Anda di halaman 1dari 21

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

PERIODE 11 DESEMBER – 15 JANUARI 2018

RS PENDIDIKAN : RUMAH SAKIT UMUM


DR. KARDINAH, KOTA TEGAL

JOURNAL READING
TOPIK : ULKUS KORNEA PERIFER

Disusun oleh
Rahim, S.Ked
030.12.218

Pembimbing
dr. Imamatul Ibaroh, Sp. M

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan Journal reading ini dengan judul : “Hubungan Rituximab pada rheumatoid
arthritis dengan ulkus kornea perifer.”
Journal reading ini disusun untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUD Kardinah Tegal,
periode 2 Oktober – 4 November2017. Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan penyelesaian Journal
reading ini, terutama kepada:
1. dr. Imamatul Ibaroh, Sp. M, selaku pembimbing dalam laporan kasus ini.
2. dr. Liliek Istoyo Yahmo, Sp. M, selaku konsulen.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan klinik departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUD Kardinah
Tegal yang telah memberikan dukungan moril maupun materil.
Saya menyadari dalam penyelesaian journal reading ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran guna penyempurnaan journal reading ini
sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam
bidang ilmu kesehatan mata.

Tegal, november 2017

Penyusun

ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Jounal reading dengan topik :


“Hubungan Rituximab pada rheumatoid arthritis
dengan ulkus kornea perifer”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat

untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kesehatan Mata

di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal

Periode 2 oktober- 4 November 2017

Oleh:

Rahim, S.Ked

NIM: 030.12.218

Pembimbing

dr. Imamatul Ibaroh, Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iv

BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 3

BAB III. JOURNAL READING .............................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 16

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Pembentukan parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab utama kebutaan dan ganguan
penglihatan di seluruh dunia. Gangguan penglihatan ini dapat dicegah apabila bila diagnosis
penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara adekuat.1
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas cahaya
menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform, avaskuler dan
deturgenses. Deturgenses, atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh
“pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih
penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel
jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema
kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya menyebabkan edema
lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila selsel epitel telah beregenerasi. Penguapan
air dari film air mata prakornea berakibat film air mata menjadi hipertonik. Proses tersebut dan
penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma kornea superfisial untuk
mempertahankan keadaan dehidrasi.1
Ulkus kornea dapat terjadi akibat adanya trauma pada oleh benda asing, dan dengan air
mata atau penyakit yang menyebabkan masuknya bakteri atau jamur ke dalam kornea sehingga
menimbulkan infeksi atau peradangan. Ulkus kornea merupakan luka terbuka pada kornea.
Keadaan ini menimbulkan nyeri, menurunkan kejernihan penglihatan dan kemungkinan erosi
kornea.2
Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya infiltrat supuratif
disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea dapat terjadi dari epitel sampai
stroma. Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk mencegah
perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi berupa descematokel, perforasi, endoftalmitis, bahkan
kebutaan. Ulkus kornea yang sembuh akan menimbulkan kekeruhan kornea dan merupakan
penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia.2
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata sebab kelainan ini
menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan. Kekeruhan kornea ini terutama
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa bakteri, jamur, dan virus dan bila terlambat

1
didiagnosis atau diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan
meninggalkan jaringan parut yang luas. Insiden ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 juta per
100.000 penduduk di Indonesia, sedangkan predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain
terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak, dan kadang-kadang tidak diketahui
penyebabnya.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kornea
2.1.1. Anatomi
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11- 12 mm
horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan
kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata
manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan
oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai
oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas
ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva ( AAO, 2008). Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 μm, diameter
horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm.1

Gambar 1. Anatomi bola mata dan kornea

3
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, aquous humour dan air
mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir. Transparansi
kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam, avaskularitasnya dan deturgensinya.4
Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, lapisan
Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel.1 Permukaan anterior kornea ditutupi
epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat
membran limitans anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi
propia). Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel yang membentuk lamella tipis
dan lapisan-lapisan fibroblas gepeng dan bercabang.3
Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel posterior yang juga
merupakan endotel kornea. Membran Descemet merupakan membran basal epitel kornea dan
memiliki resistensi yang tinggi, tipis tetapi lentur sekali.3
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas cahaya
menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan
deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh
“pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam
mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis
pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada
epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel
epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan
hipertonisitas ringan pada lapisan air mata tersebut. Hal ini mungkin merupakan faktor lain
dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan
dehidrasi.4
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui
epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Agar dapat melalui kornea,
obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus.4
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea.
Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman mudah terkena
infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.4

