Anda di halaman 1dari 9

Nama : Umi Kiptida’iyah

No.SM-3T :2016079320
Penempatan : SMPN Satap Batuan, Kecamatan Lampasio
Kabupaten Tolitoli

Menggapai Asa, Numpang Lewat di Tolitoli


Takdir yang membawaku ke sini “Tolitoli, Sulawesi Tengah”. Kala itu bulan Juni 2016,
dengan ucapan syukur Alhmdulillah akhirnya dinyatakan lulus setelah menempuh pendidikan
empat tahun di Universitas Negeri Semarang. Waktu yang tinggal satu minggu untuk mengikuti
seleksi SM-3T tidak saya biarkan lewat begitu saja. Perjalanan mendaftar secara online sama
seperti biasanya, menimbulkan kekacauan sistem. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama.
Dua hari sebelum penutupan pendaftaran, akhirnya terselesikan juga pendaftaran administrasi
secara online.
Selasa, 13 Juli 2016, saya sudah bersiap dengan laptop di depan mata. Alhmdulillah
dengan ucapan syukur seleksi pertama terlewati. Bagaimana saya tidak bersyukur, sedangkan
masih banyak orang yang gagal dalam hal ini. Seleksi online tes bidang mata pelajaran
dilaksanakan tepat saat saya wisuda. Penuh dengan kebimbangan saat harus memilih diantara
dua pilihan yang sangat berarti bagi saya. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya saat teman-
teman bersama keluarga merayakan wisuda lulus, saya harus berjuang untuk lulus dalam seleksi
kedua. Semua berjalan lancar hingga seleksi tahap akhir berupa prakondisi di Bandungan selama
2 minggu.
Tolitoli, I’m coming. Dengan rasa senang dan sedih semua bercampur jadi satu. Harus
meninggalkan kampung halaman bersama keluarga selama 1 tahun full. Tantangan baru akan
dimulai. Hanya sedikit teman yang saya kenal, hal ini terjadi karena sebenarnya saya mendapat
tugas di Papua, tapi karena suatu hal akhirnya dipindah ke Tolitoli. Kalian tau, rencana Allah
pasti lebih indah dari rencana kita.
Pengalaman pertama dimulai dari sini, pesawat bersayap di Bandara Ahmad Yani
menunggu kedatangan kami “Putra putri Bangsa yang siap ditugaskan di berbagai daerah”. Saya
anak desa yang baru pertama naik pesawat, jadi banyak kebingungan yang saya alami. Hati
bercampur aduk, banyak perrtanyaan di kepala yang belum terjawab “ Dengan siapa saya nanti
tinggal, Bagaimana keadaan disana, Ada sinyalkan, Bagaimana siswa siswa serta lingkungannya,
Bagaimana saya harus mengajar, dan masih banyak pertanyaan yang masih melayang layang di
kepala.
Pertama kali ini juga saya menginjakkan kaki di pulau terbesar di Indonesia, yaitu Pulau
Kalimantan. Hanya satu jam menginjakkan kaki ditempat itu, beberapa jam kemudian, dilanjut
perjalanan menuju Pulau Sulawesi. Begitu melelahkan dan melelahkan sekali hari itu, heheh..
Pukul 9 pagi kami disambut bapak ibu kepala sekolah yang siap membawa kami
ketempat tugas. Sebelum diajak berkeliling lebih jauh nantinya, kami dibagi-bagi lagi menjadi
beberapa kecamatan dan sekolah sesuai kebutuhan. Dengan seksama, kami mendengarkan surat
tugas yang telah diberikan, satu persatu Bapak Kasim selaku sekertaris Dinas Pendidikan Tolitoli
menyebutkan nama kami beserta penempatannya. Mata memandang kesegala arah, mulut
berkomat kamit tangan mulai menggempal serasa berdoa semoga mendapat daerah penempatan
terbaik. Tidal lama, nama yang tidak asing saya kenal yaitu “Umi Kiptida’iyah” disebutkan oleh
beliau. Saya, iya saya mendapat daerah penempatan di Kecamatan Lampasio, Desa
Ogomatanang, tepatnya di SMP Negeri Satu Atap Batuan.
