S2 2015 336673 Chapter1 PDF
S2 2015 336673 Chapter1 PDF
PENDAHULUAN
1
2
Menjaga fokus dan arah dari penelitian ini, dan keterbatasan waktu serta biaya maka
penelitian ini diberi batasan sebagai berikut :
a. Studi kasus keruntuhan lereng batuan sedimen di tambang batubara berlokasi
di Kecamatan Muaralawa dan Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat,
Propinsi Kalimantan Timur.
2
3
b. Penelitian dilakukan pada kriteria lereng sedimen yang terekspos seketika serta
mendapatkan kelebihan aktifitas disekitar areanya seperti kegiatan
pertambangan (dinding lereng tambang bukan lereng alam).
c. Parameter indeks properties batuan diperoleh dari data hasil pengujian
laboratorium dan Geological Data Collection berupa data diskontinuitas,
RMR dan GSI.
d. Dalam pelaksanaan analisa model, pengaruh air tanah diasumsikan pada
kedalaman muka air tanah disaat terjadinya keruntuhan serta diasumsikan
dalam kondisi tetap.
3
4
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Batuan Sedimen menurut O’Dunn dan Sill (1986) adalah batuan yang terbentuk
oleh konsolidasi sedimen, sebagai material lepas, yang terangkut ke lokasi
pengendapan oleh air, angin, es dan longsoran gravitasi, gerakan tanah atau tanah
longsor. Batuan sedimen juga dapat terbentuk oleh penguapan larutan kalsium
karbonat, silika, garam dan material lain. Menurut Tucker (2001), 75 % batuan di
permukaan bumi berupa batuan sedimen, tetapi batuan itu hanya 5 % dari volume
seluruh kerak bumi. Ini berarti batuan sedimen tersebar sangat luas di permukaan
bumi, tetapi ketebalannya relatif tipis.
Pettijohn (1975), O’Dunn dan Sill (1986) membagi batuan sedimen berdasar
teksturnya menjadi dua kelompok besar, yaitu batuan sedimen klastika dan batuan
sedimen non-klastika. Batuan sedimen klastika (detritus, mekanik, eksogenik)
adalah batuan sedimen yang terbentuk sebagai hasil pengerjaan kembali terhadap
batuan yang sudah ada. Proses pengerjaan kembali itu meliputi pelapukan, erosi,
transportasi dan kemudian redeposisi (pengendapan kembali). Sebagai media
proses tersebut adalah air, angin, es atau efek gravitasi (beratnya sendiri). Media
yang terakhir itu sebagai akibat longsoran batuan yang telah ada. Kelompok batuan
ini bersifat fragmental yang terdiri dari butiran atau pecahan batuan sehingga
bertekstur klastika. Batuan sedimen non-klastika adalah batuan sedimen yang
terbentuk sebagai hasil penguapan suatu larutan, atau pengendapan material di
tempat itu juga (insitu). Proses pembentukan batuan sedimen kelompok ini dapat
secara kimiawi, biologi atau organik, dan kombinasi di antara keduanya (biokimia).
Secara kimia, endapan terbentuk sebagai hasil reaksi kimia. Secara organik adalah
pembentukan sedimen oleh aktivitas binatang atau tumbuh-tumbuhan, sebagai
contoh pembentukan rumah binatang laut (karang), terkumpulnya cangkang
5
6
Tucker (2003) membagi batuan sedimen dalam empat kelompok kategori umum :
Graha (1987) membagi batuan sedimen menjadi lima kelompok berdasarkan cara
terbentuknya batuan tersebut, seperti :
b. Batuan sedimen evaporit, terdiri dari jenis batugaram, gip dan anhidrit.
d. Batuan sediment silika, terdiri dari batuan rijang (chert), batupaneker (flint),
tanah radiolaria dan tanah diatomea. Proses terbentuknya batuan ini adalah
gabungan antara proses organik dan proses kimiawi.
d. Batuan sedimen karbonat, terdiri dari batu gamping (limestone) dan dolomit.
