Abstract
Diperkirakan sekitar 2,7 juta jiwa meninggal karena tuberkolusis paru setiap tahunnya di seluruh dunia. adalah
masalah kesehatan dimana Indonesia cukup memberikan kontribusi ke tingkat dunia. Dibuktikan dengan saat ini
berada pada peringkat empat dengan beban tuberkolusis tertinggi dunia, yaitu setelah China, India, dan Afrika
Selatan. Status gizi adalah salah satu faktor terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi tuberkolusis.
Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga kemampuan dalam
mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun. faktor lain yang mempengaruhi status gizi seseorang
adalah status sosial ekonomi. Pendapatan per kapita pasien Tuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor yang
berhubungan dengan status gizi pada pasien Tuberkulosis Paru. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
hubungan antara pendapatan, status nutrisi terhadap kejadian tuberkolusis paru. Penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif yang menggunakan metode survei analitik dengan pendekatan case control. Hasil penelitian
menunjukkan hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru dengan nilai OR=
3,484 (CI= 1,246 – 9, 747) yang berarti status gizi kurang beresiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 3,4 kali
dibandingkan dengan status gizi cukup. Terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan dengan kejadian
Tuberkulosis paru dengan nilai OR= 4,421 (CI= 1,638 – 11, 930) yang berarti responden dengan pendapatan
rendah beresiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 4,4 kali dibandingkan dengan responden yang
pendapatannya tinggi.
Tuberkulosis paru baru BTA positif sebanyak 672 Tuberkulosis Paru (Patiung, 2014). Pendapatan
kasus. Hal ini mengalami kenaikan dibandingkan keluarga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan
jumlah kasus Tuberkulosis paru baru BTA positif seseorang yang akan mempunyai dampak
pada tahun 2014 yaitu sebanyak 435 kasus. Di terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya
tahun 2015 ini pencapaian CNR wilayah konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain
Kabupaten Kebumen adalah 56,90 per 100.000 itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan
penduduk. Pada tahun 2011 – 2014 CNR kasus rumah (kontruksi rumah) (Rohman, 2012).
Tuberkulosis paru di Kebumen mengalami Berdasarkan hasil penelitian Kartikasari (2011),
penurunan dan naik pada tahun 2015. Angka CNR menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
kasus baru BTA positif tahun 2015 naik jika antara pekerjaan dengan status gizi.
dibandingkan dengan pencapaian tahun 2014 yaitu Berdasarkan studi pendahuluan yang
36,97 per 100.000 penduduk. dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2016 – 1
Jumlah penduduk miskin dan hampir miskin November 2016 di wilayah kerja Puskesmas
yang terdapat di Kabupaten Kebumen pada tiga Sempor 1 ditemukan data penderita Tuberkulosis
tahun terakhir mengalami peningkatan, tahun 2011 Paru tahun 2015 adalah sebanyak 19 orang yang
jumlahnya adalah sebesar 535,252. Berdasarkan terdiri dari 11 laki-laki dan 8 perempuan sedangkan
hasil penelitian Ristyo Sari dkk (2012) data penderita Tuberkulosis Paru pada tahun 2016
menunjukkan bahwa Seseorang dengan tingkat adalah sebanyak 23 orang yang terdiri dari 17 laki-
sosial ekonomi yang baik akan memiliki tingkat laki dan 6perempuan namun 2 orang telah
kesehatan yang baik pula. Tingkat sosial meninggal sehingga keseluruhan penderita
ekonomi yang rendah mengakibatkan rendahnya Tuberkulosis paru tahun 2015-2016 adalah 40
pengetahuan mengenai penyakit Tuberkulosis orang. Hasil data yang didapatkan dari 10 orang
Paru BTA positif serta sulitnya mendapatkan penderita Tuberkulosis paru adalah 8 orang
akses pelayanan kesehatan yang baik, sehingga memiliki pengetahuan yang kurang meskipun dari
perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat pihak Puskesmas Sempor 1 (petugas program
diperlukan untuk mencegah timbulnya penyakit Tuberkulosis paru) sudah memberikan penyuluhan
