Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan usaha pertambangan batubara mempunyai peranan penting dalam


memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberikan nilai tambah secara nyata
kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara
berkelanjutan di Indonesia (UU No. 4 Tahun 2009). Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, pasal dua ayat
satu isinya mengenai Kebijakan energi nasional bertujuan untuk mengarahkan
upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri, ayat dua
poin b sub poin 3 yang berisi Sasaran kebijkan energi nasional adalah terwujudnya
energi primer yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis
energi terhadap konsumsi energi nasional, sumber energi batubara menjadi lebih
dari 33% (tiga puluh tiga persen). Bahwasanya indonesia akan melakukan kegiatan
pertambangan batubara secara besar untuk memenuhi pasokan energi berupa
batubara, dengan demikian akan ada terjadi bukaan bumi secara luas dengan
membentuk lereng sedimen yang terekspos seketika dan menggangu kondisi
kesetabilan dari batuan secara geologi.

Proses-proses geologi yang terjadi selama dan setelah pembentukan batuan


mempengaruhi sifat massa batuan (rock mass properties), termasuk sifat
keteknikannya (engineering properties). Di alam massa batuan cenderung tidak
ideal dalam beberapa hal (Goodman, 1989), seperti heterogen, anisotrop dan tidak
menerus (discontinu). Keberadaan diskontinuitas tersebut mengakibatkan distribusi
kekuatan dan tegangan dalam massa batuan tidak terdistribusi secara merata ke
segala arah, akibatnya sifat elastisitas massa batuan menjadi berubah dan pada
akhirnya mengakibatkan terganggunya keseimbangan kekuatan massa batuan dan
terjadi longsor. Orientasi discontinue merupakan faktor geologi utama yang
mempengaruhi stabilitas batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

1
2

Penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai keadaan diskontinuitas dan


faktor geologi lain yang mempengaruhi kualitas massa batuan (rock mass quality)
atau sebagai mekanisme keruntuhan batuan. Pengetahuan kualitas massa batuan ini
dapat menjadi bahan evaluasi kualitas massa batuan dan sekaligus berguna dalam
aplikasi lereng tambang terutama dalam studi kasus yang terjadi di daerah
penelitian.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang hendak dicapai meliputi :


a. Pembuatan klasifikasi kualitas massa batuan (rock mass quality) menggunakan
metode RMR dan GSI.
b. Mengetahui statistika kualitas hubungan antara metode RMR dan GSI dalam
menentukan kualitas massa batuan.
c. Mengetahui statistika kualitas hubungan antara metode RMR dan SMR dalam
menentukan kualitas massa batuan dan sudut lereng yang akan digunakan.
d. Menganalisa studi kasus longsoran yang terjadi pada lereng sedimen berlokasi
ditambang barubara, sehubungan dengan potensi kualitas massa batuan (rock
mass quality) akibat proses-proses geologi yang mengenainya.
e. Mengetahui mekanisme keruntuhan lereng di area studi kasus serta variasinya
berdasarkan Geological Data Collection, Analisa kinematik, Pendekatan
Analisis Numeris dan Monitoring pergerakan lereng.
f. Melakukan evaluasi, pembahasan dan rekomendasi dalam aplikasi lereng
tambang terutama dalam studi kasus yang terjadi.

1.3 Batasan Masalah

Menjaga fokus dan arah dari penelitian ini, dan keterbatasan waktu serta biaya maka
penelitian ini diberi batasan sebagai berikut :
a. Studi kasus keruntuhan lereng batuan sedimen di tambang batubara berlokasi
di Kecamatan Muaralawa dan Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat,
Propinsi Kalimantan Timur.

2
3

b. Penelitian dilakukan pada kriteria lereng sedimen yang terekspos seketika serta
mendapatkan kelebihan aktifitas disekitar areanya seperti kegiatan
pertambangan (dinding lereng tambang bukan lereng alam).
c. Parameter indeks properties batuan diperoleh dari data hasil pengujian
laboratorium dan Geological Data Collection berupa data diskontinuitas,
RMR dan GSI.
d. Dalam pelaksanaan analisa model, pengaruh air tanah diasumsikan pada
kedalaman muka air tanah disaat terjadinya keruntuhan serta diasumsikan
dalam kondisi tetap.

1.4 Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan peneliti dan referensi yang telah ditinjau sebelumnya di


lingkungan universitas gadjah mada, belum ada kajian yang membahas tentang
analisis stabilitas dan mekanisme keruntuhan lereng batuan sedimen tambang
terbuka batubara. Beberapa hasil penelitian dari peneliti lain yang pada dasarnya
dapat dijadikan dasar teori dan pandangan dalam tahapan pelaksanaan penelitian
ini diantaranya sebagai berikut:

a. Tosney, dkk. (2004), melakukan penelitian di area pertambangan tembaga porfiri


Highland Valley Copper. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah pemetaan
rinci lapangan, pemantauan deformasi lereng yang luas, pengujian
laboratorium dan pemodelan elemen numerik yang berbeda. penelitian ini
menghasilkan penemuan jenis mekanisme ketidakstabilan lereng yang
merupakan kombinasi dari large scale dan classical block toppling.
b. Hammah, dkk (2008), melakukan penelitian dengan pemodelan praktis
mengenai massa batuan dengan representasi eksplisit dari diskontinuitas
menggunakan Metode Elemen Hingga. dalam penjelasan penelitian ini
menyajikan manfaat pendekatan seperti kemampuan untuk menangkap
berbagai mekanisme dan efek skala karena diskontinuitas.

3
4

c. Hammah dan Yacoub (2009), menunjukkan kemampuan analisis Shear Strength


Reduction (SSR) berdasarkan Metode Elemen Hingga (FEM) untuk model efek
skala jaringan diskontinuitas pada mekanisme stabilitas dan kegagalan lereng
di blok massa batuan.

Dengan demikian penelitian mengenai analisis stabilitas dan mekanisme


keruntuhan lereng batuan sedimen tambang terbuka batubara dapat dikatakan masih
bersifat asli.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batuan Sedimen Batubara

Batuan Sedimen menurut O’Dunn dan Sill (1986) adalah batuan yang terbentuk
oleh konsolidasi sedimen, sebagai material lepas, yang terangkut ke lokasi
pengendapan oleh air, angin, es dan longsoran gravitasi, gerakan tanah atau tanah
longsor. Batuan sedimen juga dapat terbentuk oleh penguapan larutan kalsium
karbonat, silika, garam dan material lain. Menurut Tucker (2001), 75 % batuan di
permukaan bumi berupa batuan sedimen, tetapi batuan itu hanya 5 % dari volume
seluruh kerak bumi. Ini berarti batuan sedimen tersebar sangat luas di permukaan
bumi, tetapi ketebalannya relatif tipis.

Pettijohn (1975), O’Dunn dan Sill (1986) membagi batuan sedimen berdasar
teksturnya menjadi dua kelompok besar, yaitu batuan sedimen klastika dan batuan
sedimen non-klastika. Batuan sedimen klastika (detritus, mekanik, eksogenik)
adalah batuan sedimen yang terbentuk sebagai hasil pengerjaan kembali terhadap
batuan yang sudah ada. Proses pengerjaan kembali itu meliputi pelapukan, erosi,
transportasi dan kemudian redeposisi (pengendapan kembali). Sebagai media
proses tersebut adalah air, angin, es atau efek gravitasi (beratnya sendiri). Media
yang terakhir itu sebagai akibat longsoran batuan yang telah ada. Kelompok batuan
ini bersifat fragmental yang terdiri dari butiran atau pecahan batuan sehingga
bertekstur klastika. Batuan sedimen non-klastika adalah batuan sedimen yang
terbentuk sebagai hasil penguapan suatu larutan, atau pengendapan material di
tempat itu juga (insitu). Proses pembentukan batuan sedimen kelompok ini dapat
secara kimiawi, biologi atau organik, dan kombinasi di antara keduanya (biokimia).
Secara kimia, endapan terbentuk sebagai hasil reaksi kimia. Secara organik adalah
pembentukan sedimen oleh aktivitas binatang atau tumbuh-tumbuhan, sebagai
contoh pembentukan rumah binatang laut (karang), terkumpulnya cangkang

5
6

binatang (fosil), atau terkuburnya kayu-kayuan sebagai akibat penurunan daratan


menjadi laut.

