Anda di halaman 1dari 7

SHALAT ORANG YANG SAKIT

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi

Syari’at Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tidak ada
satu pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya. Allah
Azza wa Jalla sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:

‫سا ِّإ هَل ُو ْس اع اها‬


ً ‫َّللاُ نا ْف‬
‫ف ه‬ ُ ‫اَل يُك ِّال‬

“Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
[al-Baqarah/ 2:286]

Allah Azza wa Jalla juga memerintahkan kaum Muslimin untuk agar bertaqwa sesuai
kemampuan mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫َّللاا اما ا ْستا ا‬


‫ط ْعت ُ ْم‬ ‫فااتهقُوا ه‬

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah k menurut kesanggupanmu” [at-Taghâbun/ 64:16]

Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Masing-masing harus berusaha
melaksanakan kewajibannya menurut kemampuannya. Dari sini, nampaklah keindahan dan
kemudahan syari’at islam.

Di antara kewajiban agung yang wajib dilakukan orang yang sakit adalah shalat. Banyak
sekali kaum Muslimin yang terkadang meninggalkan shalat dengan dalih sakit atau
memaksakan diri melakukan shalat dengan tata cara yang biasa dilakukan orang sehat.
Akhirnya, mereka pun merasa berat dan merasa terbebani dengan ibadah shalat. Untuk itu,
solusinya adalah mengetahui hukum-hukum dan tata cara shalat bagi orang yang sakit sesuai
petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.

HUKUM-HUKUM BERHUBUNGAN DENGAN SHALAT ORANG SAKIT


Di antara hukum-hukum shalat bagi orang yang sakit adalah sebagai berikut :

1. Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan melaksanakannya
menurut kemampuannya , sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
firman-Nya:

‫َّللاا اما ا ْستا ا‬


‫ط ْعت ُ ْم‬ ‫فااتهقُوا ه‬

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu” [at-
Taghâbun/ 64:16]. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Imran Bin
Husain Radhiyallahu ‘anhu:

 ‫ص ِّل قاا ِّئ ًما فاإ ِّ ْن لا ْم ت ا ْست ِّاط ْع فاقاا ِّعدًا فاإ ِّ ْن لا ْم ت ا ْست ِّاط ْع فا اعلاى‬ ‫سله ام اع ْن ال ه‬
‫ص اَل ِّة فاقاا ال ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ اعلا ْي ِّه او ا‬ ‫سأ ا ْلتُ النه ِّب ه‬
‫ي ا‬ ‫ير فا ا‬
ُ ‫اس‬ ْ ‫كاان‬
ِّ ‫ات ِّبي اب او‬
‫اج ْنب‬

“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga
maka berbaringlah” [HR al-Bukhari no. 1117]

2. Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka diperbolehkan
menjamâ’ (menggabung) shalat , shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya` baik dengan
jamâ’ taqdîm atau ta’khîr [2], dengan cara memilih yang termudah baginya. Sedangkan shalat
Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan
sesudahnya. Di antara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhuma
yang berbunyi :

‫طر قاا ال )أاب ُْو‬ ‫ااء بِّ ْال امدِّينا ِّة فِّي اغي ِّْر خ ْاوف او اَل ام ا‬
ِّ ‫ب او ْال ِّعش‬
ِّ ‫ص ِّر او ْال ام ْغ ِّر‬
ْ ‫ظ ْه ِّر او ْالعا‬
ُّ ‫سله ام بايْنا ال‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ اعلا ْي ِّه او ا‬ ‫سو ُل ه‬
‫َّللاِّ ا‬ ُ ‫اج ام اع ار‬
ُ
ُ‫ُك اريْب( قُ ْلتُ َِّلب ِّْن اعبهاس ِّل ام فا اع ال ذالِّكا قاا ال اك ْي اَل يُحْ ِّر اج أ همتاه‬

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib
dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata:
Aku bertanya kepada Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhu : Mengapa beliau berbuat demikian?
Beliau Radhiyallahu ‘anhu menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya.” [HR Muslim no.
705]

Dalam hadits di atas jelas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan kita
menjamâ’ shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (Masyaqqah) dan sakit adalah
Masyaqqah. Ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit dengan orang yang
terkena istihâdhoh yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta
mempecepat Isya’.[3]

3. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi apapun
selama akalnya masih baik.[4]

4. Orang sakit yang berat shalat jama`ah di masjid atau ia khawatir akan menambah dan atau
memperlambat kesembuhannya jika shalat dimasjid, maka dibolehkan tidak shalat
berjama’ah[5] . Imam Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada perbedaan
pendapat di antara ulama bahwa orang sakit dibolehkan tidak shalat berjama’ah karena
sakitnya. Hal itu karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di Masjid
dan berkata:

‫ُم ُروا أاباا با ْكر فا ْليُ ا‬


ِّ ‫ص ِّل بِّالنه‬
‫اس‬

“Perintahkan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu agar mengimami shalat” [Muttafaqun ‘Alaihi]
[6]