4
2.2. Ulkus Kornea
2.2.1 Definisi
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan
kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, dan
diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma. Karena kornea
avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang, seperti pada jaringan
lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain
yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul
dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear
(PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu,
keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan
epitel dan timbullah ulkus kornea. Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk
jaringan parut.5
Ulkus kornea perifer adalah bentuk peradangan mata yang melibatkan bagian luar kornea
yang berkaitan dengan kondisi sistemik seperti rheumatoid arthritis, granulomatosis Wegener,
dan kondisi sistemik lainnya. Komplikasi yang ditakutkan pada ulkus kornea perifer yaitu kornea
melt sindrom yaitu penipisan lapisan kornea sampai dengan perforasi. Sindrom melt kornea
dapat menyebabkan kebutaan secara permanen dan tiba-tiba.6

2.2.2 Etiologi
Etiologi ulkus kornea antara lain disebabkan oleh infeksi, dan noninfeksi. Ulkus kornea
yang disebabkan oleh infeksi antara lain infeksi oleh bakteri P. aeraginosa, Streptococcus
pneumonia dan spesies Moraxella merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus
berbentuk sentral, gejala klinis yang khas tidak dijumpai hanya sekret yang keluar bersifat
mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa. Infeksi Jamur disebabkan
oleh Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides. Ulkus
kornea yang disebabkan oleh infeksi virus herpes simpleks cukup sering dijumpai. Penyebab
ulkus kornea noninfeksi antara lain disebabkan oleh bahan kimia, bersifat asam atau basa
tergantung PH, radiasi atau suhu, Sindrom Sjorgen.7

5
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin, obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun,
misalnya; kortikosteroid, IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.
Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma, Pajanan (exposure), neurotropik. Sistem
Imun (Reaksi Hipersensitivitas) pada penyakit Rheumathoid arthritis, Granulomatosa wagener.7
Berdasarkan lokasi, dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea, ulkus kornea sentral dan ulkus
kornea perifer. Ulkus kornea sentral antara lain ulkus kornea bakterialis, ulkus kornea fungi,
ulkus kornea virus, ulkus kornea acanthamoeba. Ulkus kornea perifer antara lain ulkus marginal,
ulkus mooren (ulkus serpinginosa kronik/ulkus roden), ulkus cincin (ring ulcer).7
Ulkus marginal, merupakan peradangan kornea bagian perifer dapat berbentuk bulat atau
segiempat, dapat satu atau banyak dan terdapat daerah kornea yang sehat dengan limbus. Ulkus
mooren, merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian perifer kornea berjalan
progresif ke arah sentral tanpa adanya kecenderungan untuk perforasi ditandai tepi tukak
bergaung dengan bagian sentral tanpa adanya kelainan dalam waktu yang agak lama. Kedekatan
dengan pembuluh darah dan arcade limfatik dapat menjelaskan lokasi perifer pada ulkus kornea,
karena dalam sel-sel inflamasi dan mediator inflamasi dapat memperoleh akses ke bagian kornea
lebih mudah.6
2.2.3 Gejala Klinis
Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa gejala subjektif dan gejala
objektif. Gejala-gejala subjektif yang timbul seperti eritema pada kelopak mata dan konjungtiva,
sekret mukopurulen, merasa ada benda asing di mata, pandangan kabur, mata berair, bintik putih
pada kornea, sesuai lokasi ulkus, silau, nyeri. Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit
nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel
kornea. Gejala-gejala objektif yang timbul seperti injeksi siliar, hilangnya sebagian jaringan
kornea, dan adanya infiltrat, hipopion.8
Ulkus kornea perifer biasanya muncul sebagai ulkus berbentuk bulan sabit ditemukan
dalam 2mm dari limbus. Epitel tidak ada karena ulkus, dan stroma yang mendasari menipis.6

