Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH KEWIRAUSAHAAN

PROFIL Dr. LIE DHARMAWAN (DOKTER RUMAH SAKIT APUNG)

DI SUSUN OLEH :

SITI KASWATI

NIM: 1720151098

PROGRAM STUDI D-3 KEPERAWATAN

STIKES MUHAMMADIYAH KUDUS TAHUN AJARAN 2017/2018

Jl. Ganesha 1 Purwosari Kudus 59316


A. PROFIL BIODATA
Nama : Dr. Lie A. Dharmawan, Ph.D, Sp.B, Sp.BTKV (Li De Mei)
Tempat, tgl lahir : Padang, 16 April 1946
Orang tua : Lie Goan Hoey dan Pek Leng Kiau (Julita Diana)
Isteri : Tan Lie Tjhoen (Listijani Gunawan)
Anak :
- Lie Mei Phing (29 April 1978)
- Lie Ching Ming (9 November 1980)
- Lie Mei Sing (16 September 1992)
Pendidikan :
 SD Ying Shi, Padang
 SMP Katolik Pius, Padang
 SMA Don Bosco, Padang
 S1 Free University, Jerman
 S2 University Hospital, Cologne
 S3 Free University Berlin, Jerman
Pekerjaan/kiprah organisasi :
 Pendiri Mahasiswa Kedokteran Indonesia di Berlin (1971)
 Pengurus Perhimpunan Dokter Indonesia di Jerman (1981-1984)
 Aktivis gereja Katolik, Jakarta (1985-sekarang)
 Kepala bagian bedah RS Husada, Jakarta (2000-sekarang)
 Kepala Serikat Karyawan RS Husada (2000-2006)
 Kepala Komite Medik RS Husada (2006-2009)
 Wakil Ketua INTI (Perhimpunan Indonesia-Tionghoa) DKI Jakarta (2000-
sekarang)
 Ketua INTI Pusat bidang kesehatan (2005-sekarang)
 Pendiri Yayasan Dokter Peduli/doctorSHARE (2008-sekarang)
B. KEHIDUPAN LIE DHARMAWAN KETIKA KECIL
Demi kelangsungan hidup keluarganya, Lie Dharmawan kecil sempat
membantu ibunya berjualan kue, ia kagum terhadap perjuangan keras ibunya yang ia
anggap tak pernah menyerah dan putus asa dalam menghadapi sesuatu juga sering
mengasihi orang-orang miskin di sekitarnya.
Ia sendiri tidak mengerti kenapa ibunya mempunyai filosofi seperti itu.
Ibunya menyekolahkan Lie di SD Ying Shi, Padang, kemudian tamat SD. Lie
Dharmawan kemudian masuk di SMP Katolik Pius setelah itu ia kemudian melanjutkan
sekolahnya di SMA Don Bosco, juga di kota Padang. Tekad Lie Dharmawan untuk
menjadi dokter datang ketika ia melihat masyarakat disekitarnya sulit untuk pergi ke
dokter di rumah sakit yang disebabkan karena faktor kemiskinan. Hal ini kemudian
menyebabkan masyarakat terpaksa untuk pergi berobat ke dukun karena biayanya yang
murah dan juga sebagai alternatif pengobatan. Sebab lain mengapa Lie Dharmawan
ingin menjadi dokter karena ia melihat sendiri adiknya meninggal karena penyakit diare
akut dan telambat ditangani oleh dokter.
Kedua hal itulah yang membuat lie dharmawan bertekad kuat untuk menjadi
dokter. Namun apadaya ketika di sekolah ia menyampaikan cita-citanya ingin menjadi
dokter, ia hanya mendapatkan tertawaan dari teman temannya seisi kelas, disebabkan
karena ia miskin sehingga tidak bisa masuk ke jurusan kedokteran.

