Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN MANAJEMEN KASUS II

BAB I
1.1.ANAMNESIS
1.1.1. IDENTITAS
Nama : Ny. P Nama Suami : Tn. K
Usia : 27 tahun Usia : 31 tahun
Jenis kelamin : Perempuan Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan : Swasta Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Kepoh RT. 3/5 Ganten, Kerjo, Karanganyar
No.Telp : 081xxxxxxx
No RM : 350953
Masuk Rumah sakit : 4 September 2012

1.1.2. KEADAAN SEKARANG DAN ALASAN DIRAWAT


GI P0 A0 hamil 9 bulan, tidak haid
Tanggal 4 September 2012 Jam 23.15 dikirim bidan dengan tensi tinggi
Tanggal 4 September 2012 Jam 05.00 kenceng-kenceng 1x, gerak anak +
Tanggal 4 September 2012 Jam 19.00 kenceng-kenceng sering, gerak anak (+)
Air kawah belum dirasakan ngepyok atau rembes
Pasien belum dipimpin mengejan oleh dukun/bidan
1.1.3. HAID
Menarche : 14 tahun
Lama haid : 4-5 hari, tak sakit
Siklus : teratur 30 hari
HPMT : 28 Desember 2011
1.1.4. PERKAWINAN
Menikah 1 kali, dengan suami sekarang 1 tahun
1.1.5. RIWAYAT OBSTETRIK
No Keadaan Kehamilan, Persalinan, Umur Sekarang Keadaan Anak
Keguguran dan Nifas
1. Hamil sekarang

1.1.6. PENYAKIT DAN OPERASI YANG PERNAH DIALAMI


Riwayat hipertensi disangkal, riwayat jantung disangkal, riwayat diabetes mellitus
disangkal, riwayat asma disangkal, riwayat operasi disangkal.
Selama hamil pasien memiliki tekanan darah tinggi.
1.1.7. KEHAMILAN SEKARANG
Taksiran tanggal persalinan : 5 Oktober 2012 di bidan
Pengawasaan kehamilan : ANC rutin di bidan
Hal-hal yang penting selama kehamilan ini : tidak ada
1.1.8. KELUARGA BERENCANA”SEBELUM KEHAMILAN INI”
Belum pernah menggunakan KB sebelumnya
Pendidikan suami : SMK
Pendidikan istri : SMK
Ingin anak : sudah dimotivasi cukup 2 anak, tetapi pasien belum
dapat memutuskan
Rencana KB : IUD

1.2. PEMERIKSAAN
1.1. STATUS PREASENS
Keadaan Umum : baik, compos mentis
Tanda Vital : Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,5 0C
TB/BB : 156 cm/ 50 kg ` Status gizi: tampak baik
Kepala : Mesocephal, konguntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi S1 S2 reguler normal, dbn
Paru-paru : suara vesikular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/- , dbn
Ekstremitas : edema , varises , refleks
1.2.2. STATUS OBSTETRIK
a. Inspeksi : perut membuncit membujur, mengkilat (-), venetasi (-), striae
gravidarum (+), bundle ring (-)
b. Palpasi : LI : teraba bagian besar lunak
LII : teraba bagian keras panjang sebelah kanan
teraba bagian kecil-kecil janin sebelah kiri
LIII : teraba bagian besar keras, ballotmen (-)
LIV : sejajar
Fundus Uteri : 29 cm
TBJ : (29 - 11) x 155 = 2790 gram
His : (+) 3x/10’/35”
Osborn test : (-)
Ukuran Panggul Luar
Distansia Interspinarum : - cm
Distansia Cristarum : - cm
Conjugata Eksterna : - cm
c. Auskultasi : DJJ (+) reguler 12-13-12
d. Perkusi : pekak alih (-), pekak sisi (-), refleks patella (+)
e. Vaginal Toucher
1.  3cm, KK (+), eff 40%
Bagian bawah kepala U HII
Penunjuk belum dapat dinilai
2. Ukuran Panggul Dalam
Promontorium : tak teraba
Linea inominata teraba : 1/3 bagian
Dinding samping pelvis : sejajar
Spina Ischiadica : tidak menonjol
Lengkung sakrum : cukup
Arcus pubis : > 900
Kesan panggul : tak sempit
3. Septum vagina (-), kondiloma akuminata (-), myoma servikalis (-), kista
bartolini (-), kista gardner (-)
1.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG : tak ada dilakukan
Laboratorium : 04 September 2011
Pemeriksaan Hasil Satuan
Hemoglobin 11,8 g/dl
Hematokrit 34,4 %
Eritrosit 4.14 juta/ul
Leukosit 14,20 ribu/ul
Trombosit 152 ribu/ul
MCV 83,1 Fl
MCH 28,5 Pg
MCHC 34,3 g/dl
Masa pembekuan (CT) 2,30 Menit
Masa perdarahan (BT) 3 Menit
HbsAg Negative
Golongan Darah B
GDS 79 mg/dL
SGOT 29 U/l
SGPT 21 U/l
Ureum 13,1 mg/dL
Kreatinin 0,60 mg/dL
HBsAg Negatif (-)
EWITZ Negatif (-)
1.4. DIAGNOSA SEMENTARA
GIP0A0, 26 tahun, hamil 40 minggu
Janin tunggal hidup intrauterin
Presentasi kepala U puka
Inpartu kala I fase laten 4 ½ jam
Hipertensi gestasional
1.5. SIKAP
Pantauan 10
Observasi 4 jam lagi
Rencana persalinan pervaginam
Terapi post partum :
 Tab. Amoxicilin 3 x 1
 Tab. Vitamin C 2 x 1
 Tab. Sulfas Ferrosus 1 x 1
1.6. LAPORAN PENGAWASAN PERSALINAN
Tanggal/ KU.T.Na.RR.SH HIS DJJ Keterangan
Jam
4-9-2012 KU: baik, CM 3x/10’/35” 12-13-12 VT:
23.15 TD: 160/100 kuat Ø: 3cm, KK (+), eff 40%
N: 88x/menit
Bag. Bwh kep.↓U HII
Rr: 22x/menit
T: 36,50 C Penunjuk belum dapat dinilai
Dx:
G1P0A0, 27 tahun, hamil 40 minggu
Janin 1 hidup intra uterin
Preskep U puka
Inpartu kala I fase laten 4 ½ jam
Hipertensi gestasional
Sikap:
Pantauan 10
Observasi 4 jam lagi (03.15)
Rencana persalinan pervaginam
Oksigenasi
23.30 3x/10’/35” 12-13-12
kuat
23.45 3x/10’/35” 12-12-13
kuat
5-9-2012 3x/10’/35” 12-12-13
00.00 kuat
00.15 3x/10’/35” 12-12-13
kuat
00.30 3x/10’/35” 12-12-12
kuat
00.45 3x/10’/35” 12-12-13
kuat
01.00 3x/10’/35” 12-12-13
kuat
01.15 3x/10’/35” 12-12-12
kuat
01.30 3x/10’/35” 12-12-12
kuat
01.45 3x/10’/35” 12-12-12
kuat
02.00 3x/10’/35” 12-12-12
kuat
02.15 3x/10’/35” 12-12-12
kuat
02.30 3x/10’/35” 12-21-12
kuat
02.45 3x/10’/35” 11-12-12
kuat
03.00 3x/10’/35” 12-11-12
kuat
03.15 KU: baik, CM 3x/10’/35” 12-12-11 VT:
VS: kuat Ø: 5 cm, KK (+), eff 50%
TD: 160/100
Bag. Bwh kep.↓U HII-III
N : 88x/menit
Rr : 22x/menit UUK jam 9
T : 36,50 C Dx:
idem
Inpartu kala I fase aktif 8 ½ jam
Sikap:
Pantauan 10
Observasi 2 jam lagi (05.15)
Rencana persalinan pervaginam
Oksigenasi
03.30 3x/10’/35” 12-12-12
kuat
03.45 3x/10’/35” 12-12-12
kuat