Cara insitu menjelaskan, tempat dimana batubara terbentuk bersama dengan tempat
terjadinya proses pembatubaraaan (coalification) dan sama dengan tempat dimana
tumbuhan tersebut berkembang. Beberapa penciri yang dapat dipergunakan untuk
mengetahui berlakuknya cara insitu pada suatu daerah tambang batubara, antaralain
didapatkannya getah tumbuhan yang telah mengeras (membatu), dalam istilahh
geologi disebut sebagai Harz (istilah lapangan dikenal sebagai damar Selo atau
grandarukem). Selain Harz sering didapatkan juga imprint tulang daun (sering
disebut dengan tikas tulang daun). Cara drift menjelaskan bahwa endapan batubara
yang terdapat pada cekungan sedimen berasal dari tempat lain, dengan kata lain
tempat terbentuknya batubara berbeda dengan tempat tumbuhan semula
berkembang kemudian mati. Bahan pembentuk batubara tersebut telah mengalami
transportasi, sortasi dan terakumulasi pada suatu cekungan sedimen. Penyebaran
batubara dengan konsep cara drift, akan memiliki luasan yang besar atau luasan
sempit, tergantung pada luasan cekungan sedimentasi (Krevelen, 1993 dalam
Sukandarrumidi, 2009).
Secara ringkas faktor yang berpengaruh dari posisi geoteknik adalah letak suatu
tempat yang merupakan cekungan sedimentasi yang keberadaannya dipengaruhi
8
Hoek dan Bray (1981) mengatakan bahwa stabilitas lereng dapat dikendalikan oleh
kondisi geologi lokal, bentuk lereng keseluruhan di daerah itu, kondisi air tanah
setempat dan juga dengan teknik penggalian yang digunakan dalam menciptakan
lereng. Faktor pengendali ini jelas akan sangat bervariasi untuk situasi
pertambangan yang berbeda dan tidak mungkin untuk memberikan aturan umum
pada seberapa tinggi atau seberapa curam lereng yang harus dipastikan bahwa
lereng tersebut akan stabil.
Suwarna dan Apandi (1994) dalam Peta Geologi Lembar Longiram Kalimantan
Timur menjelaskan rincian dari Formasi Pulubalang dan Formasi Balikpapan
sebagai berikut :
Talobre (1948) dalam Rai, dkk. (2010) menjelaskan mekanika batuan adalah teknik
dan juga sains yang tujuannya mempelajari perilaku batuan di tempat asalnya agar
dapat mengendalikan pekerjaan yang dibuat pada batuan tersebut seperti penggalian
dibawah tanah dan lain-lainnya. Coates (1981) dalam Rai, dkk. (2010) Mekanika
batuan merupakan ilmu yang mempelajari efek dari gaya terhadap batuan, Budavari
(1983) dalam Rai, dkk. (2010) mekanika perpindahan padatan untuk menentukan
distribusi gaya-gaya dalam dan deformasi akibat gaya luar pada suatu benda padat,
Jaeger, dkk. (2007) studi sifat perilaku massa batuan yang dikenakan perubahan
tegasan dan kondisi lainnya, Goodman (1989) mekanika batuan berhubungan
dengan sifat batuan dan metodelogi rekayasa. Hudson dan Harrison (1997)
mekanika batuan terapan untuk rekayasa memiliki aspek sisi seni dan ilmu. Dimana
menurut Hoek (2006) secara formal pengembangan ilmu mekanika batuan dimulai
pada tahun 1960an.
Secara ideal massa batuan tersusun oleh sistem blok batuan dan fragmen-fragmen
yang terpisahkan oleh diskontinuitas membentuk material dimana semua elemen
saling bergantung sebagai suatu satuan (Matula dan Holer, 1978 dalam Palmstrom,
1995). Material tersebut dikarakteristiki oleh bentuk dan dimensi blok batuan dan
fragmen-fragmen, oleh pengaturan bersama dalam massa batuan, serta oleh
karakter kekar seperti kondisi bidang kekar dan pengisinya (Palmstrom, 1995).
Gambar 2.1 di bawah ini menggambarkan skematika komponen-komponen yang
membangun massa batuan di alam, yaitu terdiri dari material batuan berikut
keberadaan diskontinuitas di dalamnya.
12
Gambar 2.1 Skematik penyusun massa batuan terdiri dari material batuan beserta
diskontinuitas di dalamnya (Palmstrom, 1995).
Hoek (2006) penerapan analisis mekanika batuan membutuhkan model dan data
geologi berdasarkan definisi tipe-tipe batuan, struktur diskontinuitas dan sifat
material. Wyllie dan Mah (2004) pengumpulan data diskontinuitas melalui
investigasi geologi dengan melakukan pengkategorian diskontinuitas, termasuk
proses terbentuknya. Wyllie dan Mah (2004) parameter-parameter yang perlu
dicatat dalam investigasi geologi diskontinuitas seperti tipe batuannya, tipe
diskontinuitas, skala, orientasi, spasi, persistence, kekasaran, kekuatan (wall
strength), aperture, pengisi, seepage, jumlah set kekar, bentuk dan ukuran blok,
serta tingkat pelapukan tersaji pada gambar 2.2. Palmstrom (1995) secara umum
berkaitan dengan investigasi geologi dari semua hal yang berkaitan dengan
mekanika batuan, rekayasa batuan dan desain adalah kualitas geo-data yang
menjadi dasar perhitungan dan estimasi yang dibuat.