Mata ini terus mencari-cari siapa gerangan yang akan menjadi teman seperjuangan
selama satu tahun kedepan. Tidak puas dengan hasil yang didapan karena penempatan sendiri,
saya mencoba terus mencari dan melihat selembaran yang tadi telah dibacakan. Tidak tahu apa
rencana Allah yang diberikan kepada saya “ saya penempatan satu desa sendiri dan satu sekolah
juga sendiri”. Tidak tahu apa yang harus diucap bersyukur atau tidak, yang jelas saat itu saya
merasa takut karena harus serba sendiri di tanah orang yang berbeda semua seluk beluknya.
Kepala sekolah mengajak saya meninggalkan tempat dan menuju daerah penempatan.
Menggunakan sepeda motor bersama Pak Agus “anak kepala sekolah”, kami meluncur.
Perjalanan masih jauh, melewati daerah perbukitan rawa rawa, yang tidak terpikirkan sama
sekali, kami seperti melewati ditengah-tengah hutan. Hahahaaa, tapi kalian tahu kawand,
pemandangannya sangat menakjubkkan.
Angin lembah berhembus sepoi sepoi menggiring roda motor kami agar melaju lebih
cepat, suhu udara mulai menurun seiring bertambahnya ketinggian tempat, dan dingin mulai
menusuk tulang. Settssss, motor berhenti dipinggir jalan, tepat disebuah kios kecil. Seorang
wanita muda menyambut kedatangan kami, beliau menyuguhkan secangkir minuman bebahu
jahe dengan campuran susu dan gula merah yang harum dan hangat. Jika diminum, pasti
menghangatkan badan dan melegakan tenggorokan. Selain itu, sepiring pisang goreng bersama
bakwan ditambah sambal diantarkan ke meja kami. Masih bingung apa hubungan pisang goreng
bersama sambal. Sanggar sebutan pisang goring dimakan bersama sambal, itulah pelajaran
pertama yang saya dapat dan rasanya hmmmmm tidak kalah enak.
Kegelapan malam karena listrik padam mengantarkan kami dalam sebuah perbincangan
tentang sebuah minuman “Sarabak dan sanggar bersama sambalnya”. Karena mulut mulai
menguap, menandakan mata mulai lelah dan badan ingin segera direbahkan. Pak Agus
mengantarkanku ke sebuha rumah dinas di depan sekolah dasar, disitulah saya akan tinggal
selama satu tahun kedepan. Seorang wanita yang bertemu dikios akan menjadi mama angkatku
selama satu tahun nanti.
Desa Ogomatanang merupakan salah satu desa di Kecamatan Lampasio. Desa
Ogomatanang terdiri dari tiga dusun yaitu Dusun Batuan, Dusun Bambuan, dan Dusun Salusu.
Saya mendapat penempatan tepatnya di Dusun Batuan, tinggal bersama seorang guru SMP di
rumah dinas SD Batuan. Karena tinggal di lingkungan sekolah, kami tidak begitu banyak
memiliki tetangga. Tetapi hal tersebut justru membuat saya tenang, karena samping kanan kiri
menyuguhkan pemandangan yang menarik. Di depan rumah sudah termasuk jalan provisi,
namun suasannya bukan seperti jalan provinsi melainkan gang gang didesa-desa yang sepi.
Beberapa hari di tempat ini saya masih merasa kesusahan, terkadang belum bisa menerima ketika
setiap hari listrik padam, sinyal terkadang susah, sinyal internet tidak ada, air kadang mengali
kadang tidak atau bahkan jika harus menyesuaikan makanannya. Namun lambat laun, hal
tersebut mulai biasa bagi saya.
September, bulan pertama yang harus saya jalani. Dua minggu kami disini, tepat tanggal
9 Dzulhijah yaitu tepat Hari Raya Idul Adha tahun 1437 H. Pengalaman idul adha ke-5 di tanah
rantau. Selama 4 tahun saya sudah hafal betul bagaimana suasana Idul Adha di Kota Semarang
yang sunyi sepi dtimggal mudik anak-anak kos. Kali ini untuk pertama kalinya saya menyambut
hari raya Idul Adha di Kabupaten Tolitoli. Beda tempat beda adat, begitu istilahnya. Suasana hari
raya Idul Adha di Tolitoli berbeda dengan di Jawa. Satu hari sebelum hari raya masyarakat dari
berbagai suku membuat makanan khas yang disajikan saat lebaran yaitu burasa dan sokotumbu.