a. Jalan Panjang Menjadi Seorang Dokter


Lie Dharmawan pun sadar bahwa cita citanya untuk menjadi dokter bisa
dikatakan sangat berat, namun seberapa berat masalah jika dengan tekad kuat dan
kerja keras pasti akan tercapai karena yang namanya kerja keras tak pernah
menghianati pengorbanan, selalu ada hasil manis dari pengorbanan itu.
Selain belajar dengan keras, setiap pukul enam pagi hari, ia selalu pergi ke
gereja yang berada didekat sekolahnya dan kemudian berdoa dengan doa yang sama
yang selalu ia ulang-ulang selama bertahun-tahun.
...Tuhan, aku mau jadi dokter yang kuliah di Jerman"

b. Kuliah Kedokteran Di Jerman


Di usianya yang ke 21 tahun, Lie Dharmawan pun mendaftarkan diri ke sekolah
kedokteran di Berlin Barat, Jerman namun tanpa dukungan beasiswa. Dengan tekad
yang kuat ia akhirnya diteriman di fakultas Kedokteran Free University, Berlin Barat.
Dan untuk memenuhi biaya kuliah dan kehidupan sehari-harinya, Lie
Dharmawan kemudian bekerja sebagai kuli bongkar muat barang. pada kesempatan
lain, Lie juga bekerja di sebuah panti jompo yang salah satu tugasnya adalah
membersihkan kotoran orang tua berusia 80 tahunan.
Lie Dharmawan tetap berprestasi sekalipun sibuk bekerja, sehingga ia mendapat
beasiswa, itu semua ia gunakan untuk biaya sekolah adik-adiknya. Tahun 1974, Lie
berhasil menyelesaikan pendidikannya dan mendapat gelar M.D. (Medical Doctor).
Setelah lulus dari Free University, ia kemudia melanjutkan pendidikannya di University
Hospital, Cologne, Jerman.
Dari situ, Ia kemudian melanjutkan S3 di Free University Berlin. Empat tahun
setelahnya, Lie sukses menyandang gelar Ph.D. Melalui perjuangan tanpa kenal lelah
selama sepuluh tahun, Lie akhirnya lulus dengan membanggakan, ia lulus sebagai
dokter dengan empat spesialisasi sekaligus yakni ahli bedah umum, ahli bedah toraks,
ahli bedah jantung dan ahli bedah pembuluh darah. Cita cita semasa kecilnya akhirnya
tercapai.

c. Dr. Lie Dharmawan Kembali Ke Indonesia


Selama enam bulan Lie di Semarang kemudian ke RS Rajawali, Bandung.
Tahun 1988, Lie berkarir di RS Husada, Jakarta hingga saat ini. Kegiatan sosial pertama
Lie sebagai seorang dokter bedah di Indonesia dilakukan saat mengoperasi secara
cuma-cuma seorang pembantu rumah tangga tahun 1988.
Selanjutnya, Lie juga terus mengupayakan bedah jantung terbuka (bedah di
mana jantung dihentikan dari pekerjaannya untuk dibuka untuk diperbaiki). Bedah
semacam ini melawan arus karena butuh peralatan yang lebih canggih dan mahal,
namun harus dilakukan dalam operasi skala besar. Tahun 1992, Lie akhirnya sukses
melangsungkan bedah jantung terbuka untuk pertama kalinya di rumah sakit swasta di
Jakarta.

d. Mendirikan Yayasan Doctor SHARE dan Rumah Sakit Apung


Jangankan berobat, jika makan sehari-hari pun sulit. Kesadaran ini menerpa
batin Lie begitu kuat hingga akhirnya bersama Lisa Suroso (yang juga aktivis Mei
1998) mendirikan sebuah organisasi nirlaba di bidang kemanusiaan dengan nama
doctorSHARE atau Yayasan Dokter Peduli, sebuah organisasi kemanusiaan nirlaba
yang memfokuskan diri pada pelayanan kesehatan medis dan bantuan kemanusiaan.
DoctorSHARE bekerja didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan etika medis.
DoctorSHARE memberikan pelayanan medis secara cuma-cuma di berbagai wilayah
Indonesia. Selain pengobatan umum di berbagai sudut Indonesia, program awal
DoctorSHARE adalah pendirian Panti Rawat Gizi) di Pulau Kei, Maluku Tenggara.

