Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Kritis

Disusun oleh:

Dewi Eli Santi

P1337420215018

3A

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

PRODI DIII KEPERAWATAN PURWOKERTO

2018
LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

A. Latar Belakang
Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pada laki-laki yang berbentuk seperti
kacang kenari, kelenjar prostat terletak di dasar kandung kemih dan mengelilingi
uretra posterior, salah satu gangguan pada prostat adalah terjadinya pembesaran yang
lazimnya terjadi pada pria di atas 50 tahun. pembesaran kelenjar prostat dapat
mengganggu mekanisme normal buang air kecil (Iskandar, 2009).
Salah satu tindkan dilakukan dalam penanganan BPH adalah dengn
melakukan pembedahan terbuka atau bisa disebut open prostatectomy, tindakan
dilakukan dengan cara melakukan sayatan pada perut bagian bawah sampai simpai
prostat tanpa membuka kandung kemih kemudian dilakukan pengangkatan prostat
yang mengalami pembesaran (Samsuhidajat, 2010).
Di Indonesia BPH menjadi penyakit urutan kedua setelah penyakit batu
saluran kemih, dan secara umum diperkirakan hamper 50% pria Indonesia menderita
BPH, jika dilihat dri 200 juta lebih rakyat Indonesia maka dapat diperkirakan sekitar
2,5 juta pria yang berumru lebih dari 60 tahun menderita BPH (Purnomo, 2009).

B. Konsep Benign Prostatic Hyperplasia


1. Definisi BPH
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif kelenjar
prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan retriksi pada jalan urin (uretra)
(Rendi & Margareth, 2012).
Mcphee & Ganong (2010) menyatakan bahwa, BPH merupakan pertumbuhan
tak-ganas stroma dan kelenjar epitel prostat yang menyebabkan pembesaran
kelenjar prostat. Pada kasus yang parah, kelenjar ini dengan tumbuh perlahan
selama beberapa decade akhirnya dapat mencapai ukuran 10 kali ukuran prostat
normal dewasa.
Menurut Suharyanto (2009) BPH adalah pembesaran kelenjar dan jaringan
seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin
berkenaan dengan proses penuaan.
Jadi dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa BPH adalah
pembesaran kelenjar prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra dan
menyebabkan terganggunya proses berkemih.
2. Etiologi atau Penyebab
Haryono (2013) mengatakan, penyebab pasti terjadinya BPH sampai sekarang
belum diketahui. Namun, kelenjar prostat jelas sangat tergantung pada hormon
androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan.
Ada beberapa faktor yang kemungkinan menjadi penyebab antara lain:
a. Dihydrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
b. Perubahan keseimbangan hormone estrogen-testoteron
Pada proses penuaan yang dialami pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hyperplasia stroma.
c. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth faktor atau fibroblast growth faktor dan
penurunan transforming growth faktor beta menyebabkan hiperplasi stroma
dan epitel.
d. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi kemampuan
mesenkim sinus urogenital untuk berproliferasi dan membentuk jaringan
prostat.
3. Patofisiologi
BPH sering terjadi pada pria yang beusia 50 tahun lebih. Perubahan
makroskopis pada perostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun,
penyakit ini dirasakan tanpa ada gejala. Hormonal yang diduga dapat
menyebabkan BPH adalah karena tidak adanya keseimbangan antara produksi
estrogen dan testosteron. Pada produksi testosteron menurun dan estrogen
meningkat ( Wijayaningsih, 2013 ).
Penurunan hormon testosteron dipengaruhi oleh diet yang di konsumsi oleh
seseorang. Mempengaruhi RNA dalam inti sel sehingga terjadi proliferasi sel
prostat yang mengakibatkan hipertrofi kelenjar prostat maka terjadi obstriksi pada
saluran kemih yang bermuara pada kandung kemih. Tubuh mengadakan
kompensasi dan dekompensasi otot-otot destrusor. Kompensasi otot-otot
mengakibatkan spasme otot spincter kompensasi otot-otot destrusor juga dapat
penebalan pada dinding vesika urinari dalam waktu yang lama dan mudah
menimbulkan infeksi (Wijayaningsih, 2013).
4. Manifestasi Klinis
Menurut Padila (2012) gejala klinis yang ditimbulkan oleh BPH disebut
sebagai Syndroma Prostatisme yang dibagi menjadi dua yaitu:
a. Gejala Obstruktif
1) Hesistancy yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan.
2) Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing.
3) Terminal dribbling yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil.
b. Gejala Iritasi
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu klien miksi lebih sering dari biasanya.
3) Dysuria yauitu nyeri pada waktu miksi.
Wijayaningsih (2013) mengatakan, tanda dan gejala dapat dilihat dari
stadiumnya:
a. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urin sampai
habis.
b. Stadium II
1) Ada retensi urin tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urin
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa 50 – 150 cc.
2) Ada rasa tidak enak waktu BAK (dysuria).
3) Nokturia.
c. Stadium III
Urin selalu tersisa 150 cc atau lebih.
d. Stadium IV
Retensi urin total buli-buli penuh, pasien kesakitan, urin menetes secara
periodik.
5. Komplikasi
Wijaya & Putri (2013) mengatakan, komplikasi yang dapat terjadi pada BPH
diantaranya:
a. Retensi kronik yang dapat menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal.
b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi sewaktu miksi.
c. Terbentuknya batu akibat sisa urin.
d. Hematuria.
e. Hernia atau Hemoroid.
f. Sistisis dan Pielonefritis.
g. Inkontinensia urin.
6. Phatway

