Hyperosmolar Hyperglicemia State pertama dijelaskan pada tahun 1957. HHS merupakan
sindrom dengan istilah yang termasuk didalamnya yaitu hyperosmolar nonketotic state,
hyperosmolar coma, hyperglycemic hyperosmolar syndrome, atau nonketotic hyperosmolar
syndrome. Hyperosmolar Hyperglicemia State adalah nomenklatur yang direkomendasikan oleh
American Diabeter Association (ADA) untuk menekankan bahwa terdapat perubahan tingkat
kesadaran. Diagnostik dari HHS meliputi:
PATOFISIOLOGI
HHNK dimulai dengan adanya diuresis glukosurik. Glukosuria menyebabkan kegagalan pada
kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin. Keadaan ini semkain memperberat derajat
kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang
batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah
ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar glukosa
meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaaan
hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah. Terlebih
jika terdapat resistensi insulin.
Pasien HHNK tidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan jelas alasannya.
Faktor yang diduga ikut berpengaruh antara lain adalah keterbatasan ketogenesis karena keadaan
hiperosmolar, kadar asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang
cukup untuk menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia, dan
resistensi hati terhadap glukagon.
Apabila keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar yang menyebabkan kehilangan cairan ini tidak
dikompensasi, yaitu dengan masukan cairan oral, maka akan timbul dehidrasi dan kemudian
hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan
gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK, LABORATORIUM, IMAGING, EKG
Karakteristik pasien HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM, dan
pasien DM tipe-2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemik oral. Sering
dijumpai kasus dengan penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya diuretik.
Keluhan pasien HHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula
ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD.
Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis,
kejang atau koma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa
pipi yang kering mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan
lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat
gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat.
Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan
neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma
terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang
ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat
juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit cairan.
Secara klinis HHNK akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil laboratorium seperti
kadar glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum ada hasilnya. Berikut dibawah ini
adalah beberapa gejala dan tanda sebagai pegangan:
Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih darin 60 tahun, semakin muda semakin
berkurang, dan pada anak belum pernah ditemukan.
Hampir separuh pasien tidak mempunayi riwayat DM atau DM tanpa insulin.
Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal atau
kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit
Cushing.
Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lainn tiazid, furosemid, manitol, digitalis,
reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin dan haloperidol
(neuroleptik).
Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovaskular, aritmia,
pendarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik dan operasi.
Table 2. Typical total body deficits of water and electrolytes seen in DKA and HHS
Typical deficit
DKA HHS
Total water (L) 6 9
Water (ml/kg)* 100 100-200
+
Na (mEq/kg)* 7-10 5-13
Cl- (mEq/kg)* 3-5 5-15
K+ (mEq/kg)* 3-5 4-6
PO4 (mEq/kg)* 5-7 3-7
Mg++ (mEq/kg)* 1-2 1-2
++
Ca (mEq/kg)* 1-2 1-2
*Per kg of body weight
Umpierrez G, Murphy MB, Kitabchi AE, Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. 2002. Diunduh pada tanggal 2 Januari 2010 dari
http://spectrum.diabetesjournals.org/content/15/1/28/T2.expansion.html
Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion gap yang ringan (10-12).
Jika anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis diferensial asidosis laktat atau
penyebab lain. Muntah dan penggunaan diretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik
yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis. Kadar kalium dapat meningkat atau normal.
Kadar kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK
menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai elektrolit.
DIAGNOSIS BANDING
HHS dapat dibedakan dari DKA apabila dilihat dari gejala klinis dan hasil laboratorium. Hal ini
tidak menutup adanya kemungkinan kondisi HHS dan DKA.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan HHS serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah cairan hipotonis
(1/2N, 2A). Secara umum, pemantauan pasien HHS memerlukan pemantauan yang lebih cermat.
Beberapa kasus memerlukan perawatan intensif. Pemantauan kadar glukosa darah harus lebih
ketat, dan pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Respons penurunan kadar gula
darah lebih baik. Walaupun demikian, angka kematian lebih tinggi, karena lebih banyak terjadi
pada usia lanjut, yang tentu saja lebih banyak disertai kelainan organ-organnya.
1. CAIRAN
Terapi cairan merupakan terapi utama yang ditujukan untuk memperluas volume
intravaskular dan memperbaiki perfusi ginjal serta jaringan. Kekurangan cairan pada
pasien dapat dihitung dan diberikan terapi pengganti cairan. Kehilangan cairan
umumnya sekitar 20-25% dari total cairan tubuh atau sekitar 12-15% berat badan.
Kehilangan cairan yang terjadi sekitar 8-12 L atau dalam rata-rata sekitar 9 L. Untuk
memudahkan, kehilangan cairan yang terjadi sekitar 150 mL/kgBB. Tujuan utama terapi
pengganti cairan dalam 12 jam pertama adalah dapat mengganti satu setengah kali total
kehilangan cairan.
