Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah umum
kesehatan masyarakat di Indonesia, sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung meningkat
dan penyebarannya bertambah luas.Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas
penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya
virus Dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah di Indonesia (Depkes RI, 2015).
Penyakit ini termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, maka
sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular serta
Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989, setiap penderita termasuk tersangka DBD
harus segera dilaporkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 24 jam oleh unit pelayanan
kesehatan (rumah sakit, puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktik swasta, dan
lain-lain) (Depkes RI, 2015).
Indonesia mempunyai resiko besar untuk terjangkit penyakit demam berdarah dengue
karena virus Dengue dan nyamuk penularnya yaitu Aedes aegypti tersebar luas di seluruh
daerah-daerah pedesaan maupun perkotaan, baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat
umum, kecuali daerah yang ketinggiannya lebih dari 1.000 meter dari permukaan air laut.
Iklim tropis juga mendukung berkembangnya penyakit ini, lingkungan fisik (curah hujan)
yang menyebabkan tingkat kelembaban tinggi, merupakan tepat potensial berkembangnya
penyakit ini Nyamuk ini berkembangbiak di tempat-tempat penampungan air atau tandon,
seperti bak kamar mandi, drum, tempayan dan barang bekas yang dapat menampung air
hujan baik di rumah, sekolah, dan tempat umum lainnya (Depkes RI, 2015).
Kasus Demam Berdarah Dengue di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012 tercatat dan
dilaporkan sebanyak 19.739 orang, dengan 167 diantaranya meninggal dunia (Case Fatality
Rate 0.85%). Ini berarti terjadi peningkatan CFR 2 kali lipat dibanding dengan tingkat
fatalitas tahun 2011, yaitu dari 0.42 % tahun 2011 menjadi 0.85% tahun 2012. Begitu pula
dengan angka kejadian DBD tahun 2012, bila dibandingkan dengan tahun 2011 terjadi
peningkatan sebesar 13.3, yaitu dari 31.9/100 ribu menjadi 45/100 ribu.Meskipun angka
kejadian DBD tahun 2012 mempunyai kecenderungan meningkat, namun angka tersebut
masih lebih rendah dari standar 50/100.000.Demikian pula hanya dengan CFR yang masih
berada di bawah 1%.
Di Jawa Barat tahun 2012 ini terdapat tujuh kabupaten kota yang angka kejadiannya
melebihi 50 per 100.000, yaitu Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bogor,
Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar serta di satu Kabupaten yaitu Kabupaten Bandung
Barat.Terdapat 11 kabupaten kota yang mempunyai angka fatalitas diatas standar
50/100.000, yaitu Kab. Majalengka, Kab. Cirebon, Kab. Indramayu, Kab. Cianjur, Kab,
Ciamis, Kab. Bogor, Kab. Kuningan, Kab. Tasikmalaya dan Kab.Bekasi dan Kota Bekasi
dan Kota Banjar.
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) merupakan cara pengendalian vektor sebagai
salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit DBD.
Kampanye PSN sudah digalakkan pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan dengan
semboyan 3M, yakni menguras tempat penampungan air secara teratur, menutup tempat-
tempat penampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang
nyamuk (Depkes RI, 2015).
Kegiatan tersebut sekarang berkembang menjadi 3M plus yaitu kegiatan 3M diperluas
dengan mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat lainnya yang sejenis
seminggu sekali, memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar, menutup lubang
lubang pada potongan bambu/pohon, menaburkan bubuk larvasida, memelihara ikan
pemakan jentik, memasang kawat kassa, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruangan
yang memadai. Kegiatan 3M plus juga diperluas dengan upaya meningkatkan kebiasaan pada
masyarakat untuk menggunakan kelambu pada saat tidur siang, memakai obat yang dapat
mencegah gigitan nyamuk, dan menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam ruangan
rumah.
Dalam setiap persoalan kesehatan, termasuk dalam upaya penanggulangan DBD, faktor
perilaku yang mencangkup pemberantasan sarang nyamuk senantiasa berperan penting.
Perhatian terhadap pemberantasan sarang nyamuksama pentingnya dengan perhatian
terhadap faktor lingkungan, khususnya dalam hal upaya pencegahan penyakit. Pencegahan
ini dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor pemberantasan sarang nyamukdengan cara
3M plus diantaranya kebiasaan menutup tempat penampungan air, kebiasaan menguras
tempat penampungan air, kebiasaan mengubur barang-barang bekas, penggunaan kelambu,
pemakaian anti nyamuk dan kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai yang dapat diubah
atau disesuaikan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kasus DBD terhadap salah satu
anggota keluarga.