04.00 3x/10’/35” 12-13-12


Kuat
04.15 3x/10’/35” 12-12-12
Kuat
04.30 3x/10’/35” 12-12-12
Kuat
04.45 3x/10’/35” 12-13-12
Kuat
05.00 3x/10’/35” 12-12-12
Kuat
05.15 KU: Baik, CM 3x/10’/35” 12-12-12 VT:
VS: kuat Ø: 5 cm, KK (+), eff 60%
TD : 150/110
Bag. Bwh kep.↓U HII-III
N : 89x/menit
Rr : 24x/menit UUK jam 10
T : 36,70 C Dx:
idem
Inpartu kala I fase aktif 10 ½ jam
Partus tak maju
Sikap:
Pantauan 10
Observasi 2 jam lagi (07.15)
Rencana persalinan pervaginam
Stimulasi dengan oksitosin drip
5 IU dalam 500cc RL dalam 12
tetes/menit
Oksigenasi
05.30 3x/10’/35” 12-12-12
kuat
05.45 3x/10’/35” 12-12-12
kuat

06.00 3x/10’/35” 13-12-12


Kuat
06.15 3x/10’/35” 12-12-12
Kuat
06.30 3x/10’/35” 125x/mnt
Kuat
06.45 3x/10’/35” 140x/mnt
Kuat
07.00 3x/10’/35” 136x/mnt
Kuat
07.15 KU: Baik, CM 3x/10’/35” 155x/mnt VT:
VS: kuat Ø: 7 cm, KK (+), eff 70%
TD : 180/110
Bag. Bwh kep.↓U HII-III
N : 88x/menit
Rr : 26x/menit UUK jam 1
T : 30,60 C Dx:
idem
Inpartu kala I fase aktif 12 ½ jam
Sikap:
Pantauan 11
Observasi 1 ½ jam lagi (08.45)
Rencana persalinan pervaginam
oksigenasi
07.30 3x/10’/35”
kuat
07.45 3x/10’/35”
kuat