6
Gambar 2. Ulkus kornea idiopatik, berbentuk seperti bulan sabit.6
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
oftalmologis dengan menggunakan lampu celah serta pemeriksaan laboratorium. Anamnesis
pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma, benda
asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi
virus herpes simplek yang sering kambuh.
Hendaknya ditanyakan pula riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti
kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis
herpes simplek.4
Pada pemeriksaan oftakmologis didapatkan gejala berupa adanya injeksi siliar, kornea
edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea disertai adanya jaringan nekrotik. Pada kasus
berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.8
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti ketajaman
penglihatan, pemeriksaan slit-lamp, respon reflek pupil, pewarnaan kornea dengan zat
fluoresensi, dan scrapping untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH).8
Karena gambaran klinis tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis etiologik secara
spesifik, diperlukan pemeriksaan mikrobiologik, sebelum diberikan pengobatan empirik dengan
antibiotika. Pengambilan spesimen harus dari tempat ulkusnya, dengan membersihkan jaringan
nekrotik terlebih dahulu; dilakukan secara aseptik menggunakan spatula Kimura, lidi kapas
steril, kertas saring atau Kalsium alginate swab. Pemakaian media penyubur BHI (Brain Heart
Infusion Broth) akan memberikan hasil positif yang lebih baik daripada penanaman langsung

7
pada medium isolasi. Medium yang digunakan adalah medium pelat agar darah, media coklat,
medium Sabaraud untuk jamur dan Thioglycolat. Selain itu dibuat preparat untuk pengecatan
gram. Hasil pewarnaan gram dapat memberikan informasi morfologik tentang kuman penyebab
yaitu termasuk kuman gram (+) atau Gram (-) dan dapat digunakan sebagai dasar pemilihan
antibiotika awal sebagai pengobatan empirik.4

2.2.5 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa: kebutaan parsial atau komplit dalam waktu
sangat singkat, kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan panopthalmitis,
prolaps iris, sikatrik kornea, katarak, glaucoma sekunder. Prognosis ulkus kornea tergantung
pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme
penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan
waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi
tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi, maka
prognosisnya menjadi lebih buruk.8

2.2.6 Tatalaksana
Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis mata agar
tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea.9

1. Penatalaksanaan non-medikamen-tosa:
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskan-nya;
b. Jangan memegang atau meng-gosok-gosok mata yang mera-dang;
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan
mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih;
d. Menghindari asap rokok, karena dengan asap rokok dapat memperpanjang proses
penyembuhan luka.10

2. Penatalaksanaan medikamentosa:
Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian terapi yang tepat dan cepat
sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Adapun obat-obatan
antimikrobial yang dapat diberikan berupa:
8
A. Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang berspektrum luas diberikan
dapat berupa salep, tetes atau injeksi subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus sebaiknya
tidak diberikan salep mata karena dapat memperlambat penyembuhan dan dapat
menimbulkan erosi kornea kembali. Berikut ini contoh antibiotik: Sulfonamide 10-30%,
Basitrasin 500 unit, Tetrasiklin 10 mg, Gentamisin 3 mg, Neomisin 3,5-5 mg, Tobramisin
3 mg, Eritromisin 0,5%, Kloramfenikol 10 mg, Ciprofloksasin 3 mg, Ofloksasin 3 mg,
Polimisin B 10.000 unit.
B. Anti jamur
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang
tersedia. Berdasarkan jenis keratomitosis yang dihadapi bisa dibagi:
a. Jamur berfilamen: topikal amphotericin B, Thiomerosal, Natamicin, Imidazol;
b. Ragi (yeast): Amphotericin B, Natamicin, Imidazol, Micafungin 0,1% tetes mata14,15;
c. Actinomyces yang bukan jamur sejati: golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.
C. Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid lokal untuk
mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik spektrum luas untuk infeksi sekunder,
analgetik bila terdapat indikasi serta antiviral topikal berupa salep asiklovir 3% tiap 4
jam.
D. Anti acanthamoeba
Dapat diberikan poliheksametilen biguanid + propamidin isetionat atau salep
klorheksidin glukonat 0,02%.
Obat-obatan lainnya yang dapat diberikan yaitu:
a. Sulfas atropin sebagai salep atau larutan. Kebanyakan dipakai sulfas atropin karena bekerja
lama 1-2 minggu. Efek kerja sulfas atropin:
1. Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
2. Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
3. Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi sehingga mata
dalam keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi midriasis

