Anda di halaman 1dari 4

Budaya Naik Dango suku Dayak Kanayatn

pada tanggal Juli 20, 2010

NAIK DANGO:

Upacara Naik Dango Suku Dayak Kalbar merupakan kegiatan ritual Suku Dayak Kanayatn di

Kalimantan Barat, upacara ritual Naik Danggo ini merupakan kegiatan panen padi atau

pesta padi sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Dayak Kanayatn kepada Nek Jubata

(Sang Pencipta) terhadap segala hasil yang telah diperoleh. Melalui upacara Naik Danggo

suku Dayak Kalbar (Dayak Kanayatn) ini mereka merefleksikan kegiatan yang sudah lalu

dihubungkan dengan kebesaran Nek Jubata, serta untuk memohon kepada Sang Pencipta

(JUBATA) agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari

bencana dan malapetaka.

Upacara ritual pesta padi ini kerap dilaksanakan rutin setiap tahun dan dilaksanakan secara

bergiliran di Kabupaten dan Kota di Kalbar, sebagai contoh Upacara Naik Danggo ke VII

pernah dilaksanakan di Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat tepatnya di Desa Lingga,

Kecamatan Sei. Ambawang pada tanggal 27 April 1992 dan 1993 upacara Naik Dango suku

Dayak Kalbar diadakan di Kecamatan Menjalin, sedangkan pada tahun 2009 Naik Danggo

diadakan di Singkawang.

Melalui kegiatan ini pula diharapkan dapat melestarikan berbagai seni kebudayaan Dayak

yang memang memiliki beranekaragam pesona dalam bingkai kekayaan budaya Nusantara.

MAKNA NAIK DANGO:

Tahap pelaksanaan upacara Naik Dango yaitu sebagai berikut :

1. Sebelum hari pelaksanaan

Sebelum hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan pelantunan mantra (nyangahathn)

yang disebut Matik. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan dan memohon restu pada

Jubata.

2. Saat hari pelaksanaan


Pada hari pelaksanaan dilakukan 3 kali nyangahathn :

• pertama di Sami, bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang

agar datang kembali ke rumah adat.

• kedua di Baluh/Langko, bertujuan untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya

yaitu di lumbung padi.

• ketiga di Pandarengan, tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat

bertahan dan tidak cepat habis.

Naik Dango merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kendayan yang dilaksanakan

secara rutin setiap tahun. Dalam Upacara Adat Naik Dango, selain acara inti yakni

“nyangahathn”.

Upacara Adat Naik Dango intinya hanya berlangsung satu hari saja tetapi karena juga

menampilkan berbagai bentuk budaya tradisional di antaranya berbagai upacara adat,

permainan tradisional dan berbagai bentuk kerajinan tangan yang juga bernuansa

tradisional, sehingga acara ini berlangsung selama tujuh hari. Penyajian berbagai unsur

tradisional, selama Upacara Adat Naik Dango ini, menjadikannya sebagai even yang eksotis

ditengah-tengah kesibukan masyarakat Dayak.

Upacara Adat Naik Dango merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran

kesenian Dayak yang diselenggarakan oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak

(SEKBERKESDA) pada tahun 1986.3 perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh

semangat ucapan syukur kepada Jubata yang dilaksanakan Masyarakat Dayak Kendayan di

Menyuke setiap tahun setelah masa panen padi usai.

Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan Upacara Adat pasca panen ini dibatasi di

wilayah kampung atau ketemanggungan. Inti dari upacara ini adalah nyangahathn yaitu

pelantunan doa atau mantra kepada Jubata, lalu mereka saling mengunjungi rumah

tetangga dan kerabatnya dengan suguhan utamanya seperti: poe atau salikat (lemang atau

pulut dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), tumpi cucur), bontonkng (nasi yang
dibungkus dengan daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari

bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.

ASAL MULA NAIK DANGO

Naik Dango didasari mitos asal mula padi menjadi popular di kalangan orang Dayak

Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup

karena tidak sunat. Cerita itu dimulai dari cerita asal mula padi berasal dari setangkai padi

milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan

Ne Jaek (Nenek Jaek) yang sedang mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa

setangkai buah rumput (padi) milik Jubata, dan bukan kepala yang dia bawa menyebabkan

ia diejek. Dan keinginannya untuk membudidayakan padi yang setangkai itu menyebabkan

pertentangan di antara mereka sehingga ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu

dengan Jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata adalah Ne Baruankng Kulup. Ne

Baruankng Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada “talino” (manusia), lantaran

dia senang turun ke dunia manusia untuk bermain “Gasing”. Perbuatannya ini juga

menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawang dan akhirnya kawin dengan manusia. Ne

Baruankng Kulup lah yang memperkenalkan padi atau beras untuk menjadi makanan

sumber kehidupan manusia, sebagai penganti “kulat” (jamur, makanan manusia sebelum

mengenal padi), bagi manusia. Namun untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di

lingkungan

manusia dan jubata yang menunjukan kebaikan hati Jubata bagimanusia.

Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kendayan antara lain , yaitu

pertama: sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah

memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada

Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang

digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai

pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi
untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.

Dalam kemasan modern, upacara Adat naik Dango ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara

adat, kesenian tradisional, dan pameran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini

menyebabkan Naik Dango lebih menonjol sebagai pesta dari pada upacara ritual. Namun

dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.

Sumber: ensiklopedi-budaya-indonesia.com

Anda mungkin juga menyukai