Tucker (2003) membagi batuan sedimen dalam empat kelompok kategori umum :

a. Batuan sedimen siliciclastic, terdiri dari sandstones, mudrocks, conglomerates


dan breccias.

b. Batuan sedimen biogenik, biokimia dan organik, terdiri dari limestone,


dolomites, cherts, phosphates, coal (batubara) dan oil shale.

c. Batuan sedimen kimia, terdiri dari ironstones dan evaporites.

d. Batuan sedimen volcaniclastic (klastika gunungapi), terdiri dari tephra, tuffs


dan hyaloclastites.

Graha (1987) membagi batuan sedimen menjadi lima kelompok berdasarkan cara
terbentuknya batuan tersebut, seperti :

a. Batuan sedimen detritus (klastika), terdiri dari jenis batuan konglomerat,


batuan batupasir, batulanau, batulempung, serpih dan napal.

b. Batuan sedimen evaporit, terdiri dari jenis batugaram, gip dan anhidrit.

c. Batuan sedimen batubara, terbentuk dari unsur-unsur organik yaitu dari


tumbuh-tumbuhan.

d. Batuan sediment silika, terdiri dari batuan rijang (chert), batupaneker (flint),
tanah radiolaria dan tanah diatomea. Proses terbentuknya batuan ini adalah
gabungan antara proses organik dan proses kimiawi.

d. Batuan sedimen karbonat, terdiri dari batu gamping (limestone) dan dolomit.

2.1.1. Cara Terbentuknya Batubara


Komposisi kimia batubara hampir sama dengan komposisi kimia jaringan
tumbuhan, keduanya mengandung unsur utama yang terdiri dari unsur C, H, O, N,
S, dan P, karena batubara terbentuk dari jaringan tumbuhan yang telah mengalami
7

proses pembatubaraan (Sukandarrumidi, 2009). Menurut krevelen (2003) dalam


Sukandarrumidi (2009) menyatakan cara terbentuknya barubara dengan dua cara
yaitu cara insitu dan cara drift.

Cara insitu menjelaskan, tempat dimana batubara terbentuk bersama dengan tempat
terjadinya proses pembatubaraaan (coalification) dan sama dengan tempat dimana
tumbuhan tersebut berkembang. Beberapa penciri yang dapat dipergunakan untuk
mengetahui berlakuknya cara insitu pada suatu daerah tambang batubara, antaralain
didapatkannya getah tumbuhan yang telah mengeras (membatu), dalam istilahh
geologi disebut sebagai Harz (istilah lapangan dikenal sebagai damar Selo atau
grandarukem). Selain Harz sering didapatkan juga imprint tulang daun (sering
disebut dengan tikas tulang daun). Cara drift menjelaskan bahwa endapan batubara
yang terdapat pada cekungan sedimen berasal dari tempat lain, dengan kata lain
tempat terbentuknya batubara berbeda dengan tempat tumbuhan semula
berkembang kemudian mati. Bahan pembentuk batubara tersebut telah mengalami
transportasi, sortasi dan terakumulasi pada suatu cekungan sedimen. Penyebaran
batubara dengan konsep cara drift, akan memiliki luasan yang besar atau luasan
sempit, tergantung pada luasan cekungan sedimentasi (Krevelen, 1993 dalam
Sukandarrumidi, 2009).

2.1.2. Faktor Yang Berpengaruh dari Posisi Geoteknik


Cara terbentuknya batubara melalui proses yang sangat panjang dan lama,
disamping dipengaruhi faktor alamiah yang tidak mengenal batas waktu, terutama
ditinjau dari segi fisika, kimia atau biologis. Serangkaian faktor yang akan
berpengaruh dan menentukan terbentuknya batubara antara lain dipandang dari
posisi geoteknik, keadaan topografi daerah, iklim daerah, proses penurungan
cekungan sedimentasi, umur geologi jenis tumbuhan, proses dekomposisi, sejarah
setelah pengendapan, struktur geologi cekungan dan etamorfosa organik (Hutton
dan Jones, 1995).

Secara ringkas faktor yang berpengaruh dari posisi geoteknik adalah letak suatu
tempat yang merupakan cekungan sedimentasi yang keberadaannya dipengaruhi
8

oleh gaya-gaya tektonik lempeng. Adanya gaya-gaya tektonik ini akan


mengakibatkan cekungan sedimentasi menjadi lebih luas apabila terjadi penurunan
dasar cekungan, atau menjadi lebih sempit apabila terjadi penaikan dasar cakungan.
Proses tektonik dapat diikuti oleh perlipatan perlapisan batuan ataupun patahan.
Apabila proses yang tersebut terjadi maka satu cekungan sedimentasi akan dapat
terbagi menjadi dua atau lebih sub cekungan sedimentasi dengan luasan yang relatif
kecil. Kejadian ini berpengaruh pada penyebaran batubara yang terbentuk. Makin
dekat cekungan sedimentasi batubara terbentuk atau terakumulasi, terhadap posisi
kegiatan tektonik lempeng, kualitas batubara yang dihasilkan akan semakin baik
(Sukandarrumidi, 2009).

2.2 Faktor – Faktor Pengontrol Terjadinya Gerakan Lereng

Hoek dan Bray (1981) mengatakan bahwa stabilitas lereng dapat dikendalikan oleh
kondisi geologi lokal, bentuk lereng keseluruhan di daerah itu, kondisi air tanah
setempat dan juga dengan teknik penggalian yang digunakan dalam menciptakan
lereng. Faktor pengendali ini jelas akan sangat bervariasi untuk situasi
pertambangan yang berbeda dan tidak mungkin untuk memberikan aturan umum
pada seberapa tinggi atau seberapa curam lereng yang harus dipastikan bahwa
lereng tersebut akan stabil.

Karnawati (2005) juga menjelaskan bahwa pegerakan massa tanah/batuan pada


lereng dapat terjadi akibat interaksi pengaruh antara beberapa kondisi yang meliputi
kondisi geomorfologi (kemiringan lereng), geologi, tanah/batuan penyusun lereng,
hidrologi lereng, iklim dan faktor-faktor pengontrol lainnya. Kondisi-kondisi
tersebut saling berpengaruh sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang
mempunyai kecenderungan atau berpotensi untuk bergerak. Jadi pengertian rentan
di sini adalah berpotensi atau berkecenderungan untuk bergerak, namun belum
mengalami gerakan. Lereng yang telah dikategorikan sebagai lereng yang rentan
bergerak merupakan suatu lereng dengan massa tanah/batuan penyusun
tanah/batuan yang sudah siap untuk bergerak, namun belum dapat dipastikan kapan
gerakan itu terjadi.
9

2.3 Kondisi Geologi

Provinsi Kalimantan Timur Indonesia merupakan margin dari Epikontinental Asia,


lebih dikenal dengan sebutan Dangkalan Sunda atau Sundaland. Cekungan yang
berada di area tersebut merupakan lahan berbagai endapan dari bahan bersifat
anorganik dan organik yang diendapkan secara normal tanpa banyak mengalami
gangguan tektonik. Bahan-bahan organik yang diendapkan setelah mengalami
berbagai proses kimia dan fisika menghasilkan batubara, minyak dan gas bumi.
Lokasi penelitian berada di Cekungan Kutai tepatnya pada Formasi Pulubalang, dan
Formasi Balikpapan.

Suwarna dan Apandi (1994) dalam Peta Geologi Lembar Longiram Kalimantan
Timur menjelaskan rincian dari Formasi Pulubalang dan Formasi Balikpapan
sebagai berikut :

a. Formasi Pulubalang terdiri dari batupasir kuarsa dan grewak, batulempung


dengan sisipan batugamping, tuf dan batubara. Batupasir kuarsa berukuran
butiran halus-sedang, terpilah baik, sebagian tufan dan gampingan,
karbonan, setempat berselingan dengan batulanau dan batu lempung setebal
15 cm, dan perairan sejajar. Grewak berukuran halue-sedang, setempat
gampingan, kepingan batubara, setempat berselingan dengan batulempung
kelabu dan batupasir halus. Batulempung bercirikan menyerpih, sisipan
batubara 3-5 cm. Batugamping bercirikan pejal dan menghablur. Tuff
bercirikan andesitan-balasan, lapiran tipis. Batubara berciri mengkilap agak
kusam, tebal 20-150 cm. Umur satuan formasi diperkirakan Miosen Tengah.
Lingkungan pengendapan darat-laut dangkal. Tebal lebihkurang 2500 m.
Berlapis baik, kemiringan lapisan 25˚-50˚, jurus baratdaya-timurlaut.
Satuan ini ditindih selaras oleh Formasi Balikpapan.

b. Formasi Balikpapan terdiri dari batupasir kuarsa dan batulempung dengan


sisipan batulanau, serpih dan batugamping. Batupasir kuarsa berukuran
halus-sedang, terpilah cukup baik, 70% kuarsa, kurang padat, 30 cm sisipan
oksida besi, 50 cm sisipan lignit. Batulempung, sisa tumbuhan terarangkan,
10

berlapis buruk-baik. Batulanau, berlapis baik, tebal 30 cm. Serpih setebal


30 cm. Batugamping berlensa dan pejal. Umur formasi berkisar Miosen
Tengah-Akhir. Lingkungan pengendapan delta atau litoral sampai laut
dangkal. Tebal formasi lebih kurang 1800m dengan kemiringan lapisan 15˚-
60˚, umumnya 35˚-50˚, arah jurus barat daya-timurlaut sampai hampir
barat-timur.

