Bab Ii
Bab Ii
Disusun oleh:
P1337420215018
3A
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pada laki-laki yang berbentuk seperti
kacang kenari, kelenjar prostat terletak di dasar kandung kemih dan mengelilingi
uretra posterior, salah satu gangguan pada prostat adalah terjadinya pembesaran yang
lazimnya terjadi pada pria di atas 50 tahun. pembesaran kelenjar prostat dapat
mengganggu mekanisme normal buang air kecil (Iskandar, 2009).
Salah satu tindkan dilakukan dalam penanganan BPH adalah dengn
melakukan pembedahan terbuka atau bisa disebut open prostatectomy, tindakan
dilakukan dengan cara melakukan sayatan pada perut bagian bawah sampai simpai
prostat tanpa membuka kandung kemih kemudian dilakukan pengangkatan prostat
yang mengalami pembesaran (Samsuhidajat, 2010).
Di Indonesia BPH menjadi penyakit urutan kedua setelah penyakit batu
saluran kemih, dan secara umum diperkirakan hamper 50% pria Indonesia menderita
BPH, jika dilihat dri 200 juta lebih rakyat Indonesia maka dapat diperkirakan sekitar
2,5 juta pria yang berumru lebih dari 60 tahun menderita BPH (Purnomo, 2009).
PATHWAY BPH
Etiologi
Penuaan
Mesenkim sinus
Perubahan keseimbangan uragential
testosterone + estrogen
Mitrotrouma : trauma, Kebangkitan /
ejakulasi, infeksi Prod. Testosteron ↓ reawakening
MK : gangguan eliminasi
urin : retensi urin
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Prabowo & Andi (2014), pemeriksaan diagnostik klien BPH adalah:
a. Urinalisis dan Kultur Urin
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red
Blood Cel ) dalam urin yang memanifestasikan adanya perdarahan /
hematuria.
b. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini ntuk melihat ada atau tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah cairan abdomen dan
diperiksa jumlah sel darah merahnya.
c. Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai
data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH, karena
obstruksi yang berlangsung kronis seringkali menimbulkan hidronefrosis yang
lambat laun akan memperberat fungsi ginjal dan pada akhirnya menjadi gagal
ginjal.
d. PA (Patalogi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui
apakah hanya bersifat benigna atau maligna, sehingga akan menjadi landasan
untuk treatment selanjutnya.
e. Catatan harian berkemih
Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urin, sehingga akan terlihat
bagaimana siklus rutinitas miksi dari klien. Data ini menjadi bekal untuk
membandingkan dengan pola eliminasi urin yang normal.
f. Uroflowmetri
Menggunakan alat pengukur, maka akan terukur pancaran urin. Pada
obstruksi dini seringkali pancaran melemah bahkan meningkat. Hal ini
disebabkan obstruksi dari kelenjar prostat pada traktus urinarius. Selain itu,
volume residu urin juga harus diukur. Normalnya residual urin <100 ml.
Namun, residual yang tinggi membuktikan bahwa vesika urinaria tidak
mampu mengeluarkan urin secara baik karena adanya obstruksi.
g. USG Ginjal dan Vesika Urinaria
USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari
BPH, misalnya hidronefrosis. Sedangkan USG pada vesika urinaria akan
memperlihatkan gambaran pembesaran kelenjar prostat.
h. Pemeriksaan Colok Dubur
Haryono (2013) berpendapat, pemeriksaan colok dubur dapat
memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rectum, kelainan lain
seperti benjolan dalam rectum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur
dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada
prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur
dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa miksi
ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan
kateterisasi. Sisa urin dapat pula di ketahui dengan melakukan ultrasonografi
kandung kemih setelah miksi.
8. Penatalaksanaan
Menurut Haryono (2013), penatalaksanaan untuk BPH yaitu:
a. Terapi medikamentosa
1) Penghambat andrenergik a, misalnya prazosin, doxazosi,, alfluzosin atau
1a (tamsulosin).
2) Penghambat enzim 5-a-reduktase, misalnya finasteride (poscar).
3) Fisioterapi, misalnya eviprostat.
b. Terapi bedah: waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung
beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi terapi bedah yaitu:
1) Retensi urin berulang.
2) Hematuria.
3) Tanda penurunan fungsi ginjal.
4) Infeksi saluran kemih berulang.
5) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikal, hidroureter, dan
hidronefrosis.
6) Ada batu saluran kemih.
9. Macam-macam Tindakan Bedah
Macam-macam tindakan bedah pada klien BPH antara lain:
a. Prostatektomi
1) Prostatektomi suprapubis
Salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen, yaitu
suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat
diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan untuk Pendekatan ini
dilakukan untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi
dapat terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak dibanding metode yang
lain. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari
semua prosedur bedah abdomen mayor, seperti kontrol perdarahan lebih
sulit, urine dapat bocor di sekitar tuba suprapubis, serta pemulihan lebih
lama dan tidak nyaman.
Keuntungan lain metode ini adalah syarat teknis sederhana,
memberikan area eksplorasi lebih luas memungkinkan eksplorasi nodus
limfa kankerosa, pengangkatan kelenjar peng obstruksi lebih komplit, serta
pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan.
2) Prostatektomi perineal
Mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini
lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi
terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis
langsung, drainase oleh bantuan gravitasi, efektif untuk kanker radikal
hemostatik di bawah penglihatan langsung. Angka mortalitas rendah,
insiden sok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar,
resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih.
Pada pasca operasi, luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi
atau cedera rektal dapat terjadi dengan cara ini. Kerugian lain adalah
kemungkinan kerusakan pada rektum dan sfingter eksternal serta bidang
operatif terbatas.
3) Prostatektomi retropubik
Suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik
dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu
antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah
lebih mudah dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis.
Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih
yang berkaitan serta insiden hemoragik akibat pleksus venosa. Keuntungan
yang lain adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan sfingter
kandung kemih lebih sedikit.
b. Insisi Prostat Transurethral (TUIP)
Suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi
uretral. Cara ini diindikasikan cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil (30 gr/kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus
BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka
komplikasi lebih rendah dibanding cara lainnya.
c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop
dengan tabung 10-3-f untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat
pemotong dan counter disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini
memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasif
yang masih dianggap aman dan tingkat modibitas minimal. TURP adalah
gejala-gejala dari sedang, sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram
dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi.
Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan infeksi,
hiponatremia atau retensi oleh karena bekuan darah. Komplikasi jangka
panjang adalah ejakulasi, retrograd, impotensi.
Bulechek, G. M., Howard, K. B., Joanne, M. D., & Cheryl, M. W. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi Keenam. Singapore: Elsevier.
Nursalam & Baticaca, F. B. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba.
Padila. (2012). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Yogkarta: Nuha Medika
Rendi & Margareth. (2012). Asuhan keperawatan medikal bedah dan penyakit dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Sjamsuhidajat, R. dkk. (2010). Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakartra: EGC
Suharyanto. (2009). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemihan.
Jakarta: TIM
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Jogjakarta: Nuhu Medika.