13
a. Tipe Diskontinuitas
Tipe diskontinuitas mulai dari kekar tarik yang terbatas panjangnya, sampai patahan
dengan beberapa meter ketebalan lempung, gauge, dan panjang dalam kilometer
(Wyllie dan Mah, 2004), dan menurut Hoek (2006) semua massa batuan
mengandung diskontinuitas. Berbagai tipe diskontinuitas menurut Bieniawski
(1989) dan Hoek (2006) seperti patahan, bidang perlapisan, foliasi, kekar, belahan
dan schistositas. Lebih lanjut Giani (1992) menggolongkan bidang perlapisan,
belahan dan schitositas sebagai contoh kerusakan kemas (fabric defact), sedangkan
lipatan, patahan dan kekar sebagai kerusakan struktural (structural defact).
14
b. Skala Diskontinuitas
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat klasifikasi
diskontinuitas berdasarkan pada skalanya. Demikian juga Wyllie dan Mah (2004)
serta Hoek (2006) membuat ilustrasi skematik transisi skala berdasarkan
peningkatan ukuran percontoh, mulai dari batuan padu sebagai skala terkecil
sampai sebagai massa batuan yang terkekarkan kuat pada skala terbesar. Hoek
(2006) analisis sifat mekanika batuan dilakukan pada setiap skala memiliki
formulasi tertentu yang tepat untuk menganalisa permasalahan diskontinuitas. West
(2010) sifat batuan atau sifat material diukur melalui percontoh kecil di
laboratorium, sedangkan sifat massa batuan ditentukan dari keseluruhan sifat
volume yang besar melalui pengukuran di lapangan.
Skala
Nama Skala Spasi Asal/Genesa
Obs.
Retakan Makro dan Percontohan s < 0,25 Alterasi dan
Mikro laboratorium cm retakan tarikan
Blok batuan
0,25 cm < Rekahan
Belahan Bidang in situ
s < 5 cm tarikan
observasi
Rekahan dari
Kekar (A) Penggalian 5 cm < s <
tarikan dan
Dike (B) eksplorasi 6m
tegasan geser
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat ilustrasi yang cukup
detail dalam pengklasifikasian berbagai karakteristik diskontinuitas berdasarkan
skala observasinya, baik jenis, spasi dan genesa diskontinuitas (Tabel 2.1).
Diskontinuitas terkecil berupa retakan mikro dan makro diamati melalui percontoh
15
c. Orientasi Diskontinuitas
Mekanisme pada formasi batuan menyebabkan diskontinuitas tidak terbentuk
seluruhnya berorientasi acak (Hudson dan Harrison, 1997). Orientasi merefleksikan
siknifikansi variasi set diskontinuitas pada massa batuan (Bieniawski, 1989).
Bidang diskontinuitas memiliki strike dan dip, Giani (1992) menyatakan strike
sebagai azimuth, yang diukur searah jarum jam (Wyllie dan Mah, 2004) antara
sudut utara dan irisan bidang diskontinuitas terhadap bidang referensi horizontal.
Sedangkan dip menurut Hudson dan Harrison (1997) merupakan sudut tercuram
diskontinuitas terhadap horizontal.
Gambar 2.3 Contoh proyeksi stereografis bidang (N–S, 408W)) dan kutup dari
bidang: a) pandangan menyamping, b) proyeksi sama luas bawah hemisfer
Giani (1992) analisis orientasi diskontinuitas dapat dilakukan melalui proyeksi
sperikal, yaitu metode yang menggunakan analisis hubungan tiga dimensi antara
bidang dan garis pada digram dua dimensi. Kelemahan proyeksi ini adalah
kemudahan bergerak dipermukaan, tetapi tidak mampu diputar. Goodman (1989)
dan Wyllie dan Mah (2004) diskontinuitas bisa juga dianalisis menggunkan metode
proyeksi stereografi (gambar 2.3), termasuk analisis kinematikanya (Goodman,
1989 dan Wyllie dan Mah, 2004).
16
d. Spasi Diskontinuitas
Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara diskontinuitas
terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki frekuensi
kemunculan, frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah jarak setiap unit
berbanding terbalik terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi dipetakan dari
permukaan batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu
untuk diskontinuitas yang miring terhadap permukaan (Gambar 2.4). Pengukuran
spasi set kekar memberikan ukuran dan bentuk blok. Hasilnya berupa model
stabilitas dan kekuatan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).
