DI SUSUN OLEH :
SITI KASWATI
NIM: 1720151098
Dr Lie Darmawan tidak pernah lupa kata-kata Ibunya sejak kecil yang ia pegang terus
sampai ia berhasil menjadi dokter dengan keahlian empat spesialis bedah.
...Lie, kalau kamu jadi dokter, jangan memeras orang kecil atau orang miskin.
Mungkin mereka akan membayar kamu berapapun tetapi diam-diam mereka menangis
di rumah karena tidak punya uang untuk membeli beras - Pek Leng Kiau (Ibu Lie
Dharmawan).Inspirasi ini melekat kuat dalam benak Lie. Bersama DoctorSHARE, Lie
mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA) Swasta, yang diberi nama KM RSA DR. LIE
DHARMAWAN. Pelayanan medis dalam RSA dilakukan dengan cuma-cuma. Dari
koceknya, ia mewujudkan mimpi yang muskil, membangun rumah sakit apung.
Kemudian berlayarlah Lie Dharmawan mengunjungi pulau-pulau kecil di Nusantara,
mengobati ribuan warga miskin yang tak memiliki akses pada pelayanan medis.
Tujuan didirikannya RSA ini adalah untuk melayani masyarakat yang selama
ini kesulitan mendapat bantuan medis dengan segera karena kendala geografis dan
finansial, terutama untuk kondisi darurat, khususnya bagi masyarakat prasejahtera yang
tersebar di kepulauan di Indonesia. Rumah Sakit Apung milik dr. Lie hanyalah sebuah
kapal sederhana yang terbuat dari kayu, yang di dalamnya disekat-sekat menjadi bilik-
bilik yang diperuntukkan untuk merawat pasien-pasien inap ataupun pasien-pasien
pasca operasi. Sehingga dr. Lie dianggap sebagai dokter gila, karena keberaniannya
menggunakan kapal kayu mengarungi pelosok negeri ini untuk membantu saudara-
saudara kita yang kurang mampu tetapi memerlukan pelayanan kesehatan segera.
"Ini adalah rumah sakit apung pertama milik swasta di Indonesia. Saya yakin ini adalah
rumah sakit apung pertama dan akan diikuti banyak-banyak lagi rumah sakit lainnya
yang pasti akan membawakan keuntungan dan kebahagian bagi bangsa dan negara
kita," tegas dr Lie kepada detikHealth seperti ditulis Senin (18/3/2013).
Gagasan pembuatan rumah sakit apung ini sebenarnya sudah ada di benak dr
Lie sejak tahun 2008, namun baru bisa direalisasikan tahun 2013. Lamanya proses ini
disebabkan karena adanya pro dan kontra, apalagi referensi mengenai rumah sakit
apung di Indonesia belum ada.
Sebenarnya konsep rumah sakit apung di Indonesia sudah ada, namun milik
tentara dan hanya digunakan ketika perang, sedangkan yang dimiliki swasta tidak ada.
Maka lewat yayasan doctorSHARE yang ia dirikan, dr Lie berupaya menggalang
bantuan, baik moriil dan materiil untuk mewujudkan idenya.
Dari segi bahan juga demikian. Sempat diusulkan menggunakan kapal berbahan
fiber, namun urung karena mudah pecah ketika menabrak. Akhirnya diputuskan
menggunakan perahu nelayan yang sederhana karena dianggap lebih memadai. Setelah
jadi, kapal itupun berganti nama menjadi 'Floating Hospital'.
"Kapal ini memang secara fisik kecil, ini adalah floating hosiptal yang terkecil
di dunia. Tapi sebagai lawannya, sebagai kebailkannya, semangat yang menggebu-
gebu, semangat yang membara tidak pernah putus asa selama 4 tahun merancang kapal
ini dan bekerja untuk keberhasilan kapal ini," terang dr Lie.
Disebut kecil karena Floating Hospital ini sejatinya adalah kapal berukuran
panjang 23,5 meter, lebar 6,55 meter dan bobot mati 114 ton. Kapal ini terbagi menjadi
tiga dek. Dek atas untuk nahkoda dan tempat para relawan, dek tengah berisi ruangan
steril dan ruang operasi, dek bawah adalah laboratorium.
Pembangunan rumah sakit ini menghabiskan dana Rp 3 miliar dari rencana
semula Rp 6 miliar. Dana tersebut sepenuhnya diperoleh dari sponsor. Menurut dr Lie,
ada sponsor yang menyumbang dengan cara memberikan diskon untuk peralatan dan
perlengkapan yang diperlukan, jadi bisa menghemat biaya sekian banyak.
"Kami akan berusaha mendapatkan dana dari donatur. Kami akan membuka
sebuah klinik di Jakarta dan penghasilannya digunakan untuk membiayai kelangsungan
hidup doctorSHARE. Kami belum tahu apa lagi yang dapat kami lakukan untuk
mendapatkan dana bagi kelangsungan pelayanan yang terus kami kerjakan. Tapi satu
yang menjadi concern kami, masyarakat tidak akan kami bebani dengan pembayaran,"
ungkap dr Lie.
Dalam sehari, dr Lie berhasil melakukan 3 operasi di atas kapal. Walau kapal
sesekali bergoyang karena ombak, dokter yang kesehariannya bertugas sebagai kepala
dokter bedah di RS Husada ini bisa melakukan operasi dengan baik. Direncanakan akan
ada 15 pasien yang menjalani operasi bedah di atas kapal, sedangkan penyuluhan
kesehatan dilakukan di Balai Karang Taruna.
Ada beberapa kendala yang ditemui dalam pelayaran pertama Floating Hospital
ini, salah satunya adalah kecepatan kapal yang hanya 6 - 7 knot. Jika dikonversikan,
kecepatannya adalah sekitar 11 - 13 km/jam, cukup lambat jika dibandingkan speed
boat. Kendala lain adalah beberapa peralatan yang belum bisa dioperasikan, misalnya
alat rontgen.
"Sesudah pulang dari Kepulauan Seribu, kami akan mereview apa yang menjadi
kekurangan kami, misalnya kapal ini terlalu pelan jalannya. Kalau memungkinkan, dari
segi finansial kami bisa mendapatkan dana, lalu secara teknis mesinnya bisa diganti,
kami akan mengganti dengan mesin yang lebih baik dan besar agar kapal ini bisa lebih
cepat jalannya," terang dr Lie.
Masalah mesin tentu menjadi permasalahan yang cukup serius karena kapal ini
direncanakan menjelajah daerah-daerah terpencil, lebih terpencil dari kepulauan seribu
yang masih masuk dalam wilayah DKI Jakarta. Jadi bisa dibayangkan, sarana dan
prasarananya tentu jauh lebih minim.
Karena tidak memungut biaya dari pasien, dr Lie berharap bisa menjalin
kerjasama dengan aparat-aparat setempat. Misalnya jika di suatu tempat sudah ada
puskesmas, dokter setempat diharapkan bisa menjadi ujung tombak mencari pasien
yang butuh pelayanan. Hal itu akan mempersingkat waktu singgah sehingga tim bisa
melanjutkan ke tempat lain.
"Kami merencanakan tujuan kami berikutnya bulan April ini Bangka Belitung
dan Kalimantan Barat. Sesudah itu kami akan ke Bali, Sumba, Flores, Timor Barat dan
kepulauan Kei karena kami sudah punya home base di sana. Kami punya 2 panti di
sana, Therapeutic Feeding Center KAI. Ada 2 pulau Kei besar dan Kei kecil," terang dr
Lie.