Penggunaan cairan isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan
hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial
menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya
diberikan 1 L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik,
mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik,
maka diperlukan monitor hemodinamik.
Pada awal terapi, kadar glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan,
dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang
diberikan. Jika kadar glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per
jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan
ginjal.
2. ELEKTROLIT
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena kadar kalium
dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang sebenarnya akan terlihat
ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke adalam
sel. Kadar elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus
dimonitor.
Jika kadar kalium awal <3.3 mEw per L (3.3 mEq per L), pemberian insulin ditunda dan
diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai kadar kalium
setidaknya 3.3 mEq per L), kadar kalium harus diturunkan sampai di bawah 5.0 mEq per
L (5.0 mmol per L), kadar kalium harus diturunkan sampai di bawah 5.0 mEq per L,
namun sebaiknya kadar kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika kadar awal kalium
antara 3.3-5.0 mEq per L, maka 20-30 mEw kalium harus diberikan dalam tiap liter
cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk
mempertahankan kadar kalium antara 4.0 mEq per L (4.0 mmol per L) dan 5.0 mEq per
L.
3. INSULIN
Dalam penatalaksanaan HHS, insulin bukan merupakan prioritas terapi. Insulin akan
menyebabkan glukosa masuk ke dalam intrasel, sehingga cairan akan berpindah juga ke
intrasel. Hal ini berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskuler, atau
kematian. Pemberian insulin dosis rendah, diberikan apabila kondisi hemodinamik
pasien dan perfusi ginjal pasien sudah baik dan stabil.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti
dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai kadar glukosa darah turun antara 250 mg per dL
(13.9 mmol per L) sampai 300 mg per dL. Jika kadar glukosa dalam darah tidak turun
50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika kadar glukosa
darah sudah mencapai di bawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara
intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan
keadaan hiperosmolar.
KOMPLIKASI
Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vaskuler, infark miokard, low-flow
syndrome, disseminated intravascular coagulopathy dan rabdomiolisis. Overhidrasi dapat
menyebabkan adult respiratory distress syndrome dan edema serebri, yang jarang ditemukan
namun fatal pada anak-anak dan dewasa muda. Edema serebri ditatalaksana dengan infus
manitol dosis 1-2g/kgBB selama 30 menit dan pemberian deksametason intravena.
Memperlambat koreksi hiperosmolar pada anak-anak, dapat mencegah edema serebri.
ALGORITME
Umpierrez G, Murphy MB, Kitabchi AE, Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. 2002. Diunduh pada tanggal 2 Januari 2010 dari
http://spectrum.diabetesjournals.org/content/15/1/28/T2.expansion.html
REFERENSI
1. Soewondo, P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, et. al, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam edii IV;
2006. Hlm: 1896-1899.
2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Diabetic
Ketoacidosis dan Hyperosmolar Coma. Dalam: Harrison’s Manual of Medicine. 16th ed.
2005. p89-91.
3. Longmore M, Wilkinson IB, Davidson EH, Foulkes A, Mafi AR. Diabetic Ketoacidosis.
Dalam: Oxford Handbook of Clinical Medicine. 8th ed. 2010. p842-3.
4. Fisher JN, Shahshahani MN, Kitabchi AE. Diabetic Ketoacidosis: low-dose insulin
therapy by various routes. 1977. Diunduh pada tangaal 19 September 2010 dari:
http://www/nejm.org/doi/pdf/10/1056/NEJM197708042970502
5. GErich JE, Lorenzi M, Bier DM, Schneider V, Tsalikian E, Karam JH, Forsham PH.
Prevention of human diabetic ketoacidosis by somastotastin-evidence for an essential role
of glucagon. 1975. Diunduh pada tanggal 19 September 2010 dari:
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJM197505082921901
6. Inward CD, Chambers TL. Fluid management in diabetic ketoacidosis. 2002. Diunduh
pada tanggal 19 September 2010 dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1763010/pdf/v086p00443.pdf
7. ABbott KC, Bernet VJ, Agodoa LY, Yuan CM. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar syndrome after renal transplantation in the united states. 2003. Diunduh
pada tanggal 19 September 2010 dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC153547/
8. Yun YS, Lee HC, Park CS, Chang KH, Cho CH, Song YD, Lim SK, Kim KR, Huh KB.
Effects of long-acting somatostatin analogue (sandostatin) on manifest diabetic
ketoacidosis. 1999. Diunduh pada tanggal 19 September 2010 dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10765004
9. Hanas R, Lindgren F, Lindbald B. A 2-yr national population study of pediatic
ketoacidosis in Sweden: predisposing conditions and insulin pump use. 2009. Diunduh
pada tanggal 19 September 2010 dari: http://www.ncbi.nlm.gov/pubmed/18761647
10. Hardern R, Quinn N. Emergency management of diabetic ketoacidosis in adults. 2003.
Diunduh pada tanggal 19 September 2010 dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1726088/pdf/v020p00210.pdf
11. Trachtenberg, D. Diabetic Ketoacidosis. American Family Physicians. 2005.