Gambar 2.4 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya (S)
dalam satu set diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004)
e. Persistence
Menurut Wyllie dan Mah (2004) persistence merupakan pengukuran panjang
diskontinuitas atau luas diskontinuitas. Parameter ini menetapkan ukuran blok dan
panjang potensi permukaan gelincir. Giani (1992) persistence secara kasar dapat
dikuantifikasi melalui observasi panjang diskontinuitas pada permukaan batuan.
Pahl (1981) dalam Wyllie dan Mah (2004) membuat perhitungan panjang
diskontinuitas, dengan asumsi panjang merupakan distribusi.
(1 m)
l H' (2.1)
(1 m)
L1.L2
H' (2.2)
( L1. cos L2 . sin )
17
( Nt N c ) (2.3)
m
( N " 1)
Dengan l merupakan rata panjang persistence, L1 dan L2 ukuran panjang dan lebar
daerah yang dipetakan (gambar 2.5), Nt dan Nc jumlah diskontinuitas pada area
pemetaan singkapan, N total diskontinuitas
Gambar 2.5 Pengukuran spasi dan persistence diskontinuitas (Wyllie dan Mah,
2004). Keterangan : c kekar dalam area, t kekar memotong area, dip , rata-rata
spasi S
f. Kekasaran (Roughness)
Pada analisis orientasi dan persistence, bidang diskontinuitas dianggap sebagai
bidang planar, tetapi permukaannya bisa saja kasar (Hudson dan Harrison, 1997).
Giani (1992) parameter kekasaran menunjukkan indeks tidak rata dan gelombang
pada diskontinuitas batuan. Diskontinuitas bergelombang dicirikan oleh skala
indulasi yang besar, sedangkan diskontinuitas tidak rata ditandai oleh skala
kekasaran kecil. Selain itu menurut Wyllie dan Mah (2004) secara umum bentuk
permukaan diskontinuitas memiliki permukaan yang kasar, jika berbentuk indulasi
akan memiliki permukaan halus dan jika planar maka bidang permukaannya
slickensides.
dari skala singkapan yang dilakukan di lapangan, juga melalui skala terkecil di
laboratorium, seperti ilustrasi pada gambar 2.6. Hudson dan Harrison (1997)
pengukuran kekasaran dapat pula dilakukan dengan mereferensi pada chart
standard dan formulasi matematik, terpapar pada gambar 2.7. Wyllie dan Mah
(2004) pada tahap investigasi pendahuluan biasanya dilakukan penilaian visual
kekasaran, ditetapkan sebagai Joint Rough Coefficient (JRC) dari Barton (1973).
Giani (1992) menyebutkan bahwa nilai kekasaran permukaan diskontinuitas
berguna untuk mengetahui kuat geser, khususnya pada dinding diskontinuitas yang
belum mengalami dislokasi dan belum terisi.
Gambar 2.6 Survey tingkat kekasaran pada skala berbeda dengan referensi untuk
keperluan tes kuat geser, (Giani, 1992) ; dimana i sebagai sudut gelombang,
1) Ukuran shear test laboratorium, 2) Ukuran volume blok pada in situ test
Wyllie dan Mah (2004) nilai JRC dapat diestimasikan secara visual dengan
membandingkan kondisi permukaan terhadap profil standard berdasarkan
kombinasi ketidakteraturan permukaan pada skala beberapa sentimeter dan
gelombangan pada skala beberapa meter (gambar 2.8). Palmstorm (1995) metode
JRC dari Barton (1973) nilainya berkisar dari lima untuk bidang kekar planar
sampai dua puluh untuk kekar bergelombang kasar. Nilai tersebut merupakan
perkiraan subyektif dari perbandingan profil kekasaran standar.
19
Gambar 2.7 Metode alternative untuk estimasi nilai JRC dari pengukuran
simpangan dari rata-rata air (Barton, 1982)
20
Gambar 2.8 Profil tingkat kekasaran untuk nilai kisaran JRC (Barton dan
Choubey, 1977)
21
UCS
Grade Deskripsi Identifikasi lapangan
(MPa)
Batuan
R0 Dapat ditusuk menggunakan kuku tangan 0,25-1,0
lemah sekali
22
h. Rongga (Aperature)
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh dari
pengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan berdekatan dari bidang
diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air. Dimana kehadiran rongga
pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya
hidraulic conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku
massa batuan.