Dua hari sebelum lebaran saya diajak ikut mama ain berbelanja berbagai macam kue dan
keperluan di pasar shopiing. Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya sebuah oto
menghampiri kami dan membawa kami melewati lembah dan bukit untuk sampai di kota. Oto
adalah sebutan untuk mobil yang digunakan sebagai angkutan umum, aau masyarakat disini
menyebutnya dengan taxi tanpa argo.
Pasar shopiing merupakan pasar terbesar di Kabupaten Tolitoli yang terletak di tengah
kota. Berbagai macam keperluaan tersedia di tempat ini dengan harga terjangkau. Sepulang
perjalan dari pasar selama satu jam, saya diajarkan bagaimana cara membuat burasa maupun
sokotumbu. Burasa hampir sama dengan nasi uduk, tetapi dikukus dengan dibungkus oleh daun
pisang yang muda. Burasa berbeda dengan sokotumbu, jika burasa bahan pokoknya berupa nasi
sedangkan sokotumbu bahan pokoknya berupa ketan. Ketan putih dimasak kemudian dicetak
dengan cetakan sesuka hati dan dikukus bersama daun. Sokotumbu tidak kalah enak dengan
burasa, kedua duanya sama sama enak jika dimakan dengan opor,hmm yummy . Setelah salat
ied idul adha, selayaknya idul fitri masyarakat bersilaturahmi ke rumah tetangga maupun
kerabat.
Masih dibulan September, serasa sendiri saat kita penempatan sendiri dan belum juga
ditahu siapa teman kita terdekat. Handphone berdering dengan kencang menandakan panggilan
telepon masuk, suara laki laki terdengar dari spiker hp. Ternyata dia, Anton namanya,
koordinator Kecamatan Lampasio. Dia memberitahukan kepada saya bahwa hari minggu esok
diadakan rapat kecamatan. Saat itu, saya belum tahu tempatnya dimana dan dengan siapa saya
harus berangkat. Bermodal motor matic dan keberanian, pagi-pagi pukul 07.30 saya bersama
adik saya Yuli meluncur ke desa Sibea. Belum juga saya mengetahui bagaimana kondisi jalan
dan desa. Kami melaju dengan kecepatan 50 km/jam. Udara yang sejuk bersama angin gunung
yang sepoi-sepoi menggiring kami melewati perbukitan rawa-rawa isamping kanan kiri. Jalan
kali ini sangat terjal dan tikungan sangat tajam, karna tidak bisa mengendalikan akhirnya motor
jatuh tepat dipinggir jalan dekat jurang. Innalillahi wa innalillahirojiun, benar-benar ketakutan
menghampiriku. Adikku terjatuh dari motor dan membekas luka dibagian kaki dan tangan.
Sedangkan saya alhmdulillah tidak ada yang luka, namun kaki terasa sakit saat digerakkan.
Segera kami meluncur ke desa Sibea dengan perasaan gugup dan perasaan takut bercampur aduk.
Seorang teman langsung mengobati kaki Yuli dan memijat kaki saya yang tergelincir. Perasaan
masih tidak tenang, saya harus menempuh perjalanan pulang selama 1 jam dengan kondisi serba
ketakutan. Saya masih punya tanggung jawab akibat jatuh yang kami alami. Untung Mama Ain
tidak marah terhadap saya, sejak saat itu saya masih takut dan trauma jika menggunakan motor
seorang diri.
Bulan pertama di Tolitoli, saya mulai mengenal tetangga, lingkungan sekolah, lingkungan
kampung dan keaadan sekitar. Masyarakat Desa Ogomatang terdiri dari macam macam suku
yaitu Suku Jawa yang berasal dari transmigrasi, suku Kaili, suku Buol, maupun suku Bugis.