PATHWAY BPH

Etiologi

Penuaan

Mesenkim sinus
Perubahan keseimbangan uragential
testosterone + estrogen
Mitrotrouma : trauma, Kebangkitan /
ejakulasi, infeksi Prod. Testosteron ↓ reawakening

↑ stimulasi sel stroma yang BPH Berproliferasi


dipengaruhi GH

Pre operasi Post operasi

Terjadi kompresi utera TURP. Prostatektomi

Trauma bekas Folley cateter


↑ resistensi leher V.U Kerusakan Penekanan
mukosa serabut-serabut insisi
dan daerah V.U
urogenital syaraf Obstruksi oleh
jendolan darah
↑ ketebalan otot Dekstrusor post OP
(fase kompensasi) Nyeri

Terbentuknya sakula/ MK : resiko


trabekula MK : MK : injury :
intoleransi gangguan rasa pendarahan
aktivitas nyaman nyeri
Kelemahan otot
Dekstrusor
Penurunan
↓ kemampuan pertahanan
fungsi V.U tubuh

Refluk urin Residu urin


berlebihan

Hidronefrosis Media pertumbuhan MK : resiko


kuman terjadi infeksi

MK : gangguan eliminasi
urin : retensi urin
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Prabowo & Andi (2014), pemeriksaan diagnostik klien BPH adalah:
a. Urinalisis dan Kultur Urin
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red
Blood Cel ) dalam urin yang memanifestasikan adanya perdarahan /
hematuria.
b. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini ntuk melihat ada atau tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah cairan abdomen dan
diperiksa jumlah sel darah merahnya.
c. Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai
data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH, karena
obstruksi yang berlangsung kronis seringkali menimbulkan hidronefrosis yang
lambat laun akan memperberat fungsi ginjal dan pada akhirnya menjadi gagal
ginjal.
d. PA (Patalogi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui
apakah hanya bersifat benigna atau maligna, sehingga akan menjadi landasan
untuk treatment selanjutnya.
e. Catatan harian berkemih
Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urin, sehingga akan terlihat
bagaimana siklus rutinitas miksi dari klien. Data ini menjadi bekal untuk
membandingkan dengan pola eliminasi urin yang normal.
f. Uroflowmetri
Menggunakan alat pengukur, maka akan terukur pancaran urin. Pada
obstruksi dini seringkali pancaran melemah bahkan meningkat. Hal ini
disebabkan obstruksi dari kelenjar prostat pada traktus urinarius. Selain itu,
volume residu urin juga harus diukur. Normalnya residual urin <100 ml.
Namun, residual yang tinggi membuktikan bahwa vesika urinaria tidak
mampu mengeluarkan urin secara baik karena adanya obstruksi.
g. USG Ginjal dan Vesika Urinaria
USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari
BPH, misalnya hidronefrosis. Sedangkan USG pada vesika urinaria akan
memperlihatkan gambaran pembesaran kelenjar prostat.
h. Pemeriksaan Colok Dubur
Haryono (2013) berpendapat, pemeriksaan colok dubur dapat
memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rectum, kelainan lain
seperti benjolan dalam rectum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur
dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada
prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur
dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa miksi
ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan
kateterisasi. Sisa urin dapat pula di ketahui dengan melakukan ultrasonografi
kandung kemih setelah miksi.
8. Penatalaksanaan
Menurut Haryono (2013), penatalaksanaan untuk BPH yaitu:
a. Terapi medikamentosa
1) Penghambat andrenergik a, misalnya prazosin, doxazosi,, alfluzosin atau
1a (tamsulosin).
2) Penghambat enzim 5-a-reduktase, misalnya finasteride (poscar).
3) Fisioterapi, misalnya eviprostat.