(2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai kategori yang besar dan jika (< 0,1
mm) dikategorikan sangat rapat. Secara lengkap pembangian kategori rongga
dilakukan oleh Barton (1973) lihat tabel 2.3. Giani (1992) asal mula terbentuknya
rongga dapat merupakan hasil shear displacement diskontinuitas dengan kekasaran
dan gelombangan cukup besar dari bukaan tarikan, pencucian (outwash), pelarutan
dan dari tarikan diskontinuitas vertikal oleh erosi lembah atau proses glasiasi.
i. Pengisi (Infilling)
Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang memisahkan
dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani (1992) pengisi ini
biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe pengisi bisa berupa pasir,
lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun untuk mineral pengisi seperti
kalsit, kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika
material pengisi ini mempengaruhi kuat geser diskontinuitas. Lebih lanjut menurut
Wyllie dan Mah (2004) material pengisi dapat dipergunakan untuk memprediksi
perilaku diskontinuitas batuan.
Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi pada
diskontinuitas, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memprediksi arah bukaan
24
rekahan dan kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar 2.10 (Pluijm dan
Marshak, 2004). Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan batuan menurut
Giani (1992) serta Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik diskontinuitas berikut
harus dicatat seperti : meneralogi, tingkatan dan ukuran partikel, kandungan air dan
permeabilitas, perpindahan geser sebelumnya (offset), kekasaran dinding, lebar,
rekahan dan hancuran dinding batuan dan rasio over-cosolidation.
Gambar 2.10 Tipe urat pengisi (Pluijm dan Marshak, 2004) : (a) blocky vein,
(b) fibrous vein, (c) dan (d) arah bukaan diskontinuitas sama dengan sumbu fiber
Sehingga berdasarkan parameter deskripsi tersebut di atas dipergunakan untuk
memenuhi berbagai hal berikut ini (Giani, 1992) :
3) Kekuatan pengisi : Indeks manual kekuatan dan kekerasan batuan dan tanah
ditentukan oleh penetrasi, penghancuran, penggoresan material
menggunakan tangan, pisau atau palu geologi, kuat geser, rasio over-
consolidation untuk dinding yang bergeser atau yang masih tetap.
j. Seepage
Seepage berhubungan dengan aliran air dan uap bebas pada diskontinuitas atau
massa batuan. Umur diskontinuitas dan asal mula kejadiannya adalah penting untuk
menilai transmisivity air (Giani, 1992), karena mampu menyediakan informasi
keadaan bukaan atau celah tempat mengalirnya air melalui struktur sekunder.
Kategori seepage bervariasi dari kering sampai mengalir kontinyu, sehingga
observasi menunjukkan posisi muka air tanah dan tinggi-rendah konduktifitas
batuan (Wyllie dan Mah, 2004).
Iklim turut mempengaruhi keterdapatan seepage, dan besarnya infiltrasi air tanah
(Wyllie dan Mah, 2004). Infiltrasi air tanah dinilai berdasarkan faktor-faktor
penting yang mempengaruhinya seperti meteorologi, morfologi dan geologi
hidrogeologi (Celico, 1986 dalam Giani, 1992).
Ukuran blok ditentukan oleh spasi diskoninuitas, jumlah set dan panjang
diskontinuitas. Hudson dan Harrison (1997) menganologikan ukuran blok dan
distribusinya sebagai distribusi in situ ukuran partikel. Ukuran blok
mengindikasikan perilaku massa batuan, karena mampu mengestimasi performa
massa batuan pada kondisi tegasan. Adapun jumlah set dan orientasi atau pola kekar
dapat menentukan bentuk blok yang dihasilkan, sehingga dapat berupa kubus,
rombohedral, tetrahedron atau lembaran (Giani, 1992) atau berbentuk blocky,
shattered dan kolumnar (Wyllie dan Mah, 2004 ).
m. Pelapukan (Weathering)
Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan, disebabkan
oleh air, karbon dioksida dan oksigen (Giani, 1992), atau proses eksternal
menyebabkan hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi kondisi yang baru.
Prosesnya melibatkan agen-agen fisika, kimia, biologi (Bates, 1987), atau melalui
proses mekanika dan dipengaruhi oleh keadaan iklim (Giani, 1992). Wyllie dan
Mah (2004) pelapukan berbentuk desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi
adalah hasil perubahan lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan
pemanasan. Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan oleh agen-
agen kimia seperti proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi seperti
perubahan feldspar menjadi kaolinit, dan karbonisasi seperti pelarutan
batugamping.