Harus bisa menempatkan diri saat bersama masyarakat. Masalah pertama yang saya hadapi yaitu
saat malam tiba menjelang pagi, suhu udara mulai dingin, perut mulai sakit. Inilah hal yang
sangat menyiksa, tengah malam saya harus terbangun untuk buang air besar. Jika air mengalir
lancar, tidak masalah, tetapi jika air tidak mengalir saya harus menahannya. Air yang digunakan
untuk keperluan sehari hari berasal dari air gunung yang dialirkan ke warga-warga. Dengan
biaya 5000 perbulan masyarakat sudah bisa memanfaatkan air sepuasnya. Namun, jika hujan tiba
air menjadi keruh dan tidak layak pakai, tidak jarang air tidak mengalir selama lebih dari 3 hari.
Masalah lain yang saya hadapi yaitu ketika tangan kaki dan badan membekas besar saat digigit
nyamuk. Maklum, dusun Batuan sangat dekat sekali dengan perbukitan, sawah, rawa, hutan
sehingga tidak salah jika banyak nyamuk yang berkeliaran mencari mangsa. Saya yang
merupakan penghuni baru menjadi sasaran empuk mereka. Handbody sudah tidak bermanfaat
bagi saya, lebih baik menggunakan lotion anti nyamuk daripada handbody. Penuh tantangan
bukan di bulan pertama di Tolitoli.
Saya mendapat penempatan di SMPN Satu Atap Bataun, desa Ogomatanag, dusun
Batuan, kecamtan Lampasio. SMP Negeri Satu Atap Batuan merupakan sekolah yang baru
berdiri dan masih meluluskan satu angkatan. Penamaan satap karena sebelumnya gedung SMP
bergabung dengan SD Batuan. Sekolah ini dibangun atas kerjasama pemerintah Indonesia
dengan pemerintah Australia, jadi tidak jarang banyak dijumpai label Australia di berbagai sudut
sekolah. Sekolah baru tidak heran hanya terdapat beberapa guru, satu guru merangkap 2 mata
pelajaran.
Saya mulai asyik dengan lingkungan sekolah, bermain main dengan anak-anak
merupakan kesenangan sendiri bagi saya. Kita bisa mengenal anak lebih dalam bisa turut
membimbing. Setiap hari Jumat yang biasa senam satu macam, sekarang saya tambahkan
macam-mavcam senam yang bikin anak-anak tidak bosan, yaitu senam sipong, penguin, maupun
gume famire. Anak-anak merasa terhibur dan tidak membosankan. Selain itu setelah senam,
biasa mereka hanya istirahat sampai siang. Saya ajak mereka bermain softball, gebrak sodor,
maupun volley. Secara tidak langsung hal tersebut mempererat hubungan pertemanan antara
yang satu dengan yang lain.
Siswa siswi SMP Batuan yang sebagian besar merupakan dari kalangan menengah ke
bawah. Dalam pendidikan mereka kurang mendapat perhatian mauun fasilitas dari orang tua,
orang tua hanya mengetahui anak mereka berangat sekolah tanpa mengetahui mereka belajar
dengan benar maupun tidak. Hal seperti itu menjadikan anak-anak malas untuk sekolah, di
sekolah hanya bermain dan tidak memperhatikan. Tidak jarang mereka bolos sekolah tanpa
sepengetahuan orang tua, bahkan ada pula yang diiminta untuk tidak bersekolah guna membantu
orang tua menanam atau mancing. Sepengamatan saya, sopan santun mereka sangatlah kurang,
perlahan lahan saya mulai mencoba mengenal anak-anak satu persatu. Kesalahanku kali itu saya
terlalu dekat dengan mereka, sehingga sopan santun mereka menjdi sangat kurang dan tidak ada
rasa takut. Perlahan saya mulai mundur dari kedekatan ini dan membatasi diri antara murid
dengan guru. Semua berjalan lancar dengan segala omelan dan ocehan yang saya keluarkan
mereka terdiam. Namanya juga anak anak, tidak jarang penyakitnya kambuh lagi.