TATA CARA SHALAT BAGI ORANG YANG SAKIT


Tata cara shalat bagi orang sakit adalah sebagi berikut :
a. Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tidak
khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun
shalat. Allah Azza wa Jalla berfirman :

‫اوقُو ُموا ِّ هّلِلِّ قاانِّتِّينا‬

” …………..Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu” [al-Baqarah/ 2:238]


Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat,
bersandar ke tembok atau berpegangan tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais Radhiyallahu
‘anha yang berbunyi:

‫س هن او اح ام ال اللهحْ ام ات ه اخذا اع ُمودًا فِّي ُم ا‬


‫ص هَلهُ يا ْعت ِّامدُ اعلا ْي ِّه‬ ‫سله ام لا هما أ ا ا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ اعلا ْي ِّه او ا‬ ُ ‫أ ا هن ار‬
‫سو ال ه‬
‫َّللاِّ ا‬

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah,
beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran” [HR Abu Dawud dan
dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shohihah 319]

Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang
rukuk.[7]

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala
caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang
ataupun manusia”.[8]

b. Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud , ia tetap wajib
berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan rukuk dengan menundukkan badannya.
Bila ia tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup dengan
menundukkan lehernya, Kemudian duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud dalam
keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.[9]

c. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya dengan duduk,
berdasarkan hadits ‘Imrân bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudâmah rahimahullah
menyatakan, “Para ulama telah berijmâ’ bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka
dibolehkan shalat dengan duduk”.[10]

d. Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat
kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk [11]. Syeikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang benar adalah, kesulitan (Masyaqqah)
membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa susah
mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk, berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‫َّللاُ ِّب ُك ُم ْاليُس اْر او اَل ي ُِّريدُ ِّب ُك ُم ْالعُس اْر‬


‫ي ُِّريدُ ه‬

“Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu” [al-Baqarah/ 2:185]

Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu
puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa; demikian juga shalat, apabila berat
untuk berdiri, maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk”.[12]

Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada
posisi berdirinya berdasarkan hadîts ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang berbunyi:

‫سله ام يُ ا‬
‫ص ِّلي ُمت ااربِّعًا‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ اعلا ْي ِّه او ا‬ ‫ارأايْتُ النهبِّ ه‬
‫ي ا‬

“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan bersila” [13]
Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah (tenang) daripada
duduk iftirâsy.[14]

Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan
meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri.[15]

Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud di atas tanah dengan dasar keumuman
hadits Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

‫اار ِّب اي ِّد ِّه اعلاى أا ْن ِّف ِّه او ْال ايداي ِّْن‬
‫ظم ْال اج ْب اه ِّة اوأاش ا‬ ‫سله ام قاا ال أ ُ ِّم ْرتُ أ ا ْن أ ا ْس ُجدا اعلاى ا‬
ُ ‫س ْب اع ِّة أ ا ْع‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ اعلا ْي ِّه او ا‬ ُ ‫أ ا هن ار‬
‫سو ال ه‬
‫َّللاِّ ا‬
ْ
‫اف القادا امي ِّْن‬ ْ ‫ا‬
ِّ ‫الرجْ لي ِّْن اوأط ار‬ ‫ا‬ ِّ ‫او‬

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk


bersujud dengan tujuh tulang; Dahi – beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan
dengan tangannya ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki”
[Muttafaqun ‘Alaihi]

Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke
tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan tangannya di
lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’.[16]

e. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara melakukannya
adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri, dengan menghadapkan
wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah n dalam hadits ‘Imrân bin al-
Hushain Radhiyallahu ‘anhu :

‫ص ِّل قاائِّ ًما فاإِّ ْن لا ْم ت ا ْست ا ِّط ْع فاقاا ِّعدًا فاإ ِّ ْن لا ْم ت ا ْست ِّاط ْع فا اعلاى اج ْنب‬
‫ا‬

“Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga
maka berbaringlah” [HR al-Bukhâri no. 1117]

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana
seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah
dari keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan
apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-
duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang berbunyi:

‫ور ِّه‬ ُ ‫سله ام ي ُِّحبُّ التهيا ُّمنا فِّي شاأْنِّ ِّه ُك ِّل ِّه فِّي نا ْعلا ْي ِّه اوت اار ُّج ِّل ِّه او‬
ِّ ‫ط ُه‬ ‫صلهى ه‬
‫َّللاُ اعلا ْي ِّه او ا‬ ُ ‫اكانا ار‬
‫سو ُل ه‬
‫َّللاِّ ا‬

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan


dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya” [HR Muslim no
396]

Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke dada, ketentuannya ,
sujud lebih rendah dari ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya, maka para
ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
1. Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila rukû’ maka ia memejamkan matanya
sedikit kemudian mengucapkan kata (ُ‫ ) اس ِّم اع هللاُ ِّل ام ْن اح ِّمداه‬lalu membuka matanya. Apabila sujud
maka memejamkan matanya lebih dalam.

2. Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.

3. Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat kedua dengan
menyatakan, “yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena
ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan, tetap tidak gugur, karena ia
mampu melakukannya dan Allah berfirman :

‫َّللاا اما ا ْستا ا‬


‫ط ْعت ُ ْم‬ ‫فااتهقُوا ه‬

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu” [at-
Taghâbun/ 64:16]

f. Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang dan
menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri.
Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah
barat.[17]

g. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau membantu
mengarahkannya, maka hendaklan ia shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‫سا ِّإ هَل ُو ْس اع اها‬


ً ‫َّللاُ نا ْف‬
‫ف ه‬ ُ ‫اَل يُك ِّال‬

“Allah Azza wa Jalla tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
[al-Baqarah/ 2:286]

h. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya
dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‫َّللاا اما ا ْستا ا‬


‫ط ْعت ُ ْم‬ ‫فااتهقُوا ه‬

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu” [at-
Taghâbun/ 64:16]

i. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas (Ia
tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya),
hendaknya ia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang
masih sehat.

j. Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak
mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib melaksanakan shalatnya
dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang
yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.[18]
k. Apabila yang orang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah, hendaknya ia cukup
menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan
hadîts Jâbir Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

ُ ‫ أا هن ار‬ ‫ص ِّل‬
ِّ‫س ْو ال هللا‬ ‫ ا‬:‫ قاالا‬،‫ص ِّلي اعلا ْي ِّه فاأ ا اخذاهُ فا ار امى ِّب ِّه‬
‫ فاأ ا اخذا ع ُْودًا ِّليُ ا‬،‫ساداة فاأ ا اخذاهاا فا ار امى ِّب اها‬
‫ص ِّلي اعلاى ِّو ا‬
‫اعادا ام ِّر ْيضًا فا ارآه ُ يُ ا‬
ُ
‫ض ِّم ْن ُرك ْوعِّكا‬ ْ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ا‬
ُ ‫ض إِّ ِّن ا ْستاطعْتا اوإَِّل فاأ ْو ِّم إِّ ْي اما ًء اواجْ عا ْل‬
‫س ُج ْوداكا أخفا ا‬ ‫ا‬
ِّ ‫اعلى األ ْر‬ ‫ا‬

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang
mengerjakan shalat di atas (bertelekan) bantal, beliau q pun mengambil dan melemparnya.
Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan
menunduk (al-Imâ`) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu” [19]

Inilah sebagian hukum yang menjelaskan tatacara shalat bagi orang yang sakit, mudah-
mudahan dapat memberikan bimbingan kepada mereka. Dengan harapan, setelah ini mereka
tidak meninggalkan shalat hanya karena sakit yang dideritanya.

Marâji’
1. Syarhu al-Mumti’ ‘Alâ Zâd al-Mustaqni’ , Syaikh Ibnu Utsaimin
2. Manhaj as-Sâlikîn , Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di
3. Shahîh Fikih Sunnah , Syaikh Kamâl as-Sayid
4. Al-Mughnî , Ibnu Qudamah al-Maqdisi
5. Fatâwâ al-Lajnah ad-Dâimah Lil Buhûts al-‘Ilmiyah wa al-Iftâ`
6. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni
7. Irwâ’ al-Ghalîl, Syaikh al-Albâni
8. Dll.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Fatâwa Lajnah ad-Dâ`imah 8/71 (no. 10527 )
[2]. Lihat Manhaj as-Sâlikîn hal 82.
[3]. Hal ini ada dalam hadits Hamnah bintu Jahsy yang diriwayatkan Abu Daud dan dinilai
hasan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Irwa` al-Gholîl no. 188 lihat juga Shohih Fikih
Sunnah 1/514
[4]. Lihat Fatâwa Lajnah ad-Dâ`imah 8/69 (no. 782 )
[5]. Lihat Manhaj as-Sâlikin hlm 82.
[6]. Lihat Shahîh Fikih Sunnah 1/512-513.
[7]. Lihat al-Mughnî 2/571
[8]. Syarhu al-Mumti’ ‘Alâ Zâd al-Mustaqni’ 4/459
[9]. Lihat al-Mughni 2/572
[10]. Al-Mughni 2/570.
[11]. Al-Mughni 2/571
[12]. Syarhu al-Mumti’ 4/461
[13]. HR An-Nasâ’I no. 1662 dan dishahihkan al-Albani dalam shohih Sunan an-Nasâ’I
1/538.
[14]. Lihat Syarhu al-Mumti’ 4/462-463
[15]. Demikian yang dirajihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’ 4/463
[16]. Syarhu al-Mumti’ 4/466-467
[17]. Ibid 4/465
[18]. Lihat al-Mughni 2/577, Majmu’ Fatawa Syeikh bin Baaz 12/243 dan Syarhu al-Mumti’
4/472-473.
[19]. HR al-Baihaqi dalam sunan al-Kubro 2/306 dan Syeikh al-Albani dalam Silsilah ash-
Shohihah no.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2587-shalat-orang-yang-sakit.html

Anda mungkin juga menyukai