08.00 3x/10’/35”
Kuat
08.15 3x/10’/35”
kuat
08.30 3x/10’/40”
kuat
08.45 KU: Baik, Cm 3x/10’/40” VT:
VS: kuat Ø: 9 + cm, KK (-), eff 80%
TD : 160/100
Bag. Bwh kep.↓U HIII+
N : 87x/menit
Rr : 26x/menit UUK 12
T : 36,6 Dx:
idem
Inpartu kala I fase aktif 14 jam
Sikap:
Pantauan 10
Observasi 1 jam lagi (10.00)
Rencana persalinan pervaginam
Oksigenasi
09.00 3x/10’/40”
Kuat
09.15
3x/10’/40”
Kuat
09.30 3x/10’/40”
Kuat
09.45 3x/10’/40”
Kuat
10.00 3x/10’/40” Ibu ingin mengejan, perineum
Kuat menonjol, vulva dan uterus
membuka
VT:
Ø: lengkap , KK (-), eff 100%
Bag. Bwh kep.↓U HIII+
UUK jam 11
Dx:
idem
Inpartu kala II
Sikap:
Pantauan 9
Persiapkan partus set
Persiapkan alat resusitasi
Pimpin persalinan
10.12 Episiotomi
Lahir bayi perempuan dengan berat
3300 gr AS: 7-9-10
10.18 lahir plasenta lengkap
episiorepair
cek perdarahan

lama persalinan:
kala I : 19.00 – 10.00 : 15 jam
kala II : 10.00 – 10.12 : 12 menit
kala III : 10.12 – 10.18 : 6 menit
15 jam 18 menit
Jumlah perdarahan:
Kala I : 5 cc
Kala II : 50 cc
Kala III : 75 cc
130 cc

1.7. FOLLOW UP
Tanggal 6 September 2012 : DPH 1
 KU : baik , CM
 VS :
 TD : 130/90
 Nadi : 76 x/menit
 Respirasi: 76 x/menit
 Suhu : 36,4 0C
 Kepala : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Thorak : cardio / pulmo dalam batas normal
 Abdomen : nyeri tekan (-), soepel (+), TFU sejajar pusar, VU tak penuh
(+), kontraksi (+)
 Gynekologi : lochea rubra (+) agak banyak
 Assesment : P1A0 27 tahun hamil 40 minggu
Post partus spontan dengan hipertensi gestasional
DPH 1

BAB II
ANALISIS
2.1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat diketahui bahwa pasien kiriman bidan dengan preeklamsia
ringan yang di tunjukan dari surat rujukan yang tertuliskan protein urine +1 , serta
terlampirkan hasil laboratoriumnya, serta ditambah keterangan dari pasien bahwa
selama hamil tekanan darah pasien tinggi.
Pasien ini terdapat riwayat hipertensi dan pasien tidak menjalani terapi
pengobatan untuk hipertensinya. Seharusnya dicantumkan dalam data anamnesis
apakah pasien menjalani terapi hipertensi dan juga apabila menjalani pengobatan,
apakah pasien respon terhadap pengobatan tersebut.
2.2. Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik Vital sign didapatak tekanan darah pasien 160/100
mmHg yang menunjukan adanya peningkatan tekanan darah yang dapat diambil
diagnosis sementara hipertensi gestasional yang selanjutnya akan ditegakkan dengan
pemeriksaan laboraturium.
Pada pemeriksaan fisik seharusnya tidak perlu dilakukan pemeriksaan panggul
dalam, karena tidak ada indikasi dilakukan pemeriksaan panggul dalam pada pasien ini.
Hal ini ditunjukkan dari kepala janin yang sudah masuk panggul dan sudah turun
hingga bidang Hodge II.
Pada sikap seharusnya dari awal sudah direncanakan untuk tindakan peringan
kala II dengan vacum extraksi atau dengan forseps.
2.3. Pemeriksaan penunjang
Laboraturium : EWITZ (protein urine): negatif. Jadi dapat dapat disimpulkan bahwa
pasien menderita hipertensi gestasional bukan preeklamsi ringan ataupun berat, atau
eklamsia dikarenakan protein urine yang negatif.
2.4. Laporan pengawasan persalinan
Pada observasi jam 05.15 seharusnya pasien diberikan tambahan diagnosis
dengan partus tak maju karena mulai dari pukul 03.15 hingga 05.15 pembukaan masih
tetap 5 cm tidak bertambah, dan perlu dicurigai adanya lilitan tali pusat. Serta sikap
yang harus dilakukan yaitu dengan stimulasi HIS dengan pemberian oksitosin 5 IU
dalam 500 cc RL drip dalam 12 tetes/ menit.

2.5. Sikap
Seharusnya dari awal pasien sudah direncanakan untuk dilakukan ekstraksi vakum atau
forseps guna memperingan kala II pasien yang sesuai dengan penatalaksanaan pada
hipertensi gestasional serta dijelaskan bahwa ibu tidak boleh terlalu kuat mengejan.
Pada kasus ini karena tidak adanya tenaga ahli pada saat itu maka bidan yang
memimpin persalinan hanya melakukan persalinan secara spontan tanpa memperingan
kala II dan hal itu disalahkan karena kala II pasien tidak diperingan. Seharusnya apa
bila pada saat itu tidak ada tenaga ahli, penolong perlu mencari tenaga ahli untuk
melakukan peringan kala II dengan vacum extraksi atau forseps. Apabila tetap tidak
memungkinkan dapat dilakukan peringan kala II dengan episiotomi lebar. Apabila
dalam kasus ini pasien tidak diperingan kala Iinya maka efek samping terburuknya
pasien dapat mengalami stroke.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
HIPERTENSI PADA KEHAMILAN
3.1 DEFINISI
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan kardiovaskular yang
terjadi sebelum kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada masa nifas (Sulaiman
et.al, 2000). Apabila dalam kehamilan disertai dengan proteinuria dan edema maka
disebut dengan pre-eklamsi yang tidak murni atau superimposed pre-eklamsia
(Manuwaba, 2008). Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu penyulit dari
kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan
morbiditas ibu bersalin. Pengukuran tekanan darah sistolik dan diastolic berada di atas
140/90 mmHg, pengukuran sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali dengan selang waktu
pengukuran 4 jam. Kenaika tekanan darah sistoliknya ≥ 30 mmHg dan kenaikan tekanan
darah diastolik ≥ 15mmHg sebagai parameter hipertensi sudah tidak dipakai lagi
(Sarwono, 2001).
3.2. KLASIFIKASI
Klasifikasi dengan hipertensi kehamilan berdasarkan Report of the National High
Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in
Pregnancy tahun 2001 (Sarwono, 2001):
a. Hipertensi kronik: Hipertensi yang timbul sebelum mencapai usia kehamilan 20
minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan
20 minggu. Hipertensi ini akan menetap sampai 12 minggu pasca melahirkan.