B. Rumusan Masalah
Masalah umum dalam penelitian ini adalah: Bagaimana gambaran Perilaku Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja
Puskesmas Pataruman 1 Kecamatan Pataruman Kota Banjar tahun 2017?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana gambaran Perilaku
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pataruman 1 Kecamatan Pataruman Kota Banjar tahun 2017.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin disampaikan dalam penelitian ini adalah:
1. Puskesmas Pataruman 1 dan Dinas Kesehatan Kota Banjar
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengelola program
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit di Puskesmas Pataruman 1 maupun Dinas
Kesehatan Kota banjar khususnya sebagai pertimbangan dalam penentuan strategi
pencegahan dan pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD).
2. Masyarakat Wilayah Kerja Puskesmas Puskesmas Pataruman 1 dan Dinas Kesehatan
Kota Banjar
3. Memberikan tambahan informasi dan wawasan tentang pencegahan dan pemberantasan
demam berdarah dengue (DBD).
E. Ruang Lingkup Tempat
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Pataruman 1 Kecamatan
Pataruman Kota Banjar
F. Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2017.
II. LANDASAN TEORI

A. Definisi Demam Berdarah Dengue


Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue.Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat serotype
virus dengue yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 dapat dibedakan dengan
metodologi serologi.Demam Berdarah Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa penyebab
yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa
bintik perdarahan (petechie), lebam (echymosis), atau ruam (purpura), kadang-kadang
mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock) (Indrawan,
2001).
Demam dengue (DF) adalah penyakit febris-virus akut, seringkali ditandai dengan
sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam, dan leukopenia sebagai gejalanya.
Demam berdarah dengue (Dengue Haemoragick Frever/DHF) ditandai dengan empat gejala
klinis utama: demam tinggi, fenomena hemoragi, sering dengan hepatomegali dan pada kasus
berat disertai tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien ini dapat mengalami syok yang
diakibatkan oleh kebocoran plasma.Syok ini disebut sindrom syock dengue (DSS) dan sering
menyebabkan fatal.
B. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
DHF (Dengue Haemoragick Frever) /DSS (sindrom syock dengue) telah timbul
paling sering di area di mana terdapat endemik serotype dengue multiple. Pola umum adalah
bahwa kasus sporadik atau wabah kecil di area perkotaan yang ukurannya meningkat dengan
tetap sampai terjadi wabah besar yang membuat penyakit menjadi perhatian pejabat
kesehatan masyarakat.
Penyakit tersebut biasanya membentuk pola aktivitas epidemik setiap 2-5 tahun.
Selain itu DHF/DSS secara khas menyerang pada anak-anak, dengan usia saat dirawat 4-6
tahun. Pola kedua terlihat di area endemisitas rendah. Serotype dengue multiple dapat
ditularkan pada laju infeksi yang secara relative rendah (di bawah 5% populasi pertahun).
Pada area ini, orang dewasa yang sebelumnya terinfeksi rentan terhadap infeksi dengue, dan
anak-anak serta dewasa muda, dengan usia 6-8 tahun juga mudah terkena (Sumarmo, 2005).
C. Diagnosa Klinik
Infeksi virus dengue dapat asimptomatis atau dapat menimbulkan demam
undifferentiated, demam dengue (DF) atau demam berdarah dengue (DHF). Dengan
rembesan plama yang dapat menimbulkan syok (sindrom syok dengue, DSS) (Sumarmo,
2005).
1. Demam dengue
Gambaran klinis dari DF sering tergantung pada usia pasien. Bayi dan anak kecil
dapat mengalami penyakit demam undifferentiated, sering dengan ruam maklopapuler.
Anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat mengalami baik sindrom demam atau
penyakit klasik yang melemahkan dengan mendadak demam tinggi, kadang-kadang
dengan 2 puncak (punggung sadel), sakit kepala berat, nyeri di belakang mata, nyeri otot
dan tulang atau sendi, mual dan muntah, dan ruam. Perdarahan kulit (petekie) tidak
umum terjadi.Biasanya ditemukan leukopenia dan mungkin tampak
trombositopenia.Pemulihan mungkin berpengaruh dengan keletihan dan depresi lama,
khususnya pada orang dewasa.
Pada beberapa epidemik, DF dapat disertai dengan komplikasi perdarahan, seperti
epitaksis, perdarahan gusi, perdarahan gastrointestinal, hematuria, dan menoragia.Selama
wabah infeksi DEN-1 di Taiwan, Cina, studi telah menunjukkan bahwa perdarahan
gastrointestinal berat dapat terjadi pada orang dengan penyakit ulkus peptikum yang ada
sebelumnya.Biasanya perdarahan berat dapat menyebabkan kematian pada kasus ini.