2.4 Mekanika Batuan (Rock Mechanics)

Talobre (1948) dalam Rai, dkk. (2010) menjelaskan mekanika batuan adalah teknik
dan juga sains yang tujuannya mempelajari perilaku batuan di tempat asalnya agar
dapat mengendalikan pekerjaan yang dibuat pada batuan tersebut seperti penggalian
dibawah tanah dan lain-lainnya. Coates (1981) dalam Rai, dkk. (2010) Mekanika
batuan merupakan ilmu yang mempelajari efek dari gaya terhadap batuan, Budavari
(1983) dalam Rai, dkk. (2010) mekanika perpindahan padatan untuk menentukan
distribusi gaya-gaya dalam dan deformasi akibat gaya luar pada suatu benda padat,
Jaeger, dkk. (2007) studi sifat perilaku massa batuan yang dikenakan perubahan
tegasan dan kondisi lainnya, Goodman (1989) mekanika batuan berhubungan
dengan sifat batuan dan metodelogi rekayasa. Hudson dan Harrison (1997)
mekanika batuan terapan untuk rekayasa memiliki aspek sisi seni dan ilmu. Dimana
menurut Hoek (2006) secara formal pengembangan ilmu mekanika batuan dimulai
pada tahun 1960an.

2.4.1. Sifat Masa Batuan (Rock Mass Properties)


Bieniawski (1989) batuan selaku material penyusun lahan dalam geoteknik,
khususnya dalam mekanika batuan dianggap sebagai satu kesatuan massa. Oleh
karena itu sifatnya dianggap sebagai sifat massa. Sifat massa ini berfungsi dan
bekerja menyangga beban-beban yang terdapat di atasnya dan di dalamnya.
Sehingga dalam desain dan pembuatan konstruksi harus memperhatikan kekuatan
dan pola dikontinuitas pada massa batuan. Hudson dan Harrison (1997) batuan
sebagai material digunakan untuk membangun struktur, atau suatu struktur
dibangun di atas atau dalam batuan (massa batuan). Wyllie dan Mah (2004) massa
11

batuan merupakan material-material batuan yang mengalami proses kerusakan


(failure) yang kompleks. West (2010) sifat massa batuan meliputi semua
karakteristik suatu massa batuan yang berhubungan dengan rekayasa konstruksi.
Sehingga menurut Hoek (2006) estimasi kekuatan dan deformasi massa batuan
dibutuhkan untuk estimasi dukungan (support) dan berbagai analisis seperti desain
lereng, fondasi dan penggalian bawah permukaan, West (2010) pekerjaan rekayasa
pemotongan jalan dan bendungan.

Palmstrom (1995) struktur massa batuan yang rumit dengan kekurangannya


aplikasinya yang luas menyebabkan permasalahan dalam rekayasa batuan dan
konstruksi. West (2010) sifat fisik batuan menentukan sifatnya sebagai material
konstruksi dan sebagai struktur fondasi, sehingga kelas dan pengukurannya dapat
berupa sifat material yang diukur menggunakan percontoh kecil di laboratorium,
dan sebagai sifat massa batuan yang membutuhkan skala besar massa batuan untuk
menentukan keseluruhan sifatnya. Tipikal sifat massa batuan adalah dikontrol oleh
bidang-bidang lemah pada batuan daripada sifat padu materialnya. Sehingga
menurut Goodman (1989) batuan menjadi tidak ideal dalam sejumlah hal, dan
batuan jarang benar-benar kontinyu, karena pori-pori atau celah biasanya hadir,
seperti microfissure merupakan retakan planar kecil terjadi dalam batuan padu dan
fissure sebagai retakan yang lebih luas.

Secara ideal massa batuan tersusun oleh sistem blok batuan dan fragmen-fragmen
yang terpisahkan oleh diskontinuitas membentuk material dimana semua elemen
saling bergantung sebagai suatu satuan (Matula dan Holer, 1978 dalam Palmstrom,
1995). Material tersebut dikarakteristiki oleh bentuk dan dimensi blok batuan dan
fragmen-fragmen, oleh pengaturan bersama dalam massa batuan, serta oleh
karakter kekar seperti kondisi bidang kekar dan pengisinya (Palmstrom, 1995).
Gambar 2.1 di bawah ini menggambarkan skematika komponen-komponen yang
membangun massa batuan di alam, yaitu terdiri dari material batuan berikut
keberadaan diskontinuitas di dalamnya.
12

Gambar 2.1 Skematik penyusun massa batuan terdiri dari material batuan beserta
diskontinuitas di dalamnya (Palmstrom, 1995).

2.4.2. Karakteristik Geomekanika Diskontinuitas


Diskontinuitas dalam mekanika batuan, merupakan istilah umum yang digunakan
sebagai istilah untuk batuan yang mengalami kerusakan (Giani, 1992). Bates (1987)
istilah diskontinuitas secara umum dapat berbentuk diskontinuitas stratigrafi,
seismik dan struktur geologi. Hudson dan Harrison (1997) satu dari banyaknya
aspek fundamental kehadiran diskontinuitas adalah nilai rata-rata dan distribusi
spasi antara diskontinuitas, indeks asosiasi frekuensi diskontinuitas dan Rock
Quality Designation (RQD).

Hoek (2006) penerapan analisis mekanika batuan membutuhkan model dan data
geologi berdasarkan definisi tipe-tipe batuan, struktur diskontinuitas dan sifat
material. Wyllie dan Mah (2004) pengumpulan data diskontinuitas melalui
investigasi geologi dengan melakukan pengkategorian diskontinuitas, termasuk
proses terbentuknya. Wyllie dan Mah (2004) parameter-parameter yang perlu
dicatat dalam investigasi geologi diskontinuitas seperti tipe batuannya, tipe
diskontinuitas, skala, orientasi, spasi, persistence, kekasaran, kekuatan (wall
strength), aperture, pengisi, seepage, jumlah set kekar, bentuk dan ukuran blok,
serta tingkat pelapukan tersaji pada gambar 2.2. Palmstrom (1995) secara umum
berkaitan dengan investigasi geologi dari semua hal yang berkaitan dengan
mekanika batuan, rekayasa batuan dan desain adalah kualitas geo-data yang
menjadi dasar perhitungan dan estimasi yang dibuat.
13

Gambar 2.2 Sketsa parameter-parameter untuk mendeskripsikan massa batuan


(Wyllie dan Mah, 2004).

a. Tipe Diskontinuitas
Tipe diskontinuitas mulai dari kekar tarik yang terbatas panjangnya, sampai patahan
dengan beberapa meter ketebalan lempung, gauge, dan panjang dalam kilometer
(Wyllie dan Mah, 2004), dan menurut Hoek (2006) semua massa batuan
mengandung diskontinuitas. Berbagai tipe diskontinuitas menurut Bieniawski
(1989) dan Hoek (2006) seperti patahan, bidang perlapisan, foliasi, kekar, belahan
dan schistositas. Lebih lanjut Giani (1992) menggolongkan bidang perlapisan,
belahan dan schitositas sebagai contoh kerusakan kemas (fabric defact), sedangkan
lipatan, patahan dan kekar sebagai kerusakan struktural (structural defact).
14

b. Skala Diskontinuitas
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat klasifikasi
diskontinuitas berdasarkan pada skalanya. Demikian juga Wyllie dan Mah (2004)
serta Hoek (2006) membuat ilustrasi skematik transisi skala berdasarkan
peningkatan ukuran percontoh, mulai dari batuan padu sebagai skala terkecil
sampai sebagai massa batuan yang terkekarkan kuat pada skala terbesar. Hoek
(2006) analisis sifat mekanika batuan dilakukan pada setiap skala memiliki
formulasi tertentu yang tepat untuk menganalisa permasalahan diskontinuitas. West
(2010) sifat batuan atau sifat material diukur melalui percontoh kecil di
laboratorium, sedangkan sifat massa batuan ditentukan dari keseluruhan sifat
volume yang besar melalui pengukuran di lapangan.