b. Preeklamsia-Eklamsia: peningkatan tekanan darah yang baru timbul setelah usia


kehamilan mencapai 20 minggu, disertai dengan penambahan berat badan ibu
yang cepat akibat tubuh membengkak dan pada pemeriksaan laboratorium
dijumpai protein di dalam air seni (proteinuria). Eklamsia: preeklamsia yang
disertai dengan kejang.

c. Preeklamsia superimposed pada hipertensi kronik: preeklamsia yang terjadi


pada perempuan hamil yang telah menderita hipertensi sebelum hamil.
d. Hipertensi gestasional: hipertensi pada kehamilan yang timbul pada trimester
akhir kehamilan, namun tanpa disertai gejala dan tanda preeklamsia, bersifat
sementara dan tekanan darah kembali normal setelah melahirkan
(postpartum). Hipertensi gestasional berkaitan dengan timbulnya hipertensi
kronik suatu saat di masa yang akan datang.

3.3. FAKTOR RESIKO


Ada beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, diantaranya yaitu (Sarwono, 2001):
a. Primigravida, primiparitas
b. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes
melitus, hidrops fetalis, bayi besar
c. Umur yang ekstrim
d. Riwayat keluarga mengalami preeklamsia/eklamsia
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
f. Obesitas
3.4. PATOFISIOLOGI
3.4.1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada hipertensi kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas dan lapisan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis
menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis,
sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia serta iskemik
plasenta (Sarwono, 2001).
3.4.2. Teori adaptasi kardiovaskuler
Pada hipertensi dalam kehamilan, pembuluh darah kehilangan daya
refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan terjadi peningkatan kepekaan
terhadap bahan-bahan vasopresor. Maka dari itu daya refrakter pembuluh darah
terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor. Biasanya terjadi pada trimester I (Sarwono, 2001).
3.4.3. Teori genetik
Adanya faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe
ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial, jika
dibandingkan dengan genotipe janin (Sarwono, 2001).
3.5. PEMERIKSAAN
Selain pemantauan tekanan darah perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
bertujuan untuk memantau perubahan dalam hematologi, ginjal da hati, yang dapat
mempengaruhi prognosis pasien dan janin. Pemeriksaan laboraturium yang dianjurkan
yaitu pemeriksaan darah pada hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hmt) untuk melihat
kemungkinan adanya hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis hipertensi
gestasional. Perhitungan trombosit sangat rendah terdapat pada sindrom HELLP
(Hemolysis, Elevated Liver Enzyme levels, And Low Platelet Count). Pemeriksaan enzim
AST, ALT dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui
adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein dalam 24 jam. Ureum dan kreatinin
digunakan untuk menilai fungsi ginjal, yang pada kehamilan umumnya kreatinin serum
menurun. Pada hipertensi gestasional tidak didapatkan adanya proteinuria (Sudoyo et.al,
2007).
3.6. PENATALAKSAMAAN
3.6.1. Dalam kehamilan
 Tirah baring yang cukuo, menjauhi emosi dan jangan bekerja terlalu berat
 Mengurangi peningkatan berat badan yang agresif. Diet tinggi protein,
rendah hidrat arang, rendah lemak dan rendah garam
 Pengawasan terhadap janin dengan antenatal care secara teratur..
Dalam kehamilan perlu diberikan pengobatan farmakologi. Pengakhiran kehamilan
baik yang muda maupun yang sudah cukup bulan harus dipikirkan jika terdapat
terjadinya hipertensi ganas (tekanan darah 200/120 atau preeklamsia berat), dan
apabila janin telah meninggal dalam kandungan (Sadoyo et.al, 2007).
3.6.2. Dalam persalinan
 Kala I akan berlangsung tanpa gangguan
 Kala II memerlukan pengawasan yang cermat dan teliti,. Bila ada tanda-
tanda penyakit bertambah berat dan pembukaan hampir atau sudah lengkap,
ibu dilarang mengejan, kala II diperpendek dengan melakukan ekstraksi
vakum atau forseps (Mochtar, 1998).
3.6.3. Farmakologis
Pada hipertensi gestasional (tanpa adanya proteinuria) batas pemberian
pengobatan umumnya diatas 140 mmHg sistolik atau 80 mmHg diastolik (Sadoyo
et.al, 2007). .
Obat Anti Hipertensi Dalam Kehamilan
Agonis Alfa sentral Metildopa, obat pilihan
250mg 2x sehari dinaikan maksimal 4
gram sehari
Penghambat beta Atenolol dan metoprolol aman dan
efektif pada kehamilan trimester akhir
Penghambat alfa dan beta Labetalol, efektif seperti metildopa,
pada kegawatan dapat diberikan
intravena
100 mg 2x sehari, maksimal 2400mg/
hari
Antagonis kalsium Nefedipin oral, isradipin i.v. dapat
dipakai pada kegawatan hipertensi
Dosis maksimum 120mg/ hari, efek
kerjanya panjang
Inhibitor ACE dan atagonis angiotensin Kontra indikasi, dapat mengakibatkan
kematian janin atau abnormalitas
diuretik Direkomendasikan apabila telah dipakai
sebelum kehamilan. Tidak
direkomemdasikan pada preeklamsi.
Vasodilator Hydralazine tak dianjurkan lagi
mengingat efek perinatal