Namun demikian, angka fatalitas kasus DF adalah kurang dari 1%.Akan penting
artinya untuk membedakan kasus DF dengan perdarahan tak lazim dari kasus-kasus DF
dengan peningkatan permeabilitas vaskular, yang terakhir ditandai dengan
hemokonsentrasi. Pada banyak area endemis, DF harus dibedakan dari demam
chikungunya, penyakit virus lain yang ditularkan oleh Vektor epidemiologi serupa.
2. Demam Berdarah Dengue
Kasus khas DHF ditandai oleh empat manifestasi klinis mayor: demam tinggi,
fenomena hemoragis, dan sering hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia
sedang sampai nyata dengan hemokonsentrasi secara bersamaan, adalah temuan
laboratorium klinis khusus dari DHF.Perubahan patofisiologis utama yang menentukan
keparahan penyakit pada DHF dan yang membedakannya dengan DF adalah rembesan
plasma seperti dimanifestasikan oleh peningkatan hematokrit (hematokonsentrasi, efusi
serosa atau hipoprotemia).
Anak-anak dengan DHF umumnya menunjukkan peningkatan suhu tiba-tiba yang
disertai kemerahan wajah dan gejala konstituional non spesifik yang menyerupai DF,
seperti anoreksia, muntah, sakit kepala, dan nyeri otot, atau tulang dan sendi.Beberapa
pasien mengeluh sakit tenggorok, dan nyeri faring sering ditemukan pada pemeriksaan,
tetapi rhinitis dan batuk jarang ditemukan.Nyeri konjungtiva mungkin terjadi.Ketidak
nyamanan epigastrik, nyeri tekan pada margin kosta kanan, dan nyeri abdominal
generalisata umum terjadi.Suhu biasanya tinggi (>39C) dan menetap selama 2-7 hari.
Kadang suhu mungkin setinggi 40-41 C; konfulsi virus debris dapat terjadi terutama pada
bayi.
Fenomena perdarahan paling umum adalah test tourniket positif, mudah memar
dan perdarahan pada sisi fungsi vena.Tampak pada kebanyakan kasus adalah petekie
halus meneyebar pada ekstremitas, aksila, wajah dan platum lunak, yang biasanya terlihat
selama fase demam awal.Epistaksis dan perdarahan gusi jarang terjadi; perdarahan
gastrointestinal ringan dapat terlihat selama periode demam. Hepar biasanya dapat diraba
pada awal fase demam dan bervariasi dalam ukuran hanya teraba sampai 2-4 cm dibawah
margin kostal. Meskipun ukuran hepar tidak berpengaruh dengan keparahan penyakit,
pembesaran hepar terjadi lebih sering pada kasus-kasus syok daripada kasus
nonsyok.Hepar nyeri tekan, tetapi ikretik tidak selalu terlihat.Splenomegali jarang
ditemukan pada bayi; namun, limpa dapat tampak menonjol pada pemeriksaan roentgen.
Tahap kritis dari perjalanan penyakit dicapai pada akhirfase demam.Setelah 2-7
hari demam, penurunan suhu cepat sering disertai dengan tanda gangguan sirkulasi yang
beratnya bervariasi.Pasien dapat berkeringat, gelisah, ekstremitas dingin dan
menunjukkan suatu perubahan pada frekuensi nadi dan tekanan darah.Pada kasus kurang
berat, perubahan ini minimal dan tersembunyi, menunjukkan derajat ringan dari
rembesan plasma.Banyak pasien sembuh secara spontan, atau setelah periode singkat
terapi cairan dan elektrolit. Pada kasus yang lebih berat, bila kehilangan plasma sangat
banyak, terjadi syok dan dapat berkembang dengan cepat menjadi syok hebat dan
kematian bila tidak diatasi dengan tepat. Keparahan penyakit dapat diubah
denganmendiagnosis awal dan mengganti kehilangan plasma. Trombositopenia dan
hemokonsentrasi biasanya dapat terdeteksi sebelum demam menghilang.
3. Dengue Syock Sindrom (DSS)
Kondisi Pasien yang berkembang kearah syok tiba-tba menyimpang setelah
demam selama 2-7 hari.Penyimpanagan ini terjadi pada waktu segera setelah penurunan
suhu antara hari ketiga dan ketujuh sakit. Terjadi tanda khas dari kegagalan sirkulasi:
kulit menjadi dingin, bintul-bintul, dan kongesti; sinosis sirkumoral sering terjadi; nadi
menjadi cepat. Pasien pada awal dapat mengalami letargi, kemudia menjadi gelisah dan
dengan cepat memasuki tahap kritis dan syok.Nyeri abdominal akut adalah keluhan
sering segera sebelum syok.