Tabel 2.1 Deskripsi karakteristik diskontinuitas berdasarkan skala observasi


(Duncan dan Goodman, 1968 dalam Giani, 1992)

Skala
Nama Skala Spasi Asal/Genesa
Obs.
Retakan Makro dan Percontohan s < 0,25 Alterasi dan
Mikro laboratorium cm retakan tarikan
Blok batuan
0,25 cm < Rekahan
Belahan Bidang in situ
s < 5 cm tarikan
observasi
Rekahan dari
Kekar (A) Penggalian 5 cm < s <
tarikan dan
Dike (B) eksplorasi 6m
tegasan geser

Zona Hancuran Penggalian 6m<s< Rekahan dari


Minor, zona kompleks 60 m tegasan geser
rekahan, diakibatkan
oleh tegasan shear Cincin Rekahan dari
sesar utama s > 60 m
pegunungan tegasan geser

Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat ilustrasi yang cukup
detail dalam pengklasifikasian berbagai karakteristik diskontinuitas berdasarkan
skala observasinya, baik jenis, spasi dan genesa diskontinuitas (Tabel 2.1).
Diskontinuitas terkecil berupa retakan mikro dan makro diamati melalui percontoh
15

laboratorium. Adapun observasi diskontinuitas berupa bidang perlapisan, kekar,


dike, zona hancuran, zona rekahan dan patahan termasuk patahan utama dilakukan
melalui observasi secara in situ di lapangan

c. Orientasi Diskontinuitas
Mekanisme pada formasi batuan menyebabkan diskontinuitas tidak terbentuk
seluruhnya berorientasi acak (Hudson dan Harrison, 1997). Orientasi merefleksikan
siknifikansi variasi set diskontinuitas pada massa batuan (Bieniawski, 1989).
Bidang diskontinuitas memiliki strike dan dip, Giani (1992) menyatakan strike
sebagai azimuth, yang diukur searah jarum jam (Wyllie dan Mah, 2004) antara
sudut utara dan irisan bidang diskontinuitas terhadap bidang referensi horizontal.
Sedangkan dip menurut Hudson dan Harrison (1997) merupakan sudut tercuram
diskontinuitas terhadap horizontal.

Gambar 2.3 Contoh proyeksi stereografis bidang (N–S, 408W)) dan kutup dari
bidang: a) pandangan menyamping, b) proyeksi sama luas bawah hemisfer
Giani (1992) analisis orientasi diskontinuitas dapat dilakukan melalui proyeksi
sperikal, yaitu metode yang menggunakan analisis hubungan tiga dimensi antara
bidang dan garis pada digram dua dimensi. Kelemahan proyeksi ini adalah
kemudahan bergerak dipermukaan, tetapi tidak mampu diputar. Goodman (1989)
dan Wyllie dan Mah (2004) diskontinuitas bisa juga dianalisis menggunkan metode
proyeksi stereografi (gambar 2.3), termasuk analisis kinematikanya (Goodman,
1989 dan Wyllie dan Mah, 2004).
16

d. Spasi Diskontinuitas
Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara diskontinuitas
terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki frekuensi
kemunculan, frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah jarak setiap unit
berbanding terbalik terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi dipetakan dari
permukaan batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu
untuk diskontinuitas yang miring terhadap permukaan (Gambar 2.4). Pengukuran
spasi set kekar memberikan ukuran dan bentuk blok. Hasilnya berupa model
stabilitas dan kekuatan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

Gambar 2.4 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya (S)
dalam satu set diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004)
e. Persistence
Menurut Wyllie dan Mah (2004) persistence merupakan pengukuran panjang
diskontinuitas atau luas diskontinuitas. Parameter ini menetapkan ukuran blok dan
panjang potensi permukaan gelincir. Giani (1992) persistence secara kasar dapat
dikuantifikasi melalui observasi panjang diskontinuitas pada permukaan batuan.
Pahl (1981) dalam Wyllie dan Mah (2004) membuat perhitungan panjang
diskontinuitas, dengan asumsi panjang merupakan distribusi.

(1  m)
l  H' (2.1)
(1  m)
L1.L2
H'  (2.2)
( L1. cos  L2 . sin )
17

( Nt  N c ) (2.3)
m
( N "  1)

Dengan l merupakan rata panjang persistence, L1 dan L2 ukuran panjang dan lebar
daerah yang dipetakan (gambar 2.5), Nt dan Nc jumlah diskontinuitas pada area
pemetaan singkapan, N total diskontinuitas

Gambar 2.5 Pengukuran spasi dan persistence diskontinuitas (Wyllie dan Mah,
2004). Keterangan : c kekar dalam area, t kekar memotong area, dip  , rata-rata
spasi S
f. Kekasaran (Roughness)
Pada analisis orientasi dan persistence, bidang diskontinuitas dianggap sebagai
bidang planar, tetapi permukaannya bisa saja kasar (Hudson dan Harrison, 1997).
Giani (1992) parameter kekasaran menunjukkan indeks tidak rata dan gelombang
pada diskontinuitas batuan. Diskontinuitas bergelombang dicirikan oleh skala
indulasi yang besar, sedangkan diskontinuitas tidak rata ditandai oleh skala
kekasaran kecil. Selain itu menurut Wyllie dan Mah (2004) secara umum bentuk
permukaan diskontinuitas memiliki permukaan yang kasar, jika berbentuk indulasi
akan memiliki permukaan halus dan jika planar maka bidang permukaannya
slickensides.

Giani (1992) profil tingkat kekasaran diskontinuitas dapat diobservasi melalui


sepanjang sumbu, yang diestimasikan sebagai arah potensi pergeseran
diskontinuitasnya. Metode pengukurannya dapat dilakukan melalui berbagai skala,
18

dari skala singkapan yang dilakukan di lapangan, juga melalui skala terkecil di
laboratorium, seperti ilustrasi pada gambar 2.6. Hudson dan Harrison (1997)
pengukuran kekasaran dapat pula dilakukan dengan mereferensi pada chart
standard dan formulasi matematik, terpapar pada gambar 2.7. Wyllie dan Mah
(2004) pada tahap investigasi pendahuluan biasanya dilakukan penilaian visual
kekasaran, ditetapkan sebagai Joint Rough Coefficient (JRC) dari Barton (1973).
Giani (1992) menyebutkan bahwa nilai kekasaran permukaan diskontinuitas
berguna untuk mengetahui kuat geser, khususnya pada dinding diskontinuitas yang
belum mengalami dislokasi dan belum terisi.

Gambar 2.6 Survey tingkat kekasaran pada skala berbeda dengan referensi untuk
keperluan tes kuat geser, (Giani, 1992) ; dimana i sebagai sudut gelombang,
1) Ukuran shear test laboratorium, 2) Ukuran volume blok pada in situ test

Wyllie dan Mah (2004) nilai JRC dapat diestimasikan secara visual dengan
membandingkan kondisi permukaan terhadap profil standard berdasarkan
kombinasi ketidakteraturan permukaan pada skala beberapa sentimeter dan
gelombangan pada skala beberapa meter (gambar 2.8). Palmstorm (1995) metode
JRC dari Barton (1973) nilainya berkisar dari lima untuk bidang kekar planar
sampai dua puluh untuk kekar bergelombang kasar. Nilai tersebut merupakan
perkiraan subyektif dari perbandingan profil kekasaran standar.
19

Gambar 2.7 Metode alternative untuk estimasi nilai JRC dari pengukuran
simpangan dari rata-rata air (Barton, 1982)
20

Gambar 2.8 Profil tingkat kekasaran untuk nilai kisaran JRC (Barton dan
Choubey, 1977)
21

g. Kekuatan Dinding (Wall Strength)


Giani (1992) mendefinisikan kekuatan dinding sebagai ekuivalen dengan kuat
kompresi pada dinding batuan berdekatan dari suatu diskontinuitas. Nilainya
merupakan komponen penting dari kuat geser dan deformability, khususnya jika
kekar atau diskontinuitas dapat menunjukkan hubungan dari batu ke batu kontak
atau batu yang berkekar tak terisi. Kekuatan dinding bisa lebih rendah daripada
kekuatan batuan yang disebabkan oleh pelapukan atau alterasi. Wyllie dan Mah
(2004) kekuatan dinding diskontinuitas mempengaruhi kuat geser pada permukaan
kasar. Deskripsi semi kuantitatif dan kuantitatif kekuatan dinding diperoleh
menggunkan palu geologi, pisau dan Schmidt Hammer (Giani, 1992).