3.7. PROGNOSIS
 Prognosis untuk ibu kurang baik. Angka kematian ibu kira-kira 1-2%, yang
sebagian besar disebabkan oleh perdarahan otak, payah jantung dan uremia.
 Prognosis bagi janin juga kurang baik, karena adanya insufisiensi plasenta, solusio
plasenta, dll. Janin dapat tumbuh kurang sempurna, dapat terjadi prematuritas dan
dismaturitas. Angka kematian bayi 20% (Mochtar, 1998).

DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, I.B.G., 1998. Ilmu Penyakit Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Mochtar, Rustam., 1998, Sinopsis Obstetri jilid 1, Jakarta: EGC
Prawiroharjo, Sarwono., 2008, Ilmu Kebidanan, Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo.
Sudoyo, A. W., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed. IV, Jilid I, Jakarta: FKUI

ANALISIS KASUS
DIAGNOSIS
a) Anamnesis
Data anamnesis yang mendukung gejala hipertensi yaitu
 Keterangan pasien bahwa selama kehamilan tekanan darahnya tinggi
hingga 150, yang dirasakan mulai memasuki kehamilan trimester ke 2. Dari
sini didapatkan diagnosis banding hipertensi gestasional, pre-eklamsia/
eklamsia
 Sebelum hamil pasien tidak menderita tekanan darah tinggi, hal ini
menyingkirkan diagnosis banding hipertensi kronik dan superimposed pre-
eklamsia
 Selama hamil dengan tekanan darah tinggi pasien jarang mengontrolkan
tekanan darahnya dan tidak diobati
 Saat ini pasien tidak mengeluhkan kepala pusing/ kepala terasa berat dan
juga pandangan kabur

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan (Sarwono, 2000) :


a. Hipertensi kronik : hipertensi yang timbul sebelum kehamilan atau
sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali
didiagnosis setelah kehamilan 20 minggu dan menetap sampai 12 minggu
pasca persalinan.
b. Preeklamsia-eklamsia
 Preeklamsia : hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria
 Eklamsia : preeklamsia yang disertai dengan gejala kejang
atau koma.
c. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia : hipertensi kronik
disertai tanda-tanda preeklamsia atau hipertensi kronik disertai dengan
proteinuria
d. Hipertensi gestasional : hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa
disertai dengan proteinuria dan hipertensi menghilang 3 bulan pasca
persalian atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tanoa proteinuria.
Ada beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, diantaranya yaitu (Sarwono, 2001):
a. Primigravida, primiparitas
b. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes
melitus, hidrops fetalis, bayi besar
c. Umur yang ekstrim
d. Riwayat keluarga mengalami preeklamsia/eklamsia
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
f. Obesitas
 Pada kasus ini tidak ditemukan beberapa faktoresiko pada pasien untuk terjadinya
hipertensi pada kehamilan dan juga kelemahan dari kami untuk menanyakan
secara mendalam beberapa faktor resiko terjadinya hipertensi kehamilan.

b) Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah pasien yang tinggi yaitu
160/100 mmHg
 Pada pemeriksaan mata tidak didapatkan penurunan visus mata yang
merupakan tanda dari peningkatan tekanan intrakranial akibat peningkatan
tekanan darah
 Pada pemeriksaan jantung dan paru tidak ditemukannya kelainan, hsli ini
digunakan untuk mengetahui adakah komplikasi dari organ akibat dari
peningkatan tekanan darah.
 Tidak didapatkan adanya edem pada ekstremitas, hal ini digunakan untuk
mengetahui apakah terdapat hipoalbumin akibat adanya proteinuria, yang
merupakan salah satu tanda pada preeklamsia/ eklamsia.