DSS biasanya ditandai dengan nadi cepat, lemah dengan penyempitan tekanan
nadi (<20 mm Hg), tanpa meperhatikan tingkat tekanan, mis., 100/90 mm Hg atau
hipotensi dengan kulit dingin dan lembab dan gelisah. Pasien yag syok dalam bahaya
kematian bila pengobatan yang tepat tidak segera diberikan. Pasien dapat melewati tahap
syok berat, dengan tekanan darah atau nadi menjadi tidak terbaca.Namun, kebanyakan
pasien tetap sadar hampir pada tahap terminal. Durasi syok adalah pendek: secara khas
pasien meninggal 12-24 jam, atau sembuh dengan cepat setelah terapi pengantian volume
yang tepat. Efusi pleural dan asites dapat terdeteksi melalui pemeriksaan fisik atau
radiografi.
Syok yang tidak teratasi dapat menimbulkan perjalanan penyakit terkomplikasi,
dengan terjadinya asidosis metabolis, perdarahan hebat dari saluran gastrointestinal dan
organ lain, dan prognosisnya buruk.Pasien dengan hemoragi intrakranial dapat
mengalami konvulsi dan koma.Esefalopati, yang dilaporkan kadang, dapat terjadi dalam
pengaruhnya dengan gangguan metabolis dan elektrolit atau perdarahan intrakranial.
Pemulihan pada pasien dengan DSS teratasi adalah singkat dan tidak rumit.
Bahkan pada kasus syok berat, jika tealah teratasi, pasien yang dapat bertahan akan
membaik dalam 2-3 hari, meskipun efusi pleural dan asites masih tampak. Tanda
prognosis yang baik adalah keluaran urine adekuat dan kembali mempunyai nafsu
makan.Temuan umum selama masa penyembuhan DHF adalah bradikardia sinus atau
aritmia dan karakteristik ruam petekial konfluen dengan area bulat kecil bagian kulit
normal.Ruam makulopapular atau tipe rubella kurang umum pada DHF disbanding DF
dan mungkin terlihat baik pada awal atau tahap lanjut penyakit.Perjalanan DHF kira-kira
7-10 hati. Umumnya tidak terdapat keletihan lama (Winarsih, 2013).
D. Vektor Penyebar Virus Dengue
Virus dengue ditularkan dari orang keorang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae) dari
sub genus Stegomyta. Aedes aegypti merupakan vektor epidemik yang paling utama, namun
spesies lain sepert Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, anggota dari Aedes scutellaris
complex dan Aedes (Finlaya) nevus juga dianggap sebagai Vektor sekunder. Kecuali Aedes
aegypti semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas
(Depkes RI, 2010).
Bila penderita DBD digigit nyamuk penular maka virus akan ikut terisap masuk ke
dalam lambung nyamuk, selanjutnya akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai
jaringan tubuh nyamuk, termasuk kelenjar ludahnya. Nyamuk Aedes yang telah menghisap
virus dengue akan menjadi penular atau infektif selama hidupnya. Nyamuk dengan umur
panjang berpeluang menjadi vektor lebih besar, karena lebih sering kontak dengan
manusia.Penyakit DBD semakin menyebar luas sejalan dengan meningkatnya arus
transportasi dan kepadatan penduduk, semua desa/kelurahan mempunyai resiko untuk
terjangkit penyakit DBD (Notoatmodjo, 2007).
E. Faktor Manusia
Sebagai sumber penularan dan sebagai penderita penyakit DBD.Berdasarkan
golongan umur maka penderita DBD lebih banyak pada golongan umur kurang dari 15 tahun.
Faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia adalah:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhdap suatu objek tertentu.Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behaviour). Perilaku
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan, biasanya pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman yang
berasal dari berbagai macam sumber (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).
2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek.Sikap secara nyata menunjukkan korelasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan seharihari merupakan reaksi yang
bersifat emosional terhadap stimulus sosial yang dapat diukur dalam bentuk baik dan
buruk atau positif dan negatif.Sikap seseorang adalah komponen yang sangat penting
dalam perilaku kesehatannya yang kemudian diasumsikan bahwa ada hubungan langsung
antara sikap dan perilaku seseorang (Soekidjo Notoatmodjo, 2007). Kalau rajin dan
senang akan kebersihan dan cepat tanggap dalam masalah kan mengurangi risiko
menderita penyakit DBD (Depkes RI, 2015).
3. Sosial Budaya
Lingkungan sosial dan budaya merupakan lingkungan yang bersifat dinamis dan cukup
pelik. Suatu lingkungan sosial sosial tertentu tidak begitu saja memberi pengaruh yang
sama kepada semua orang. Kebiasaaan sosial mungkin akan memberikan pengaruh
terhadap kesehatan (Mukono, 2000: 12).
4. Pendidikan
Tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara
pemberantasan DBD yang dilakukan.
5. Status Ekonomi
Akan mempengaruhi kunjungan untuk berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit.
6. Suku bangsa
Tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya masing-masing sehingga hal ini juga
mempengaruhi penularan DBD.