Dr Lie Darmawan tidak pernah lupa kata-kata Ibunya sejak kecil yang ia pegang terus
sampai ia berhasil menjadi dokter dengan keahlian empat spesialis bedah.
...Lie, kalau kamu jadi dokter, jangan memeras orang kecil atau orang miskin.
Mungkin mereka akan membayar kamu berapapun tetapi diam-diam mereka menangis
di rumah karena tidak punya uang untuk membeli beras - Pek Leng Kiau (Ibu Lie
Dharmawan).Inspirasi ini melekat kuat dalam benak Lie. Bersama DoctorSHARE, Lie
mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA) Swasta, yang diberi nama KM RSA DR. LIE
DHARMAWAN. Pelayanan medis dalam RSA dilakukan dengan cuma-cuma. Dari
koceknya, ia mewujudkan mimpi yang muskil, membangun rumah sakit apung.
Kemudian berlayarlah Lie Dharmawan mengunjungi pulau-pulau kecil di Nusantara,
mengobati ribuan warga miskin yang tak memiliki akses pada pelayanan medis.

Tujuan didirikannya RSA ini adalah untuk melayani masyarakat yang selama
ini kesulitan mendapat bantuan medis dengan segera karena kendala geografis dan
finansial, terutama untuk kondisi darurat, khususnya bagi masyarakat prasejahtera yang
tersebar di kepulauan di Indonesia. Rumah Sakit Apung milik dr. Lie hanyalah sebuah
kapal sederhana yang terbuat dari kayu, yang di dalamnya disekat-sekat menjadi bilik-
bilik yang diperuntukkan untuk merawat pasien-pasien inap ataupun pasien-pasien
pasca operasi. Sehingga dr. Lie dianggap sebagai dokter gila, karena keberaniannya
menggunakan kapal kayu mengarungi pelosok negeri ini untuk membantu saudara-
saudara kita yang kurang mampu tetapi memerlukan pelayanan kesehatan segera.
"Ini adalah rumah sakit apung pertama milik swasta di Indonesia. Saya yakin ini adalah
rumah sakit apung pertama dan akan diikuti banyak-banyak lagi rumah sakit lainnya
yang pasti akan membawakan keuntungan dan kebahagian bagi bangsa dan negara
kita," tegas dr Lie kepada detikHealth seperti ditulis Senin (18/3/2013).

Gagasan pembuatan rumah sakit apung ini sebenarnya sudah ada di benak dr
Lie sejak tahun 2008, namun baru bisa direalisasikan tahun 2013. Lamanya proses ini
disebabkan karena adanya pro dan kontra, apalagi referensi mengenai rumah sakit
apung di Indonesia belum ada.

Sebenarnya konsep rumah sakit apung di Indonesia sudah ada, namun milik
tentara dan hanya digunakan ketika perang, sedangkan yang dimiliki swasta tidak ada.
Maka lewat yayasan doctorSHARE yang ia dirikan, dr Lie berupaya menggalang
bantuan, baik moriil dan materiil untuk mewujudkan idenya.

Selama 4 tahun menyelesaikan proyek rumah sakit apung ini, tim


doctorSHARE awalnya sulit menemukan jenis kapal yang sesuai. Beberapa jenis kapal
dipertimbangkan untuk dicoba, termasuk kapal tongkang, namun dianggap tidak layak
karena badannya terlalu lebar.

Dari segi bahan juga demikian. Sempat diusulkan menggunakan kapal berbahan
fiber, namun urung karena mudah pecah ketika menabrak. Akhirnya diputuskan
menggunakan perahu nelayan yang sederhana karena dianggap lebih memadai. Setelah
jadi, kapal itupun berganti nama menjadi 'Floating Hospital'.

"Kapal ini memang secara fisik kecil, ini adalah floating hosiptal yang terkecil
di dunia. Tapi sebagai lawannya, sebagai kebailkannya, semangat yang menggebu-
gebu, semangat yang membara tidak pernah putus asa selama 4 tahun merancang kapal
ini dan bekerja untuk keberhasilan kapal ini," terang dr Lie.