Tabel 2.2 Klasifikasi kekuatan batuan berdasarkan nilai uniaxial compressive


strengt/UCS (Wyllie dan Mah, 2004)

UCS
Grade Deskripsi Identifikasi lapangan
(MPa)

Batuan kuat Percontoh hanya berupa chip menggunakan


R6 > 250
sekali palu geologi

Batuan Percontoh membutuhkan banyak pukulan


R5 100-250
sangat kuat palu geologi untuk memecahkannya

Percontoh membutuhkan lebih sekali


R4 Batuan kuat pukulan palu geologi untuk 50-100
memecahkannya

Batuan kuat Percontoh dapat dipecahkan melalui sekali


R3 25-50
menengah pukulan palu geologi

Dapat dikelupas menggunakan pisau secara


Batuan
R2 hati-hati, titik lekukan dangkal 5,0-25
lemah
menggunakan palu geologi

Batuan Hancur dipukul menggunakan palu geologi


R1 1,0-5,0
sangat lemah dan dapat dikelupas menggunakan pisau

Batuan
R0 Dapat ditusuk menggunakan kuku tangan 0,25-1,0
lemah sekali
22

Wyllie dan Mah (2004) mengklasifikasikan kekuatan batuan khususnya menjadi


tujuh tingkatan (lihat tabel 2.2). Pembagiannya berdasarkan nilai kekuatan uniaxial
compressive strength (UCS), mulai dari batuan kuat sekali untuk nilai UCS lebih
besar dari 250 Mpa, sampai batuan sangat lemah dengan nilai UCS berkisar antara
0,25-1,0 Mpa. Adapun metode pengukuran kekuatan kompresi bisa melalui point
load test untuk cere bor atau bongkahan percontoh, dan menggunakan Schmidt
Hammer pada permukaan diskontinuitas batuan. Giani (1992) uji menggunakan
Schmidt Hammer dilakukan untuk mengestimasikan joint wall Compressive
strength (JCS), serta berhubungan terhadap densitas batuan yang diujikan.

h. Rongga (Aperature)
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh dari
pengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan berdekatan dari bidang
diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air. Dimana kehadiran rongga
pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya
hidraulic conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku
massa batuan.

Gambar 2.9 Blok-blok batuan dengan diskontinuitas di dalamnya (Giani, 1992) :


a) tertutup, b) terbuka (rongga), c) terisi
Giani (1992) rongga dibedakan berdasarkan besarnya bukaan diskontinuitas, seperti
pada Gambar 2.9. Secara umum rongga-rongga massa batuan di bawah permukaan
adalah kecil, mungkin kurang dari setengah milimeter. Menurut Wyllie dan Mah
23

(2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai kategori yang besar dan jika (< 0,1
mm) dikategorikan sangat rapat. Secara lengkap pembangian kategori rongga
dilakukan oleh Barton (1973) lihat tabel 2.3. Giani (1992) asal mula terbentuknya
rongga dapat merupakan hasil shear displacement diskontinuitas dengan kekasaran
dan gelombangan cukup besar dari bukaan tarikan, pencucian (outwash), pelarutan
dan dari tarikan diskontinuitas vertikal oleh erosi lembah atau proses glasiasi.

Table 2.3 Deskripsi keadaan rongga pada permukaan diskontinuitas


(Barton, 1973)

Deskripsi Lebar rongga


Sangat rapat < 0,1 mm
Tertutup Rapat 0,1 – 0,25 mm
Sedikit terbuka 0,25 – 0,5 mm
Terbuka 0,5 – 2,5 mm
Celah
Lebar menengah 2,5 – 10 mm
(gap)
Lebar > 10 mm
Sangat lebar 10 – 100 mm
Terbuka Lebar sekali 100 – 1000 mm
Besar >1m

i. Pengisi (Infilling)
Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang memisahkan
dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani (1992) pengisi ini
biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe pengisi bisa berupa pasir,
lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun untuk mineral pengisi seperti
kalsit, kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika
material pengisi ini mempengaruhi kuat geser diskontinuitas. Lebih lanjut menurut
Wyllie dan Mah (2004) material pengisi dapat dipergunakan untuk memprediksi
perilaku diskontinuitas batuan.

Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi pada
diskontinuitas, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memprediksi arah bukaan
24

rekahan dan kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar 2.10 (Pluijm dan
Marshak, 2004). Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan batuan menurut
Giani (1992) serta Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik diskontinuitas berikut
harus dicatat seperti : meneralogi, tingkatan dan ukuran partikel, kandungan air dan
permeabilitas, perpindahan geser sebelumnya (offset), kekasaran dinding, lebar,
rekahan dan hancuran dinding batuan dan rasio over-cosolidation.

Gambar 2.10 Tipe urat pengisi (Pluijm dan Marshak, 2004) : (a) blocky vein,
(b) fibrous vein, (c) dan (d) arah bukaan diskontinuitas sama dengan sumbu fiber
Sehingga berdasarkan parameter deskripsi tersebut di atas dipergunakan untuk
memenuhi berbagai hal berikut ini (Giani, 1992) :

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan

2) Tipe pengisi : Mineralogi, ukuran partikel, tingkat pelapukan, parameter


indeks batuan dan tanah, potensi pengembangan.

3) Kekuatan pengisi : Indeks manual kekuatan dan kekerasan batuan dan tanah
ditentukan oleh penetrasi, penghancuran, penggoresan material
menggunakan tangan, pisau atau palu geologi, kuat geser, rasio over-
consolidation untuk dinding yang bergeser atau yang masih tetap.

4) Seepage : Estimasi kandungan air dan permeabilitas menggunakan uji cepat


secara in situ.
25

j. Seepage
Seepage berhubungan dengan aliran air dan uap bebas pada diskontinuitas atau
massa batuan. Umur diskontinuitas dan asal mula kejadiannya adalah penting untuk
menilai transmisivity air (Giani, 1992), karena mampu menyediakan informasi
keadaan bukaan atau celah tempat mengalirnya air melalui struktur sekunder.
Kategori seepage bervariasi dari kering sampai mengalir kontinyu, sehingga
observasi menunjukkan posisi muka air tanah dan tinggi-rendah konduktifitas
batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

Iklim turut mempengaruhi keterdapatan seepage, dan besarnya infiltrasi air tanah
(Wyllie dan Mah, 2004). Infiltrasi air tanah dinilai berdasarkan faktor-faktor
penting yang mempengaruhinya seperti meteorologi, morfologi dan geologi
hidrogeologi (Celico, 1986 dalam Giani, 1992).

k. Jumlah Set Diskontinuitas


Giani (1992) parameter set diskontinuitas mengekspresikan jumlah set-set yang
membentuk sistem diskontinuitas dan saling memotong. Massa batuan memiliki
sejumlah set diskontinuitas yang saling memotong satu sama lain. Hudson dan
Harrison (1997) secara konseptual suatu set terdiri dari diskontinuitas paralel atau
sub-paralel. Sehingga geometri massa batuan dikarakteristiki oleh jumlah set
diskontinuitas. Wyllie dan Mah (2004) jumlah set diskontinuitas yang saling
berpotongan satu sama lain akan menginformasikan luasan massa batuan yang
terdeformasi tanpa menghancurkan batuan padu. Contohnya peningkatan jumlah
set maka ukuran blok akan berkurang, besarnya kesempatan bongkahan berotasi,
perubahan dan hancuran akibat kerja beban. Jumlah set umumnya fungsi ukuran
wilayah yang dipetakan pemetaannya harus membedakan antara diskontinuitas
sistematik sebagai bagian anggota set dan diskontinuitas acak, dimana orientasinya
tidak terprediksikan.

l. Bentuk dan Ukuran Blok


Giani (1992) massa batuan terkekarkan dapat menjadi sistem blok-blok yang
dipisahkan bidang diskontinuitas sebagai sistem atau diskontinuitas tunggal.
26

Ukuran blok ditentukan oleh spasi diskoninuitas, jumlah set dan panjang
diskontinuitas. Hudson dan Harrison (1997) menganologikan ukuran blok dan
distribusinya sebagai distribusi in situ ukuran partikel. Ukuran blok
mengindikasikan perilaku massa batuan, karena mampu mengestimasi performa
massa batuan pada kondisi tegasan. Adapun jumlah set dan orientasi atau pola kekar
dapat menentukan bentuk blok yang dihasilkan, sehingga dapat berupa kubus,
rombohedral, tetrahedron atau lembaran (Giani, 1992) atau berbentuk blocky,
shattered dan kolumnar (Wyllie dan Mah, 2004 ).

m. Pelapukan (Weathering)
Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan, disebabkan
oleh air, karbon dioksida dan oksigen (Giani, 1992), atau proses eksternal
menyebabkan hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi kondisi yang baru.
Prosesnya melibatkan agen-agen fisika, kimia, biologi (Bates, 1987), atau melalui
proses mekanika dan dipengaruhi oleh keadaan iklim (Giani, 1992). Wyllie dan
Mah (2004) pelapukan berbentuk desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi
adalah hasil perubahan lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan
pemanasan. Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan oleh agen-
agen kimia seperti proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi seperti
perubahan feldspar menjadi kaolinit, dan karbonisasi seperti pelarutan
batugamping.