7. Daya tahan Tubuh (Imunitas)
Daya tahan tubuh adalah sistem pertahanan tubuh dari benda asing yang masuk dalam
tubuh baik itu virus ataupun bakteri.Makin kuatnya daya tahan tubuh seseorang dapat
menghambat perkembangan virus DBD dalam tubuh. (Depkes RI, 2015)
8. Umur
Golongan umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit. Lebih
banyak golongan umur kurang dari 15 tahun berarti peluang untuk sakit DBD lebih besar
(Depkes RI, 2015).
9. Pelayanan Kesehatan
Secara umum pelayanan kesehatan masyarakat merupakan sub pelayanan kesehatan yang
tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan
kesehatan) dan pelayanan kuratif (pengobatan) untuk meningkatkan derajat kesehatan
dengan sasaran masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).
F. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik yang terkait adalah: macam tempat penampungan air (TPA) sebagai tempat
perindukan nyamuk Aedes aegypti. Macam tempat penampungan air air ini dibedakan lagi
berdasarkan bahan TPA (logam, plastik, porselin, fiberglass, semen, tembikar dan lain-lain),
warna TPA (putih, hijau, coklat, dan lain-lain), volume TPA (kurang dari 50 lt, 51-100 lt,
101-200 lt dan lain-lain), penutup TPA (ada atau tidak ada), pencahayaan pada TPA (terang
atau gelap) dan sebagainya.
G. Lingkungan Biologi
Banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi kelembababan dan
pencahayaan di dalam rumah dan halamannya. Bila banyak tanaman hias dan tanaman
pekarangan berarti akan menambah tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap istirahat
dan juga menambah umur nyamuk. Pada tempat-tempat yang demikian di daerah pantai akan
memperpanjang umur nyamuk dan penularan mungkin terjadi sepanjang tahun di tempat
tersebut. Halhal ini seperti merupakan fokus penularan untuk tempat-tempat sekitarnya. Pada
waktu musim hujan menyebar ke tempat lain dan pada saat bukan musim hujan kembali lagi
ke pusat penularan (Depkes RI, 2015).
H. Perilaku kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus
atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan
dan minuman, serta lingkungan (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).Perilaku sehat adalah
pengetahuan, sikap dan tindakan proaktif untuk memelihara dan mencegah resiko terjadinya
penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit (Depkes RI, 2015). Seorang ahli kesehatan
Becker (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) mengklasifikasikan perilaku kesehatan yaitu:
1. Perilaku hidup sehat
Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan
seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.
2. Perilaku sakit (illness behavior)
Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya
terhadap sakit, pengetahuan tentang: penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit
dan sebagainya.
3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior)
Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup semua hak-
hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan
kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama
keluarga) yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role). Perilaku ini
meliputi:
a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b. Mengenal/mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan penyakit yang
layak.
c. Mengetahui hak (misalnya: hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan
kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit (memberitahukan penyakitnya
kepada orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan
penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya).
4. Perilaku pemberantasan sarang nyamukdengan cara 3M plus diantaranya adalah:
a. Membersihkan tempat penampungan air seminggu sekali, Seperti air di vas bunga,
air tempat minum burung.
b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tempayan, bak mandi, dan
tempat penempungan air bersih yang memungkinkan tempat berkembang biak
nyamuk, hendaknya ditutup rapat-rapat.
c. Menguras tempat penampungan air sekurang-kurangnya 1 minggu sekali, seperti bak
mandi, tempayan, dan tempat penampungan air bersih, hendaknya dikuras maksimal
1 minggu sekali.
d. Mengubur Barang-barang bekas bekas, barang-barang yang memungkinkan air
tergenang seperti ban bekas, kaleng-kaleng bekas, plastik bekas, tempurung kelapa
(Depkes RI, 2015).
e. Membuang sampah pada tempatnya atau membakarnya, seperti plastik bekas air
mineral, potongan bambu, tempurung kelapa dan lain-lain, yang dapat menampung
air hujan hendaknya dibuang di tempat sampah dan segeralah membakarnya.
f. Menggantung pakaian, faktor risiko tertular penyakit demam berdarah adalah rumah
atau lingkungan dengan baju atau pakaian bergantungan yang disukai nyamuk untuk
beristirahat.
g. Memakai kelambu, orang yang tinggal di daerah endemis dan sedang wabah demam
berdarah sebaiknya waktu tidur memakai kelambu. Terutama waktu tidur siang hari,
karena nyamuk Aedes aegypti menggigit pada siang hari.
h. Memakai lotion anti nyamuk, pada waktu tidur lengan dan kaki dibaluri minyak
sereh atau minyak anti nyamuk agar terhindar dari gigitan nyamuk Aedes aegypti.
i. Menaburkan bubuk abate, satu sendok makan (± 10 gram) untuk 100 literair (Depkes
RI, 2015). Obat abate ini mirip dengan garam dapur. Bubuk abate ditaburkan ke
dalam wadah-wadah air di dalam rumah. Setelah ditaburkan obat ini kan membuat
lapisan pada dinding wadah yang ditaburi obat ini. Lapisan ini bertahan sampai
beberapa bulan kalau tidak disikat.
j. Memelihara ikan pemakan jentik, misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan
kepala timah, ikan gupi, ikan cupang/tempalo dan lain-lain) (Depkes RI, 2015).
