Anda di halaman 1dari 4

Badan Arbitrase Nasional Sarankan Sengketa Freeport Diselesaikan Lewat

Perundingan

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menyarankan


penyelesaian kemelut Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia antara induknya, Freeport
McMoran dengan pemerintah Indonesia dilakukan dengan perundingan ketimbang arbitrase.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) M Husseyn
Umar kepada Kompas.com di Kantornya, Jakarta, Selasa (14/3/2017).

"Setiap perbedaan pendapat dan sengketa sebaiknya diselesaikan secara baik-baik dan
melalui musyawarah. Kemungkinan ke arbitrase sebaiknya menjadi jalan yang paling
terakhir," ujar Husseyn.

Salah satu cara penyelesaian sengketa memang biasanya dilakukan melalui arbitrase. Akan
tetapi, jelasnya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan jalan terakhir.

Sebelum ke arbitrase, kedua belah pihak harus melakukan perundingan terlebih dahulu, untuk
mendapatkan suatu kesepakatan.

Husseyn menuturkan, pemerintah dan Freeport dalam perjanjian Kontrak Karya (KK)
mempunyai kedudukan yang sama yakni, sebagai subyek hukum perdata.

Namun, kata dia, pemerintah mempunyai dua kedudukan. Jadi tidak hanya sebagai subyek
hukum perdata, tetapi juga sebagai subyek hukum publik yaitu sebagai negara.

Dengan demikian, Freeport harus mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan


negara.

Artinya, kata dia, Freeport tidak hanya terpaku perjanjian Kontrak Karya saja tetapi peraturan
mengenai pertambangan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah.
"Jadi kalau ada peraturan perundangan-undangan baru yang dikeluarkan negara dalam hal ini
mengenai pertambangan, maka kedua pihak harus memperhatikan dan menaatinya," kata
Husseyn.

"Saya berharap, baik pemerintah maupun Freeport tetap berunding secara optimal untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Freeport seharusnya memahami dan
menerima kedudukan serta fungsi pemerintah sebagai subyek hukum publik," tandasnya.

Sekadar informasi, perseteruan antara pemerintah dan Freeport muncul setelah keluarnya
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang mengubah status Kontrak Karya (KK)
menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Namun, Freeport tidak menyepakati beberapa pasal dari peraturan tersebut. Freeport pun
mengancam akan membawa permasalah ini ke jalan arbitrase.

http://ekonomi.kompas.com/read/2017/03/15/060000726/badan.arbitrase.nasional.sarankan.s
engketa.freeport.diselesaikan.lewat.perundingan.

Analisis Kasus

Jadi dalam perjanjian ada yang disebut dengan unsur naturalia. Unsur naturalia adalah unsur
perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur, tetapi yang oleh para pihak dapat disingkirkan
atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh Undang-Undang diatur dengan hukum yang
mengatur/menambah.

Dalam kasus ini contohnya ada unsur Naturalia berupa keluarnya Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2017 yang mengubah status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK).

Kasus ini masuk ke sub bab unsur naturalia berupa penyelesaian sengketa. Jadi sesuai dengan
kasus ini, cara penyelesaian sengketa bisa melalui 2 cara yaitu musyawarah atau perundingan,
dan arbitrase. Memang sebaiknya memakai cara perundingan/musyawaah dulu karna hal ini
adalah hal yang baik yaitu tidak ada pihak yang menang maupun kalah alias win win
solution.

Dan seperti kasus ini juga, bila tidak ada jalan keluar dari perundingan maka dilanjutkan
dengan arbitrase. Arbitrase merupakan media penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang
memberikan alternatif selain pengadilan, yang disediakan Undang-undang No 30 tahun 1999.

Tapi masalahnya Secara hukum ini tidak masuk logika. Mana mungkin sebuah negara yang
berdaulat dengan jumlah penduduk 250 juta diposisikan sejajar dengan pelaku usaha?
Freeport sejak lama telah membangun persepsi yang salah dengan memosisikan Pemerintah
Indonesia secara sejajar. Atas dasar itu, berbagai peraturan perundangundangan yang
dikeluarkan pemerintah diminta untuk tidak diberlakukan atas dasar kesucian kontrak
(sanctity of contract) atau ketentuan yang khusus akan mengenyampingkan ketentuan yang
umum (lex specialis derogat legi generali).

Padahal, ketentuan khusus akan mengenyampingkan ketentuan umum jika produk hukumnya
serupa. Jika perjanjian yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian yang akan gugur. Argumentasi Freeport
bahwa pemerintah sejajar dengan dirinya karena Freeport mengabaikan dua dimensi dari
pemerintah yang harus dibedakan.

Dimensi pertama, pemerintah sebagai subyek hukum perdata. Sebagai subyek hukum perdata
pemerintah melakukan perjanjian dengan subyek hukum perdata lain. Semisal dalam rangka
pengadaan barang dan jasa. Dalam kapasitas sebagai subyek hukum perdata, kedudukan
pemerintah memang sejajar dengan pelaku usaha. Namun, ada dimensi lain dari pemerintah,
yaitu subyek hukum publik. Sebagai subyek hukum publik, posisi pemerintah berada di atas
pelaku usaha dan rakyat. Fiksi hukum yang berlaku: ketika pemerintah membuat aturan,
semua orang dianggap tahu tanpa perlu mendapat persetujuan. Pemerintah dapat
memaksakan aturan yang dibuatnya dengan melakukan penegakan hukum.

Apabila rakyat atau pelaku usaha keberatan dengan aturan yang dibuat pemerintah sebagai
subyek hukum publik, mereka dapat memanfaatkan proses uji materi, baik di Mahkamah
Konstitusi maupun Mahkamah Agung, bergantung pada produk hukumnya. Dua dimensi ini
yang dinafikan Freeport. Tak heran jika Freeport hendak membelenggu kedaulatan hukum
negara Indonesia dengan KK. Apabila demikian apa bedanya Freeport dengan VOC di zaman
Belanda? Perlu dipahami pemerintah sebagai subyek hukum perdata tetap harus tunduk pada
aturan yang dibuat pemerintah sebagai subyek hukum publik, semisal di bidang perpajakan.

Anda mungkin juga menyukai