Giani (1992) dampak pelapukan tidak hanya terbatas di permukaan saja tetapi lebih
dalam, umumnya pada kedalaman yang dangkal, tergantung kehadiran saluran yang
memungkinkan aliran air dan kontak dengan atmosfer. Wyllie dan Mah (2004)
berkurangnya kekuatan batuan oleh pelapukan akan mengurangi kuat geser
diskontinuitas. Sehingga pelapukan juga akan mengurangi kuat geser massa batuan
diakibatkan pengurangan kekuatan batuan padu. pelapukan menghasilkan
pengurangan kompetensi batuan dari sudut pandang engineering atau mekanika
batuan (Giani, 1992).
27

2.5 Sifat Kekuatan Batuan (Rock Strength Properties)

Dalam menganalisis stabilitas lereng batu, faktor yang paling penting untuk
dipertimbangkan adalah geometri massa batuan di bagian belakang permukaan
lereng. Hubungan antara orientasi diskontinuitas dan permukaan galian akan
menentukan apakah bagian dari massa batuan bebas untuk meluncur atau roboh,
sedangkan faktor yang paling penting yang mengatur stabilitas adalah kekuatan
geser berpotensi permukaan kegagalan (sliding surface).

2.5.1. Efek Skala dan Kekuatan Batuan


Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan sliding surface pada lereng dapat terdiri secara
kontinu di semua area permukaan atau permukaan komplek yang terdiri dari dua
diskontinuitas dan fraktur melalui batuan utuh. Penentuan nilai kekuatan geser
adalah bagian penting dari disain lereng karena perubahan sekecil apapun yang
terjadi dalam kekuatan geser dapat mengakibatkan perubahan signifikan dalam
kondisi aman terhadap tinggi atau sudut lereng. Pemilihan nilai-nilai kuat geser
yang tepat tidak hanya tergantung pada ketersediaan data, tetapi juga pada
interpretasi secara cermat terhadap data, mengingat perilaku massa batuan yang
membentuk lereng berskala penuh. Sebagai contoh kemungkinan untuk
menggunakan hasil yang diperoleh dari uji geser pada joint dalam merancang
sebuah lereng dimana kegagalan yang akan terjadi sepanjang satu joint saja.
Namun, Hasil uji geser tidak dapat digunakan secara langsung dalam merancang
sebuah lereng dimana proses kegagalan yang komplek melibatkan beberapa joint
dan beberapa dari batuan utuh.

Pemilihan kekuatan geser yang tepat dari lereng tergantung terhadap sebagian besar
pada skala relatif antara permukaan geser dan struktur geologi (Hoek, 2006).
Misalnya, dalam lereng tambang terbuka diilustrasikan pada gambar 2.11 dimensi
lereng keseluruhan jauh lebih besar dari panjang diskontinuitas, sehingga setiap
sliding surface akan melewati massa batuan joint dan kekuatan batuan yang tepat
untuk digunakan dalam desain lereng pit adalah massa batuan. Sebaliknya, tinggi
bench adalah sama untuk panjang sendi sehingga kestabilan dapat dikendalikan
oleh satu sendi saja, serta kekuatan batuan yang sesuai untuk digunakan dalam
28

desain benches adalah joint set yang dari dips permukaan. Akhirnya, pada skala
kurang dari spasi joint, blok batuan utuh terjadi serta kekuatan batuan yang sesuai
digunakan dalam penilaian pengeboran, dan blasting metode, misalnya akan
terutama yang dari batuan utuh.

Gambar2.11 Diagram ideal menggambarkan transisi skala dari batuan padu


sampai massa batuan terkekarkan kuat melalui peningkatan skala ukuran sampel
(Hoek, 2006)
Berdasarkan hubungan antara ukuran sampel dan karakteristik kekuatan batuan,
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan metode penentuan kekuatan menjadi tiga kelas
batuan sebagai berikut:

a. Diskontinuitas ; Bedding tunggal, joints atau faults. Sifat diskontinuitas


yang mempengaruhi kekuatan geser termasuk bentuk dan kekasaran
permukaan, batuan di permukaan yang mungkin fresh atau weathered
(lapuk), dan infillings yang mungkin berkekuatan rendah atau kohesif.
b. Rock mass (massa batuan) ; Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan
geser dari massa batuan jointed meliputi compressive strength (kuat tekan)
dan friction angle (sudut gesekan) dari batuan utuh (intact rock), dan jarak
atau spasi dari diskontinuitas serta kondisi permukaan lereng.
29

c. Intact rock (batuan utuh) ; Faktor yang harus dipertimbangkan dalam


mengukur kekuatan batuan utuh adalah bahwa kekuatan bisa berkurang
seiring umur desain lereng akibat pelapukan (weathering).

2.5.2. Kekuatan Geser dari Diskotinuitas


Wyllie dan Mah (2004) pemetaan geologi atau pengeboran inti digunakan untuk
mengidentifikasi keruntuhan geser yang dapat terjadi pada diskontinuitas, maka
diperlukan pengujian untuk mengetahui sudut geser dan kohesi dari sliding surface
dalam rangka untuk melakukan analisis stabilitas. Pelaksanaan kigiatan investigasi
juga harus memperoleh informasi mengenai karakteristik sliding surface yang dapat
memodifikasi parameter kekuatan geser. Perlu ditekankan karakteristik
diskontinuitas meliputi janjang lereng secara kontinu, kekerasan permukaan,
ketebalan dan kareakteristik dari infilling, serta efek air pada sifat-sifat infilling.

Dalam desain lereng batuan, bahan batuan diasumsikan berdasarkan teori Coulomb
dimana kekuatan geser permukaan sliding dinyatakan dalam hal kohesi (c) dan
sudut geser (φ) (Coulomb, 1773 dalam Wyllie dan Mah, 2004). Untuk planar,
diskontinuitas bersih atau tidak ada infilling, kohesi akan menjadi nol dan kekuatan
geser akan ditentukan semata-mata oleh sudut gesekan. Sudut gesekan dari material
batuan berkaitan dengan ukuran dan bentuk butir terpapar pada permukaan fraktur.
Batu halus dan batuan dengan kandungan mika tinggi akan cenderung memiliki
sudut gesekan rendah, sementara batu kasar seperti granit, akan memiliki sudut
gesekan tinggi (Barton, 1973). Namun, jika diskontinuitas berisi infilling, sifat
kekuatan geser fraktur sering diubah, dengan kohesi dan sudut geser dari
permukaan dipengaruhi oleh ketebalan dan sifat infilling.

Kehadiran infillings sepanjang permukaan diskontinuitas dapat memiliki dampak


yang signifikan terhadap stabilitas. Sangat penting bahwa infilling diidentifikasi di
dalam kegiatan investigasi, dan parameter kekuatan yang tepat untuk digunakan
dalam desain. Pengaruh infilling terhadap kekuatan geser akan tergantung pada
ketebalan dan sifat kekuatan material infilling. Sehubungan dengan ketebalan
infilling, jika lebih dari sekitar 25-50% akan ada sedikit atau tidak ada kontak antar
30

batuan, dan sifat kekuatan geser fraktur akan menjadi sifat infilling (Goodman,
1970).

Prilaku Shear Strength dan displacemen merupakan faktor tambahan untuk


dipertimbangkan mengenai kekuatan geser isian diskontinuitas. Dalam
menganalisis stabilitas lereng, perilaku ini akan menunjukkan apakah ada
kemungkinan menjadi pengurangan kekuatan geser dengan perpindahan. Dalam
kondisi di mana ada penurunan yang signifikan dalam kekuatan geser dengan
perpindahan, kegagalan lereng dapat terjadi tiba-tiba setelah gerakan dalam jumlah
kecil.