9
sehinggga sinekia posterior yang ada dapat terlepas dan dapat mencegah pembentukan
sinekia posterior yang baru.9
b. Skopolamin sebagai midriatika.
c. Analgetik. Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain, atau tetrakain
tetapi jangan sering-sering.
Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa pemberian nerve growth factor (NGF)
secara topikal menginisiasi aksi penyembuhan luka pada ulkus kornea yang disebabkan oleh
trauma kimia, fisik dan iatrogenik serta kelainan autoimun tanpa efek samping.11

3. Penatalaksanaan bedah:
a. Flap Konjungtiva12
Tatalaksana kelainan kornea dengan flap konjungtiva sudah dilakukan sejak tahun 1800-an.
Indikasinya adalah situasi dimana terapi medis atau bedah mungkin gagal, kerusakan
epitel berulang dan stroma ulserasi. Dalam situasi tertentu, flap konjungtiva adalah pengobatan
yang efektif dan definitif untuk penyakit permukaan mata persisten.
Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan integritas permukaan kornea yang
terganggu dan memberikan metabolisme serta dukungan mekanik untuk penyembuhan kornea.
Flap konjungtiva bertindak sebagai patch biologis, memberikan pasokan nutrisi dan imunologi
oleh jaringan ikat vaskularnya.
Indikasi yang paling umum penggunaan flap konjungtiva adalah dalam pengelolaan ulkus
kornea persisten steril. Hal ini mungkin akibat dari denervasi sensorik kornea (keratitis
neurotropik yaitu, kelumpuhan saraf kranial 7 mengarah ke keratitis paparan, anestesi kornea
setelah herpes zoster oftalmikus, atau ulserasi metaherpetik berikut HSK kronis) atau kekurangan
sel induk limbal. Penipisan kornea dekat limbus dapat dikelola dengan flap konjungtiva selama
kornea tidak terlalu menipis.
b. Keratoplasti
Merupakan jalan terakhir jika penatalaksanaan diatas tidak berhasil. Indikasi keratoplasti13:
1. Dengan pengobatan tidak sembuh;
2. Terjadinya jaringan parut yang menganggu penglihatan;
3. Kedalaman ulkus telah mengancam terjadinya perforasi

10
Gambar 3. Keratoplasti13

Pengobatan lokal keratitis ulseratif perifer (PUK) ditujukan untuk mencegah atau
mengurangi kerusakan kornea. Terapi sistemik ditujukan untuk mengendalikan penyakit yang
mendasarinya. Tujuannya adalah reepithelialization dari defek epitel untuk menghentikan
ulserasi kornea progresif.
Perawatan bedah dapat dikombinasikan dengan terapi lokal tambahan dengan
medroksiprogesteron 1% topikal (yang menghambat sintesis kolagenase) atau 25% N -
acetylcysteine (inhibitor kompetitif kolagenase). Tetes pelumas, gel, dan salep dan tetes
antibiotik atau salep dapat membantu dalam membantu reepithelialization.
Penggunaan steroid topikal tidak disarankan dan harus digunakan dengan hati-hati dalam
pengobatan pasien dengan PUK yang terkait dengan penyakit sistemik karena dapat
memperparah kornea yang meleleh akibat penghambatan sintesis kolagen. Namun, beberapa
dokter akan merekomendasikan penggunaannya hanya jika tingkat keterlibatan kornea kurang
dari dua kuadran dan / atau jika ketebalan stroma tidak kurang dari 50%.14
Pengobatan untuk ulkus kornea perifer ditentukan oleh tingkat keparahan dan luasnya
penyakit. Glukokortikoid sistemik adalah landasan terapi untuk ulkus perifer. Glukokortikoid
yang tidak menular dimulai dengan dosis 1mg/kg/d (maksimum 60 mg sehari), diikuti dengan
berjadwal untuk melihat respon klinis. Glukokortikoid topical bukan merupakan terapi yang
sesuai pada ulkus kornea perifer.
Penghambat kolagenase sistemik (tetrasiklin 250 mg tab atau doksisiklin tab 100mg)
dapat membantu memperlambat perkembangan penyakit.