Siswa SMP merupakan awal bagi mereka bergerak dari anak-anak menuju remaja. Kelas
satu mereka terdiri dari 13 siswa pindah sekolah 2 siswa. Karakter dari kelas satu mereka lucu,
laki- laki terdiri dari 5 anak. Hmm sulit mengatakan, mereka penghibur bagiku, suka bercanda,
hal hal seperti itu sering dilakukan saat jam istirahat, namun saat jam pelajaran mereka tidak
berani bermain main. Meskipun dalam pelajaran susah mengerti, mereka lebih memilih diam dan
bermain main sendiri dengan apa yang ada ditangannya. Kehadiran mereka membuatku menjadi
lebih suka berangkat sekolah daripdaa libur sekolah. Siswa perempuan tidak kalah jagonya,
mereka pintar cerdas, dan suka bersaing satu sama lain. Siswa kelas satu sangatlah penurut saat
diperintah. Itulah mereka kecil kecil tapi sesuatu sekali bagi saya.
Bulan demi bulan berlalu dengan damai, adakala saat saya merasa bulan tersebut terlalu
lama dan adakala bulan tersebut berlalu terlalu cepat. Kalian tahu penyebabnya apa?? Yapss itu
berasalah dari perasaan kita sendiri, saat kebahagiaan menghampiri semua terasa cpat saat
kesedihan menghampiri semua terasa lama dan itu karena kita kurang brsyukur.
Siswa kelas 2, hmm yang ini mereka terdiri dari 7 orang yaitu 4 perempuan dan 3 laki
laki. Saat pelajaran mereka sangtlah serius dan daya saing antar teman sangat kuat, kecuali 2
laki-laki pemalas dan pendiam. Mereka sangat semangat dalam bersekolah dan belajar. Siswa
kelas 3, haduch yang satu ini jangan ditanya, kelas tiga biang korek sekolah. Terdiri dari 12
siswa, mereka bandel, susah diatur, yang bikin sekolah ramai dan penuh masalah. Saat memasuki
kelas 3 yang sering muncul hanya keemosian karena siswanya yang bandel. Tetapi mereka yang
paling bisa diandalkan saat lomba kepramukaan tingkat kecamatan maupun kabupaten. Berkat
usaha bersama juara 2 tingkat kecamatan dapat diraih, berbagai bidang tingkat kabupaten juga
dapat diraih. Empat piala pertama yang disumbangkan siswa klz 3 dan 2 untuk sekolah.
Sekolah ini luar biasa, kalian tahu sekolah ini berbeda, banyak perbedaan yang ada, ini
sekolah di desa yang masih banyak rumput berkeliaran, dekat gunung, satu sekolah berjumah 34
siswa., dan kalian juga beda dengan anak skolah di kota. Kalian unik, jika diminta belajar
susahnya minta ampun, tapi jika diminta bekerja dan menghasilkan uang mereka sangat rajin.
Kebanyakan mereka tidak mendapat uang saku dari sekolah, kerja dengan menjual ikan hasil
mancing, dengan menarik bantalan di hutan, dengan menjual kopra, membuat meraka mampu
untuk membeli sekedar minuman dan makanan ringan. Mereka pintar, iya , yang laki laki pintar
memanjat, membalang mangga, dan mereka pintar menjahit sepatu sendiri. Saat biasa saya
kebingungan menjahit sandal, mereka menawarkan untuk menjahitkan. Tetapi jangan salah,
mereka juga cerdas, Hehehe :D
Bulan April SMPN Satap Batuan mengirimkan 6 personil untuk mengikuti perlombaan
O2SN dan FLSN, karena saya guru yang kurang kerjaan dan tidak ada yang mengganggu
akhirnya saya ikut andil mendampingi anak-anak. Selama 5 hari di kota bersama anak anak, anak
anak mulai menyiapkan untuk perlombaan. Setelah sekian hari, tidak ada yang masuk dalam
juara tetapi masuk dalam kategori finalis. Hal tersebut bukan masalah bagi kami, yang terpenting
kalian telah berusaha memberikan yang terbaik. Hal yang paling saya ingat ketika saya harus
mendampingi siswa saya untuk lomba cipta dan baca puisi. Saat itu saya bener-bener seperti
orang hilang, mendampingi Eka salah satu siswa untuk lomba baca cipta puisi, kita diantar ke SD
Pembina dikarenakan minimnya kendaraan bermotor. Setelah menunggu lama, kita semua
diminta untuk kembali ke kantor dinas pendidikan. Minimnya kendaraan membuat saya harus
memberanikan diri nebeng dengan orang lain.