Disebut kecil karena Floating Hospital ini sejatinya adalah kapal berukuran
panjang 23,5 meter, lebar 6,55 meter dan bobot mati 114 ton. Kapal ini terbagi menjadi
tiga dek. Dek atas untuk nahkoda dan tempat para relawan, dek tengah berisi ruangan
steril dan ruang operasi, dek bawah adalah laboratorium.
Pembangunan rumah sakit ini menghabiskan dana Rp 3 miliar dari rencana
semula Rp 6 miliar. Dana tersebut sepenuhnya diperoleh dari sponsor. Menurut dr Lie,
ada sponsor yang menyumbang dengan cara memberikan diskon untuk peralatan dan
perlengkapan yang diperlukan, jadi bisa menghemat biaya sekian banyak.

Sebagai pilot project, kapal ini melakukan pelayaran perdananya pada 16 - 17


Maret lalu di pulau Panggang, kepulauan Seribu. Pelayanan kesehatan yang diberikan
berupa penyuluhan, pemeriksaan kesehatan, bedah minor dan bedah mayor. Sebanyak
25 dokter dan 25 orang relawan disiapkan untuk melayani pasien.

Yang istimewa, Floating Hospital ini dibangun untuk memberikan pelayanan


kesehatan cuma-cuma. Dr Lie tergerak hatinya karena melihat kenyataan banyak
masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis, tapi belum mendapat kesempatan
karena berbagai faktor, terutama faktor demografis dan faktor finansial.

"Kami akan berusaha mendapatkan dana dari donatur. Kami akan membuka
sebuah klinik di Jakarta dan penghasilannya digunakan untuk membiayai kelangsungan
hidup doctorSHARE. Kami belum tahu apa lagi yang dapat kami lakukan untuk
mendapatkan dana bagi kelangsungan pelayanan yang terus kami kerjakan. Tapi satu
yang menjadi concern kami, masyarakat tidak akan kami bebani dengan pembayaran,"
ungkap dr Lie.

Dalam sehari, dr Lie berhasil melakukan 3 operasi di atas kapal. Walau kapal
sesekali bergoyang karena ombak, dokter yang kesehariannya bertugas sebagai kepala
dokter bedah di RS Husada ini bisa melakukan operasi dengan baik. Direncanakan akan
ada 15 pasien yang menjalani operasi bedah di atas kapal, sedangkan penyuluhan
kesehatan dilakukan di Balai Karang Taruna.

Ada beberapa kendala yang ditemui dalam pelayaran pertama Floating Hospital
ini, salah satunya adalah kecepatan kapal yang hanya 6 - 7 knot. Jika dikonversikan,
kecepatannya adalah sekitar 11 - 13 km/jam, cukup lambat jika dibandingkan speed
boat. Kendala lain adalah beberapa peralatan yang belum bisa dioperasikan, misalnya
alat rontgen.

"Sesudah pulang dari Kepulauan Seribu, kami akan mereview apa yang menjadi
kekurangan kami, misalnya kapal ini terlalu pelan jalannya. Kalau memungkinkan, dari
segi finansial kami bisa mendapatkan dana, lalu secara teknis mesinnya bisa diganti,
kami akan mengganti dengan mesin yang lebih baik dan besar agar kapal ini bisa lebih
cepat jalannya," terang dr Lie.

Masalah mesin tentu menjadi permasalahan yang cukup serius karena kapal ini
direncanakan menjelajah daerah-daerah terpencil, lebih terpencil dari kepulauan seribu
yang masih masuk dalam wilayah DKI Jakarta. Jadi bisa dibayangkan, sarana dan
prasarananya tentu jauh lebih minim.

Karena tidak memungut biaya dari pasien, dr Lie berharap bisa menjalin
kerjasama dengan aparat-aparat setempat. Misalnya jika di suatu tempat sudah ada
puskesmas, dokter setempat diharapkan bisa menjadi ujung tombak mencari pasien
yang butuh pelayanan. Hal itu akan mempersingkat waktu singgah sehingga tim bisa
melanjutkan ke tempat lain.

"Kami merencanakan tujuan kami berikutnya bulan April ini Bangka Belitung
dan Kalimantan Barat. Sesudah itu kami akan ke Bali, Sumba, Flores, Timor Barat dan
kepulauan Kei karena kami sudah punya home base di sana. Kami punya 2 panti di
sana, Therapeutic Feeding Center KAI. Ada 2 pulau Kei besar dan Kei kecil," terang dr
Lie.

Anda mungkin juga menyukai