11
Banyak penelitian telah mendokumentasikan bahwa pasien dengan PUK yang memiliki
penyakit sistemik terkait mengalami kekambuhan setelah menjalani pengobatan temporal tanpa
diberikan terapi imunosupresif yang sistemik. Untuk mengatasi masalah yang mendasarinya,
baik obat steroid sistemik dan imunosupresif sitotoksik telah digunakan, sendiri atau kombinasi,
dan efektif dalam mengendalikan peradangan mata dan sistemik. Agen imunosupresif telah
ditunjukkan untuk pengelolaan berikut ini: PUK terkait dengan sindrom vaskulitis sistemik yang
berpotensi mematikan, seperti sindrom PAN, RA, SLE, RP, WG, PSS, Sjögren, angiitis alergi
pada Churg-Strauss, dan arteritis sel raksasa.
Cyclophosphamide adalah obat pilihan untuk hampir semua PUK yang terkait dengan
gangguan jaringan ikat. Rute intravena telah digunakan dengan sukses di PUK yang terkait
dengan rheumatoid arthritis. Methotrexate (MTX), azathioprine, cyclosporine A, dan
chlorambucil telah terbukti efektif. Prednisone oral dosis tinggi dapat dimulai, sedangkan agen
kemoterapi mulai berlaku setelah 4-6 minggu. Bila penyebab menular lokal atau sistemik
dicurigai, terapi harus ditujukan untuk menghilangkan organisme menular dengan menggunakan
obat antibiotik yang sesuai berdasarkan presentasi klinis atau budaya.

Penggunaan infomximab antagonis antagonis tumor nekrosis telah dilaporkan efektif


dalam kasus PUK terkait rheumatoid arthritis yang refrakter terhadap terapi imunomodulator
konvensional di atas.15,16 Untuk penggunaannya dalam mengobati PUK dalam penyakit Crohn,
lihat Pham dkk.17
Rituximab, antibodi monoklonal chimeric yang diarahkan terhadap protein CD20 yang
ditemukan pada sel B, telah digunakan pada PUK yang tahan pengobatan pada WG dan RA.18,19

12
BAB III
JOURNAL READING
ARCH SOC ESP OFTALMOL. 2011; 86 (4): 118-120

ARCHIVOS DE LA
SOCIEDAD ESPAÑOLA DE
OFTALMOLOGÍA

ARCHIVOS DE LA SOCIEDAD Contenido

ESPAÑOLA DE OFTALMOLOGÍA

www.elsevier.es/oftalmologia

komunikasi singkat

Rituximab pada rheumatoid arthritis terkait Keratitis ulseratif perifer

M. Albert, Sebuah,* E. Beltrán, b L. Martínez-Costa Sebuah


Sebuah Servicio de Oftalmología, Rumah Sakit Dr. Peset, Valencia, Spanyol

b Servicio de Reumatología, Rumah Sakit Dr. Peset, Valencia, Spanyol

INFORMASI PASAL ABSTRAK

Pasal sejarah: kasus klinis: Kami melaporkan dua kasus pasien yang terkena rheumatoid arthritis lama yang mengembangkan bentuk keratitis ulseratif
Diterima pada 15 November 2010 perifer parah (PUK). Tak satu pun dari mereka punya kontrol biologis dan klinis yang optimal terhadap penyakit sistemik mereka meskipun
Diterima di 25 Januari 2011 diobati dengan beberapa obat antirematik modifikasi penyakit (DMARDs) dan terapi biologis. Highdose kortikosteroid sistemik diberikan
untuk mengobati PUK tanpa keberhasilan. Rituximab menghasilkan respons yang baik dengan resolusi lesi kornea dan kontrol optimal dari

Kata kunci: penyakit sistemik mereka.

rituximab

keratitis ulseratif perifer Rheumatoid arthritis

Diskusi: Rituximab mungkin merupakan alat tambahan untuk menahan arthritis rheumatoid progresif PUK yang refrakter terhadap obat
lain.