Sebuah mobil hitam melaju dengan pelannya keluar menuju ke kantor dinas pendidikan.
Tanpa sadar, tangan ini melambai lambai mobil tersebut dan setsss mobil berhenti. Tanpa basi
basi saya mulai menawar untuk ikut nebeng. Dengan sigap bapak dan ibu juri mempersilahkan
kita untuk masuk dalam mobil. Setelah menunggu hampir satu jam. Pengumuman mulai
diumumkan. Alhmdulillah masuk finalis, beruntung saya kenal dengan guru SMP Siloundou.
Kami meminjam motor untuk fotokopi. Setelah acara selesai, tidak ada juga yang menjemput
kami. Akhir kata kami jalan kaki diguyur hujan sampai dipertigaan beli pentolan dan berharap
ada yang menjemput. Ternyata jam demi jam berlalu dan tidak terlihat batang hidung siapaun.
Hati semakin jengkel saat perut semakin sakit. Dengan modal bertanya penjual, kami
ditunjukkan arah menuju Gor,,hehehe sampai di jalan ada mobil berhenti dan taraaaa kami di
kasih tumpangan,hahaaaa (memang wajahku memelas sekali yaaa :D). Sesampai di Gor malah
kepala sekolah pulang terlebih dahulu dan aku, akuu di tinggal di Gor untuk damping silat. Aiiii,,
sebel sakali. Untung ketemu teman dan tak minta langsung ba antar pulang. Sudah mau mati saja
karena menahan sakit perut. Semua itu akan menjadi kenangan bagi saya.
Hari itu hari Sabtu sore, bersama teman samping desa kami berkunjung ke kecamatan
Basidondo untuk bersilaturahmi dan mengambil laptop yang telah diservis. Setelah mandi mandi
dikoala (Red: Sungai) kami kembali ke rumah. Mata ini terus memandang ke berbagai arah,
melihat bagaimana kondisi dari desa itu. Tercangah ketika melihat banyak tiang 1 meter
tertancap di tanah dan terletak di depan rumah. Hati bertanya-tanya, apa gerangan fungsi alat
tersebut. Hahahaaa,, setelah tahu fungsinya, saya memulai tertawa tawa tiada hentinya.
Yapsss,,ternyata itu merupakan tiang sinyal namanya. Hanya di tempat tersebut sinyal bisa
didapat, komunikasi sedikit ada harapan. heehehe. Sungguh saat itu saya merasa benar-benar
harus bersyukur mendapatkan penempatan di Desa Ogomatanang. Ketika teman lain harus
bersusah susah mencari sinyal, sedangkan saya duduk manis di dalam kamar sudah bisa
mendapat sinyal. Meskipun sedikit sedikit sering mendapat kendala karena sinyal hilang maupun
listrik mati. Itulah daerah pengabdianku, Kabupaten Tolitoli.
Tolitoli memang indah. Jika kesempatan datang, rejeki masih lancar, tidak jarang saya
ingin mengeksplore Toiltoil lebih jauh. Namun berbagai kendala selalu muncul, yang terutama
yaitu tidak adanya kendaraan bermotor bagi saya itu sangat menyulitkan. Saya kurang bisa
menikmati lebih jauh indahnya Tolitoli. Saya paling jarang berkumpul dengan teman kecamatan
maupun rapat kabupaten. Tapi itulah kenyataan bagi saya dan bukan hal yang buruk bagi saya.
Beberapa tempat wisata yang pernah saya kunjungi yaitu air terjun salusu, air terjun sigilang, air
terjun ganongol, pantai lalos, pantai sabang tende, tanjung bajugan, pelabuhan malala, pulau
naima, pulau lingayan dan beberapa tempat di Palu, Donggala, serta Buol. Indah bukan, selain
berbagi ilmu dengan siswa di sekolah, kita juga bisa mendapat pengalamn-pengalaman baru,
pengetahuan baru, dan dapat melihat Indonesia lebih jauh.