menular seperti Tuberkulosis Paru BTA positif. terkait penyakit Tuberkulosis paru namun hanya 2
Menurut Binongko (2012) dalam orang yang memiliki pengetahuan yang cukup. 8
Maksalmina (2013), salah satu faktor yang orang dengan pendapatan rendah dikarenakan
mempengaruhi penyakit Tuberkulosis adalah mayoritas pekerjaan dari masyarakat di wilayah
status gizi. Status gizi adalah salah satu faktor kerja Puskesmas Sempor 1 adalah buruh, baik
terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap buruh tani ataupun bangunan dan ada pula
infeksi. Pada keadaan gizi yang buruk, maka penderita Tuberkulosis paru yang tidak bekerja
reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga karena penyakitnya tersebut. 8 orang dengan gizi
kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap yang kurang akibat pendapatan yang rendah
infeksi menjadi menurun. faktor lain yang menyebabkan ketidakmampuan menyediakan
mempengaruhi status gizi seseorang adalah status makanan yang bergizi dan pengetahuan yang
sosial ekonomi. Pendapatan per kapita pasien kurang menyebabkan seseorang kesulitan untuk
Tuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor yang menerima konsep hidup sehat secara mandiri,
berhubungan dengan status gizi pada pasien kreatif dan berkesinambungan. Berdasarkan
fenomena tersebut peneliti tertarik untuk (63,75%) dari 80 responden yang terdiri dari 32
melakukan penelitian tentang “Faktor-faktor yang responden kasus (penderita Tuberkulosis paru) dan
beresiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru di 19 responden kontrol (bukan penderita
wilayah kerja Puskesmas Sempor 1, Kabupaten Tuberkulosis paru).
Kebumen”. Pendapatan adalah hasil dari pekerjaan,
pendapatan juga akan mempengaruhi gaya hidup
Metode seseorang. Pendapatan erat kaitannya dengan
Penelitian ini merupakan penelitian kemiskinan, masyarakat yang mempunyai
kuantitatif yang menggunakan metode survei pendapatan rendah biasanya mempunyai tingkat
analitik dengan pendekatan case control. Populasi ekonomi yang rendah pula. Pendapatan yang
kasus dalam penelitian ini adalah semua penderita rendah akan mempengaruhi seseorang dalam
Tuberkulosis paru BTA positif di wilayah kerja menjaga kesehatannya, karena pendapatan yang
Puskesmas Sempor 1, pada tahun 2015 – 2016 rendah berpengaruh pada pendidikan, pengetahuan,
sebanyak 40 orang. Populasi kontrol dalam asupan makanan, pengobatan dan kondisi tempat
penelitian ini adalah semua orang yang bukan tinggal. Hal ini sejalan dengan pendapat dari
penderita Tuberkulosis paru BTA positif atau Haryanto (2011) dalam bukunya yang berjudul
belum dinyatakan menderita penyakit Tuberkulosis Sosiologi Ekonomi yang menyatakan bahwa
paru di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1.Teknik ekonomi mempunyai kaitan erat dengan kejadian
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Tuberkulosis paru, telah diketahui bahwa pada
dengan teknik total sampling sejumlah 40 umumnya angka kejadian Tuberkulosis paru
responden. Teknik total sampling digunakan karena meningkat pada status sosial ekonomi rendah
jumlah responden kasus adalah 40 responden. (Noer, 2008).
Pengambilan sampel kasus dan kontrol dilakukan Seseorang yang mempunyai pendapatan
di wilayah kerja Puskesmas Sempor1, Kabupaten lebih tinggi akan lebih mampu untuk menjaga
Kebumen dengan perbandingan sampel kasus dan kebersihan lingkungan rumah tangganya,
kontrol 1:1. Teknik Analisa data menggunakan menyediakan air minum yang baik, membeli
analisis univariat untuk menjelaskan atau makanan yang jumlah dan kualitasnya memadai
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel serta mampu membiyai pemeliharaan kesehatan
penelitian seperti pendapatan, dan status gizi yang yang diperlukan (Helper, 2010)
disajikan dalam bentuk tabel, grafik atau presentase Ristyo Sari P, dkk (2012) menyatakan
untuk memberi gambaran umum hasil penelitian. tingkat sosial ekonomi yang rendah mengakibatkan
Analisa bivariate chi square dan perhitungan Odds rendahnya pengetahuan mengenai penyakit
Ratio (OR) Tuberkulosis paru serta sulitnya mendapat akses
pelayanan kesehatan yang baik.