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Gambaran Perilaku Kejadian DBD


PSN

Gambar 3.1 Kerangka konsep


B. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan survey yang menggunakan metode deskriptif, yang bisa
memberi gambaran tentang tingkat pengetahuan para responden yang berhubungan
dengan kejadian DBD, pengumpulan data dilakukan dengan cara kuesioner.
2. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi
pertanyaan-pertanyaan tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh warga yang ada di RW 13 Dusun Cikabuyutan
Timur, Kelurahan Hegarsari.
b. Sampel
Sampel yang digunakan adalah warga yang ada di RW 13 Dusun Cikabuyutan
Timur, Kelurahan Hegarsari.
4. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa kuesioner yang telah dibagikan kepada peserta sampel
yang datang saat penyuluhan kuesioner.
5. Cara Pengolahan Data
Semua data yang diperoleh, dicatat, diolah secara manual lalu disusun ke dalam tabel
sesuai dengan penelitian.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data Dasar


Penelitian dilakukan di RW 13 Dusun Cikabuyutan Timur, Kelurahan Hegarsari
dalam wilayah kerja Puskesmas Pataruman 1 bulan September-Oktober 2017. Penelitian ini
dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner untuk menilai tingkat pengetahuan warga
mengenai perilaku pemberantasan sarang nyamuk. Kuesioner ini dibagikan kepada masing-
masing warga di RW 13 Dusun Cikabuyutan Timur, Kelurahan Hegarsari. Lembar pertama
kuesioner merupakan lembar informed consent penelitian. Responden yang mengikuti
penelitian sejumlah 10 warga yang berasal dari RT 03 dan RT 04, RW 13 Dusun
Cikabuyutan Timur, Kelurahan Hegarsari.
B. Gambaran Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Tabel 4.3 Kejadian Demam Berdarah Dengue di RW 13 Dusun Cikabuyutan Timur,
Kelurahan Hegarsari Tahun 2017
Kejadian DBD Jumlah Persentase
Mengalami DBD 4 40%
Tidak mengalami DBD 6 60%
Total 10 100%

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebanyak 40% responden pernah mengalami DBD dan
sebanyak 60% tidak mengalami DBD.
Tabel 4.4 Karakteristik Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk di RW 13 Dusun
Cikabuyutan Timur, Kelurahan Hegarsari Tahun 2017
Aktivitas Baik Persentase Buruk Persentase Total
Menutup tempat 5 50% 5 50% 10
penampungan air
Menguras tempat 7 70% 3 30% 10
penampungan air
Mengubur barang-barang 4 40% 6 60% 10
bekas
Menggantung pakaian 6 60% 4 40% 10
Memakai kelambu 2 20% 8 80% 10
Memakai obat anti nyamuk 5 50% 5 50% 10
Menabur bubuk abate pada 3 30% 7 70% 10
tempat penampungan air

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai kebiasaan menutup
rapat tempat penampungan air yaitu sekitar 5 orang (50%) dan kebiasaan menguras tempat
penampungan air yaitu sekitar 7 orang (70%). Responden yang mengubur barang bekas 4
orang (40%), artinya sebagian kecil responden yang mengubur barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat genangan air.

V. PEMBAHASAN

A. Gambaran Perilaku PSN


1. Menguras TPA
Pada hasil olah data distribusi frekuensi perilaku PSN di RT 03 dan RT 04 RW 13
Cikabuyutan Timur, Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, mayoritas
responden memilik perilaku menguras TPA dengan baik yaitu 232 orang (82,3%), dan
sebagian kecil responden yang memiliki perilaku menguras TPA buruk yaitu 50 orang
(17,7%). Hal ini berarti bahwa mayoritas sudah menguras TPA minimal satu minggu
sekali, sedangkan masih ada sekitar 50 orang tidak menguras TPA seminggu sekali.
Kegiatan menguras tempat penampungan air menurut WHO sebaiknya dilakukan
minimal satu minggu sekali. Pada hasil olah data juga didapatkan bahwa mayoritas
pekerjaan responden adalah buruh, yaitu sekitar 79 orang (28,0%). Hal ini bisa menjadi
penghambat dalam kesempatannya untuk melaksanakan kegiatan PSN di rumahnya.