© 2010 Sociedad Española de Oftalmología. Diterbitkan oleh Elsevier España, SL

Seluruh hak cipta.

Rituximab en queratitis ulcerativa periférica asociada sebuah artritis reumatoide

Resumen

Palabras clave:
Caso Clinico: Se presentan dos pacientes diagnosticadas de artritis reumatoide de larga Evolucion que desarrollaron una queratitis
rituximab ulcerativa periférica (QUP) kuburan. Habían sido tratadas previamente con fármacos modificadores de la enfermedad (FAME) y terapia

Queratitis periférica ulcerativa Artritis biologica (TB) dosa alcanzar un kontrol Clinico-biologico óptimo de su enfermedad. Se trataron inicialmente con corticoides sistémicos
reumatoide sebuah dosis altas dosa éxito. Rituximab indujo la regresi de las lesiones corneales y el control de su artritis reumatoidea.

Discusión: Rituximab puede ser una alternativa para detener la progresión de la QUP asociada sebuah artritis reumatoide refractaria
sebuah otros fármacos.

© 2010 Sociedad Española de Oftalmología. Publicado por Elsevier España, SL

Todos los Derechos reservados.

* Penulis yang sesuai.


E-mail: albert_marfon@gva.es (M. Albert).
0365-6691 / $ - melihat hal depan © 2010 Sociedad Española de Oftalmología. Diterbitkan oleh Elsevier España, SL-undang.

13
ARCH SOC ESP OFTALMOL. 2011; 86 (4): 118-120 119

Gambar 2 - Kasus 1. leukoma kornea setelah resolusi proses


peradangan.

Gambar 1 - Kasus 1. Kerusakan kornea perifer ekstrem.


Megadoses methylprednisolone 1 g / IV / 3 hari telah ditentukan, disamping reseksi
bedah jaringan konjungtiva yang bersebelahan dengan perekat PUK dan cyanoacrylate
untuk menghindari perforasi okular. Pasien menanggapi dengan buruk pengobatan ini

pengantar dengan rasa sakit terus-menerus, skleritis dan infiltrasi kornea. Sebagai tambahan,
penyakit ini kurang terkontrol, diputuskan untuk memulai perfusi rituximab 1 g / iv.
Dalam 2 infus 15 hari terpisah. Tiga minggu setelah perawatan, perbaikan klinis yang
Peripheral keratitis ulseratif (PUK) ditandai dengan penipisan kornea perifer yang
signifikan diamati, menunjukkan leukoma kornea tampaknya tidak aktif tanpa skleritis
signifikan, dengan risiko tinggi perforasi 1
,. Hal ini dapat disertai dengan peradangan
(gambar 2). Saat ini pasien mempertahankan pengobatan dengan rituximab IV pada
pada konjungtiva, episklera dan sclera. PUK diklasifikasikan sebagai:
pola RA setiap 8 bulan dengan kontrol klinis yang baik.

1) sedikit, dengan penipisan ketebalan kornea antara 25% dan 50%, dan respon yang
baik untuk corticoids sistemik atau topikal dan nonsteroid obat anti-inflamasi, dan 2)
yang parah, dengan penipisan ekstrim yang berlangsung terlepas dari pengobatan
corticoids sistemik. 1

Klinis kasus 2

kasus klinis 1 Seorang wanita berusia 52 tahun dengan RA sero-positif erosif, judul faktor tingkat
rematik tinggi antibodi anti-peptida siklik (anti-PKC) dari 12 tahun evolusi, dengan
kegagalan sekunder akibat infliximab dan adalimumab.
Seorang wanita sero-positif berusia 58 tahun yang didiagnosis menderita rheumatoid
arthritis, erosif dan nodular dengan tinggi judul faktor rheumatoid, dengan evolusi 15
tahun. Dia sebelumnya pernah mendapat perawatan dengan berbagai penyakit
memodifikasi obat-obatan seperti hydroxychlorokine, sulphasalacine, siklosporin dan
leflunomida, ditarik karena kekurangan kemanjuran. Dia mengikuti pengobatan dasar
dengan methotrexate 25 mg / minggu, prednisone 5-10 mg / hari (variabel) dan
infliximab 5 mg / kg / IV / 8 minggu dengan kontrol yang dapat diterima dari penyakit
ini dalam 2 tahun terakhir dengan aktivitas rendah namun tanpa mencapai remisi yang
sempurna.