Hipertensi : tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg. Pengukuran tekanan
darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.
c) Pemeriksaan penunjang
 Pada pemeriksaan laboraturium nilai trombosit, SGOT, SGPT, CT (Clotting
Time), BT (Bleeding Time), Ureum dan Kreatinin dalam batas normal yang
menunjukan bahwa tidak adanya gangguan pada multiorgan sebagai
komplikasi preeklamsia dan eklamsia yaitu terjadinya HELLP syndrome
dan hipertensi yang terjadi bukan karena adanya gangguan pada renal
(hipertensi renal).
 Pada hasil laboraturium untuk protein urin (EWTIZ) didapatkan hasil
negatif, yang dapat disimpulkan tekanan darah tinggi pasien hanya
merupakan peningkatan tekanan darah tanpa gangguan multiorgan atau
disebut juga dengan pre-eklamsisa/ eklamsia
d) Pantauan Persalinan
 Selama persalinan, saat pasien memasuki kala I fase aktif tekanan darah
pasien mencapai 180/110 mmHg. Dalam penanganan hipertensi yang
memberat pada kala II sebaiknya pasien sudah direncanakan untuk
memperingan kala II dengan vacum ekstraksi atau forsep, karena pada hal
ini pasien dilarang untuk mengejan terlalu kuat agar tidak terjadi
peningkatan tekanan darah yang berlanjut ke komplikasi yaitu terjadinya
perdarahan serebral dan terjadi stroke.
e) Follow up
 Pada follow up DPH I tekanan darah pasien 130/90 mmHg, dari sini baru
dapat diambil kesimpulan bahwa diagnosis pasien tersebut menderita
Hipertensi Gestasional karena tanpa disertai adanya kerusak multiorgan
yang ditandai dengan proteinuria.
 Dari sini dapat diketahui bahwa pasien tak memerlukan lagi terapi
hipertensi, yaitu pemberian nefedipin oral 3 x 10 mg.

Pada hipertensi gestasional (tanpa adanya proteinuria) batas pemberian pengobatan


umumnya diatas 140 mmHg sistolik atau 80 mmHg diastolik (Sadoyo et.al, 2007). .
Obat Anti Hipertensi Dalam Kehamilan
Agonis Alfa sentral Metildopa, obat pilihan
250mg 2x sehari dinaikan maksimal 4
gram sehari
Penghambat beta Atenolol dan metoprolol aman dan
efektif pada kehamilan trimester akhir
Penghambat alfa dan beta Labetalol, efektif seperti metildopa,
pada kegawatan dapat diberikan
intravena
100 mg 2x sehari, maksimal 2400mg/
hari
Antagonis kalsium Nefedipin oral, isradipin i.v. dapat
dipakai pada kegawatan hipertensi
Dosis maksimum 120mg/ hari, efek
kerjanya panjang
Inhibitor ACE dan atagonis angiotensin Kontra indikasi, dapat mengakibatkan
kematian janin atau abnormalitas
diuretik Direkomendasikan apabila telah dipakai
sebelum kehamilan. Tidak
direkomemdasikan pada preeklamsi.
Vasodilator Hydralazine tak dianjurkan lagi
mengingat efek perinatal

