjaan akan segera menyusul.
Dengan ini, Indonesia telah memasuki era universal coverage dalam jaminan sosial
yang akan menempatkan Indonesia sebagai bagian welfare state league dan
menghapus anggapan bahwa Negara ini pernah masuk dalam kategori welfare laggard,
tertinggal dalam pencapaian pelayanan dan peningkatan kesejahteraan melalui jaminan
sosial.

Sesuai dengan visi BPJS Kesehatan yaitu paling lambat 1 Januari 2019, seluruh
penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan. Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan akan diimplementasikan dengan dilandasi
“kemandirian” dan “harga diri” untuk mengatasi resiko sosial ekonomi. Kemandirian
berarti tidak tergantung orang lain dalam membiayai perawatan pada waktu sakit,
kehidupan dihari tua, maupun membiayai keluarganya bila sang kepala keluarga
meninggal dunia. Harga diri berarti jaminan tersebut diperoleh sebagai hak dan bukan
dari belas kasihan orang lain.

Dengan demikian, saat ini merupakan salah satu momentum terbesar bangsa ini untuk
dapat membusungkan dada bahwa ‘kami’ sudah dapat menyediakan pelayanan sosial
dibidang kesehatan dan ketenagakerjaan. Namun ada yang perlu di perhatikan bahwa
momentum ini dapat hilang dari genggaman ketika apa yang digembar-gemborkan
tidak atau pun belum tercapai secara maksimal.

Ada beberapa aspek yang penting untuk diperhatikan. Dalam kaitannya dengan BPJS
kesehatan, kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan harus terus diperbaiki. Saat ini,
pelayanan kesehatan di berbagai fasilitas kesehatan yang masih jauh dari apa yang
diharapkan dan jumlah Rumah Sakit (RS) ataupun klinik rujukan pun belum memadai
jumlahnya.

Bila kita mendengar berbagai cerita dari orang-orang yang sudah pernah mengakses
pelayanan BPJS kesehatan yang lebih dulu dilaksanakan, banyak pengalaman tidak
menyenangkan yang mereka alami. Pengalaman buruk ini termasuk penuhnya RS yang
dituju sehingga harus dirujuk ke tempat lain yang tidak kalah penuhnya hingga
penolakan dari pihak RS yang meng-'anak tirikan’ pengguna jaminan sosial. Sarana dan
prasarana kesehatan di wilayah-wilayah terluar, terpencil dan tertinggal masih sangat
minim. Bahkan di Pulau Jawa sekalipun masih terdapat daerah-daerah yang masih sulit
untuk mengakses layanan kesehatan.

Padahal, individu-individu yang sehat merupakan salah satu modal pembangunan


ekonomi. BPJS Kesehatan yang baik memainkan peran penting untuk menyiapkan
angkatan kerja yang sehat dan bermartabat.

Berkaitan dengan implementasi BPJS Ketenagakerjaan, kemudahan klaim harus


mendapatkan perhatian karena pada dasarnya peserta membayar iuran. Selain itu,
kepesertaan haruslah dapat mencakup seluruh warga Negara dengan kemudahan
pendaftaran. Untuk bidang kesehatan, hal ini cukup terbantu dengan adanya inisiatif
terdahulu seperti Jamkesmas dan Jamkesda. Namun, dalam BPJS ketenagakerjaan, kita
masih akan menghadapi kendala perluasan kepesertaan bagi pekerja di sektor informal
seperti petani, nelayan, tukang ojek, tukang sayur, penjaga warung dan lain-lain.

Untuk mewujudkan sistem jaminan sosial yang baik, pemerintah harus mengambil
peran. Jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan sudah menjadi public goods yang
harus dipenuhi oleh negara di dalam fungsinya sebagai sebuah “Negara
Kesejahteraan.” Sektor swasta enggan memasuki wilayah tersebut selama insentif atau
margin nya tidak mencukupi. Untuk mengisi kekosongan ini, negara harus mengambil
alih tanggung jawab penyediaan, pelayanan dan solusi dari implementasinya.

Kita semua berharap APBN di tahun mendatang terjadi peningkatan yang signifikan
untuk pendanaan jaminan sosial (BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan) di Indonesia
agar tercipta masyarakat yang sehat dan terlindungi dari resiko sosial-ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai