PEMBAHASAN
Sengketa selalu timbul kapan saja dan dimana saja pada saat dua buah
kepentingan tidak dapat diakomodasi secara bersama-sama dan sudah pasti tidak
akan mungkin menghasilkan keputusan kemenangan di kedua belah pihak. Salah
satu pihak harus menurunkan tuntutannya agar didapat suatu keseimbangan di
antara kedua kepentingan dari pihak yang bersengketa
Kita tentunya masih ingat dengan kasus malpraktek yang menimpa Prita Mulyasari
yang bersengketa dengan Rumah Sakit Omni Internasional Serpong-Tangerang,
dimana Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum Pengadilan
Negeri Tangerang terhadap keputusan tuntutan pencemaran nama baik RS Omni
Internasional. Pada tingkat Pengadilan Negeri Tangerang tuntutan pidana terhadap
Prita Mulyasari dinyatakan bebas murni, sementara itu gugatan perdata terhadap
Prita Mulyasari tidak dikabulkan.
Pada kenyataannya, dalam penanganan pasien, sering terjadi beda sudut pandang
antara tenaga kesehatan dan pasien. Perbedaan sudut pandang ini dapat berlanjut
menjadi sengketa antara tenaga kesehatan dan pasien dengan gugatan atau
tuntutan bahwa tenaga kesehatan telah melakukan kelalaian medik. Dengan kata
lain bahwa sengketa dalam pelayanan kesehatan terjadi karena adanya perasaan
tidak puas dari salah satu pihak karena adanya pihak lain yang tidak memenuhi
prestasi yang telah diperjanjikan (wanprestasi). Rasa tidak puas pasien terhadap
pelayanan rumah sakit dapat menimbulkan keluhan ataupun protes yang apabila
tidak tertangani dengan secara bijak oleh pihak rumah sakit sehingga dapat
menimbulkan konflik yang berujung pada sengketa.
Seperti dijelaskan dalam tinjauan malpraktik medik dan kelalaian medik sebelumnya,
perkara dugaan kelalaian medik di negara common law memakai pendekatan tort,
dimana secara hukum lebih banyak menggunakan pendekatan hukum perdata. Hal
ini berbeda dengan sistem hukum di Indonesia yang menempatkan perkara dugaan
kelalaian medik sebagai pelanggaran etika profesi, disiplin profesi ataupun hukum
pada umumnya baik perdata maupun pidana, sebagaimana Agus Purwadianto
mengatakan bahwa “resiko pengobatan yang tidak diinginkan dalam proses
pengobatan dapat terjadi karena empat hal, yaitu: tenaga kesehatan yang
mengobati melakukan praktik di bawah standar profesi, melanggar etik, melanggar
disiplin, dan melanggar hukum”.
Tidak mudah menilai tindakan medis yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan
benar atau salah, sebab sengketa yang terjadi antara tenaga kesehatan dan pasien
merupakan permasalahan yang timbul akibat adanya hubungan dalam rangka
melakukan upaya penyembuhan dimana diakibatkan adanya ketidakpuasan pasien
yang umumnya disebabkan oleh karena dugaan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan kewajiban profesi, hal ini terjadi karena kurangnya informasi yang
seharusnya menjadi hak dan kewajiban keduanya.
Melihat kondisi yang terjadi akibat sengketa dalam pelayanan kesehatan, maka
peluang alternatif untuk penyelesaian sengketa sangat diperlukan suatu
penyelesaian masalah yang terukur dan memiliki kredibilitas yang mampu
mengakomodasi sengketa dalam pelayanan kesehatan dengan tetap
mengutamakan kesepakatan atau mufakat yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam pasal 58 Undang Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat
dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa. Alternative Dispute Solution (ADS) atau di Indonesia dikenal dengan
istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah salah satu solusi dalam
menyelesaikan permasalahan hukum dalam pelayanan kesehatan dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.