Mei dan Juni, merupakan bulan yang menyedihkan bagi saya. Bulan tersebut merupakan
bulan ramadhan, dan saya harus tetap di sini tanpa bisa berkumpul dengan keluarga. Tapi ini
merupakan hal yang menantang bagi saya.Dihari hari aktif sekolah saya harus menetap di daerah
penempatan, namun kali ini beda. Saat bulan ramadhan, sekolah diliburkan satu bulan penuh
ditambah dengan libur hari raya. Adanya kesempatan tersebut membuat saya ingin bermalam dan
menikmati bulan ramadhan bersama teman-teman seperjuangan. Dua puluh hari di bulan
ramadhan saya jalani di Desa Janja, bersama kedua temanku. Sedangkan sisa hari, saya gunakan
untuk menikmati bulan ramadhan bersama keluarga di Batuan. Setiap bulan puasa Mama Ain
berjual kue kue untuk menu takjil berbuka, tidak jarang saya yang berjaga kios dan membantu
membuat kue. Berawal dari itu, sedikit sedikit saya mengerti tentang macam-macam kue dan
cara pembuatannya.
Bulan ramadhan yang suram bagi masyarakat Tolitoli. Kali itu musim hujan, hampir 5
hari berturut-turut kabupaten Tolitoli diguyur hujan. Seketika daerah kota yang merupakan
dataran rendah terkena banjir bandang dan longsor di sepanjang jalan berbukit menuju kota,
beberapa daerah di kecamatan juga tidak ketinggalan. Syukur Alhmdulillah, memang Allah
memiliki rencana tersendiri ketika saya mendapat penempatan di Batuan. Saat semua desa di
kecamatan Lampasio terkena banjir, hanya dusun Batuan dan Desa Mulyasari yang paling aman
terkena banjir. Kalau sudah seperti ini “Nikmat manakah yang kalian dustakan”. Selama 6 hari
listrik padam, sinyal padam, bahkan di daerah kota air tidak mengalir. Usut punya usut, ini
merupakan banjir terbesar yang melanda Tolitoli. Jalan provinsi yang menghubungkan Kota Palu
dengan Buol dan Gorontalo terkena banjir. Bus bus mini, mobil rental berjajar jajar di pinggir
jalan. Mengingat dalamnya banjir sampai ke dada orang dewasa, serta kanan kiri yang berawa
membuat pengendara menjadi serba khawatir untuk melanjutkan perjalanan.
Masyarakat yang sudah hafal lika liku jalan tidak ketinggalan memberikan jasanya untuk
membantu pengendara mobil melewati daerah banjir yang parah. Tidak ketinggalan siswa SMPN
Satap Batuan mengambil andil. Bermodal bambu, tali, dan kreatifitas mereka membuat rakit
untuk mengangkut motor menuju tempat yang aman. Dengan mengeluarkan uang Rp 25.000,00
pengendara motor dapat melajutkkan perjalanan kembali.
Hari raya idul fitri pertama saya nikmati bersama keluarga Mama Ain di kota. Saat
malam takbir, takbir berkumandang dari berbagai sudut di kota. Saat itu saya masih bingung
karena tidak ada sandal yang bagus untuk digunakan pesiar. Akhirnya saat malam takbir saya
keluar keliling kota mencari penjahit sandal, menikmati malam takbir di kota. Banyak motor dan
mobil berlalu lalang melewati kota untuk menyerukan takbir. Paginya, shalat idul fitri kami
jalani bersama keluarga baru di Tolitoli, semua berjalan lancar seperti air mata ini yang mengalir
secara lancar membasahi pipi bakpou ini. Yapss baru pertama kali ini saya merayakan idul fitri
jauh dari orang tua, air mata tidak bisa ditahan ketika berjabat tangan dengan keluarga di sini.
Setelah menyelesaikan shalat ied, adat di Tolitoli yaitu membacakan doa kepada yang
telah meninggal selanjutnya makan bersama. Makanan yang selalu ada saat idul fitri maupun idul
adha yaitu burasa dan sokotumbu. Sehari sebelum lebaran nenek bersama keluarga membuat
burasa dan sokotumbu. Coba kalian keluar rumah dua hari sebelum hari raya idul fitri, bisa
dipastikan didepan rumah tetangga kalian atau dimanapun kalian lewat, kalian akan dijumpai
dengan lembaran lembaran daun pisang yang dijemur untuk keperluan membuat burasa dan
sokotumu.
