Anda di halaman 1dari 3

SENGKETA PELAYANAN KESEHATAN, NEGOSIASI, PASIEN, TENAGA

KESEHATAN, ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

PEMBAHASAN

A. Sengketa Dalam Pelayanan Kesehatan

Sengketa selalu timbul kapan saja dan dimana saja pada saat dua buah
kepentingan tidak dapat diakomodasi secara bersama-sama dan sudah pasti tidak
akan mungkin menghasilkan keputusan kemenangan di kedua belah pihak. Salah
satu pihak harus menurunkan tuntutannya agar didapat suatu keseimbangan di
antara kedua kepentingan dari pihak yang bersengketa

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berimplikasi


juga pada perubahan dalam pola-pola hubungan (interaksi sosial) antar anggota
masyarakat yang mengubah ranah dan tatanan kehidupan serta pola interaksi sosial
dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, dirasakan juga dalam pola hubungan
antar manusia dalam upaya kesehatan. Pada prinsipnya, hubungan antara pasien-
tenaga kesehatan-rumah sakit dikenal dengan apa yang dinamakan transaksi
terapeutik, dimana terjadi suatu ikatan kontrak (walaupun tidak tertulis) dalam hal
pengobatan dan perawatan penyakitnya serta pelayanan kesehatan yang sesuai
standar.

Profesi kesehatan belakangan ini banyak disoroti oleh masyarakat khususnya


tentang perbuatan yang digolongkan dalam sebagai perbuatan melanggar hukum,
yaitu malpraktek yang dapat merugikan masyarakat, khususnya pasien dalam
rangka pelayanan kesehatan. Sengketa yang terjadi dalam pelayanan kesehatan
timbul akibat karena adanya pelanggaran etika profesi, disiplin tenaga kesehatan
dan tindak kriminal dari tenaga kesehatan. Khusus untuk tindak kriminal yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan karena termasuk dalam ranah tindak pidana
penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga peradilan.

Kita tentunya masih ingat dengan kasus malpraktek yang menimpa Prita Mulyasari
yang bersengketa dengan Rumah Sakit Omni Internasional Serpong-Tangerang,
dimana Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum Pengadilan
Negeri Tangerang terhadap keputusan tuntutan pencemaran nama baik RS Omni
Internasional. Pada tingkat Pengadilan Negeri Tangerang tuntutan pidana terhadap
Prita Mulyasari dinyatakan bebas murni, sementara itu gugatan perdata terhadap
Prita Mulyasari tidak dikabulkan.

Disini sebenarnya dapat terlihat asal-muasal kehebohan kasus sengketa medik


antara Prita Mulyasari dan konon katanya sudah merambah ke ranah politis.
Berawal dari rasa ketidakpuasaan seorang pasien yang mendapat perawatan
tenaga medis dan pelayanan kesehatan rumah sakit. Sebagai seorang pasien yang
tidak puas karena tidak ditanggapi atau tidak mendapat penjelasan yang tidak
memadai dari pihak rumah sakit sehingga melampiaskan kekesalannya di dunia
maya melalui penyebaran e-mail tentang perlakuan dokter dan rumah sakit yang
dianggap merugikannya itu.
Dari peristiwa tersebut terlihat adanya suatu dugaan komunikasi yang buruk antara
pihak dokter dan rumah sakit sebagai health provider dengan pasien sebagai health
receiver. Berasal dari rasa ketidakpuasan tersebutlah cikal bakal terjadi suatu konflik
yang berlanjut dengan apa yang disebut sebagai sengketa pelayanan kesehatan,
mulai dari pasien hanya mengeluh kemudian pasien mulai berani mengungkapkan,
dan lalu menuntut atau menggugat pihak tenaga kesehatan atau rumah sakit.

Dengan banyaknya kasus yang diakibatkan ketidakpuasan konsumen maka


pemerintah pun mengeluarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999 yang salah satu ketentuannya adalah bahwa pasien sebagai
konsumen pelayanan jasa kesehatan berhak atas keamanan, kenyamanan dan
keselamatan, informasi yang benar, jelas dan jujur serta menuntut ganti rugi apabila
tenaga kesehatan lainnya selama melakukan pelayanan kesehatan melakukan
kesalahan atau kelalaian yang merugikan pasien.