Hasil Dan Pembahasan
Tingkat Pendapatan Tingkat Status Nutrisi
Berdasarkan hasil penelitian di wilayah Berdasarkan hasil penelitian di wilayah
kerja Puskesmas Sempor 1 Kabupaten Kebumen di kerja Puskesmas Sempor 1 Kabupaten Kebumen di
dapatkan hasil bahwa mayoritas responden dapatkan hasil bahwa mayoritas responden
mempunyai pendapatan rendah yaitu sebesar 51 mempunyai status gizi kurang yaitu sebesar 56
(70%) dari 80 responden yang terdiri dari 33 berperan dalam timbulnya kejadian Tuberkulosis
responden kasus (penderita Tuberkulosis paru) dan paru, tentu saja hal ini masih tergantung pada
23 responden kontrol (bukan penderita penyebab lain yang lebih utama yaitu bakteri
Tuberkulosis paru). Status gizi yang kurang akan mycobacterium tuberculosis. Seperti yang
membuat lemahnya daya imun (sistem kekebalan diketahui bakteri mycobacterium tuberculosis
tubuh) dalam mempertahankan diri dari suatu merupakan kuman yang suka tidur hingga
penyakit. Kondisi kurangnya status gizi mayoritas bertahun-tahun, dan apabila memiliki kesempatan
responden terutama pada responden kasus untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka
(penderita Tuberkulosis paru) pada dasarnya timbulah kejadian penyakit Tuberkulosis paru
disebabkan oleh banyak faktor. Dua faktor (Ruswanto, 2010). Hal ini sesuai dengan pendapat
diantaranya adalah kurangnya pengetahuan tentang Minardiarly dan Toyalis, bahwa faktor kurang gizi
kebutuhan asupan makanan yang baik dan bergizi akan meningkatkan angka kesakitan atau kejadian
dan pendapatan (ekonomi) yang baik untuk Tuberkulosis paru.
memenuhi kebutuhan makanan bergizi. Jika tingkat
pengetahuan gizi seseorang baik maka diharapkan
Hubungan pendapatan dengan kejadian
asupan makanan baik sehingga status gizinya juga
Tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas
menjadi baik (Kartikasari, 2011). Meskipun begitu
Sempor 1, Kabupaten Kebumen
hal yang banyak mempengaruhi status gizi
Hasil penelitian yang dilakukan pada 80
seseorang ditentukan oleh perilaku hidup sehat
responden diketahui bahwa terdapat51 (63,75%)
seseorang.
responden dengan pendapatan rendah dan 29
Menurut Binongko (2012) dalam
(36,25%) responden dengan pendapatan tinggi. Hal
Maksalmina (2013), salah satu faktor yang
ini menunjukkan bahwa mayoritas responden
mempengaruhi penyakit Tuberkulosis adalah
berpendapatan rendah. Hasil uji statistik didapatkan
status gizi. Status gizi adalah salah satu faktor
nilai p= 0,005 yang berarti p < alpha (0,05),
terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap
sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan
infeksi. Pada keadaan gizi yang buruk, maka
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga
pendapatan dengan kejadian Tuberkulosis paru.
kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap
Dan juga didapatkan nilai OR= 4,421 (CI= 1,638 –
infeksi menjadi menurun.faktor lain yang
11, 930) yang berarti responden dengan pendapatan
mempengaruhi status gizi seseorang adalah status
rendah beresiko menderita Tuberkulosis paru
sosial ekonomi. Pendapatan per kapita
sebesar 4,4 kali dibandingkan dengan responden
pasienTuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor
yang pendapatannya tinggi.
yang berhubungan dengan status gizi pada pasien
Hasil penelitian ini sesuai dengan
Tuberkulosis Paru (Patiung, 2014).
penelitian Ristyo Sari P, dkk (2012) yang
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
jefille dalam penelitian Sri Endah P (2012) bahwa
penghasilan dengan kejadian Tuberkulosis paru.
faktor yang mempengaruhi status gizi adalah
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Seseorang
keadaan infeksi, konsumsi makanan, pengaruh
dengan tingkat sosial ekonomi yang baik akan
budaya, sosial ekonomi dan produksi pangan.
memiliki tingkat kesehatan yang baik pula.