Giani (1992) dampak pelapukan tidak hanya terbatas di permukaan saja tetapi lebih
dalam, umumnya pada kedalaman yang dangkal, tergantung kehadiran saluran yang
memungkinkan aliran air dan kontak dengan atmosfer. Wyllie dan Mah (2004)
berkurangnya kekuatan batuan oleh pelapukan akan mengurangi kuat geser
diskontinuitas. Sehingga pelapukan juga akan mengurangi kuat geser massa batuan
diakibatkan pengurangan kekuatan batuan padu. pelapukan menghasilkan
pengurangan kompetensi batuan dari sudut pandang engineering atau mekanika
batuan (Giani, 1992).
27
Dalam menganalisis stabilitas lereng batu, faktor yang paling penting untuk
dipertimbangkan adalah geometri massa batuan di bagian belakang permukaan
lereng. Hubungan antara orientasi diskontinuitas dan permukaan galian akan
menentukan apakah bagian dari massa batuan bebas untuk meluncur atau roboh,
sedangkan faktor yang paling penting yang mengatur stabilitas adalah kekuatan
geser berpotensi permukaan kegagalan (sliding surface).
Pemilihan kekuatan geser yang tepat dari lereng tergantung terhadap sebagian besar
pada skala relatif antara permukaan geser dan struktur geologi (Hoek, 2006).
Misalnya, dalam lereng tambang terbuka diilustrasikan pada gambar 2.11 dimensi
lereng keseluruhan jauh lebih besar dari panjang diskontinuitas, sehingga setiap
sliding surface akan melewati massa batuan joint dan kekuatan batuan yang tepat
untuk digunakan dalam desain lereng pit adalah massa batuan. Sebaliknya, tinggi
bench adalah sama untuk panjang sendi sehingga kestabilan dapat dikendalikan
oleh satu sendi saja, serta kekuatan batuan yang sesuai untuk digunakan dalam
28
desain benches adalah joint set yang dari dips permukaan. Akhirnya, pada skala
kurang dari spasi joint, blok batuan utuh terjadi serta kekuatan batuan yang sesuai
digunakan dalam penilaian pengeboran, dan blasting metode, misalnya akan
terutama yang dari batuan utuh.
Dalam desain lereng batuan, bahan batuan diasumsikan berdasarkan teori Coulomb
dimana kekuatan geser permukaan sliding dinyatakan dalam hal kohesi (c) dan
sudut geser (φ) (Coulomb, 1773 dalam Wyllie dan Mah, 2004). Untuk planar,
diskontinuitas bersih atau tidak ada infilling, kohesi akan menjadi nol dan kekuatan
geser akan ditentukan semata-mata oleh sudut gesekan. Sudut gesekan dari material
batuan berkaitan dengan ukuran dan bentuk butir terpapar pada permukaan fraktur.
Batu halus dan batuan dengan kandungan mika tinggi akan cenderung memiliki
sudut gesekan rendah, sementara batu kasar seperti granit, akan memiliki sudut
gesekan tinggi (Barton, 1973). Namun, jika diskontinuitas berisi infilling, sifat
kekuatan geser fraktur sering diubah, dengan kohesi dan sudut geser dari
permukaan dipengaruhi oleh ketebalan dan sifat infilling.
batuan, dan sifat kekuatan geser fraktur akan menjadi sifat infilling (Goodman,
1970).
Isian diskontinuitas dapat dibagi menjadi dua kategori umum, tergantung pada
apakah telah terjadi perpindahan sebelumnya diskontinuitas (Barton, 1974).
Pertama recently displaced discontinuities, diskontinuitas ini meliputi faults, shear
zones, clay mylonites dan bedding-surface slips. Kedua undisplaced discontinuities,
diskontinuitas pengisi yang tidak mengalami perpindahan sebelumnya termasuk
batuan beku dan metamorf yang telah lapuk di sepanjang diskontinuitas untuk
membentuk lapisan lempung. Selain isian diskontinuitas pengaruh yang paling
penting adalah keberedaan air dalam diskontinuitas, dimana menyebabkan
kekuatan geser berkurang akibat pengurangan efektif tegangan geser yang normal
yang bekerja pada permukaan (Wyllie dan Mah, 2004).
b. Rock mass shear strength (kekuatan geser massa batuan) ditentukan oleh
metode empiris dengan cara analisis balik dari lereng yang dipotong dalam
kondisi geologi sama, atau melalui perhitungan yang melibatkan indeks
kekuatan batuan.
Berbagai kondisi kekuatan geser yang mungkin ditemui di lereng batu seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 2.12 jelas menunjukkan pentingnya memeriksa baik
karakteristik diskontinuitas dan kekuatan batuan selama site investigation.