Isian diskontinuitas dapat dibagi menjadi dua kategori umum, tergantung pada
apakah telah terjadi perpindahan sebelumnya diskontinuitas (Barton, 1974).
Pertama recently displaced discontinuities, diskontinuitas ini meliputi faults, shear
zones, clay mylonites dan bedding-surface slips. Kedua undisplaced discontinuities,
diskontinuitas pengisi yang tidak mengalami perpindahan sebelumnya termasuk
batuan beku dan metamorf yang telah lapuk di sepanjang diskontinuitas untuk
membentuk lapisan lempung. Selain isian diskontinuitas pengaruh yang paling
penting adalah keberedaan air dalam diskontinuitas, dimana menyebabkan
kekuatan geser berkurang akibat pengurangan efektif tegangan geser yang normal
yang bekerja pada permukaan (Wyllie dan Mah, 2004).

2.5.3. Kelas Kekuatan Batuan


Berdasarkan efek skala dan kondisi geologi dapat dilihat bahwa sliding surfaes
dapat terbentuk sepanjang permukaan diskontinuitas, atau melalui massa batuan,
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.12. Pentingnya klasifikasi yang
ditunjukkan Wyllie dan Mah (2004) bahwa dalam dasarnya semua analisis stabilitas
lereng perlu menggunakan sifat kekuatan geser baik diskontinuitas atau massa
batuan, dan ada prosedur yang berbeda untuk menentukan sifat kekuatan sebagai
berikut :

a. Discontinuity shear strength (kekuatan geser dari diskontinuitas) dapat


diukur di lapangan dan laboratorium.
31

b. Rock mass shear strength (kekuatan geser massa batuan) ditentukan oleh
metode empiris dengan cara analisis balik dari lereng yang dipotong dalam
kondisi geologi sama, atau melalui perhitungan yang melibatkan indeks
kekuatan batuan.

Berbagai kondisi kekuatan geser yang mungkin ditemui di lereng batu seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 2.12 jelas menunjukkan pentingnya memeriksa baik
karakteristik diskontinuitas dan kekuatan batuan selama site investigation.

Gambar 2.12. Hubungan Antara Geologi dan Kelas Kekuatan Batuan (Wyllie dan
Mah, 2004)
32

2.6 Kriteria Keruntuhan Batuan

Kriteria runtuhan batuan ditentukan berdasarkan hasil percobaan atau eksperiment.


Rai, dkk. (2010) ekspresi dari kriteria ini mengandung satu atau lebih parameter
sifat mekanik dari batuan dan menjadi sederhana jika dihitung dalam 2 dimensi,
dengan asumsi regangan bidang (plane strain) atau tegangan bidang (plane stress).
Pada tegangan bidang, dua tegangan prinsipal (principal stresses) saja yang
berpengaruh karena satu tegangan utama sama dengan nol. Pada kondisi regangan
bidang σ₁ > σ₂> σ₃, maka tegangan prinsipal menengah (intermediate principal
stress) σ₂merupakan fungsi dari dua tegangan utama lainnya atau kriteria runtuh
hanya berfungsi pada dua tegangan utama tersebut (σ₁ dan σ₃).

Hoek dan Brown (1980) mengusulkan sebuah metoda untuk menduga kekuatan
massa batuan terkekarkan. Metodanya kemudian dimodifikasi kembali (Hoek,
1983; Hoek dan Brown, 1988). Aplikasi kriteria runtuh ini untuk kualitas massa
batuan sangat perlu dilakukan perubahan (Hoek, dkk, 1992). Dan pengembangan
klasifikasi baru tersebut disebut geological strength index – GSI (Hoek, 1994;
Hoek, dkk., 1995; Hoek dan Brown, 1997) kemudian dimodifikasi (Hoek, dkk,
2002) dengan pengembagan rumus (2.4).

𝜎 𝑎
𝜎1 ´ = 𝜎3 ´ + 𝜎𝐶 (𝑚𝑏 𝜎3 + 𝑠) (2.4)
𝑐

Dimana σ1´ dan σ3´ merupakan tegangan efektif maksimum dan minimum saat
batuan runtuh. σc adalah kuat tekan (UCS) batuan utuh. mb merupakan penurunan
konstanta material mi yang berasal dari pengujian triaksial batuan utuh di
laboratorium dengan besarnya :

 GSI  100 
m b  mi exp  (2.5)
 28  14 D 

Untuk menentukan kuat tekan (σc), dan konstanta mi dapat dilakukan melalui uji
triaksial dengan menggunakan analisis regresi non linier.

𝑦 = 𝑚𝜎𝑐𝑖 𝑥 + 𝑠𝜎𝑐𝑖 (2.6)


33

𝑥 = 𝜎′3 (2.7)

𝑦 = (𝜎1 ′ − 𝜎3 ′) 2 (2.8)

∑ 𝑦 ∑ 𝑥𝑦 − (∑ 𝑥 ∑ 𝑦⁄𝑛)
𝜎𝑐𝑖2 = [ ] (2.9)
𝑛 ∑ 𝑥 2 − ((∑ 𝑥)2 ⁄𝑛)

1 ∑ 𝑥𝑦 − (∑ 𝑥 ∑ 𝑦⁄𝑛)
𝑚𝑖 = [ ] (2.10)
𝜎𝑐𝑖 ∑ 𝑥 2 − ((∑ 𝑥)2 ⁄𝑛)

Pada penentuan kekuatan massa batuan dengan metode GSI adanya masukkan
parameter konstanta massa batuan berupa m dan s. Hoek dan Brown telah membuat
konstanta m dan s seperti pada Tabel 2.4. Pada tabel tersebut memberikan informasi
semakin keras maka konstanta m dan s semakin besar. Estimasi kekuatan massa
batuan dari nilai uniaxial compressive strength berdasarkan persamaan-persamaan
berikut ini dari Hoek, dkk., 2002.

 c   ci .S a (2.11)

S. ci
Tensile strength :  t   (2.12)
mb

s dan a adalah konstanta untuk massa batuan, dan dicari dengan persamaan sebagai
berikut :
 GSI  100 
s  exp  (2.13)
 9  3D 

1 1 GSI 15  20
a  (e e 3) (2.14)
2 6
34

Tabel 2.4 Nilai konstanta mi batuan untuh dikelompokkan menjadi empat


(Hoek, 2006).
Tipe Teksture
Kelas Group
Batuan Kasar Sedang Halus Sangat Halus
Konglomerat Batupasir Siltstone Batulempung
(22) (19) (9) (4)
Klastik
----- Graywak -----
(18)
----- Chalk -----
SEDIMENTER

(7)
Organik
----- Batubara -----
Bukan Klastik

(8-21)
Sparitik Mikriti
Breksi
Karbonat Gamping Gamping
(20)
(10) (8)
Batugips Anhidrit
Kimia
(16) (13)
Marmer Hornfels Quarzit
Tak berfoliasi
METAMORF

(9) (19) (24)


Migmatite Ampibolit Milonits
Sedikit berfoliasi
(30) (25 - 31) (6)
Gneis Sekis Philits Slete
Berfoliasi
(33) (4 - 8) (10) (9)
Granit
(33) Rhiolit
Granodiorit (16)
Terang
(30) Desit
BATUAN BEKU

Diorit Dolerit (17) Obsidian


(28) (19) Andesit (19)
Gabro (19)
(27) Basalt
Gelap Norit (17)
(22)

Ekstrusiv tipe Aglomerat Breksia Tuf


piroklastik (20) (18) (15)
Catatan bahwa nilai utama merupakan estimasi. Besarnya nilai untuk setiap
material bergantung pada granularitas dan interlocking dari struktur krisalnya,
dimana nilai yang besar berasosiasi dengan interloking dan juga karakter
friksinya.
35

Tabel 2.5 Faktor Ketergangguan pada dinding lereng (Disturbance Factor), D.


(Hoek, dkk., Hoek, 2012)

Penampilan
Deskripsi Massa Batuan Nilai D
Massa Batuan

Kualitas baik pembentukan dikontrol peledakan atau


penggalian oleh Tunnel Boring Machine
D=0
menghasilkan sedikit gangguan untuk massa batuan
yang terbatas disekitar terowongan.

Mekanik atau penggalian secara manual di massa D = 0


kualitas batu buruk (tidak menggunakan peledakan)
menghasilkan sedikit gangguan terhadap massa
batuan sekitarnya.

Dimana masalah tindihan (squeezing) D = 0.5


mengakibatkan secara signifikan lantai terangkat, No invert
gangguan lain bisa lebih parah kecuali temporary
invert, seperti yang ditunjukkan dalam foto
disamping.

Peledakan berkualitas sangat buruk dalam


terowongan batu keras menghasilkan kerusakan
D = 0.8
lokal yang parah, extending 2 atau 3 m, dalam massa
batuan sekitarnya.