Status gizi merupakan variabel yang sangat
Tingkat sosial ekonomi yang rendah
mengakibatkan rendahnya pengetahuan mengenai melaporkan bahwa status gizi kurang memiliki
penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif serta resiko 2,74 kali lebih tinggi terserang Tuberkulosis
sulitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki
yang baik. status gizi baik.
Dalam teori yang dikembangkan oleh Hasil penelitian ini sesuai dengan
Tjiptoherijanto dalam ekonomi pemenuhan penelitian Fariz Muaz (2014) yang menyatakan
kebutuhan, dengan pendapatan rendah kebutuhan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan
akan sulit didapatkan sehingga berbagai masalah kejadian Tuberkulosis paru. Karena secara umum
kesehatan mudah muncul seperti penyakit infeksi kekurangan gizi akan menyebabkan melemahnya
Tuberkulosis paru. Hasil penelitian ini sesuai sistem imun (kekebalan tubuh) terhadap serangan
dengan penelitian Fariz Muaz (2014) yang penyakit.Hasil penelitian ini sesuai dengan
menyatakan bahwa penghasilan adalah faktor yang penelitian Supriyo (2013) yang menyatakan bahwa
beresiko terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA status gizi merupakan faktor resiko kejadian
positif. Tuberkulosis paru atau ada hubungan antara status
gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru.
Hubungan status gizi dengan kejadian Keadaan status gizi dan penyakit infeksi
Tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas meruapakan pasangan yang terkait. Infeksi dapat
Sempor 1, Kabupaten Kebumen menyebabkan kekurangan gizi ataupun sebaliknya
Hasil penelitian yang dilakukan pada 80 kurang gizi juga dapat menghambat dan
responden diketahui bahwa terdapat 56 (70%) memperburuk dalam mengatasi penyakit infeksi
responden dengan status gizi kurang dan 24 (30%) karena kekurangan gizi dapat menghambat reaksi
responden dengan status gizi cukup. Hal ini pembentukan kekebalan tubuh.Schrimshaw et, al
menunjukkan bahwa mayoritas responden mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang
mempunyai status gizi kurang. Hasil uji statistik erat antara infeksi dengan kurang gizi. Masalah
didapatkan nilai p= 0,028 yang berarti p < alpha kurang gizi juga masih banyak ditemukan pada
(0,05), sehingga dengan alpha 5% dapat negara berkembang seperti Indonesia.
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara status gizi dengan kejadian
Tuberkulosis paru. Dan juga didapatkan nilai OR=
3,484 (CI= 1,246 – 9, 747) yang berarti status gizi Simpulan
kurang beresiko menderita Tuberkulosis paru Berdasarkan hasil penelitian yang
sebesar 3,4 kali dibandingkan dengan status gizi dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan
cukup. antara pendapatan dengan kejadian Tuberkulosis
Penelitian yang dilakukan di Pati paru di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1,
(Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol Kabupaten Kebumen (p= 0,005). Dan juga
melaporkan bahwa seseorang dengan IMT kurang didapatkan nilai OR= 4,421 (CI= 1,638 – 11, 930)
dari 18,5 memiliki resiko 3,79 kali lebih tinggi yang berarti pendapatan rendah beresiko menderita
terserang TB dibandingkan dengan mereka yang Tuberkulosis paru sebesar 4,4 kali dibandingkan
memiliki IMT ≥ 18,5. Penelitian yang dilakukan di dengan pendapatan tinggi.
Cilacap (Fatimah, 2008) dengan desain yang sama