Evolusi menunjukkan septic arthritis di pergelangan kaki kanan, dengan kultur


cairan sinovial positif untuk Staphylococcus aureus Infliximab ditarik dan pengobatan
dengan terapi antibiotik IV dimulai.

Tiga bulan kemudian pasien mengunjungi praktek karena mata merah, nyeri
periorbitary intens dan fotofobia, menunjukkan infiltrasi kornea perifer setengah
bulan dengan pengencangan stroma ekstrem yang terkait dengan skleritis (gambar
1). Kultur jaringan kornea negatif. Dengan kecurigaan PUK parah, pengobatan
Gambar 3 - Kasus 2. Half-moon perifer menyusup kornea terkait dengan
dimulai dengan prednison oral 1 mg / kg /hari tanpa respon.
scleritis.

14
120 ARCH SOC ESP OFTALMOL. 2011; 86 (4): 118-120

Pasien menunjukkan mata merah, nyeri dan fotofobia. Eksplorasi: infiltrasi kornea Baru-baru ini, kasus PUK yang parah telah diterbitkan pada pasien di bawah
pengobatan dengan rituximab. 4
perifer setengah bulan berhubungan dengan skleritis (gambar 3). Kultur jaringan
kornea negatif. Pengobatan dimulai dengan prednison oral 1 mg / kg / hari dan Rituximab juga telah dimanfaatkan berhasil untuk mengobati scleritis parah
diputuskan untuk mengubah target terapeutik menjadi rituximab dalam dosis biasa dan PUK terkait dengan RA, Sjögren dan untuk kasus resisten terhadap Wegener

untuk RA dengan metotreksat 25 mg / minggu. Setelah siklus pertama rituximab, granulomatosis diobati dengan anti-TNF. 5

pasien mengalami perbaikan yang signifikan dengan penyembuhan PUK dan memulai
remisi klinis RA. Sepuluh bulan kemudian, infiltrate kornea dan skleritis muncul Hal ini Penting bagi dokter mata untuk mencurigai dan mendiagnosis kasus ini
bersamaan dengan klinik artikulasi. Diputuskan untuk mempertahankan perawatan pada tahap awal dan untuk segera informasikan kepada ahli penyakit rematik
dengan rituximab IV dalam resep RA setiap 8 bulan dengan kontrol klinis yang baik mengenai penyakit mata karena ini bisa menjadi pertanda pertama dari vaskulitis
terhadap kondisi okular dan sistemik. sistemik yang berpotensi mengancam jiwa.

Konflik kepentingan

Tak satu pun dari para penulis telah menyatakan konflik kepentingan.

Diskusi

PUK dapat muncul terkait dengan penyakit menular serta tidak menular,
dengan RA menjadi penyakit yang paling sering dikaitkan dengan PUK. 1

Kasus di atas menunjukkan PUK yang parah sebagai ekspresi ekstra-artikular


dari RA yang berevolusi, dengan faktor rheumatoid tinggi dan judul anti-PKC.
PUK muncul pada satu titik penyakit di mana kontrol klinis dan biologis bukan
yang terbaik meski penggunaan obat modifikasi penyakit dan terapi biologis
(anti-TNF) .2 Oleh karena itu diputuskan untuk mengubah target terapeutik
menjadi rituximab.

Rituximab adalah antibodi monoklonal chimeric yang secara khusus


menggabungkan CD20 antigen yang diekspresikan pada limfosit pra-B dan
limfosit B matang. Hal ini juga ditunjukkan dalam kombinasi dengan metotreksat
pada pasien dewasa untuk mengobati RA berat yang aktif yang menunjukkan
respon atau intoleransi obat yang tidak memadai lainnya, termasuk satu atau
lebih perawatan dengan anti-TNF.3.