D = 0.7
Peledakan skala kecil dalam lereng teknik sipil
Peledakan yang
menghasilkan kerusakan massa batuan sederhana,
bagus
terutama jika peledakan terkontrol digunakan seperti
D = 1.0
yang ditunjukkan di sisi kiri foto itu. Namun, stres
Peledakan yang
bantuan menghasilkan beberapa gangguan.
buruk
Lereng tambang terbuka yang sangat besar
mengalami gangguan yang signifikan karena D = 1.0
peledakan produksi berat dan juga karena Peledakan
menghilangkan stres dari pemindahan lapisan produksi
penutup (overburden removal).

Dalam beberapa batu lebih lunak, penggalian dapat D = 0.7


dilakukan dengan cara ripping dan dozing serta penggalian
tingkat kerusakan pada lereng kurang. secara mekanik

Dengan nilai D merupakan faktor gangguan dari massa batuan. Rentang nilai D
adalah 0 sampai dengan 1. Faktor gangguan 0 untuk undisturb dan 1 untuk
distrubed pada massa batuan. Petunjuk untuk menentukan nilai D dapat dilihat pada
Tabel 2.5. Sebagai catatan, dengan memilih GSI = 25 akan meminimalkan koefisien
36

s dan a, serta memberikan transisi yang menerus atau kontinu. Tegangan normal
dan geser dihubungkan dengan tegangan principal oleh persamaan yang
dipublikasikan oleh Balmer (1952) dalam Hoek, dkk., (2002).

𝜎1′ +𝜎3′ 𝜎1′ −𝜎3′ 𝑑𝜎′ ⁄𝑑𝜎′ −1


𝜎𝑛′ = − − 𝑑𝜎1′ ⁄𝑑𝜎3′ +1 (2.15)
2 2 1 3

√𝑑𝜎1′ ⁄𝑑𝜎31
𝜏= (𝜎1′ − ′)
𝜎3 𝑑𝜎′ ⁄𝑑𝜎′ +1 (2.16)
1 3

dimana

𝑑𝜎1′ ⁄𝑑𝜎1′ = 1 + 𝑎𝑚𝑏 (𝑚𝑏 𝜎3′ ⁄𝜎𝑐𝑖 + 𝑠)𝑎−1 (2.17)

Modulus Deformasi hasil dimodifikasi dengan dimasukkan faktor D untuk


memperhitungkan efek kerusakan akibat ledakan dan stres relaksasi (Hoek,
Carranza-Torres dan Corkum, 2002) besarnya dapat dilihat dari persamaan :

Ed (GPa)  1  D  2
  ci
100
.10(GSI 10) / 40 (2.18)

Persamaan 2.23 tersebut berlaku jika


  ci 100 MPa. Untuk >
 ci 100 MPa,
menggunkan persamaan :

Ed (GPa)  1  D  2
.10 ( GSI 10) / 40
(2.19)

Analisis pendekatan softwere untuk tanah dan batuan umumnya didasarkan pada
krtiteria Mohr-Coulomb, sehingga diperlukan pendekan dari persamaan Mohr-
Coulomb (cʹ,φʹ) dengan kriteria Hoek-Brown :

′ ) 𝑎−1
6𝑎𝑚𝑏 (𝑠+𝑚𝑏 𝜎3𝑛
∅′ = 𝑠𝑖𝑛−1 [ ′ ) 𝑎−1 ] (2.20)
2(1+𝑎)(2+𝑎)+6𝑎𝑚𝑏 (𝑠+𝑚𝑏 𝜎3𝑛

′ ⌋(𝑠+𝑚 𝜎 ′ ) 𝑎−1
𝜎𝑐𝑖 ⌊(1+2𝑎)𝑠+(1−𝑎)𝑚𝑏 𝜎3𝑛
𝑐′ = 𝑏 3𝑛
𝑎−1
(2.21)
′ )
(1+𝑎)(2+𝑎)√1+(6𝑎𝑚𝑏 (𝑠+𝑚𝑏 𝜎3𝑛 )⁄((1+𝑎)(2+𝑎))

1 ⁄𝜎𝑐𝑖
dengan : 𝜎3𝑛 = 𝜎3𝑚𝑎𝑥
37

Nilai dari σ'3max adalah batas atas confining stress pada hubungan Mohr-Coulomb
dan Hoek-Brown. Gambar 2.13 menunjukkan σ'3max terhadap persamaan Mohr-
Coulomb dan Hoek-Brown pada penggalian permukaan, pemilihan nilai ini dapat
digunakan untuk lereng dangkal dan terowongan (Hoek, Carranza-Torres dan
Corkum, 2002). Mohr-Coulomb kekuatan geser (τ) diberikan yang normal stres
(σ) diperoleh dari substitusi nilai c 'dan φ' dalam persamaan :

𝜏 = 𝑐 ′ + 𝜎 𝑡𝑎𝑛∅ (2.22)

Serta dimasukkan kedalam sebuah hubungan major principal stresses dan minor
principal stresses, yang dapat didefinisikan sebagai berikut :

2𝑐 ′ 𝑐𝑜𝑠 ∅′ 1+𝑠𝑖𝑛 ∅′
𝜎1′ = + 1−𝑠𝑖𝑛 ∅′ 𝜎3′ (2.23)
1−𝑠𝑖𝑛 ∅′

Gambar 2.13. Hubungan major dan minor principal stresses dari Hoek-Brown
dan Mohr-Coulomb (Hoek, Carranza-Torres dan Corkum, 2002)
38

2.7 Klasifikasi Gerakan Massa Batuan dan Tanah

Klasifikasi jenis gerakan massa tanah/batuan berdasarkan mekanisme gerakan serta


tipe material yang bergerak (Tabel 2.6).

Tabel 2.6 Klasifikasi gerakan massa tanah/batuan (Varnes 1978, dalam


Karnawati,2005)
JENIS MATERIAL
JENIS GERAKAN MASSA TANAH /
TANAH
BATUAN BATUAN
Berbutir kasar Berbutir halus
Runtuhan bahan
RUNTUHAN Runtuhan batuan Runtuhan Tanah
rombakan
Robohan bahan
ROBOHAN Robohan batuan Robohan Tanah
rombakan
Nendatan bahan
ROTASI Nendatan batuan Nendatan tanah
GERAKAN Beberapa rombakan
MASSA unit Longsoran blok Longsoran blok Longsoran blok
TANAH/ batuan bahan rombakan tanah
TRANSLASI
BATUAN Banyak Longsoran Longsoran bahan
Longsoran tanah
unit batuan rombakan
Pencaran bahan
PENCARAN LATERAL Pencaran batuan Pencaran tanah
rombakan
Aliran bahan Aliran pasir/lanau
rombakan basah
Aliran pasir
Solifluction
kering
Aliran batuan
ALIRAN Lawina bahan
(rayapan dalam) Aliran tanah
rombakan
Rayapan bahan
Aliran lepas
rombakan
Aliran blok
KOMPLEKS Campuran dari dua atau lebih jenis gerakan

Menurut Cruden dan Varnes (1992) dan Hardiyatmo (2012), karakteristik gerakan
massa pembentuk lereng dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

a. Longsoran (slide)
Longsoran adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh
terjadinya keruntuhan geser di sepanjang satu atau lebih bidang longsor.
Berdasarkan geometri bidang gelincir, terdapat dua jenis bidang longsor yaitu
longsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional (rotational
slide) (Gambar 2.14a) dan longsoran dengan bidang gelincir datar atau longsoran
translasional (translational slide) (Gambar 2.14b). Sedangkan Block slide adalah
39

salah satu dari jenis longsoran translasional yang terjadi pada jenis longsoran batuan
(Gambar 2.14 c).

a. b

c d

e f

Gambar 2.14 Tipe dan jenis gerakan massa tanah (Cruden dan Varnes (1992)

b. Jatuhan (fall)
Jatuhan (fall) adalah gerak jatuh material pembentuk lereng yang dapat berupa
tanah atau batuan di udara tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material
yang longsor (Gambar 2.14 d).

c. Sebaran Lateral (Lateral Spread)


Sebaran merupakan kombinasi dari bergeraknya massa tanah dan turunnya massa
batuan pecah ke dalam material lunak yang terletak di bawahnya (Gambar 2.14 e).
Sebaran dapat terjadi akibat likuifaksi tanah granuler atau keruntuhan tanah kohesif
lunak

d. Robohan (toppling)
Robohan adalah gerakan material yang biasanya terjadi pada lereng batuan yang
sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang-bidang ketidakmenerusan yang
relatif vertikal (Gambar 2.14 f).

Anda mungkin juga menyukai