Gambar 2.12. Hubungan Antara Geologi dan Kelas Kekuatan Batuan (Wyllie dan
Mah, 2004)
32
Hoek dan Brown (1980) mengusulkan sebuah metoda untuk menduga kekuatan
massa batuan terkekarkan. Metodanya kemudian dimodifikasi kembali (Hoek,
1983; Hoek dan Brown, 1988). Aplikasi kriteria runtuh ini untuk kualitas massa
batuan sangat perlu dilakukan perubahan (Hoek, dkk, 1992). Dan pengembangan
klasifikasi baru tersebut disebut geological strength index – GSI (Hoek, 1994;
Hoek, dkk., 1995; Hoek dan Brown, 1997) kemudian dimodifikasi (Hoek, dkk,
2002) dengan pengembagan rumus (2.4).
𝜎 𝑎
𝜎1 ´ = 𝜎3 ´ + 𝜎𝐶 (𝑚𝑏 𝜎3 + 𝑠) (2.4)
𝑐
Dimana σ1´ dan σ3´ merupakan tegangan efektif maksimum dan minimum saat
batuan runtuh. σc adalah kuat tekan (UCS) batuan utuh. mb merupakan penurunan
konstanta material mi yang berasal dari pengujian triaksial batuan utuh di
laboratorium dengan besarnya :
GSI 100
m b mi exp (2.5)
28 14 D
Untuk menentukan kuat tekan (σc), dan konstanta mi dapat dilakukan melalui uji
triaksial dengan menggunakan analisis regresi non linier.
𝑥 = 𝜎′3 (2.7)
𝑦 = (𝜎1 ′ − 𝜎3 ′) 2 (2.8)
∑ 𝑦 ∑ 𝑥𝑦 − (∑ 𝑥 ∑ 𝑦⁄𝑛)
𝜎𝑐𝑖2 = [ ] (2.9)
𝑛 ∑ 𝑥 2 − ((∑ 𝑥)2 ⁄𝑛)
1 ∑ 𝑥𝑦 − (∑ 𝑥 ∑ 𝑦⁄𝑛)
𝑚𝑖 = [ ] (2.10)
𝜎𝑐𝑖 ∑ 𝑥 2 − ((∑ 𝑥)2 ⁄𝑛)
Pada penentuan kekuatan massa batuan dengan metode GSI adanya masukkan
parameter konstanta massa batuan berupa m dan s. Hoek dan Brown telah membuat
konstanta m dan s seperti pada Tabel 2.4. Pada tabel tersebut memberikan informasi
semakin keras maka konstanta m dan s semakin besar. Estimasi kekuatan massa
batuan dari nilai uniaxial compressive strength berdasarkan persamaan-persamaan
berikut ini dari Hoek, dkk., 2002.
c ci .S a (2.11)
S. ci
Tensile strength : t (2.12)
mb
s dan a adalah konstanta untuk massa batuan, dan dicari dengan persamaan sebagai
berikut :
GSI 100
s exp (2.13)
9 3D
1 1 GSI 15 20
a (e e 3) (2.14)
2 6
34
(7)
Organik
----- Batubara -----
Bukan Klastik
(8-21)
Sparitik Mikriti
Breksi
Karbonat Gamping Gamping
(20)
(10) (8)
Batugips Anhidrit
Kimia
(16) (13)
Marmer Hornfels Quarzit
Tak berfoliasi
METAMORF
Penampilan
Deskripsi Massa Batuan Nilai D
Massa Batuan
D = 0.7
Peledakan skala kecil dalam lereng teknik sipil
Peledakan yang
menghasilkan kerusakan massa batuan sederhana,
bagus
terutama jika peledakan terkontrol digunakan seperti
D = 1.0
yang ditunjukkan di sisi kiri foto itu. Namun, stres
Peledakan yang
bantuan menghasilkan beberapa gangguan.
buruk
Lereng tambang terbuka yang sangat besar
mengalami gangguan yang signifikan karena D = 1.0
peledakan produksi berat dan juga karena Peledakan
menghilangkan stres dari pemindahan lapisan produksi
penutup (overburden removal).
Dengan nilai D merupakan faktor gangguan dari massa batuan. Rentang nilai D
adalah 0 sampai dengan 1. Faktor gangguan 0 untuk undisturb dan 1 untuk
distrubed pada massa batuan. Petunjuk untuk menentukan nilai D dapat dilihat pada
Tabel 2.5. Sebagai catatan, dengan memilih GSI = 25 akan meminimalkan koefisien
36
s dan a, serta memberikan transisi yang menerus atau kontinu. Tegangan normal
dan geser dihubungkan dengan tegangan principal oleh persamaan yang
dipublikasikan oleh Balmer (1952) dalam Hoek, dkk., (2002).