Menurut Sitio dalam penelitiannya hal ini bisa memiliki sedikit kesempatan dalam
melaksanakan kegiatan PSN untuk mencegah DBD (Sitio, 2008).
2. Menutup rapat TPA
Pada hasil olah data distribusi frekuensi perilaku menutup rapat TPA, didapatkan hasil
161 orang (57,1%) memiliki perilaku menutup rapat TPA baik, dan 121 orang (42,9%)
memiliki perilaku menutup rapat TPA dengan buruk, artinya bahwa sebagian besar
responden belum menutup rapat tempat penampungan air. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Salawati dalam penelitiannya tentang kejadian Demam Berdarah Dengue
berdasarkan faktor lingkungan dan praktik pemberantasan sarang nyamuk di wilayah
kerja Puskesmas Srondol Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, yang menyatakan
bahwa “Sebagian responden mempunyai kebiasaan tidak menutup tempat penampungan
air dengan alasan apabila menutup tempayan dengan rapat akan menyulitkan atau
memperlambat dalam mengambil air” (Salawati, 2010). Menutup rapat tempat
penampungan air akan meminimalkan perkembangbiakan Aedes aegypti. Tempat
penampungan air yang tidak tertutup secara rapat dan jarang dibersihkan dapat berfungsi
sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti (Depkes RI, 2010).
3. Mengubur barang bekas
Pada perilaku menyingkirkan/ mendaur ulang barang bekas sebagian besar responden
sudah berperilaku baik yaitu sekitar 166 orang (58,9%), dan masih ada sebagian kecil
responden yang memiliki perilaku menyingkirkan/ mendaur ulang barang bekas dengan
buruk yaitu sekitar 116 orang (41,1%). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Salawati tentang kejadian Demam Berdarah Dengue berdasarkan faktor
lingkungan dan praktik pemberantasan sarang nyamuk di wilayah kerja Puskesmas
Srondol Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Hasil penelitiannya tersebut yaitu
sekitar 23.4% responden tidak biasa mengubur barang-barang bekas. Perilaku yang buruk
dalam menyingkirkan / mendaur ulang barang bekas dapat meningkatkan resiko
terjangkitnya penyakit DBD. Keberadaan barang bekas yang dapat menjadi tempat
penampungan air dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes. Keberadaan barang-
barang bekas disekitar rumah warga merupakan hasil dari beberapa orang yang bekerja
sebagai pengumpul barang bekas/rosok.
1. Menggantung pakaian di dalam rumah
Pada hasil olah data distribusi frekuensi perilaku menggantung pakaian di dalam
rumah di RT 03 dan RT 04 RW 13 Cikabuyutan Timur, Kelurahan Hegarsari, Kecamatan
Pataruman, Kota Banjar diperoleh hasil 74 orang (26,2%) baik, dan 208 orang (73,8%)
buruk, yang berarti bahwa sebagian besar warga mempunyai kebiasaan menggantung
pakaian di dalam rumah, dan hanya sebagian kecil yang tidak menggantung pakaian di
dalam rumah. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sitio, bahwa kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai cukup tinggi pada
kelompok kasus yaitu sebanyak 84,6%, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 50%.
Menggantung pakaian di dalam rumah memiliki resiko lebih besar terkena penyakit
DBD, karena pakaian yang tergantung di dalam rumah dapat menjadi tempat untuk
berhinggap nyamuk Aedes aegyiti. Kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai di
dalam rumah dapat menjadi tempat berhinggap nyamuk Aedes aegypti karena nyamuk
tersebut senang pada daerah yang gelap (Frida, 2008).
2. Kebiasaan tidur menggunakan kelambu
Pada hasil olah data kebiasaan tidur menggunakan kelambu didapatkan hasil 121
orang (42,9%) mempunyai kebiasaan baik, dan 161 orang (57,1%) mempunyai kebiasaan
buruk, artinya bahwa mayoritas responden tidak menggunakan kelambu pada saat tidur
siang, dan hanya sebagian kecil yang menggunakan kelambu pada saat tidur siang. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sitio juga menunjukkan bahwa penggunaan kelambu pada
responden tergolong rendah, hanya 11,5% dari total responden yang menggunakan
kelambu disiang hari (Sitio, 2008). Penggunaan kelambu merupakan perilaku pencegahan
tehadap gigitan nyamuk pada saat tidur, supaya tidak terkena penyakit DBD (Frida,
2008).
3. Menggunakan lotion anti nyamuk
Pada hasil distribusi frekuensi perilaku menggunakan obat anti nyamuk di RT 03 dan
RT 04 RW 13 Cikabuyutan Timur, Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman, Kota
Banjar diperoleh hasil 89 orang (31,6%) mempunyai perilaku baik, sedangkan 193 orang
(68,4%) mempunyai perilaku buruk, yang berarti bahwa mayoritas responden tidak
menggunakan obat anti nyamuk pada saat tidur, dan hanya sebagian kecil saja responden
yang menggunakan obat anti nyamuk pada saat tidur. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sitio juga menunjukkan hasil bahwa penggunaan anti nyamuk terlihat cukup nyata
antara kelompok kasus sebanyak 26,9% dengan kelompok kontrol sebanyak
61,5%.Menggunakan obat anti nyamuk seperti obat nyamuk semprot, bakar,elektrik, serta
obat oles anti nyamuk masuk dalam kategori perlindungan diri (Gama, 2010).
4. Menabur bubuk abate pada tempat penampungan air

VI. PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ada hubungan antara menutup tempat penampungan air dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue.
2. Ada hubungan antara kebiasaan menguras tempat penampungan air dengan kejadian
Demam Berdarah Dengue.
3. Ada hubungan antara kebiasaan mengubur barang-barang bekas dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue
4. Ada hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian Demam Berdarah
Dengue
5. Ada hubungan antara kebiasaan memakai kelambu dengan kejadian Demam Berdarah
Dengue
6. Ada hubungan antara kebiasaan memakai lotion anti nyamuk dengan kejadian Demam
Berdarah Dengue
7. Ada hubungan antara kebiasaan menabur bubuk abate pada tempat penampungan air
dengan kejadian Demam Berdarah Dengue
B. Saran
1. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat ikut berpartisipasi aktif secara bersamasama dalam
pemberantasan sarang nyamuk, dan diharapkan kepada masyarakat dapat meningkatkan
perilaku PSN dengan gerakan 3M Plus seperti, menguras TPA minimal satu minggu
sekali, menutup rapat tempat penampungan air, menyingkirkan/mendaur ulang barang
bekas, memelihara ikan pemakan jentik, memasang kawat kasa, tidak menggantung
pakaian di dalam rumah, menggunakan kelambu saat tidur, dan kebiasaan menggunakan
obat anti nyamuk.
2. Bagi Puskesmas dan Pemerintah Desa
Puskesmas dapat melakukan program-program yang dibutuhkan untuk meningkatkan
peran serta masyarakat dalam melakukan kegiatan PSN, seperti mengaktifkan kembali
petugas pencacat jentik di RT 03 dan RT 04 RW 13 Cikabuyutan Timur, Kelurahan
Hegarsari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, sehingga lebih efektif dalam deteksi dini
adanya nyamuk penyebab DBD. Bagi Pemerintah Desa diharapkan ikut mengambil
langkah-langkah konkrit dalam menggerakkan kegiatan PSN secara rutin dan
berkelanjutan.
3. Bagi Peneliti selanjutnya
Peneliti dapat melakukan penelitian lanjutan dengan variabel lain yang memungkinkan
sebagai faktor penyebab terjadinya DBD.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 2010.Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di


Indonesia. Jakarta: Depkes RI Direktorat Jenderal PP & PL.
Departemen Kesehatan RI. 2015. Perkembangan Kasus demam Berdarah di Indonesia.
http://www.depkes.go.id.
Elfindri, dkk. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Baduose Media.
Frida N. 2008.Mengenal demam berdarah dengue. Jakarta. CV Pamularsih.
Gama, Azizah & Faizah Betty R. 2010. Analisis Faktor Resiko Kejadian Demam Berdarah
dengue di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Jurnal Eksplanasi, Vol. 5 No. 2, edisi
Oktober: 1-9.
Handrawan Nadesul. 1998. Penyebab, Pencegahan, dan Pengobatan Demam Berdarah. Jakarta:
Puspa Swara.
Indrawan. 2001.Mengenal dan Mencegah Demam Berdarah. Pioner Jaya. Bandung
Mukono. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press
Notoatmodjo, S. 2007.Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
Salawati T, Astuti R, Nurdiana H. 2010.Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Faktor
Lingkungan dan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk di Wilayah Kerja Puskesmas
Srondol Kota Semarang. Vol 6. no 1. FKM UNIMUS.
Sitio A. 2008.Hubungan Perilaku tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk dan kebiasaan
keluarga dengan kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan
Perjuanangan Kota Medan. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sumarmo. 2005. Demam Berdarah (Dengue) pada Anak. UI Press, Jakarta
Utomo, Budi. 2017. Hubungan Antara Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Dan Kejadian
Demam Berdarah Dengue Di Desa Sojomerto Kecamatan Reban Kabupaten Batang.
Departemen Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang,
Maret
Winarsih, S. 2013. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku PSN dengan Kejadian
DBD. Semarang: UNNES.

Anda mungkin juga menyukai