Mekanisme kerja MgSO


Mekanisme Kerja
1. Sistem Enzym
Magnesium merupakan ko-faktor dari semua enzym dalam rangkaian reaksi
adenosin fosfat (ATP) dan sejumlah besar enzym dalam rangkaian metabolisme fosfat.
Juga berperan penting dalam metabolisme intraseluler, misalnya proses pengikatan
messanger-RNA dalam ribosom.
2. Sistem susunan syaraf dan cerebro vaskuler.
Mekanisme dan aksi magnesium sulfat mesih belum diketahui dan menjadi
pokok pembahasan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa aksi magnesium sulfat di
perifer pada neuromuskular junction dengan minimal atau tidak ada sama sekali
pengaruh pada sentral. Tapi sebagian besar berpendapat bahwa aksi utamanya adalah
sentral dengan efek minimal blok neuromuskuler.
Magnesium menekan saraf pusat sehingga menimbulkan anestesi dan
mengakibatkan penurunan reflek fisiologis. Pengaruhnya terhadap SSP mirip dengan
ion kalium. Hipomagnesemia mengakibatkan peningkatan iritabilitas SSP,
disorientasi, kebingungan, kegelisahan, kejang dan perilaku psikotik. Suntikan
magnesium sulfat secara intravena cepat dan dosis tinggi dapat menyebabkan
terjadinya kelumpuhan dan hilangnya kesadaran. Hal ini mungkin disebabkan karena
adanya hambatan pada neuromuskular perifer.
Penghentian dan pencegahan kejang pada eklampsia tanpa menimbulkan
depresi umum susunan syaraf pusat pada ibu maupun janin.
Magensium sulfat merupakan anti konvulsan yang bekerja perifer dan
karenanya merupakan obat yang jelek. Obat ini hanya bekerja pada konsentrasi yang
menyebabkan kelumpuhan dan akibatnya pasien eklampsia yang diobati akan menjadi
tenang diluar tetapi masih kejang-kejang didalam.
Konsentrasi magnesium dalam cairan serebrospinal setelah terapi magnesium
pada preeklampsia mengalami sedikit peningkatan tetapi sangat bermakna. Borges
dan Gucer (1978) mengajukan bukti yang meyakinkan bahwa ion magnesium
menimbulkan efek pada susunan saraf pusat yang jauh lebih spesifik dari pada depresi
umum. Borges dkk. mengukur kerja magnesium sulfat yang diberikan secara
parenteral terhadap aktifitas syaraf epileptik pada primata dibawah tingkat manusia
yang tidak diberi obat dan dalam keadaan sadar. Magnesium akan menekan timbulnya
letupan neuron dan lonjakan pada EEG interiktal dari kelompok neuron yang dibuat
epileptik dengan pemberian penisilin G secara topikal. Derajat penekanan akan
bertambah seiring dengan meningkatnya kadar magnesium plasma dan akan
berkurang dengan menurunnya kadar magnesium.
3. Sistem neuromuskular
Magnesium mempunyai pengaruh depresi langsung terhadap otot rangka.
Kelebihan magnesium dapat menyebabkan :
 Penurunan pelepasan asetilkolin pada motor end-plate oleh syaraf
simpatis.
 Penurunan kepekaan motor end-plate terhadap asetilkolin.
 Penurunan amplitudo potensial motor end-plate.
Pengaruh yang paling berbahaya adalah hambatan pelepasan asetilkolin.
Akibat kelebihan magnesium terhadap fungsi neuromuskular dapat diatasi dengan
pemberian kalsium, asetilkolin dan fisostigmin.
Bila kadar magnesium dalam darah melebihi 4 meq/liter reflek tendon dalam
mulai berkurang dan mungkin menghilang dalam kadar 10 meq/liter. Oleh karena itu
selama pengobatan magnesium sulfat harus dikontrol refleks patela.
4. Sistem syaraf otonom
Magnesium menghambat aktifitas dan ganglion simpatis dan dapat digunakan
untuk mengontrol penderita tetanus yang berat dengan cara mencegah pelepasan
katekolamin sehingga dapat menurunkan kepekaan reseptor adrenergik alfa.
5. Sistem Kardiovaskular
Pengaruh magnesium terhahap otot jantung menyerupai ion kalium. Kadar
magnesium dalam darah yang tinggi yaitu 10-15 meq/liter menyebabkan
perpanjangan waktu hantaran PR dan QRS interval pada EKG. Menurunkan frekuensi
pengiriman infuls SA node dan pada kadar lebih dari 15 meq/liter akan menyebabkan
bradikardi bahkan sampai terjadi henti jantung yaitu pada kadar 30 meq/liter.
Pengaruh ini dapat terjadi karena efek langsung terhadap otot jantung atau terjadi
hipoksemia akibat depresi pernapasan.
Kadar magnesium 2-5 meq/liter dapat menurunkan tekanan darah. Hal ini
terjadi karena pengaruh vasodilatasi pembuluh darah, depresi otot jantung dan
hambatan gangguan simpatis. Magnesium sulfat dapat menurunkan tekanan darah
pada wanita hamil dengan preeklampsia dan eklampsia, wanita tidak hamil dengan
tekanan darah tinggi serta pada anak-anak dengan tekanan darah tinggi akibat
penyakit glomerulonefritis akut.
Hutchinson dalam penelitiannya mendapatkan sedikit penurunan darah arteri
setelah diberikan magnesium sulfat 4 gram secara intravena dan dalam waktu 15-20
menit normal kembali. Sedangkan Thiagarajah dkk dalam penelitiannya tidak
mendapatkan perubahan yang bermakna baik penurunan tekanan darah, perubahan
denyut jantung ataupun tahanan perifer. Cotton dkk (1842), mengumpulkan data-data
menggunakanan kateterisasi ateri pulmonal dan radial. Setelah pemberian 4 gram
magnesium sulfat intravena dalam waktu 15 menit, tekanan darah arteri rata-rata
sedikit menurun. Pemberian magnesium menurunkan tahanan vaskuler sistemik serta
tekanan arteri rata-rata, dan secara bersamaan juga meningkatkan curah jantung tanpa
disertai depresi miokardium.
6. Sistem pernapasan
Magnesium dapat menyebabkan depresi pernapasan bila kadarnya lebih dari
10 meq/liter bahkan dapat menyebabkan henti napas bila kadarnya mencapai 15
meq/liter.
Somjen memonitor secara ketat dua orang penderita dengan kadar magnesium
dalam darah 15 meq/liter akan didapati kelumpuhan otot pernapasan tanpa disertai