b. Terapi bedah: waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung
beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi terapi bedah yaitu:
1) Retensi urin berulang.
2) Hematuria.
3) Tanda penurunan fungsi ginjal.
4) Infeksi saluran kemih berulang.
5) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikal, hidroureter, dan
hidronefrosis.
6) Ada batu saluran kemih.
9. Macam-macam Tindakan Bedah
Macam-macam tindakan bedah pada klien BPH antara lain:
a. Prostatektomi
1) Prostatektomi suprapubis
Salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen, yaitu
suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat
diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan untuk Pendekatan ini
dilakukan untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi
dapat terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak dibanding metode yang
lain. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari
semua prosedur bedah abdomen mayor, seperti kontrol perdarahan lebih
sulit, urine dapat bocor di sekitar tuba suprapubis, serta pemulihan lebih
lama dan tidak nyaman.
Keuntungan lain metode ini adalah syarat teknis sederhana,
memberikan area eksplorasi lebih luas memungkinkan eksplorasi nodus
limfa kankerosa, pengangkatan kelenjar peng obstruksi lebih komplit, serta
pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan.
2) Prostatektomi perineal
Mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini
lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi
terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis
langsung, drainase oleh bantuan gravitasi, efektif untuk kanker radikal
hemostatik di bawah penglihatan langsung. Angka mortalitas rendah,
insiden sok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar,
resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih.
Pada pasca operasi, luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi
atau cedera rektal dapat terjadi dengan cara ini. Kerugian lain adalah
kemungkinan kerusakan pada rektum dan sfingter eksternal serta bidang
operatif terbatas.
3) Prostatektomi retropubik
Suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik
dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu
antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah
lebih mudah dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis.
Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih
yang berkaitan serta insiden hemoragik akibat pleksus venosa. Keuntungan
yang lain adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan sfingter
kandung kemih lebih sedikit.
b. Insisi Prostat Transurethral (TUIP)
Suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi
uretral. Cara ini diindikasikan cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil (30 gr/kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus
BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka
komplikasi lebih rendah dibanding cara lainnya.
c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop
dengan tabung 10-3-f untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat
pemotong dan counter disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini
memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasif
yang masih dianggap aman dan tingkat modibitas minimal. TURP adalah
gejala-gejala dari sedang, sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram
dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi.
Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan infeksi,
hiponatremia atau retensi oleh karena bekuan darah. Komplikasi jangka
panjang adalah ejakulasi, retrograd, impotensi.

C. Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urin Fungsional pada pasien pre-post


Operasi BPH
1. Pengkajian
a. Pre Operasi
Pengkajian menurut Prabowo dan Pranata (2014):
1) Anamnesa
Prostat hanya dialami oleh pasien laki-laki. Keluhan yang sering
dialami oleh pasien dikenal dengan istilah LUTS (Lower Urinary Tract
Symptoms) antara lain hesistansi, pancaran urin lemah, intermitensi, ada
sisa urin pasca miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (jika obstruksi
meningkat).
2) Pemeriksaan Fisik
Adanya peningkatan nadi dan tekanan darah (tidak signifikan, kecuali
ada penyakit penyerta).
Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak ditemukan adanya
kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus, striktur
uretralis, urethralitniasis. Ca penis, maupun epididimitis.
Pemeriksaan Rectal Toucher (RC) adalah pemeriksaan sederhana yang
paling mudah untuk menegakan BPH. Tujuannya untuk menentukan
konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
3) Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan darah lengkap tidak menunjukan adanya kelainan,
kecuali disertai dengan urosepsis yaitu adanya peningkatan leukosit. Selain
itu, pada pemeriksaan urin lengkap akan ditemukan adanya bakteri
patogen pada kultur jika ada infeksi dan adanya eritrosit apabila terjadi
rupture pada jaringan prostat.
4) Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan penunjang lainnya yang biasa membantu penegakan
diagnosa BPH adalah USG ginjal (melihat komplikasi) dan vesika urinaria
(tampak pembesaran jaringan prostat). Pemeriksaan uroflowmetri sangat
penting dengan melihat pancaran urin.
Berikut penilaian dari pemeriksaan uroflowmetri:
a) Flow rate maksimal >15 ml/detik = non obstruktif
b) Flow rate maksimal 10-15 ml/detik = border line
c) Flow rate maksimal <15 ml/detik = obstruktif
b. Post Operasi
Menurut Nursalam & Baticaca (2009), pengkajian pada klien post
operasi BPH yaitu mengkaji kesadaran, status TTV, mengkaji tanda-tanda
perdarahan, monitor drainase, mengkaji klien apakah mengalami keterbatasan
bergerak, kaji nyeri secara komprehensif, kaji eliminasi urin, kaji bagaimana
selang kateter pada klien, sedangkan menurut Maryudianto, dkk., (2014)
bahwa kateter yang tepat dipakai pada klien post operasi BPH terutama
operasi TURP adalah kateter three way dan kaji pengetahuan tentang penyakit
dan pencegahannya.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
Diagnosa yang muncul pada pasien BPH adalah:
1). Gangguan pola eliminasi berhubugan dengan obstruksi mekanik;
pembesaran prostat; dekompensasi otot detrusor; ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
2). Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan iritasi mukosa;
distensi kandung kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.
3). Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah
4). Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi dan tidak mengenal sumber
informasi.
(Wahit., dkk, 2015)
b. Post Operasi
Menurut Carpenito & Moyet (2007), diagnosa yang kemungkinan
muncul pada pasien post operasi BPH diantaranya:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive.
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemulihan pembedahan: segera
setelah operasi.
3. Perencanaan
Menurut Bulechek, dkk (2016), perencanaan pengelolaan keperawatan klien post
operasi BPH:
a. Sebelum operasi
1) Gangguan pola eliminasi berhubugan dengan obstruksi mekanik;
pembesaran prostat; dekompensasi otot detrusor; ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
a) Tujuan: tidak terjadi obstruksi
b) Kriteria hasil: Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba
distensi kandung kemih
c) Rencana tindakan dan rasional
(1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan.
R: Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung
kemih
(2) Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran
urina
R: Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
(3) Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R:Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan
yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
(4) Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R: Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
(5) Berikan obat sesuai indikasi (antispamodik)
R: Mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat
penyembuhan.
2) Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan iritasi mukosa;
distensi kandung kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.
a) Tujuan: Nyeri hilang/terkontrol.
b) Kriteria hasil:
Klien melaporkan nyeri hilang/terkontrol, menunjukkan ketrampilan
relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu.
Tampak rileks, tidur/istirahat dengan tepat.
c) Rencana tindakan dan rasional
(1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10).
R: Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih/masase urin
sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli.
(2) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan
selang bebas dari lekukan dan bekuan.
R: Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem,
menurunkan resiko distensi/spasme buli-buli.
(3) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R: Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
(4) Berikan tindakan kenyamanan dan aktivitas terapeutik.
R: Menurunkan tegangan otot,memfokusksn kembali perhatian
dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
(5) Berikan rendam duduk atau lampu hangat bila diindikasikan.
R: Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta
meningkatkan penyembuhan (pendekatan perineal).
(6) Kolaborasi dalam pemberian antispasmodic
R: Menghilangkan spasme
b. Sesudah operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
a) Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
b) Kriteria hasil:
(1) Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
(2) Ekspresi wajah klien tenang.
(3) Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
(4) Klien akan tidur/istirahat dengan tepat.
(5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
c) Rencana tindakan:
(1) Lakukan pengkajian nyeri komperhensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan faktor pencetus.
(2) Observasi adanya petunjuk non verbal mengenai nyeri.
(3) Ajarkan tehnik relaksasi tehnik nafas dalam.
(4) Dorong pasien untuk istirahat dengan cukup
(5) Kaji TTV
(6) Kolaborasi pemberian terapi analgetik.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive.
a) Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
b) Kriteria hasil:
- Klien tidak mengalami infeksi.
- Dapat mencapai waktu penyembuhan.
- Tanda–tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda–tanda
shock.
c) Rencana tindakan:
(1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter
dengan steril.
R: Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
(2) Anjurkan intake cairan yang cukup (2500 – 3000) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
R: Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK
dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal.
(3) Pertahankan posisi urobag dibawah.
R: Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan
bakteri ke kandung kemih.
(4) Observasi tanda–tanda vital, laporkan tanda–tanda shock dan
demam.
R: Mencegah sebelum terjadi shock.
(5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R: Mengidentifikasi adanya infeksi.
(6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R: Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
4. Evaluasi
Dalam evaluasi keperawatan BPH setelah diberikan asuhan keperawatan,
diharapkan:
a. Pre-operasi:
1) Gangguan pola eliminasi berhubugan dengan obstruksi mekanik;
pembesaran prostat; dekompensasi otot detrusor; ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat dapat tercapai.
2) Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan iritasi mukosa;
distensi kandung kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi tidak
dirasakan lagi.
3) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah dapat teratasi.
4) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi dan tidak mengenal sumber
informasi dapat teratasi.
b. Post-operasi
1) Dapat diatasi atau hilangnya nyeri akut berhubungan dengan agen injury
fisik.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive tidak terjadi.
3) Resiko perdarahan berhubungan dengan pemulihan pembedahan: segera
setelah operasi tdak terjadi atau dapat diatasi jika terjadi perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Howard, K. B., Joanne, M. D., & Cheryl, M. W. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi Keenam. Singapore: Elsevier.

Haryono, Rudy. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Perkemihan. Yogyakarta:


Rapha Publishing.

Iskandar, Y. (2009). Pustaka kesehatan popular saluran pencernaan. Jakarta: PT Bhuana


Ilmu Populer

Maryudianto, W. (2014). Pengalaman Perawat pada Pelaksanaan Irigasi Traksi Kateter


Three Way pada Pasien TURP di Rumah Sakit Khusus Bedah Mojosongo II
Karanganyar. (online)
(http://www.digilib.stikeskusumahusada.ac.id/download.php?id=1469. Diakses pada
Hari Jumat 27 Oktober 2017 pukul 20.00 WIB)

Nursalam & Baticaca, F. B. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba.

Padila. (2012). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Yogkarta: Nuha Medika

Purnomo, B. (2009). Dasar-dasar urologi. Jakarta: Sagung Seto

Rendi & Margareth. (2012). Asuhan keperawatan medikal bedah dan penyakit dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Sjamsuhidajat, R. dkk. (2010). Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakartra: EGC

Suharyanto. (2009). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemihan.
Jakarta: TIM

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Jogjakarta: Nuhu Medika.

Anda mungkin juga menyukai