√𝑑𝜎1′ ⁄𝑑𝜎31
𝜏= (𝜎1′ − ′)
𝜎3 𝑑𝜎′ ⁄𝑑𝜎′ +1 (2.16)
1 3
dimana
Ed (GPa) 1 D 2
ci
100
.10(GSI 10) / 40 (2.18)
Ed (GPa) 1 D 2
.10 ( GSI 10) / 40
(2.19)
Analisis pendekatan softwere untuk tanah dan batuan umumnya didasarkan pada
krtiteria Mohr-Coulomb, sehingga diperlukan pendekan dari persamaan Mohr-
Coulomb (cʹ,φʹ) dengan kriteria Hoek-Brown :
′ ) 𝑎−1
6𝑎𝑚𝑏 (𝑠+𝑚𝑏 𝜎3𝑛
∅′ = 𝑠𝑖𝑛−1 [ ′ ) 𝑎−1 ] (2.20)
2(1+𝑎)(2+𝑎)+6𝑎𝑚𝑏 (𝑠+𝑚𝑏 𝜎3𝑛
′ ⌋(𝑠+𝑚 𝜎 ′ ) 𝑎−1
𝜎𝑐𝑖 ⌊(1+2𝑎)𝑠+(1−𝑎)𝑚𝑏 𝜎3𝑛
𝑐′ = 𝑏 3𝑛
𝑎−1
(2.21)
′ )
(1+𝑎)(2+𝑎)√1+(6𝑎𝑚𝑏 (𝑠+𝑚𝑏 𝜎3𝑛 )⁄((1+𝑎)(2+𝑎))
1 ⁄𝜎𝑐𝑖
dengan : 𝜎3𝑛 = 𝜎3𝑚𝑎𝑥
37
Nilai dari σ'3max adalah batas atas confining stress pada hubungan Mohr-Coulomb
dan Hoek-Brown. Gambar 2.13 menunjukkan σ'3max terhadap persamaan Mohr-
Coulomb dan Hoek-Brown pada penggalian permukaan, pemilihan nilai ini dapat
digunakan untuk lereng dangkal dan terowongan (Hoek, Carranza-Torres dan
Corkum, 2002). Mohr-Coulomb kekuatan geser (τ) diberikan yang normal stres
(σ) diperoleh dari substitusi nilai c 'dan φ' dalam persamaan :
𝜏 = 𝑐 ′ + 𝜎 𝑡𝑎𝑛∅ (2.22)
Serta dimasukkan kedalam sebuah hubungan major principal stresses dan minor
principal stresses, yang dapat didefinisikan sebagai berikut :
2𝑐 ′ 𝑐𝑜𝑠 ∅′ 1+𝑠𝑖𝑛 ∅′
𝜎1′ = + 1−𝑠𝑖𝑛 ∅′ 𝜎3′ (2.23)
1−𝑠𝑖𝑛 ∅′
Gambar 2.13. Hubungan major dan minor principal stresses dari Hoek-Brown
dan Mohr-Coulomb (Hoek, Carranza-Torres dan Corkum, 2002)
38
Menurut Cruden dan Varnes (1992) dan Hardiyatmo (2012), karakteristik gerakan
massa pembentuk lereng dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
a. Longsoran (slide)
Longsoran adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh
terjadinya keruntuhan geser di sepanjang satu atau lebih bidang longsor.
Berdasarkan geometri bidang gelincir, terdapat dua jenis bidang longsor yaitu
longsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional (rotational
slide) (Gambar 2.14a) dan longsoran dengan bidang gelincir datar atau longsoran
translasional (translational slide) (Gambar 2.14b). Sedangkan Block slide adalah
39
salah satu dari jenis longsoran translasional yang terjadi pada jenis longsoran batuan
(Gambar 2.14 c).
a. b
c d
e f
Gambar 2.14 Tipe dan jenis gerakan massa tanah (Cruden dan Varnes (1992)
b. Jatuhan (fall)
Jatuhan (fall) adalah gerak jatuh material pembentuk lereng yang dapat berupa
tanah atau batuan di udara tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material
yang longsor (Gambar 2.14 d).
d. Robohan (toppling)
Robohan adalah gerakan material yang biasanya terjadi pada lereng batuan yang
sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang-bidang ketidakmenerusan yang
relatif vertikal (Gambar 2.14 f).