gangguan kesadaran maupun sensoris.
Sebagai pengobatan hipermagnesia segera setelah terjadi depresi pernapasan
diberikan kalsium glukonas dengan dosis 1 gram (10 ml dari larutan 10%) secara
intravena dalam waktu 3 menit dan dilakukan pernapasan buatan sampai penderita
dapat bernapas sendiri. Pemberian ini dapat dilanjutkan 50 ml kalsium glukonas 10%
yang dilarutkan dalam dektrose 10% per infus. Bila keadaan tidak dapat diatasi
dianjurkan untuk hemodialisis atau peritoneum dialisis.
7. Uterus
Pengaruh magnesium sulfat terhadap kontraksi uterus telah banyak dipelajari
oleh para sarjana. Hutchinson dkk meneliti 32 penderita yang diberi 4 gram MgSO4
secara intravena dan mendapatkan adanya penurunan kontraksi uterus yang nyata
pada 21 penderita , pada 7 penderita terdapat penurunan kontraksi uterus yang sedang
dan pada 4 penderita malah di dapatkan penambahan kekuatan kontraksi uterus.
Perubahan kontraksi ini hanya berlangsung selama 3-15 menit dimana kadar
magnesium meningkat dari 2 meq/liter menjadi 7-8 meq/liter dan menurun kembali 5-
6 meq/liter pada akhir menit ke-15. lama dan derajat perubahan sangat individual,
bahkan diperoleh perbaikan sifat kontraksi uterus.
Magnesium sulfat (Mg SO4 7[H2O]), sudah cukup lama dikenal sebagai obat
utama pada preeklampsia di Amerika Serikat, namun kini telah diterima dan bahkan
menjadi obat utama diberbagai pusat layanan sebagai obat tokolitik. Tahun 1969
Vulpian pertama kali mendemontrasikan adanya aksi paralisis dari magnesium sulfat.
Hasting melihat bahwa pada kondisi kadar yang berbeda memberikan respon
yang berbeda pula. Tapi keadaan yang berlawanan justru terjadi yakni adanya efek
relaksasi uterus pada keadaan tidak adanya magnesium maupun pada keadaan kadar
magnesium yang tinggi. Bila kadar magnesium sulfat berada dalam kadar menengah,
nampaknya terjadinya kontraksi miometrium
Pada tahun 1959, Hall melakukan penelitian invitro efek magnesium sulfat
pada miometrium. Pada penelitian ini megnesium sulfat menyebabkan relaksasi bila
konsentrasi mencapai 8-19 mEq/1, penghambatan sempurna dicapai bila konsentrasi
magnesium 14-30 mEq/1. pada penelitian invivo, digunakan magnesium sulfat dengan
kadar dalam darah 5-8 mEq/1. Toksisitas tampak bila kadar dalam darah mencapai
kurang lebih 10 mEq/1. Hall juga mendemontrasikan perpanjangan proses persalinan
pada penderita preeklampsia yang diberikan pengobatan dengan magnesium sulfat.
Lama proses persalinan secara berlangsung sebanding dengan kadar magnesium sulfat
dalam darah. Tahun 1966, pertama kali pemakaian magnesium sulfat sebagai obat
tokolitik dilaporkan oleh Rusu dan tahun 1975, Kiss dan Szoke melaporkan
pengunaan magnesium secara intravena untuk tokolitik.Pemberian magnesium sulfat
oleh beberapa ahli disebutkan dapat menurunkan angka kejadian celebral palsy.
Namun grether dkk, tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna antara
pemberian magnesium sulfat dengan resiko cerebral plsy ini. Pada penelitian lainnya
Grether telah membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
pemberian magnesium sulfat dengan resiko kematian neonatus.
Magnesium adalah kation terbesar kedua didalam sel. Jumlah seluruh
magnesium dalam tubuh adalah 24 g. magnesium intraseluler adalah bagian terpenting
sebagai kofaktor pada reaksi berbagai enzim dan masuk ke dalam sel secara difusi.
Magnesium dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal. Magnesium secara bebas
difiltrasi dalam glomerulus dan sebagian direabsorbsi dalam tubulus renalis. ekskresi
dalam urin kurang lebih 3-5% dari magnesium yang difitrasi. Pada wanita hamil
kadar magnesium plasma menurun ; 1,83 mEq/1 untuk wanita tidak hamil menjadi
1,39 mEq/1 untuk wanita yang hamil.
Magnesium sulfat tampaknya mempunyai dua aktivitas sebagai obat tokolitik
yakni dengan cara menekan transmisi syaraf ke miometrium dan secara langsung
berefek pada sel-sel miometrium. Pertama, peningkatan kadar megnesium menurun
pelepasan asetikolin oleh motor end plate pada neuromuscular junction. Sebagai
tambahan Magnesium mencagah masuknya kalsium neuron dan efektif memblokir
transmisi syaraf. Kedua, magnesium berefek sebagai antagonis terhadap kalsium pada
tingkat sel dan dalam ruang ekstraseluler. Peningkatan kadar magnesium
menyebabkan hipokalsemia melalui penekanan sekresi hormon paratiroid dan melalui
peningkatan pembuangan kalsium oleh ginjal. Baik Magnesium dan kalsium
direabsorbsi pada tubulus renalis. Pada sisi yang sama Peningkatan kadar magnesium
mencegah rabsorbsi kalsium dan menyebabkan hiperkalsiuria. Disamping
menyebabkan hipokalsemia, peningkatan kadar magnesium juga berkompetisi dengan
sisi ikatan kalsium yang sama yang mengakibatkan penurunan menurunnya kadar ATP
(adenosine triphosphate) sampai pada kadar dimana sel tidak mengikat kalsium. Hal
ini mencegah aktivasi dari kompleks aktin dan myosin. Data klinik mendukung teori
bahwa magnesium berefek sebagai tokolitiknya melalui antogonism kalsium : pada
keadaan hipokalsemia pada penderita yang menerima magnesium sulfat kemudian
diobati dengan pemberian kalsium, terjadi peningkatan aktivitas uterus.

Syarat pemberian MgSO4:


 Tekanan darah ≥150 sistole, diastole ≥ 100 mmHg
 Reflek patella positif normal
 Pernafasan minimal 16 kali per menit
 Urin minimal 200 cc selama 4 jam
Tujuan pemberian Ca Glukonas pada transfusi darah :
Untuk menghindari terjadinya intoksikasi sitrat, diberikan Ca Glukonas 10%.

Anda mungkin juga menyukai