Pasien dengan RA menunjukkan penipisan segera sel B pada darah tepi


setelah dua perfusi 1.000 mg rituximab pada interval 14 hari.

15
DAFTAR PUSTAKA
1. Riordan-Eva, Paul. 2010. Anatomi dan Embriologi Mata. In: Riordan-Eva, P.,John P. Whitcher.
Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit EGC. 7-14.
2. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GW. Menejemen klinis perdami. Jakarta: PP Perdami.
2006:17-34.
3. Eroschenko VP. Atlas histologi di fiore dengan korelasi fungsional. Jakarta: EGC. 2003

4. Vaughan, D.G., Asbury, T., Riordan, P. Oftalmologi Umum. 14th Ed. Alih bahasa: Tambajong
J, Pendit BU. Jakarta: Widya Medika. 2012: 220
5. Rajesh, S.K., Patel, D.N, Sinha, M. A Clinical Microbiological Study of Corneal Ulcer Patients
at Western Gujarat, India. Microbiological study of corneal ulcer. 2013;51(6):399.
6. Galor A, Thorne JE. Scleritis and peripheral ulcerative keratitis. Rheumatic Disease Clinics of
North America. 2007 Nov 30;33(4):835-54.
7. Amatya, R., Shrestha, S., Khanal, B., Gurung, R., Poudyal, N., Badu., BP., et al. Etiological
agents of corneal ulcer: five years prospective study in eastern Nepal. Nepal Med Coll J. 2012
Sep;14(3):219-22.
8. Ilyas, S. Glaukoma (Tekanan Bola Mata Tinggi). Jakarta: Balai penerbit FK UI. 2010.
9. Kunwar M, Adhikari, R.K., Karki, D.B. Microbial flora of corneal ulcers and their drug
sensitivity. MSJBH.2013;12(2):14-16.
10. Jetton, J.A., Ding, K., Stone, DU. Effects of tobacco smoking on human corneal wound healing.
Cornea. 2014 May;33(5):453-6.
11. Aloe, L., Tirassa, P., Lambiase, A. The topical application of nerve growth factor as a
pharmacological tool for human corneal and skin ulcers. Pharmacol Res. 2008 Apr;57(4):253-8.
12. Edward J. H. Ocular Surface Disease: Cornea, Conjunctiva and Tear Film 1st Edition. Elsevier.
USA. 2013.
13. Yum, H.R., Kim, M.S., Kim, E.C. Retrocorneal membrane after Descemet endothelial
keratoplasty. Cornea. 2013 Sep;32(9):1288- 90.
14. Sharma N, Sinha G, Shekhar H, Titiyal JS, Agarwal T, Chawla B, et al. Demographic profile,
clinical features and outcome of peripheral ulcerative keratitis: a prospective study. Br J
Ophthalmol. 2015 Nov. 99 (11):1503-8.
15. Thomas JW, Pflugfelder SC. Therapy of progressive rheumatoid arthritis-associated corneal
ulceration with infliximab. Cornea. 2005 Aug. 24(6):742-4.
16. Atchia II, Kidd CE, Bell RW. Rheumatoid arthritis-associated necrotizing scleritis and
peripheral ulcerative keratitis treated successfully with infliximab. J Clin Rheumatol. 2006 Dec.
12(6):291-3.
16
17. Pham M, Chow CC, Badawi D, Tu EY. Use of infliximab in the treatment of peripheral
ulcerative keratitis in Crohn disease. Am J Ophthalmol. 2011 Aug. 152(2):183-188.e2.
18. Huerva V, Sanchez MC, Traveset A, Jurjo C, Ruiz A. Rituximab for peripheral ulcerative
keratitis with wegener granulomatosis. Cornea. 2010 Jun. 29(6):708-10.
19. Albert M, Beltrán E, Martínez-Costa L. [Rituximab in rheumatoid arthritis-associated peripheral
ulcerative keratitis]. Arch Soc Esp Oftalmol. 2011 Apr. 86(4):118-20.

17

Anda mungkin juga menyukai