NAIK DANGO:
Upacara Naik Dango Suku Dayak Kalbar merupakan kegiatan ritual Suku Dayak Kanayatn di
Kalimantan Barat, upacara ritual Naik Danggo ini merupakan kegiatan panen padi atau
pesta padi sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Dayak Kanayatn kepada Nek Jubata
(Sang Pencipta) terhadap segala hasil yang telah diperoleh. Melalui upacara Naik Danggo
suku Dayak Kalbar (Dayak Kanayatn) ini mereka merefleksikan kegiatan yang sudah lalu
dihubungkan dengan kebesaran Nek Jubata, serta untuk memohon kepada Sang Pencipta
(JUBATA) agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari
Upacara ritual pesta padi ini kerap dilaksanakan rutin setiap tahun dan dilaksanakan secara
bergiliran di Kabupaten dan Kota di Kalbar, sebagai contoh Upacara Naik Danggo ke VII
Kecamatan Sei. Ambawang pada tanggal 27 April 1992 dan 1993 upacara Naik Dango suku
Dayak Kalbar diadakan di Kecamatan Menjalin, sedangkan pada tahun 2009 Naik Danggo
diadakan di Singkawang.
Melalui kegiatan ini pula diharapkan dapat melestarikan berbagai seni kebudayaan Dayak
yang memang memiliki beranekaragam pesona dalam bingkai kekayaan budaya Nusantara.
yang disebut Matik. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan dan memohon restu pada
Jubata.
• pertama di Sami, bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang
• ketiga di Pandarengan, tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat
Naik Dango merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kendayan yang dilaksanakan
secara rutin setiap tahun. Dalam Upacara Adat Naik Dango, selain acara inti yakni
“nyangahathn”.
Upacara Adat Naik Dango intinya hanya berlangsung satu hari saja tetapi karena juga
permainan tradisional dan berbagai bentuk kerajinan tangan yang juga bernuansa
tradisional, sehingga acara ini berlangsung selama tujuh hari. Penyajian berbagai unsur
tradisional, selama Upacara Adat Naik Dango ini, menjadikannya sebagai even yang eksotis
Upacara Adat Naik Dango merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran
semangat ucapan syukur kepada Jubata yang dilaksanakan Masyarakat Dayak Kendayan di
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan Upacara Adat pasca panen ini dibatasi di
wilayah kampung atau ketemanggungan. Inti dari upacara ini adalah nyangahathn yaitu
pelantunan doa atau mantra kepada Jubata, lalu mereka saling mengunjungi rumah
tetangga dan kerabatnya dengan suguhan utamanya seperti: poe atau salikat (lemang atau
pulut dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), tumpi cucur), bontonkng (nasi yang
dibungkus dengan daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari
Naik Dango didasari mitos asal mula padi menjadi popular di kalangan orang Dayak
Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup
karena tidak sunat. Cerita itu dimulai dari cerita asal mula padi berasal dari setangkai padi
milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan
Ne Jaek (Nenek Jaek) yang sedang mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa
setangkai buah rumput (padi) milik Jubata, dan bukan kepala yang dia bawa menyebabkan
ia diejek. Dan keinginannya untuk membudidayakan padi yang setangkai itu menyebabkan
Baruankng Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada “talino” (manusia), lantaran
dia senang turun ke dunia manusia untuk bermain “Gasing”. Perbuatannya ini juga
menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawang dan akhirnya kawin dengan manusia. Ne
Baruankng Kulup lah yang memperkenalkan padi atau beras untuk menjadi makanan
sumber kehidupan manusia, sebagai penganti “kulat” (jamur, makanan manusia sebelum
mengenal padi), bagi manusia. Namun untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di
lingkungan
Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kendayan antara lain , yaitu
pertama: sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah
memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada
Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang
digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai
pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi
untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.
Dalam kemasan modern, upacara Adat naik Dango ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara
adat, kesenian tradisional, dan pameran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini
menyebabkan Naik Dango lebih menonjol sebagai pesta dari pada upacara ritual. Namun
Sumber: ensiklopedi-budaya-indonesia.com