Pada kenyataannya, dalam penanganan pasien, sering terjadi beda sudut pandang
antara tenaga kesehatan dan pasien. Perbedaan sudut pandang ini dapat berlanjut
menjadi sengketa antara tenaga kesehatan dan pasien dengan gugatan atau
tuntutan bahwa tenaga kesehatan telah melakukan kelalaian medik. Dengan kata
lain bahwa sengketa dalam pelayanan kesehatan terjadi karena adanya perasaan
tidak puas dari salah satu pihak karena adanya pihak lain yang tidak memenuhi
prestasi yang telah diperjanjikan (wanprestasi). Rasa tidak puas pasien terhadap
pelayanan rumah sakit dapat menimbulkan keluhan ataupun protes yang apabila
tidak tertangani dengan secara bijak oleh pihak rumah sakit sehingga dapat
menimbulkan konflik yang berujung pada sengketa.

Seperti dijelaskan dalam tinjauan malpraktik medik dan kelalaian medik sebelumnya,
perkara dugaan kelalaian medik di negara common law memakai pendekatan tort,
dimana secara hukum lebih banyak menggunakan pendekatan hukum perdata. Hal
ini berbeda dengan sistem hukum di Indonesia yang menempatkan perkara dugaan
kelalaian medik sebagai pelanggaran etika profesi, disiplin profesi ataupun hukum
pada umumnya baik perdata maupun pidana, sebagaimana Agus Purwadianto
mengatakan bahwa “resiko pengobatan yang tidak diinginkan dalam proses
pengobatan dapat terjadi karena empat hal, yaitu: tenaga kesehatan yang
mengobati melakukan praktik di bawah standar profesi, melanggar etik, melanggar
disiplin, dan melanggar hukum”.

Tuntutan atau gugatan kelalaian medik yang dialamatkan ke dokter pada


hakekatnya adalah proses hukum yang ingin meminta pertanggungjawaban atas
kesalahan yang dibuatnya, baik yang berupa kelalaian maupun kesengajaan.
Dengan kata lain tanggung jawab tenaga kesehatan-lah yang menjadi obyek
tuntutan atau gugatan kelalaian medik, dengan wujud tanggung jawab yang dapat
berbentuk ganti rugi atau hukuman lain sesuai keputusan hakim.

B. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)

Tidak mudah menilai tindakan medis yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan
benar atau salah, sebab sengketa yang terjadi antara tenaga kesehatan dan pasien
merupakan permasalahan yang timbul akibat adanya hubungan dalam rangka
melakukan upaya penyembuhan dimana diakibatkan adanya ketidakpuasan pasien
yang umumnya disebabkan oleh karena dugaan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan kewajiban profesi, hal ini terjadi karena kurangnya informasi yang
seharusnya menjadi hak dan kewajiban keduanya.

Melihat kondisi yang terjadi akibat sengketa dalam pelayanan kesehatan, maka
peluang alternatif untuk penyelesaian sengketa sangat diperlukan suatu
penyelesaian masalah yang terukur dan memiliki kredibilitas yang mampu
mengakomodasi sengketa dalam pelayanan kesehatan dengan tetap
mengutamakan kesepakatan atau mufakat yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam pasal 58 Undang Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat
dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa. Alternative Dispute Solution (ADS) atau di Indonesia dikenal dengan
istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah salah satu solusi dalam
menyelesaikan permasalahan hukum dalam pelayanan kesehatan dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Mungkin dengan banyaknya kasus perdata yang masuk ke pengadilan sehingga


makin menumpuknya utang perkara yang harus diselesaikan oleh hakim, yang
mungkin saja banyak materi persengketaan yang tidak besar atau tidak terlalu
prinsipil sehingga menambah beban kinerja para hakim. Sebagai terobosannya pada
tahun 1999 disahkanlah Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berisi aturan bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagai pengganti dari aturan perundang-
undangan kolonial yang sebelumnya berlaku.

Anda mungkin juga menyukai