Hari raya kedua bersama rekan guru “Ibu Dewi” saya diajak untuk pesiar di Kabupaten
Buol. Ketika diberi tawaran naik mobil atau motor,saya lebih suka naik motor. Perjalanan kami
tempuh selama 6 jam, perjalanan yang tidak membosankan bagi saya. Kanan kiri jalan
disuguhkan pemandangan yang sangat menakjubkan. Daerah perkebunan cengkeh dan lautan
yang sangat luas. Lautan tersebut dihiasi dengan garis pantai yang bersih, indah, dan juga
panjang. Selain itu lautan yang luas dihiasi dengan pulau-pulau kecil yang hijau. Untuk menuju
Kabupaten Buol, kami harus melewati taman suaka margasatwa. Berbagai tumbuhan tumbuh
suubur tanpa ada yang mengganggu. Kesenangan sendiri bagi saya ketika bisa melihat monyet
hitam/ yakis mencari makan secara bergerombol. Monyet hitam merupakan salah satu satwa
endemic pulau Sulawesi. Hal itu merupakan kebahagiaan bagi saya, karena besok saat saya di
Jawa saya tidak dapat menjumpainya lagi.
Satu hari lebaran di kota, tiga hari lebaran di Kabupate Buol, dan dilanjut halal bihalal
bersama teman-teman seperjuangan di Kecamatan Lampasio. Setelah semua agenda
terselesaikan, saya kembali ke daerah penempatan. Malamnya saya sempatkan berkunjung ke
tetangga dan juga tokoh masyarakat di desa. Besoknya halal bihalal bersama warga sekolah.
Semoga segala dosa yang pernah saya lakukan mendapat pengampunan, amiin.
Satu minggu di bulan Juli, saya sempatkan untuk menginjakkan kaki di ibu kota provinsi
Sulawesi Tengah. Banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang saya dapat. Satu minggu
bukannya waktu yang lama, masih ingin memperpanjang untuk mencari pengetahuan di Kota
Palu dan sekitarnya. Namun, keadaan memaksa kita untuk kembali ke penempatan. Anak-anak
menunggu kita untuk menerima ilmu kembali.
Sekembali dari Palu, bersama rekan guru kami mulai merencanakan agenda kegiatan
untuk memperingati hari ulang tahun pramuka dan hari ulang tahun kemerdekaan Republik
Indonesia. Selain itu saya mengajak siswa dan guru untuk mengeluarkan imajinasi dan
kreativitas untuk menghias kelas, mengisi kelas yang kosong dengan atribut atribut, seperti
jadwal pelajaran, jadwal kebersihan, struktur organisasi mapun membuat madding sekolah.
Alhmdulillah semua warga sekolah termotivasi dan tergugah untuk memunculkan kreatifitas
mereka. Hal tersebut merupakan kesenangan tersendiri bagi saya, ketika perubahan mendapat
dukungan baik dari berbagai pihak. Acara perkemahan dan perlombaan menyambut HUT RI dan
HUT Pramuka terlaksana dengan lancar, majalah dinding untuk yang pertama kalinya telah
terselesaikan, menghias sekolah untuk menyambut HUT RI terlaksana, menghias sekolah
terlaksana dengan baik, acara pespisahan kelas III yang pertama kalinya terlaksana, dan
kebanggaan tersendiri ketika dapat membopong 4 piala untuk pertama kalinya bagi sekolah.
Semua berkat kuasa dari Allah SWT.
Terima kasih Indonesia, terima kasih SMPN Satap Batuan, terima kasih masyarakat Desa
Ogomatanang, terima kasih kalian semua yang membantu terlaksananya program SM-3T di
SMPN Satap Batuan. Pengalaman indah ini tidak akan terlupakan, dan pengalaman yang pahit
akan menjadi pelajaran tersendiri bagi saya. Aku anak Indonesia. Aku cinta Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai